Monday, December 3, 2007

SKISME DALAM ISLAM

SKISME DALAM ISLAM (1/4)
Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini
Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam

oleh Nurcholish Madjid

Pembicaraan tentang Agama Islam kecuali jika dibatasi hanya
kepada hal-hal yang sama sekali normatif belaka dengan tingkat
idealisasi sejarah Islam yang tinggi pasti melibatkan
pembicaraan tentang berbagai skisme atau perpecahan dalam
agama itu. Kesadaran akan adanya skisme itu akhir-akhir ini,
sebagaimana telah sering dibicarakan, muncul dengan kuat di
kalangan kaum muslimin Indonesia khususnya dan dunia umumnya
karena adanya Revolusi Iran pada 1979. Dengan mengesampingkan
beberapa perorangan atau kelompok yang agaknya mengalami
kesulitan besar untuk "mengakomodasi" kenyataan baru berupa
peranan amat mengesankan dari kaum Syi'ah dalam percaturan
keislaman internasional sekarang ini, Revolusi Iran bagi
sebagian orang-orang muslim menawarkan semacam "hikmah
terselubung" (blessing in disguise) berupa cakrawala pandangan
keagamaan (Islam) yang lebih meluas. Karena itu jika harus
disebutkan kegunaan utama pembahasan kita sekarang ini, maka
kegunaan itu ialah sebagai bagian dari usaha bersama untuk
mendorong lebih jauh kecenderungan positif tersebut. Dengan
begitu diharap bahwa secara berangsur kita dapat mewujudkan
dalam kenyataan berbagai angan-angan mengenai umat atau
masyarakat Islam yang mendekati gambaran dalam Kitab suci
sebagai "ruhama baynahum" (saling cinta kasih antara
sesamanya). Tetapi berbagai pengalaman menunjukkan bahwa
keadaan itu tidak akan tercipta jika kita tidak memiliki cukup
kedewasann dalam sikap keberagamaan kita, dan dalam memandang
keberagamaan "orang lain" (dalam pengertian yang
seluas-luasnya). Termasuk ke dalam makna kedewasaan itu,
kiranya, ialah kesediaan dan kemampuan untuk melihat berbagai
kenyataan sejarah secara proporsional, dengan mengakui dan
memasukkannya ke dalam hitungan berbagai faktor sejarah
sebagai ikut menentukan apa yang telah terjadi, dan apa yang
sedang dan bakal terjadi.

Berdasarkan itu semua, maka pembahasan kita dalam makalah ini
insya Allah akan kita lakukan dalam semangat tinjauan kritis
berdasarkan pandangan yang memperhitungkan berbagai faktor
sejarah.

UMAT YANG TUNGGAL

Kenyataan historis pertama tentang agama Islam ialah bahwa
umatnya telah terpecah dan bahkan saling menumpahkan darah
sejak masa-masa amat dini perjalanan sejarahnya. Seorang
muslim yang serius dan prihatin tentu merasakan adanya semacam
anomali dalam kenyataan sejarah itu. Apalagi al-Qur'an sendiri
sejak dari semula menyatakan dan memperingatkan, tidak saja
kepada kaum muslim tetapi juga kepada para penganut agama para
Nabi dan Rasul Allah keseluruhannya, agar waspada terhadap
bahaya perpecahan dan pertentangan. Salah satu firman suci
dalam al-Qur'an yang relevan dengan masalah ini terbaca:

Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik, dan berbuatlah
kebajikan. Sesungguhnya Kami (Tuhan) maha mengetahui akan
segala sesuatu yang kamu kerjakan. Dan ini adalah umatmu
semua, umat yang tunggal, sedangkan Aku adalah Pelindungmu
semua, maka bertaqwalah kamu sekalian kepada-Ku. [1]

Tafsir atas firman itu tidak bisa lain daripada penegasan
bahwa semua Nabi dan Utusan Tuhan itu membentuk persaudaraan
umat yang tunggal, sebab Pesan Suci mereka pun tunggal, yaitu
mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mencintai dan
melindungi mereka. Ini menjadi dasar pandangan tentang
Kesatuan Kenabian (Wahdat al-Nubuwwah) dan Kesatuan Risalah
atau pesan suci (Wahdat al-Risalah), yaitu pesan suci
keprasahan yang tulus kepada kehendak Ilahi (al-islam dalam
makna generiknya). Dan inilah pula dasar pandangan tentang
Kesatuan Kemanusiaan (al-Wahdat al-Insaniyyah).

Namun justru secara historis masalah kesatuan itulah di antara
hal-hal yang amat sulit dicapai oleh manusia. Lebih menarik
lagi sebagai bahan kajian bahwa manusia cenderung
berpecah-belah justru setelah mereka menerima ajaran Tuhan
yang dibawa oleh para Utusan-Nya. Keadaan yang menyimpang dari
seharusnya ini tidak saja karena berbagai usaha mereka
memahami ajaran Tuhan dan menerapkannya dalam kehidupan nyata
(jadi tentunya tumbuh dari niat yang baik dan ketulusan hati),
tapi juga karena variasi cara pendekatan kepada ajaran itu
membuahkan variasi dalam interpretasi. Maka dalam gabungannya
dengan naf:su benar sendiri dan sektarianisme yang jelas
selalu mengancam setiap orang atau golongan tanpa kecuali
variasi pendekatan dan interpretasi itu, meskipun disertai
dengan penuh niat baik dan tulus, acapkali malah menjuruskan
orang banyak kepada perpecahan dan pertentangan. Perpecahan
dan pertentangan itu semakin destruktif sifatnya karena
pembawaannya yang sering bergaya absolutistik dan tak kenal
kompromi akibat watak dasar suatu keyakinan keagamaan. Keadaan
menyedihkan ini pun secara ringkas digambarkan dalam Kitab
Suci:

Pada mulanya manusia adalah umat yang tunggal. Kemudian Allah
mengutus para Nabi untuk membawa berita gembira dan
peringatan, dan Dia menurunkan bersama para Nabi itu Kitab
Suci dengan sebenarnya untuk memutuskan perkara antara umat
manusia berkenaan dengan masalah yang mereka perselisihkan.
Dan mereka yang menerima Kitab Suci itu tidaklah berselisih
mcngenai sesuatu (masalah Kebenaran) kecuali setelah datang
berbagai penjelasan, karena rasa permusuhan antara sesama
mereka. Maka Allah pun, dengan izin-Nya, memberi petunjuk
tentang kebenaran yang mereka perselisihkan itu kepada mereka
yang beriman. Allah memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus
kepada siapa yang menghendakinya (atau, yang dikehendaki-Nya).
[2]

Jika harus menyebutkan bukti kebenaran firman itu, maka
barangkali kita hanya harus menyebutkan kenyataan tentang
semua agama, yang jelas tanpa kecuali terbagi-bagi dan
terpecah-pecah menjadi berbagai golongan dan sekte. Lebih dari
itu, kerapkali persengketaan di antara sesama mereka, termasuk
yang ada dalam satu agama pun, diselesaikan dengan pertumpahan
darah dan penindasan. Barangkali, dari perspektif pesan suci
semula agama bersangkutan sendiri, tidak ada yang lebih absurd
daripada penyelesaian perselisihan faham keagamaan melalui
penindasan dan penumpahan darah. Namun inilah yang sebenarnya
terjadi dalam pengalaman hidup umat manusia.

Tapi mungkin kita harus mencoba mencari keterangan lain untuk
membuat semuanya itu "make sense." Mungkin keterangan itu
dapat diperoleh dari beberapa firman Ilahi juga, yang
melengkapi firman-firman terkutip di atas sehingga menjadi
pandangan dan pengertian yang bulat. Firman itu ialah,
misalnya:

Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, maka tentunya Dia
jadikan manusia umat yang tunggal. Tetapi mereka itu akan
tetap selalu berselisih, kecuali mereka yang mendapatkan
rahmat dari Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka.
[3]

Juga firman Allah:

Manusia itu tidak lain kecuali umat yang tunggal, kemudian
mereka berselisih. Jika seandainya tidak karena adanya "Sabda"
(Kalimah) yang telah lewat dari Tuhanmu, maka tentulah
diputuskan (sekarang juga) antara mereka berkenaan dengan
perkara yang mereka perselisihkan itu. [4]

Firman-firman itu membuka kemungkinan berbagai interpretasi
tentang apa yang ada dalam ajaran Kitab Suci mengenai hakikat
manusia sebagai makhluk sejarah berkenaan dengan perkara
persatuan dan perpecahan. Mengenai "Sabda" (Kalimah) dalam
firman yang dikutip terakhir itu, misalnya, ditafsirkan
sebagai berarti "Keputusan" Tuhan, yang merupakan ekspresi
Iradat dan Hikmat-Nya yang universal dalam peristiwa tertentu.

