Monday, December 3, 2007

MASALAH SIMBOL DAN SIMBOLISME

V.35. MASALAH SIMBOL DAN SIMBOLISME
DALAM EKSPRESI KEAGAMAAN (1/2)

Oleh Nurcholish Madjid

Ketika Kyai Ahmad Dahlan mulai menapak jalan menuju cita-cita
reformasi Islam di Indonesia, beliau memperkenalkan dan
mempropagandakan sebuah surat pendek al-Qur'an dari Juz 'Amma,
yaitu surat al-Ma'un (QS 107). Surat itu sendiri sudah
merupakan bagian dari hafalan baku para santri, khususnya para
imam shalat, dan termasuk yang sering dibaca dalam shalat itu.
Tetapi, sampai dengan tampilnya Kyai Dahlan dengan
Muhammadiyahnya, kaum muslim Indonesia seperti tidak pernah
tersentuh oleh makna dan semangat firman Allah itu, dan tidak
pula menyadari betapa surat pendek itu dapat menjadi pangkal
gerakan kemanusiaan yang besar dan mendalam seperti
Muhammadiyah dengan amal-amal sosialnya. Seperti kita ketahui,
surat al-Ma'un itu terjemahnya, kurang lebih adalah:

Pernahkah engkau lihat (hai Muhammad), orang yang
mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak
yatim dan tidak berjuang untuk memberi makan orang
miskin. Maka celakalah untuk orang-orang yang shalat,
yaitu mereka yang akan shalat tetapi lalai, yaitu
mereka yang suka pamrih kepada sesama, dan yang enggan
memberi pertolongan. [1]

Jelas sekali firman Allah itu menegaskan bahwa kepalsuan dapat
terjadi dalam sikap keagamaan kita jika kita tidak memiliki
komitmen batin kepada usaha-usaha, yang menurut istilah
sekarang, menegaskan keadilan sosial. Disebutkannya anak yatim
dan orang miskin, adalah karena mereka merupakan
kelompok-kelompok sosial yang paling memerlukan usaha bersama
untuk memperbaiki nasib mereka. Anak yatim dan orang miskin
mewakili seluruh anggota masyarakat yang tidak beruntung oleh
berbagai sebab dan cara.

Penilaian diri kita sebagai pendusta agama atau beragama
secara palsu karena tidak memiliki komitmen sosial yang makin
diperburuk oleh tingkah laku lahiriah kita sendiri yang nampak
seperti menjalankan ibadat formal, namun tidak menghayati dan
tidak mewujud-nyatakan hikmahnya. Dikatakan semakin diperburuk
karena kepalsuan kita dalam beragama memperoleh bungkus
kebajikan berupa amalan ibadat lahiriah, dan bungkus itu
dengan sendirinya akan mempunyai dampak penipuan. Karena
itulah Allah mengutuk orang yang menjalankan ibadat formal
serupa itu namun ia lupa atau lalai akan ibadat mereka
sendiri. Artinya, sementara kita mungkin rajin menjalankan
ibadat-ibadat formal seperti shalat, namun ibadat itu tidak
mempengaruhi tingkah laku kita yang lebih mendalam, yang
tingkah laku itu bakal membentuk budi pekerti luhur [2]. Sebab
mungkin kita sendiri tidak merasa, kita menjalankan
ibadat-ibadat hanyalah untuk memenuhi kemestian-kemestian
sosial kultural semata, seperti kemestian yang ada pada pola
pergaulan dalam suatu kelompok, misalnya, "kelompok
orang-orang Islam." Artinya, kita melakukan ibadat karena
menghayati bahwa shalat adalah perintah Allah lalu tidak
menghayati apa makna shalat itu yang lebih mendalam dan luas.
Jadi sesungguhnya kita menjalankan ibadat itu karena pamrih
atau riya', sekurang-kurangnya mungkin sekali kita sekedar
pamrih kepada sesama anggota kelompok Islam. Indikasinya ialah
keseganan untuk berkorban guna memberi pertolongan kepada
orang yang perlu, biarpun sedikit. [3]