Here we have again the mystic doctrine of "the Word."..."Word"
is the Decree of God, the expression of His Universal Will or
Wisdom in a particular case. When men began to deverge from
one another..., God made their very differences subserve the
higher ends by increasing emulation in virtue and piety, and
thus pointing back to the ultimate Unity and Reality. [5]

Di sini (dalam ayat ini) kita mendapatkan lagi doktrin
kesufian tentang "Sabda." "Sabda" adalah Keputusan Tuhan,
pernyataan Iradat atau Hikmat-Nya yang universal dalam suatu
masalah tertentu. Ketika manusia telah bersimpangan jalan satu
dari yang lain, Tuhan membuat justru berbagai perbedaan mereka
itu membantu mengarahkan manusia kepada tercapainya
tujuan-tujuan yang lebih tinggi dengan meningkatnya perlombaan
dalam kebaikan den kesalahan, dan dengan mengarah kembali
kepada Kesatuan den Wujud yang mutlak

Ayat suci dan tafsirnya itu mengingatkan kita kepada sebuah
hadits yang sering dikutip orang bahwa perselisihan di antara
orang yang beriman adalah suatu rahmat. [6] Dan ayat suci itu
bersesuaian dengan ayat suci yang lain, yang menyebutkan
adanya Kehendak Ilahi tentang perbedaan antara sesama manusia,
dan adanya Kehendak agar dengan perbedaan itu manusia
berlomba-lomba ke arah berbagai kebaikan (istibaq al-khayrat,
emulation in virtue and piety). Ayat suci itu ialah
firman-Nya:

Jika seandainya Allah menghendaki, maka pastilah Dia
menjadikan kamu sekalian umat yang tunggal. Tetapi (Dia tidak
menghendakinya) karena Dia hendak menguji kamu semua berkenaan
dengan sesuatu (kelebihan, yaitu faktor terpenting yang
membuat manusia berbeda-beda -NM) yang diberikan-Nya kepadamu.
Karena itu berlomba-lombalah kamu semua (dengan menggunakan
kelebihan itu) untuk berbagai kebaikan. Kepada Allah-lah
tempat kembalimu semua, kemudian Dia akan menerangkan kepada
kamu tentang segala sesuatu yang pernah kamu perselisihkan.
[7]

Dari perspektif inilah kita akan memasuki bidang yang
sebenarnya dari pembahasan makalah ini, yaitu tinjauan ulang
secara kritis-historis terhadap perpecahan sosial keagamaan
yang terjadi dalam Islam dalam perjalanan perkembangannya yang
amat dini.

TENTANG "AL-FITNAT AL-KUBRA"

Mungkin bagi banyak orang cukup membosankan, namun pembicaraan
tentang pembunuhan khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, sebagai
fitnah besar yang mengawali skisme dalam Islam tidak mungkin
dihindarkan. Maka dengan sedikit melawan semacam "konsensus"
di kalangan kaum Sunni untuk menghindari pembicaraan tentang
tingkah laku historis para Sahabat yang kurang mencocoki
beberapa ketentuan normatif, [8] kita akan melakukan tahap
pembahasan ini dengan pembicaraan singkat tentang peristiwa
menyedihkan yang kemudian dikenal sebagai al-fitnat al-kubra
("ujian besar") itu.

Pembunuhan terhadap khalifah ketiga terjadi duapuluh empat
tahun setelah wafat Nabi. Sekelompok tentara (Arab Islam) dari
Mesir datang Ke Madinah untuk mengajukan klaim kepada Khalifah
tentang apa yang menjadi hak mereka. Tapi mereka segera
kembali pulang ke Mesir, karena telah diberi tahu (secara
palsu) bahwa persoalan mereka telah diselesaikan dengan baik
oleh Khalifah melalui perundingan dengan ketua utusan mereka.
Namun setelah mereka mendapat berita yang benar bahwa ketua
utusan mereka itu malah telah dibunuh, mereka kembali ke
Madinah untuk mengajukan tuntutan. Setelah beberapa saat
perundingan dan musyawarah, yang di situ kaum bukan-Umawi di
Madinah menunjukkan sikap netral, delegasi tentera itu
menyerbu Utsman di rumahnya, dan membunuhnya. (Seperti halnya
dengan Umar sebelumnya, juga Ali sesudahnya, Utsman memerintah
hanya dengan mengandalkan reputasi dan nama baik pribadi,
tanpa pengawal, sebagaimana layaknya adat kebiasaan para
sesepuh (al-syaykh) suku-suku Arab menjalankan kepemimpinan
mereka. Kebiasaan itu membantu memudahkan usaha membunuhnya,
sebagaimana telah terjadi pada Umar sebelumnya dan kelak
terjadi pula pada Ali). [9]

Tentang mengapa delegasi tentara itu tidak puas terhadap
Utsman dalam menjalankan tugas kekhalifahannya, tersedia tidak
hanya satu keterangan, melainkan banyak dan cukup kompleks.
Pertama ialah, bahwa meskipun Utsman termasuk perintis pertama
orang-orang Arab Makkah masuk Islam, namun dia adalah seorang
anggota klan Umayyah yang berkuasa di kota itu, yang klan itu
menjadi musuh utama Nabi, bahkan sikap permusuhan mereka itu
berlangsung terus sampai boleh dikata detik-detik terakhir
sebelum Nabi wafat. Abu Sufyan, misalnya, adalah seorang
penguasa Makkah yang mengorganisasi dan memobilisasi
orang-orang Quraisy melawan Nabi di Mekkah, sampai dengan saat
Nabi menaklukkan Makkah. Meskipun akhirnya Abu Sufyan masuk
Islam, juga anaknya Mu'awiyah yang sedikit terlebih dahulu
berbuat serupa, namun hal itu terjadi lebih banyak hanya
berkat kebijaksanaan diplomatik Nabi yang memberi dan mengakui
hak istimewa dan kehormatan mereka.
Sebagai klan dengan tradisi kekuasaan yang mapan, kaum Umawi
segera melihat pada kekhalifahan Utsman suatu kesempatan untuk
mengembalikan kedudukan mereka yang baru saja hilang. Mereka
mengelilingi Utsman dengan penasehat-penasehat dan
tenaga-tenaga ahli, seperti seorang "aktivis" Umawi, Marwan
ibn al-Hakam. Sebagian dari hadirnya para penasehat dan tenaga
ahli Umawi itu sebenarnya merupakan lanjutan kebijaksanaan
Umar sebelumnya, karena Umar melihat pada kaum Umawi itu
kecakapan pemerintahan yang bisa dimanfaatkan. Tetapi tanpa
keteguhan kepribadian Umar, Utsman menjadi tidak banyak
berdaya menghadapi klannya sendiri, dan ia pun terjerumus
kedalam praktek-praktek nepotistik yang mengundang berbagai
reaksi keras banyak kalangan.

Sebenarnya Utsman melanjutkan kebijakan Umar, tapi tanpa
mempunyai wibawa hebat seorang Umar. Para tentera suku Arab
(al-muqatilah) yang oleh Umar ditempatkan di berbagai kota
garnizun di daerah-daerah taklukan dipertahankan oleh Utsman
seperti keadaan mereka semasa Umar, sementara perang sendiri,
yang menjadi alasan penempatan itu, telah menjadi peristiwa
sesekali saja. Para tentera ini hidup menetap di tempat-tempat
tersebut, seperti Kufah, dalam suasana terpisah dari penduduk
bukan-Arab sekelilingnya. Bertindak sebagai penguasa pada
kota-kota perbatasan itu ialah para gubernur (bekas) pedagang
kaya yang cakap memerintah dari keluarga-keluarga Quraisy dan
sekutu mereka dari Taif (klan Tsaqif), yang kebanyakan mereka
itu terdiri dari kaum Umawi. Mereka memegang pemerintahan
menghadapi kecenderungan kesukuan dan semangat kedaerahan
orang-orang Arab, dan kekuasaan mereka itu diawasi oleh
semangat ajaran umum Islam yang saat itu Islam telah menjadi
ciri utama sifat ke-Arab-an mereka.

Sudah sejak masa Umar banyak orang Arab Quraisy yang kaya,
yakni para pedagang Mekkah, yang pergi ke daerah-daerah
taklukan, terutama Mesopotamia di Irak, dan meneruskan usaha
perdagangan mereka di sana. Ini acapkali menimbulkan rasa
keberatan dari pihak orang-orang Arab yang kurang mampu,
khususnya orang-orang Arab setempat. Utsman pun tidak bisa
mengatasi situasi warisan pendahulunya itu, meskipun
sebenarnya ia berhasil sedikit mengubah keadaan dengan
mengarahkan sebagian investasi dari Lembah Mesopotamia ke
Hijaz, berbentuk proyek-proyek irigasi di berbagai oase.
Kebijaksanaan Utsman itu membantu mengurangi kecenderungan
emigrasi ke luar Hijaz dan memperkuat kekuasaan pusat di
Madinah secara fisik (sumber daya manusia). Kebijaksanaan itu
juga mengurangi ancaman bahwa budaya Arab akan terserap ke
dalam budaya daerah-daerah Bulan Sabit Subur (Fertile
Crescent, daerah subur yang membentuk konfigurasi bulan sabit
dari pantai timur Laut Tengah naik ke utara, ke daerah
pegunungan Anatolia sebelah selatan membentang ke timur dan
kembali ke selatan, ke Lembah Mesopotamia).

Tetapi kebijaksanaan Utsman yang yang menghambat emigrasi dari
Hijaz itu membuatnya tidak populer di kalangan orang-orang
Makkah. Ini tumbuh menjadi faktor penunjang bagi protes-protes
yang mulai dilancarkan para tentara. (Harus diingat bahwa pada
saat itu semua orang muslim adalah warga negara dan sekaligus
tentara). Apalagi setelah ekspedisi menaklukkan Iran telah
rampung dan tuntas, ketidakpuasan di kalangan tentara terhadap
kebijakan Utsman semakin keras dinyatakan orang, karena tidak
lagi bisa dialih-arahkan kepada kegiatan-kegiatan ekspedisi
militer. Suatu kerusuhan muncul di Kufah, sebuah kota garnizun
yang didirikan Umar dan kerusuhan itu harus ditindas dengan
penumpahan darah. Para gubernur yang melanjutkan tugas mereka
semenjak diangkat oleh Umar banyak yang cakap dan sebagian
dari mereka diterima baik oleh penduduk setempat. Maka
penduduk Syria puas dengan Mu'awiyah, Basrah dengan Ibn Amir
(yang di waktu damai giat berdagang untuk mengumpulkan
kekayaan tapi bertindak cukup adil karena ia menganjurkan
orang lain agar berbuat serupa pula). Tetapi gubernur yang
ditempatkan di Mesir (di kota Fusthath, Kairo lama), tidak
pernah memuaskan orang-orang setempat, karena dipandang kurang
menunjukkan ukuran moral yang tinggi (konon suka minuman keras
dan mabuk). Demikian pula Kufah, tidak ada kebijakannya yang
dapat diterima di sana, bahkan gubernurnya pun ditolak orang.

Utsman dikenal sebagai amat berjasa menyatukan ejaan penulisan
al-Qur'an dengan memerintahkan untuk membakar semua versi
ejaan yang lain (sehingga sampai sekarang ejaan standar Kitab
Suci agama Islam itu disebut ejaan atau "rasm Utsmani").
Penyatuan ejaan al-Qur'an itu amat prinsipiil sebagai dasar
penyatuan orang-orang Arab Muslim khususnya dan semua orang
Muslim umumnya. Namun, sesungguhnya, usaha Utsman itu tidak
berjalan tanpa tantangan. Ibn Mas'ud, salah seorang ahli
membaca al-Qur'an yang amat terkenal dan disegani,
berkedudukan di Kufah, sempat menunjukkan perasaan tidak
sukanya kepada kebijakan Utsman. Menurut para ahli akhirnya ia
patuh juga kepada keputusan Khalifah. Tetapi kejadian itu
tetap meninggalkan bekas, sekalipun akhirnya dapat
dinetralisasikan melalui usaha akomodasi berbagai versi bacaan
Kitab Suci dalam bentuk pengakuan keabsahan "bacaan tujuh"
Al-qira'at al-sab'ah.

Kebijaksanaan Utsman berkenaan dengan Kitab Suci itu sungguh
patut dipuji. Dan jika ummat Islam sesudah itu menikmati
kesatuan penulisan dan pembukuan Kitab Suci-nya yang tidak ada
bandingnya dalam sistim kepercayaan atau faham lainnya mana
pun juga, maka sebagian besar keberuntungan itu adalah berkat
jasa Utsman ibn Affan yang bergelar Jami' al-Qur'an.
(Pengumpul al al-Qur'an). (Bahkan kaum Syi'ah yang dikenal
sangat anti Utsman itupun akhirnya juga mengakui jasa khalifah
ketiga ini, dengan menyesuaikan dan mengikuti cara penulisan
Kitab Suci menurut ejaan Utsman, sekalipun mereka agaknya juga
mempunyai jalur penuturan dari Ali ibn Abi Thalib, handalan
utama mereka dalam masalah periwayatan). [10]

Dan seperti hampir semua kebijaksanaan Utsman yang lain,
tindakannya untuk menyatukan sistem penulisan al-Qur'an itu
pun dapat dikatakan sebagai kelanjutan kebijakan Umar
sebelumnya.

Salah satu kebijakan lagi dari Umar yang dilanjutkan atau
diwarisi oleh Utsman ialah yang berkenaan dengan sistem
keuangan negara. Umar disebut sebagai "yang pertama
menciptakan lembaga-lembaga" (Arab: awwal man dawwana
al-dawawin), khususnya lembaga atau sistem penggajian tentera
dengan besar dan kecilnya gaji (sesungguhnya lebih tepat
disebut lumpsum) itu menurut tingkat kepeloporan seseorang dan
jasanya dalam agama Islam. Maka untuk menunjang sistemnya
inilah antara lain Umar tidak mengizinkan tentera memiliki
tanah-tanah produktif (pertanian) di daerah-daerah yang telah
mereka bebaskan, khususnya di kawasan Bulan Sabit Subur.
Kebijakan Umar di bidang ini dan di bidang finansial pada
umumnya sangat dihargai oleh para ahli sejarah Islam
(khususnya, tentu saja, kalangan Sunni) dan diakui oleh para
ahli bukan-Muslim sebagai suatu tindakan seorang genius dan
bijak. (Juga Umarlah yang memprakarsai pendirian lembaga
keuangan yang dikenal dengan bayt al-mal --harfiah berarti
"rumah harta"). Tapi ketika Utsman mewarisinya, ternyata
sedikit demi sedikit sistem Umar itu mulai menunjukkan
segi-segi kelemahannya. Ditambah lagi, seperti telah
disinggung, Utsman tidak memiliki wibawa dan kecakapan seperti
pendahulunya itu. Tentera di berbagai kota garnizun mulai
merasakan tidak adilnya penghasilan daerah mereka dikontrol
dan dibawa ke Madinah sebagai fay' (milik negara). Mereka
menginginkan untuk secara langsung mengontrol dan menguasai
penghasilan daerahnya masing-masing itu. Ketidakpuasan ini
masih harus ditambah, sebagaimana telah dikemukakan, dengan
gejala-gejala nepotisme Umawi yang semakin terasa pada masa
Utsman, khususnya dalam bidang-bidang keuangan ini. Maka,
mengulangi perdebatan di masa Umar sekitar masalah tanah-tanah
pertanian daerah taklukan itu, [11] para tentera menghendaki
agar tanah-tanah produktif itu langsung dibagikan kepada
tentera penakluk bersangkutan, dan dilepaskan dari pengawasan
Madinah, sama dengan harta rampasan perang mana pun juga. Jadi
berbeda dengan pandangan Umar yang tidak melihatnya demikian.

Akumulasi dari semua ketidakpuasan terhadap Utsman itu yang
jelas sebagian bukan karena kesalahan Utsman sendiri berakhir
dengan pembunuhan Khalifah. Dan dengan begitu dimulailah
perang saudara selama lima tahun, hanya selang sekitar
seperempat abad sejak wafat Nabi.