AGAMA DAN AKHLAQ

Surat al-Ma'un memperingatkan kita bahwa beragama dengan tulus
tidaklah cukup hanya dengan mengerjakan segi-segi formal
keagamaan seperti shalat, puasa, haji, dll. Keagamaan yang
sejati menuntut adanya wujud nyata konsekuensi ibadat, yaitu
budi pekerti yang luhur, yang dibidikkan oleh ibadat itu.
Sebuah Hadits yang amat terkenal mengisyaratkan bahwa tujuan
tugas suci atau risalah dibangkitkannya Nabi s.a.w. adalah
untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi. [4] Sejalan
dengan ini Nabi juga menggambarkan bahwa diantara semua
kualitas manusia, tidak ada yang timbangan atau bobot nilai
kebaikannya lebih erat daripada budi pekerti luhur. [5] Lalu
beliau gambarkan bahwa yang paling banyak menyebabkan manusia
masuk surga ialah taqwa kepada Allah dan keluhuran budi. [6]

Penegasan-penegasan Nabi itu merupakan kelanjutan dari ajaran
al-Qur'an tentang apa yang dinamakan nilai kebajikan (al-birr
atau 'amal shalih). Allah swt. menegaskan "Kamu sekalian tidak
akan memperoleh kebajikan sebelum kamu mendermakan sebagian
dari (harta) yang kamu cintai." [7] Dan penegasan-Nya lagi,
yang lebih terinci:

Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan mukamu
ke timur dan ke barat.Tetapi kebajikan ialah (jika)
orang yang beriman kepada Allah, Hari kemudian, para
malaikat, kitab-kitab suci dan para nabi;
dan orang yang mendermakan hartanya, betapapun cinta
orang itu kepada harta tersebut. Untuk kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang terlantar di
perjalanan, peminta-minta, dan untuk membebaskan para
budak; dan orang yang menepati janji jika membuat
janji, serta mereka yang tabah dalam kesulitan,
kesusahan dan masa perang. Mereka itulah orang-orang
benar (tulus), dan mereka itulah orang-orang yang
berbakti (bertaqwa). [8]

Dalam kaitan itu menarik sekali memperhatikan komentar A.
Yusuf Ali atas firman yang amat penting ini. Dikatakannya:

Seakan untuk menekankan lagi peringatan melawan
formalisme yang mematikan, kita diberi gambaran yang
indah tentang orang yang salih dan takut kepada Tuhan.
Orang itu harus mentaati aturan-aturan yang membawa
kebaikan, tapi ia harus memusatkan pandangannya kepada
cinta Tuhan dan cinta sesama manusia. Kita diberi empat
pokok: (1) iman kita harus sejati dan tulus; (2) kita
harus memperlihatkannya dalam tindakan-tindakan
kebaikan kepada sesama kita; (3) kita harus menjadi
warga masyarakat yang baik, yang mendukung
organisasi-organisasi sosial; dan (4) jiwa pribadi kita
sendiri harus teguh dan tidak goyah dalam segala
keadaan. Keempat pokok itu saling berkaitan, tapi masih
dapat dipandang secara terpisah.

Iman bukanlah semata-mata perkara ucapan. Kita harus
menyadari kehadiran Tuhan dan kebaikan-Nya. Jika kita
sadari itu, hal-hal besar menjadi kecil di depan mata
kita segala kepalsuan dan sifat sementara dunia ini
akan tidak lagi memperbudak kita, sebab kita melihat
Hari Kemudian seolah-olah terjadi sekarang ini. Kita
juga melihat karya Ilahi dalam alam ciptaan-Nya, dan
ajaran-ajaran-Nya yang tidak lagi berada jauh dari
kita, melainkan datang dalam pengalaman kita sendiri.