GOLONGAN-GOLONGAN KHAWARIJ, SYI'AH DAN SUNNAH

Kejadian pembunuhan Utsman hanyalah permulaan, dan hanyalah
salah satu, dari deretan fitnah yang amat besar pengaruhnya
kepada terjadinya skisme dalam Islam. Segera setelah Utsman
terbunuh, maka, menurut sementara ahli sejarah Islam, para
bekas pembunuh itu atau simpatisan mereka mensponsori
pengangkatan Ali (ibn Abi Thalib) sebagai khalifah,
menggantikan Utsman. Kebetulan Ali yang adalah kemenakan dan
menantu Nabi, serta pelopor mula pertama dalam Islam, telah
tumbuh sejak zaman Nabi sendiri sebagai seorang pahlawan, ahli
perang (warrior) yang tangkas, dengan sikap hidup yang penuh
kesalihan dan hikmah (wisdom) yang luas dan mendalam.

Bagi banyak pihak di Madinah, meskipun tidak disepakati oleh
semua orang, ketokohan Ali membuatnya paling tepat sebagai
pengganti (khalifah) Nabi, tidak hanya sekarang sesudah
Utsman, tapi sejak wafat Nabi sendiri. Tentang mengapa yang
terjadi ialah pengangkatan Abu Bakr, seorang Sahabat Nabi yang
amat dekat dan senior, serta mertua beliau (ayahanda A'isyah,
salah seorang isteri beliau yang amat dicintainya) sebagai
imam (imam, artinya orang yang berdiri di depan, yakni,
memimpin, khususnya dalam shalat berjama'ah) ummat Islam di
Madinah itu, adalah bahan kontroversi yang serius, yang sampai
sekarang masih menjadi bahan pembicaraan. Tetapi agaknya
penunjukan Abu Bakr, dengan pensponsoran kuat dari Umar, lebih
mirip tindakan darurat (emergency), tercermin dari penggunaan
istilah Khalifah (pengganti) olehnya untuk tugasnya itu. Baru
di masa Umar sifat kedaruratan itu mulai hilang, dan tumbuh
kesadaran padanya akan sifat kepermanenan jabatan pemimpin
ummat Islam. Maka Umar, untuk sebutan resmi jabatannya itu,
memilih nama atau gelar Amir al-Mu'minin, yakni, Komandan
Orang-orang Beriman, karena memang program utama masyarakat
Islam waktu itu ialah melancarkan ekspedisi-ekspedisi militer
ke luar Jazirah Arabia. Program itu sendiri konon sebagai
kelanjutan rintisan dan pelaksanaan pesan Nabi menjelang
wafat.

Perkembangan pranata politik Islam pada saat pengangkatan Ali
ialah bahwa sistem kekhalifahan telah berjalan dan tumbuh
selama hampir seperempat abad, lengkap dengan berbagai
pelembagaannya yang sebagian besar sebagaimana telah
disinggung, diletakkan oleh Umar. Maka kekhalifahan sebagai
saat itu telah menjadi terlalu amat penting untuk dilewatkan
begitu saja, dan di hadapan berbagai kritis yang mulai
mengancam ummat Islam lembaga itu menjadi rebutan dalam
tema-tema "to be or not to be." Telah disebutkan bahwa Ali
sebenarnya adalah tokoh yang amat tepat menghadapi situasi
kritis itu. Tetapi ketokohannya itu menjadi problem karena
kenyataan bahwa sejak semula ia, dibawa oleh sikapnya yang
salih dan populis, menunjukkan simpati kepada para pemrotes
kebijaksanaan Utsman, meskipun jelas mustahil mendukung
pembunuhannya. Maka suasana curiga kepada Ali dari banyak
pihak menjadi tak terhindarkan. Kecurigaan itu mewujudkan diri
dalam reaksi-reaksi tidak setuju kepada pengangkatan Ali
sebagai khalifah, tidak saja dari kalangan yang secara
langsung mempunyai hubungan darah dengan Utsman, Khalifah
terbunuh, yaitu kalangan kaum Umawi (Umawi, anak cucu Umayyah
ibn 'Abd Syams, ayah dari pada kakek Mu'awiyah) tetapi juga
dari tokoh-tokoh seperti A'isyah, puteri Abu Bakr dan isteri
Nabi yang sangat dicintainya, juga al-Zubayr ibn al-Awwam,
seorang anggota keluarga Abu Bakr. Sedangkan dari kalangan
kaum Umawi, seperti dapat diduga, tuntutan untuk pengusutan
pembunuhan Utsman sangat keras, dipelopori oleh politikus dan
gubernur yang cakap, Mu'awiyah (anak abu Sufyan, musuh utama
Nabi sampai penaklukan Mekkah), dan dibantu oleh 'Amr ibn
al-'Ash, gubernur dan komandan militer yang menaklukkan Mesir.

Berbagai reaksi kurang menguntungkan terhadap 'Ali itu tidak
saja membuat situasi masyarakat Islam yang masih muda dilanda
suasana tak menentu dan sedikit chaotik. Reaksi-reaksi itu
segera menyeret masyarakat Islam ke dalam kancah peperangan
sesama mereka, dengan korban jiwa yang tidak sedikit. 'Ali
yang seorang ahli perang (warrior) yang cakap dan berani
agaknya dengan mudah mengalahkan A'isyah dan al-Zubayr di
pertempuran dekat Basrah yang kemudian dikenal sebagai
"Peristiwa Onta" (karena A'isyah memimpin pasukan dengan
menunggang onta, dan onta itu terbunuh dalam pertempuran).
Tetapi peristiwa itu sendiri menimbulkan luka sosial-keagamaan
pada ummat Islam yang sampai sekarang belum seluruhnya
tersembuhkan.

Yang lebih parah, dengan akibat yang amat jauh dalam bidang
sosial-keagamaan, ialah permusuhan antara Ali dan Mu'awiyah.
Juga disebabkan oleh kecakapan militernya, Ali agaknya akan
akhirnya memenangkan pertempurannya melawan Mu'awiyah. Tetapi
mungkin sebagai gabungan antara kesalihan yang lebih
mementingkan perdamaian dan sikap meremehkan kepintaran, jika
tidak bisa disebut kelicikan, diplomatik Mu'awiyah dan para
pendukungnya, Ali secara iktikad baik dan "polos" menerima
usul arbitrasi di Shiffin. Akibatnya ialah bahwa ia justru
kehilangan dukungan dari para sponsornya yang gigih dan
militan, yang sejak semula menginginkan penyelesaian militer
terhadap Mu'awiyah. Mereka ini kemudian membentuk kelompok
ketiga, dan menamakan diri mereka kaum al-Syurat, yakni,
"orang-orang yang menjual diri (kepada Allah)," dengan secara
total menyerahkan dan mengorbankan diri untuk agama yang
benar. (Sebutan ini merujuk kepada firman Allah, "Dan di
antara manusia ada yang 'menjual' dirinya demi memperoleh
ridla Allah. Dan Allah itu Maha Penyantun kepada para
hamba-Nya." [12]
Maka sebutan al-Syurat itu sekaligus memberi gambaran tentang
hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan dengan
semangat sendirinya mereka berkembang menjadi kelompok dengan
tingkat ekstremisme yang amat tinggi, yang kemudian secara tak
terhindarkan membawa mereka kepada situasi mudah sekali
terpecah-belah dan saling bermusuhan, untuk akhirnya
melenyapkan diri mereka sendiri. Egalitarianisme radikal
kelompok ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosialpolitik
yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam seperti
diletakkan oleh Nabi dan merupakan kelanjutan cita-cita
universal dalam tradisi bangsa-bangsa Irano-Semitik sejak
ratusan tahun, dan yang dengan kuat sekali mewarnai
pandangan-pandangan hidup di daerah Bulan Sabit Subur. Tetapi
karena dibawakan dengan militansi yang hampir tak
terkendalikan, maka konsep-konsep itu yang antara lain
melahirkan doktrin hijrah, yaitu semua orang harus menyingkir
dari tatanan mapan dan bergabung dengan mereka demi iman yang
benar telah menjerumuskan masyarakat Islam kepada suasana
"semua lawan semua," tanpa ada pihak yang benar-benar
diuntungkan. Korban yang paling tragis dari ekstremisme mereka
ialah Ali sendiri, seorang tokoh yang pernah mereka unggulkan
dengan penuh antusiasme, namun akhirnya mereka habisi dalam
suatu pembunuhan politik.

Karena kegiatan mereka yang selalu merongrong tatanan mapan,
mereka kemudian lebih dikenal sebagai kaum Khawarij
(pemberontak). (Mereka juga dinamakan kaum al-Haruriyyun,
nisbat kepada oase al-Harura dekat Kufah, tempat mereka
berpangkalan). Seperti telah dikatakan tadi, mereka ini
kemudian mengalami penghancuran diri sendiri (self
annihilation) justru karena watak mereka yang sangat akstrem.
Akibatnya ialah bahwa mereka hampir-hampir praktis tidak
tertahan untuk menyaksikan zaman modern sekarang ini.

Tetapi sebenarnya hanya secara fisik mereka boleh dikata
terhapus dari sejarah. Sedangkan secara doktrinal, justru
banyak sekali faham-faham keagamaan yang kini berkembang dan
mapan di kalangan kaum Muslimin dapat ditelusuri kembali
sebagai asal dari problematika kaum Khawarij. Bahkan ada
tanda-tanda bahwa problematika kaum Khawarij itu, sebagaimana
dahulu muncul dalam sistem kalam kaum Mu'tazilah, kini
menunjukkan daya tarik dan vitalitasnya di kalangan sebagian
kaum Muslim "liberal" (dalam arti lebih banyak menunjukkan
sikap kritis dan mungkin ingin lepas dari kukungan tatanan
mapan sosial-keagamaan yang ada).

Perkembangan lebih lanjut masyarakat Islam setelah terbunuhuya
Ali oleh kaum Khawarij ialah pengakuan dan dukungan hampir
universal masyarakat kepada kekuasaan Mu'awiyah di Damaskus,
sekurang-kurangnya secara de facto. Terutama pada tahun 41
Hijri, ummat Islam di bawah Mu'awiyah dapat dikatakan kembali
kepada keutuhannya yang semula, dan orang dengan penuh harapan
menyebut tahun itu sebagai "Tahun Persatuan" (Amal-Jama'ah).
[13]

Dengan modal persatuan itu Mu'awiyah dapat melanjutkan
program-program ekspansi militer dan politik yang sempat
tertunda beberapa lama oleh adanya fitnah. (Mu'awiyah ternyata
menunjukkan kecakapan memerintah yang mengesankan, sehingga
para ahli sejarah ada yang mengatakan sebagai Khalifah Islam
yang kedua terbesar, yakni, sesudah Umar ibn al-Khaththab.
Bahkan cukup menarik bahwa ibn Taymiyyah, dalam polemiknya
dengan kaum Syi'ah, masih sempat menunjuk kepada kenyataan
bahwa sementara Ali mendapat dukungan bagi kekhalifahannya
hanya dari sebagian umat Islam, Mu'awiyah mendapat dukungan
yang boleh dikata universal. Ini, dalam pandangan Ibn
Taymiyyah, menunjukkan segi tertentu kelebihan Mu'awiyah atas
Ali, meskipun ia tetap secara keseluruhan mengunggulkan Ali
atas lawannya itu). [14]

Tetapi setelah Mu'awiyah meninggal, keadaan kembali kepada
kekacauannya yang semula. Dengan maksud untuk tidak mengambil
risiko yang dapat mengganggu "keseimbangan rawan" (delicate
balance) susunan masyarakat Islam yang ada dan yang diperoleh
dengan banyak pengorbanan itu, sudah sejak semula dalam
kekhalifahannya Mu'awiyah meminta agar masyarakat menyetujui
untuk mengangkat Yazid, anak sendiri, sebagai penggantinya.
Sebagian besar masyarakat Islam menyetujui ide itu, dan Yazid
pun dinyatakan sebagai Khalifah. Tetapi kekhalifahan Yazid
yang memang tidak banyak memenuhi gambaran ideal seorang
penguasa Muslim itu segera mengundang munculnya kembali
pertentangan-pertentangan laten.

Tantangan terhadap Yazid mula-mula datang dari para pendukung
Ali yang memang nampak selalu siap menggunakan setiap
kesempatan. (Sesungguhnya mereka berharap, sepeninggal Ali,
agar Hasan, anaknya, mempertahankan klaim kekhalifahan,
menghadapi Mu'awiyah di Damaskus. Tetapi Hasan mengecewakan
mereka dengan sikapnya yang lebih senang turun dari klaim itu
dan hidup hampir menyendiri secara damai di Madinah. Maka
harapan para pendukung Ali kini ditujukan kepada Husayn,
saudara Hasan, yang mereka undang untuk memberontak di Kufah,
Irak. Tetapi, sebelum tentera Syria datang menyerbu, banyak
kalangan penduduk Kufah sendiri yang menarik dukungannya
kepada Husayn, setelah berhasil dibujuk oleh gubernur Syria.
Husayn dengan kekuatan tenteranya yang kecil menolak untuk
menyerah, dan mereka ini terkucilkan di padang pasir Karbala,
dekat Kufah. Tentera Yazid menghancurkan mereka, dan Husayn,
putera Ali dan Fathimah, cucu Nabi, terbunuh secara amat kejam
dan tragis.

Terbunuhnya Husayn, seperti terbunuhnya Utsman sebelumnya,
merupakan peristiwa terpenting dalam fitnah kedua, yang
mempunyai dampak amat luas dan mendalam pada sistem
sosial-keagamaan Islam sampai sekarang. Adalah sejak peristiwa
Karabala itu para pendukung setia Ali dan keturunannya dikenal
dengan sebutan kaum Syi'ah (yang sebetulnya lengkapnya ialah
syi'ah Ali. "Partai Ali"). Dengan menggunakan sentimen umum
terhadap kematian tragis Husayn, kaum Syi'ah perlahan-lahan
mengkonsolidasikan diri dan mengembangkan pandangan-pandangan
sosial-politik keagamaan yang kelak menjadi dasar sistem
doktrinal Syi'isme.

Tetapi Yazid tidak hanya menghadapi tantangan dari kaum
Syi'ah. Di Makkah bangkit Abdullah ibn al-Zubayr (ibn
al-Awwam) yang ayahnya dahulu pernah menentang Ali bersama
A'isyah dan kalah kini bangkit menentang Yazid dengan cukup
efektif. Yazid tidak bisa mengatasinya, dan setelah penguasa
Damaskus ini meninggal sesudah menjabat sebagai khalifah
selama sekitar tiga tahun saja, Abdullah oleh sebagian besar
umat diakui sebagai khalifah yang sah, dengan Makkah sebagai
ibukota.

Tetapi Abdullah tidak menikmati kekuasaan yang mantap. Di luar
kota Makkah sendiri, meliputi sebagian besar pedalaman Jazirah
Arabia, khususnya di daerah pedesaan atau badawah, kekuasaan
berada di tangan kaum Khawarij yang seperti selama ini
melancarkan perang "hit and run" terhadap Abdullah ibn
al-Zubayr.

Sebenarnya kaum Khawarij ini hampir berhasil menghidupkan
beberapa nilai yang diajarkan oleh Nabi, khususnya faham
persamaan umat manusia. Egalitarianisme mereka telah membuat
mereka termasuk yang pertama dalam sejarah Islam yang tidak
membeda bedakan antara Muslim Arab dan Muslim bukan-Arab. Dan
politik mereka yang menerapkan prinsip nonintervensi terhadap
kelompok-kelompok bukan-Muslim, dengan membiarkan mereka dalam
otonomi penuh mengurus kepentingan mereka sendiri, telah
membuat kaum Khawarij cukup favorable di mata kaum non-muslim.

Tetapi kaum Khawarij gagal memperoleh dukungan dari kalangan
Muslim yang lebih terorganisir di kota-kota. Kebiasaan mereka
untuk melakukan gerilya dalam kelompok-kelompok penyerang yang
disusun seperti sistem kabilah sebelum Islam (masa Jahiliyah)
telah mengundang antipati orang-orang kota. Ini membuat
kekuasaan kaum Khawarij, meskipun selama fitnah kedua ini
menguasai teritorial yang paling luas, tidak pernah efektif.
Apalagi, setelah secaara singkat menjadi pendukung Abdullah
ibn al-Zubayr pada saat permulaan penampilan khalifah Makkah
itu, kaum Khawarij terpecah menjadi dua, yang berbasiskan
Iran, yang dikenal sehagai kaum Azariqah, menganggap siapa
saja yang tidak bergabung dengan mereka sebagai murtad, dengan
akibat hukum bunuh yang mereka laksanakan secara konsekuen.
Mereka ini akhirnya dikalahkan oleh tentara Ibn al-Zubayr yang
berpangkalan di Basrah, Irak.