Tindakan-tindakan derma yang praktis mempunyai nilai
hanya jika keluar dari rasa cinta dan tidak dari
motif-motif yang lain. Dalam hal ini, juga, kewajiban
kita dapat berbentuk berbagai macam, berujud jenjang
yang wajar; sanak keluarga kita, anak-anak yatim
(termasuk siapa saja yang tidak punya topangan hidup
atau bantuan); orang yang benar-benar memerlukan
pertolongan tetapi tidak pernah meminta (kewajiban kita
menemukan mereka itu), dan mereka didahulukan sebelum
orang yang meminta, dan memang berhak untuk meminta,
yakni, bukan sekedar pengemis yang malas tetapi orang
yang memerlukan bantuan kita dalam bentuk tertentu
(kewajiban kita untuk tanggap kepada mereka); dan
budak-budak (kita harus melakukan apa saja yang dapat
kita lakukan untuk memberi atau membeli kemerdekaan
mereka). Perbudakan mengandung berbagai bentuk yang
tersembunyi dan berbahaya dan semuanya tercakup di
situ. [9]

Dalam menafsir firman itu, Muhammad Asad menegaskan
bahwa al-Qur'an menekankan prinsip yang semata-mata
mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi
persyaratan kebajikan. Disebutnya masalah menghadapkan
wajah ke arah ini atau itu dalam sembahyang adalah
kelanjutan dari pembahasan tentang kiblat dalam urutan
ayat-ayat sebelumnya.[l0] Dan memang menghadapkan muka
ke arah tertentu dalam ibadat hanyalah bentuk formal
lahiriah semata dari sebuah amalan, sehingga tidak
seharusnya dipandang dalam kerangka sebagai tujuan
dalam dirinya sendiri sementara tujuan yang sebenarnya
terlupakan.

Jadi, agama kita mengajarkan bahwa formalitas ritual belaka
tidaklah cukup sebagai wujud keagamaan yang benar. Karena itu
juga tidak pula segi-segi lahiriah itu akan menghantarkan kita
menuju kebahagiaan, sebelum kita mengisinya dengan hal-hal
yang lebih esensial. Justru sikap-sikap membatasi diri hanya
kepada hal-hal ritualistik dan formal akan sama dengan
peniadaan tujuan agama yang hakiki. Prinsip ini dipertegas
oleh Nabi saw dalam sebuah Hadits mengenai dua wanita:

Abu Hurayrah meriwayatkan prinsip penting yang
diajarkan Nabi ini, yang memberi peringatan keras
kepada orang yang suka pamer kebajikan palsu dan
kemunafikan dalam menekuni segi-segi forma keagamaan.
Seseorang yang datang kepada Nabi dan menceritakan
tentang seorang wanita yang rajin mengerjakan shalat,
puasa dan zakat, tetapi lidahnya selalu menyakiti sanak
keluarganya. Maka Nabi saw bersabda, "Tempat dia di
neraka!." Kemudian orang itu menceritakan tentang
seorang wanita yang kedengarannya jelek, karena ia
melalaikan shalat dan puasa, namun ia rajin memberi
pertolongan kepada orang-orang sengsara, dan tidak
pernah menyakiti hati sanak keluarganya. Maka Rasul saw
bersabda, "Tempat dia di surga."

Seorang tokoh Islam Indonesia, Prof. A. Mukti Ali, pernah
mengatakan bahwa orang-orang Muslim banyak yang lebih peka
kepada masalah-masalah keagamaan daripada masalah-masalah
sosial. Yang dimaksud ialah, banyak orang Islam yang lebih
cepat bereaksi kepada gejala-gejala yang dinilai menyimpang
dari ketentuan lahiriah keagamaan, seperti soal pakaian atau
tingkah "tidak sopan" dan "tidak bermoral" tertentu, namun
reaksi kepada masalah-masalah kepincangan sosial seperti
kemiskinan dan kezaliman masih lemah. Maka Hadits di atas
dapat dirujuk sebagai sebuah ilustrasi tentang apa yang
dikatakan Prof. Mukti Ali itu, dan di situ nampak bahwa Nabi
saw justru lebih peka pada masalah-masalah sosial yang lebih
substantif daripada masalah-masalah formal keagamaan semata
yang simbolik.

TAUHID ESENSI, BUKAN TAUHID NAMA

Dzikr atau ingat kepada Tuhan adalah salah satu bentuk ritus
yang amat penting dalam agama Islam. Sebetulnya dzikir adalah
lebih banyak sikap hati (dzat al-shadr), yang secara langsung
atau tidak, dapat dipahami dari berbagai sumber suci dalam
al-Qur'an dan Sunnah. Namun dzikr juga dapat melahirkan gejala
formal, seperti pengucapan atau pembacaan kata-kata atau
lafal-lafal tertentu dari