Selain menghadapi kaum Khawarij, Ibn al-Zubayr masih harus
menyelesaikan masalah Syi'ah. Setelah mengalami kekalahan yang
tragis oleh Yazid di padang Karbala, kaum Syi'ah sekali lagi
mencoba memobilisasi diri dan menemukan figur sentral mereka
pada putera Ali yang lain, yaitu Ibn al-Hanafiyyah.
Pemberontakan kaum Syi'ah ini dipimpin oleh Mukhtar ibn Abi
Ubayd. Kaum Syi'ah, sama halnya dengan kaum Khawarij, juga
ingin menegakkan prinsip persamaan manusia, namun dengan
cara-cara yang lebih moderat. Mereka dengan tegas mengambil
sikap yang menyamakan status antara orang-orang Muslim
bukan-Arab dengan Muslim Arab. Tetapi egalitarianisme mereka
ini justru membuat marah orang-orang Muslim Arab Kufah, yang
kemudian berpaling melawan mereka. Tantangan orang Kufah ini
mempermudah pemberontakan kaum Syi'ah untuk dipatahkan oleh
Ibn al-Zubayr dengan menggunakan kekuatan tentara dari Basrah
yang saat itu telah bebas dari tugas menghadapi kaum Khawarij.

Keberhasilan Ibn al-Zubayr mematahkan kaum Khawarij dan Syi'ah
tidak berarti bahwa mereka benar-benar bebas dari oposisi.
Kaum Khawarij dan Syi'ah itu tetap merupakan ancaman yang
laten. Sementara itu, di utara, di Syria, kekuatan-kekuatan
oposisi kelanjutan kaum Umawi berhasil mengkonsolidasi diri.
Kaum Umawi yang berkoalisi dengan kaum Banu Kalb (sandaran
utama kekuatan Arab Syria bagi kaum Umawi sejak masa
Mu'awiyah) mengangkat Marwan ibn al-Hakam, sepupu Mu'awiyah,
sebagai Khalifah. (Adalah Marwan ini yang dahulu bertindak
sebagai penasehat utama Khalifah Utsman ibn Affan dan didakwa
sebagai dalang pembunuhan pemimpin delegasi Mesir yang datang
ke Madinah untuk mengadukan perkara mereka, dan yang kemudian
membangkitkan amarah mereka dengan akibat pembunuhan
khalifah). Dengan cepat kekuatan kaum Umawi di Syria sebagai
salah satu kontestan untuk kekhalifahan tumbuh dan berkembang,
sehingga Mesir pun tidak lama jatuh ke tangan Marwan dan
anaknya, Abd al-Malik. Setelah menyusul Irak, Irak juga jatuh
ke tangan kaum Umawi, yang berarti hilangnya basis dukungan
bagi Ibn al-Zubayr di Mekkah. Kota-kota garnizun di bawah
kepemimpinan kaum Umawi yang tegar kini lebih efektif dalam
melawan gerilya kaum Khawarij dari pedalaman dibanding keadaan
mereka dibawah kepemimpinan Ibn al-Zubayr yang lunak. Hingga
akhirnya kaum Umawi berhasil merebut Makkah sendiri (Ka'bah
sempat hancur dan harus dibangun kembali karena pertempuran
memperebutkan kota suci itu), dan di situ Khalifah Abdullah
ibn al-Zubayr (ibn al-Awwam) terbunuh.

Kini kekhalifahan sepenuhnya pindah ke tangan anak Marwan, Abd
al-Malik (692-705), yang oleh Hodgson disebut sebagai khalifah
Islam terbesar ketiga setelah Umar dan Mu'awiyah. Segi
kebenaran Abd al-Malik ialah bahwa ia berhasil mengakhiri
fitnah (kedua), dengan melakukan berbagai akomodasi. Dengan
tegas Abd al-Malik mendasarkan sistemnya di atas konsep
kekuatan (force). Maka negara menjadi negara kekuasan (macht
staat), dan faham keagamaan diperhitungkan hanya setelah jelas
siapa yang unggul melalui kekuatan itu. Juga penggantian
kekhalifahan dengan tegas didasarkan kepada pewarisan, dalam
bentuk suksesi melalui penunjukan oleh khalifah yang
terdahulu.

Kebesaran Abd al-Malik ibn Marwan yang lain terletak dalam
kegairahannya untuk menegaskan supremasi Islam terhadap yang
lain. Di sisi lain tindakannya bisa disebut sebagai sejenis
nasionalisme Arab. Tetapi ketika Abd al-Malik mengganti mata
uang logam Yunani yang bergambar kepala raja mereka dengan
mata uang logam khas Arab dan Islam dengan simbol kalimah
syahadat, maka efeknya ialah penegasan kedaulatan Islam.

Berbeda dengan pandangan keagamaan kaum Khawarij dan Syi'ah
pandangan keagamaan kaum Umawi memang sangat berat berwarna
ke-Arab-an. Bagi mereka Islam adalah lambang Arabisme yang
dipersatukan, dan berfungsi terutama sebagai kode etik dan
ajaran disiplin bagi kekuatan elite penakluk dan penguasa.
Berdasarkan pandangannya itu Abd al-Malik melihat pentingnya
usaha lebih lanjut mempersatukan orang-orang Arab di bawah
bendera Islam melawan kecenderungan kesukuan yang sampai saat
itu masih menunjukkan potensi latennya. Solidaritas Arab
berdasarkan Islam melawan kecenderungan kesukuan lama
(Jahiliyah) ini kemudian menjadi dasar ide tentang Jama'ah,
suatu konsep atau idiologi yang meletakkan nilai-nilai
persatuan dan kesatuan di atas semangat kesukuan dan bahkan di
atas faham-faham keagamaan faksional.

Sebagai dukungan asasi bagi konsep Jama'ah-Nya itu, dengan
dibantu oleh keahlian dan kesarjanaan al-Hajjaj ibn Yusuf,
bekas guru madrasah di Thaif, pada kalangan Banu Tsaqif (yang
sebelumnya telah membantu menaklukkan Mekkah, membunuh Ibn
al-Zubayr, dan menghancurkan Ka'bah serta membangunnya
kembali), Abd al-Malik meneruskan usaha mempersatukan ummat
Islam berkenaan dengan Kitab Suci mereka, dengan memperbaiki
cara penulisannya dan memastikan harakat bacaannya melalui
penambahan beberapa diakritik dan vokalisasi (harakat). [15]
Dampak amat penting tindakan ini ialah penyatuan yang lebih
meyakinkan seluruh kekuatan Islam (dan Arab), yang menjadi
dasar kebesaran kekuasaan Umawi (lebih tepat, Marwani,
sebagaimana sebutan pilihan sementara ahli sejarah Islam).
Melalui kebijaksanaan Abd al-Malik ibn Marwan ini maka
al-Qur'an mempunyai fungsi lain, yaitu sebagai lambang
persatuan dan kesatuan (Jama'ah) yang tak tergugat. Kemudian
dorongan untuk memahami lebih baik dan melaksanakan ajarannya
secara lebih tepat tumbuh dengan pesat di kalangan umum.

Maka dalam usaha memahami lebih baik Kitab Suci itu dan
melaksanakannya dalam kehidupan nyata, kaum Muslimin, terlebih
lagi para penguasa Umawi, semakin banyak merasakan perlunya
bahan rujukan dari kebiasaan mapan (sunnah) masa lalu Islam,
yang sebenarnya belum lama berselang itu. Nampaknya masa lalu
Islam itu yang paling otoritatif, sudah tentu, ialah masa Nabi
sendiri. Tetapi, sepanjang mengenai pelaksanaan pemerintahan
sehari-hari, masa Umar ibn al-Khathab nampak paling banyak
dijadikan rujukan. Maka kaum Umawi di Damaskus itu, dalam
masalah pemerintahan menurut pengertian seluas-luasnya, jika
pemerintahan itu harus dijalankan dengan norma-norma
keislaman, banyak melanjutkan rintisan dan percontohan Umar
ibn al-Khathab, dengan berbagai modifikasi dan penyesuaian.
Karena itu ketika para qadli sebagai pemegang semacam
kekuasaan yudikatif di daerah-daerah (Abd al-Malik adalah
orang pertama melembagakan jabatan qadli itu), banyak
referensi dilakukan kepada preseden yang ada dalam sejarah
Islam. Maka dengan begitu secara berangsur tumbuhlah
yurisprudensi Islam, yang kelak melahirkan disiplin terpisah
dalam ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu fiqh.
Keperluan kepada bahan rujukan dari masa lalu (preseden) untuk
menetapkan hukum lambat-laun tumbuh manjadi kesadaran tentang
otoritas tradisi (sunnah) yang sah (valid). Maka perhatian
kepada cerita, anekdot, dan penuturan tentang para tokoh masa
lalu itu, khususnya tentang Nabi sendiri dan para Sahabat,
tapi juga tentang tokoh-tokoh generasi ketiga umat Islam,
menjadi semakin besar. Ini semua kelak disistematisasi dan
dikritik, untuk selanjutnya dikodifikasi, oleh para sarjana
hadits seperti al-Bukhari, Muslim, dll.

Para ahli mengatakan bahwa gerakan perorangan untuk mencatat
hadits telah terjadi sejak masa sangat awal sejarah Islam,
rupanya malah sejak masa nabi sendiri. Tapi sejarah mencatat
bahwa dorongan paling kuat ke arah sana itu dimulai oleh
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (ibn Marwan) yang dikenal
sebagai Umar II (memerintah 717-720) karena mengingatkan orang
kepada Khalifah Umar ibn al-Khaththab.

Umar II sebenarnya hanya melanjutkan kecenderungan yang sudah
ada pada kaum Marwani atau Umawi, khususnya sejak kekhalifahan
Abd al-Malik ibn Marwan. Dorongan yang amat kuat untuk
menyudahi berbagai fitnah yang telah meninggalkan kesan-kesan
penuh trauma itu telah mengharuskan kaum Marwani atau Umawi
untuk menunjukkan sikap-sikap yang lebih akomodatif dan
kompromistis. Dalam rangka ini, tindakan terpenting ialah
mengakui Ali sebagai khalifah yang sah, pada urutan keempat
(artinya, Utsman, anggota-anggota klan mereka, tetap lebih
unggul daripada Ali, namun Ali lebih unggul daripada
Mu'awiyah, juga anggota klan mereka tapi menjadi musuh Ali).
Dengan begitu kaum Marwani atau Umawi meletakkan landasan
dialog intern Islam yang meliputi semua, yang di situ setiap
kelompok memperoleh kehormatannya, sedikit atau pun banyak.
Tradisi ini berkembang dan tumbuh kuat, dan menjadi dasar
faham yang kini merupakan anutan terbesar kaum Muslim di
dunia, yaitu faham yang menggabungkan antara ideologi Jama'ah
(persatuan dan kesatuan) dan ideologi Sunnah (faham yang
memandang otoritas masa lalu dan tradisi yang sah sebagai
bahan rujukan), maka disebut Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah,
biasa disingkat dengan Ahl al-Sunnah, lebih singkat lagi,
golongan Sunni.

PENUTUP

Dikarenakan terbatasaya ruang dan sifat pembahasan, yang dapat
dikemukakan di atas hanyalah masalah-masalah mendasar tentang
faham-faham pecahan dini Islam, yaitu Khawarij, Syi'ah dan
Sunnah. Masing-masing pecahan itu sesungguhnya pecah lagi ke
dalam berbagai kelompok, kemudian dibarengi atau disusul oleh
munculnya berbagai pecahan yang lain lagi.

Uraian di atas, meskipun jauh dari sempurna dan lengkap,
diharap dapat memberi gambaran (dan kesadaran) betapa
relatifnya pangkal skisme dalam Islam (karena berakar dalam
pertikaian sosial-politik yang sama sekali tidak mungkin lepas
dari konteks ruang dan waktu dalam pengertian yang
seluas-luasnya). Maka dengan jelas dapat dilihat betapa
absurd-nya memutlakkan kebenaran suatu aliran paham dalam
agama (Islam). Juga bisa dilihat, betapa problematisnya
kekhalifahan dan kedudukan seorang khalifah, lebih-lebih lagi
jika kita perhitungkan pandangan semua kelompok mengenai
masalah kekhalifahan itu. (Patut diperhatikan, betapa kaum
Syi'ah cenderung hanya mengakui Ali, kaum Khawarij hanya Abu
Bakr dan Umar, kaum Umawi lama hanya Abu Bakr, Umar, Utsman,
plus Mu'awiyah, kaum Marwani atau Umawi, sama dengan golongan
Sunni, mengakui semuanya namun dengan mengunggulkan Utsman
atas Ali dan Ali atas Mu'awiyah. Dan setiap kelompok itu,
dengan sendirinya, mempunyai sistem dan teori pembenaran bagi
pandangan masing-masing, tidak jarang dinyatakan dalam
gaya-gaya absolutistik dan "pasti benar").

Maka kesimpulannya, mungkin yang diperlukan sekarang ialah
mengembangkan dasar fikiran nonsektarianisme, dan melihat
sektarianisme sebagai jenis kemusyrikan, sesuai dengan
peringatan, "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik,
yaitu mereka yang memecah belah agama mereka kemudian menjadi
bersekte-sekte, setiap golongan membanggakan apa yang ada pada
mereka" (yakni, antara lain, mengaku benar sendiri). [17]
Sebenarnya semangat non-sektarianisme inilah salah satu
pandangan dasar Islam yang dibawa Nabi, karena mengambil
pelajaran dari pengalaman agama-agama sebelumnya, sebagai
tercermin dalam peringatan yang lain, "Sesungguhnya mereka
yang memecah belah agama mereka kemudian menjadi
bersekte-sekte, engkau (Muhammad) tidak sedikit pun termasuk
mereka." [18] Semangat non-sektarianis itulah salah satu makna
yang dimaksud bahwa agama Tawhid Nabi Ibrahim adalah hanif,
yakni, sebagai jawab kecenderungan alami manusia untuk memihak
yang baik dan benar: "Maka ikutilah olehmu semua agama
Ibrahim, secara hanif." [19] Agaknya kita semua ditantang
untuk memerangi sektarianisme yang kini masih menggejala.

CATATAN

1. QS. al-Mu'minun/23:51-52.

2. QS. al-Baqarah/2:213.

3. QS. Hud/11:118-119.

4. QS. Yunus/10:19..tb5.tb5

5. A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation and Commentary
(Jeddah: Dar al Qibla, 1403 H), h. 488, catatan 1407.

6. Sabda Nabi yang terbaca, Ikhtilaf ummati rahmah (Perbedaan
pendapat ummatku adalah rahmat). Cukup ironis bahwa justru
hadits ini pun diperselisihkan, baik dari kesahihan sanadnya
maupun dari segi lafalnya yang lebih persis. Lafal lain
terbaca, misalnya, Ikhtilaf al-a'immah rahmah li al-ummah
(Perbedaan pendapat para imam adalah rahmat untuk ummat). Tapi
betapa pun diperselisihkan hadits itu nampaknya banyak
dipercayai para ahli. Rasyid Ridla, misalnya, memberi
pengantar dengan semangat hadits itu untuk penerbitan risalah
Ibn Taymiyyah, Khilaf al-Ummah fi al-Ibadat wa Madzhab Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah (Perselisihan umat dalam ibadat dan
Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah), (Cairo: Mathba'at
al-Manar, 1326 H.).

7. QS. al-Ma'idah 5:51.

8. Mungkin bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penghindaran
dari kenyataan pahit dalam sejarah Islam, salah satu unsur
dalam faham Sunni ialah semacam konsensus untuk tidak
membicarakan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang menyangkut
peperangan dan perebutan posisi politik yang terjadi antara
para Sahabat Nabi sekitar seperempat abad sesudah wafat
beliau. Terdapat pandangan bahwa kalangan "awam" sebaiknya
tidak membicarakan hal itu. (Lihat, misalnya, H. Muhammad
Shalih ibn Umar Samarani, Tarjamah Sabil al-Abid ala Jawharat
al-Tauhid [tanpa data penerbitan], hh.241-242).

9. Banyak bahan rujuknya dari literatur klasik untuk
pembahasan sekitar perkembangan dini sejarah Islam yang
menyangkut fitnah besar ini. Salah satunya ialah Tarikh
at-Thabari yang terkenal, yang meskipun ditulis di bawah
bayangan kuat idiologi Sunni namun sampai batas yang cukup
jauh tidak kehilangan sifat ilmiahnya. Tapi uraian berikut
hanyak dibuat dengan bersandar kepada kepada Marshall G.S.
Hodgson, The Venture of Islam, tiga jilid (Chicago, The
University of Chicago Press, 1974), jil. 1, passim.

10. Bukan saja samasekali tidak ada perbedaan antara al-Qur'an
pada kaum Sunni dan al-Qur'an pada kaum Syi'i. Bahkan
al-Qur'an kaum Syi'i pun ditulis dengan mengikuti ejaan atau
rasm Utsmani, baik yang diterbitkan pada masa pemerintahan
Syah Reza Pahlewi maupun yang diterbitkan pada masa
pemerintahan Islam revolusioner (Khumaini). Yang pertama
diwakili oleh mushaf terbitan Mu'assasat Intisyarat Amir
Kabir, Teheran, 1343 H./1965 M. (Meskipun tidak disebutkan
dalam pengantar atau lainnya bahwa mushaf itu ditulis dengan
ejaan Utsmani, namun kenyataannya ia persis sama dengan mushaf
ejaan Utsmani). Yang kedua diwakili oleh mushaf terbitan
Mu'assasat Intisyarat Shabirin, Teheran, 1405 Hijri qamari
(lunar) atau 1363 Hijri Syamsi (solar). Dalam kata penutup
terbitan mushaf ini (h. 983) ditegaskan oleh penerbit bahwa
mushaf itu menggunakan ejaan yang paling asli dan paling
aktual, yang dikenal dcngall "rasm al-mushaf" atau "rasm
Utsmani." Bahkan qira'at atau bacaannya disebutkan, seperti
pada mushaf- mushaf Sunni, sebagai berasal dari riwayat Hafsh
dari Ashim, "yang dari jalur lain dari Imam Ali ibn Abi
Thalib."

11. Perdebatan itu terekam dalam karya seorang murid Imam Abu
Hanifah, Abu Ya'quh Yusuf, Kitab al-Kharaj.

12. QS. al-Baqarah 2:207.

13. Karena hampir semua kelompok Islam mengakui kekuasaan de
facto Mu'awiyah, maka tahun 41 Hijri disebut "Tahun Persatuan"
('Am al Jama'ah). (Lihat, al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek,
Tarikh al-Tasri al-Islami, [Beirut, Dar al-Fikr, 1387 H/1967],
h. 110, juga h. 87). Dan kemudian konsep Jama'ah itu
dikembangkan sebagai idiologi.

14. Sangat menarik sebagai bahan studi lebih mendalam
mempelajari berbagai polemik sekitar Ali dan Mu'awiyah ini.
Misalnya, Ibn Taymiyyah, salah seorang pemikir Sunni mazhab
Hanbali yang sangat polemis terhadap golongan Syi'ah,
mengatakan, "Perilaku Mu'awiyah terhadap rakyatnya adalah
termasuk sebaik-baik perilaku para penguasa, dan rakyatnya
mencintainya. Padahal telah mantap dalam al-Shahihayn
(Bukhari-Muslim) dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda,
'Sebaik-baik para pemimpinmu ialah yang kamu cinta kepada
mereka dan mereka cinta kepada kamu dan berdo'a untuk
kebaikanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu ialah yang kamu
benci kepada mereka dan mereka benci kepadamu, serta kamu
mengutuk mereka dan mereka mengutuk kamu." (Minhaj al-Sunnah,
jil. 3, h. 189). Sebaliknya tentang Ali, Ibn Taymiyyah masih
sempat mencatat demikian, "... Dan tatkala dia (Ali) melamar
anak perempuan Abu Jahl, beliau (Nabi) bersabda, Bani
al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan anak
perempuan mereka kepada Ali. Dan sungguh aku tidak akan
mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sekali lagi
tidak akan mengizinkan! Kecuali jika anak Abu Thalib itu
menceraikan anak perempuanku (Fathimah) dan kemudian kawin
dengan anak perempuan mereka. Demi Allah, tidak akan berkumpul
menjadi satu anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan
musuh Allah pada satu orang lelaki.'" (ibid., h. 194). Jadi
dalam kutipan pertama Ibn Taymiyyah ingin mengesankan bahwa
Mu'awiyah bertingkah laku sesuai dengan Sunnah, dan dalam
kutipan kedua ia mau memperlihatkan betapa Ali pernah membuat
hal yang menyakiti hati Nabi.

15. Perlu diingat bahwa meskipun al-Qur'an telah dipersatukan
kodifikasinya oleh Utsman namun orang masih mengalami
kesulitan untuk memastikan pembacaannya, kecuali mereka yang
benar-benar mengenal bahasa Arab karena dibesarkan sebagai
orang Arab. Sedangkan mereka yang tidak demikian keadaannya
akan terbentur kepada sistem huruf Arab, sama dengan
huruf-hurut Semitik yang lain, yang hanya mengenal konsonan,
tanpa huruf hidup. Sebagai contoh tulisan Arab tingkat awal
itu berikut ini adalah (foto) kopi surat Rasulullah kepada
al-Mundzir ibn Sawi, yang diturun oleh Dr. Muhammad Hamidullah
dengan izin majalah orientalisme Jerman, Zeltschrift der
Deutschen Morgenlandischen dalam Majmu'at al-Watsa'iq
al-Siyasiyyah li al-Ahd al-Nabawi wa Khilaafat al-Rasyidah
(Beirut: Dar al-Irsyad. 1389 H/1969), dokumen No. 57 (antara
hh. 114 dan 115):

Tulisan seperti di masa Rasulullah itulah yang juga digunakan
untuk kodifikasi al-Qur'an oleh Utsman dan menghasilkan mushaf
rasmUtsmani. Perhatikan bahwa untuk perkembangan tulisan Arab
saat itu, kesulitan masih harus ditambah dengan tidak adanya
perbedaan simbol untuk cukup banyak bunyi, seperti untuk
bunyi-bunyi ba', ta', tsa nun dan ya', dan antara bunyi-bunyi
jim, ha' dan kha', antara dal dan dzal, antara ra' dan za'
antara sin dan syin, antara shad dan dlal, antara tha' dan
dha', antara 'ayn dan ghayn, akhirnya, antara fa' dan qaf.
Maka penambahan beberapa diakritik, seperti satu, dua, tiga
titik, di bawah dan di atas oleh al-Hajjaj merupakan fase amat
penting dalam sejarah metode penulisan al-Qur'an.

16. Perkataan Arab "fiqh" sendiri berarti "faham" (dalam makna
"mengerti"). Penggunaan perkataan "fiqh" sebenarnya merujuk
kepada beberapa firman Allah, antara lain, "Kami (Tuhan) telah
merinci berbagai ayat untuk kaum yang mengerti" (ber-fiqh)
(QS. al-An'am 6:98), dan. "... Maka hendaklah dari setiap
golongan ada satu kelompok orang yang pergi (mencurahkan
perhatian) untuk memahami agama secara mendalam (ber-tafaqquh)
..." (QS. al-Tawbah/9:122. Jadi yang dimaksudkan dengan
perkataan fiqh dalam firman-firman itu pendalaman ajaran
keagamaan secara menyeluruh. Tapi karena dominasi dan
supremasi persoalan penataan kembali masyarakat saat-saat dini
sejarah Islam, khususnya pada masa dinasti Marwani itu (antara
lain karena urgensi mengatasi dan menyudahi fitnah yang
berkelarutan), maka segi hukum dari agama juga amat dominan
dan supreme, sehingga pengetahuan mengenai masalah-masalah
hukum pun dianggap fiqh par excellence. Keadaan serupa itu
bertahan hampir sepanjang sejarah Islam sesudah masa Marwani,
sampai sekarang. Ini tercermin dalam bagaimana sebagian besar
kaum Muslim mempersepsi agamanya sebagai terutama sistem
hukum.

17. QS. al-Rum/30:32.

18. QS. al-An'am/6:169.

19. QS. Ali 'Imran/3:95. Bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad
adalah juga agama Ibrahim ditegaskan dalam cukup banyak
ayat-ayat suci, antara lain, "Katakan Muhammad, 'Sesungguhnya
aku diberi petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus,
yaitu agama yang teguh (konsisten), agama (Nabi) Ibrahim yang
hanif ." (QS. al-An'am/6:161).

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: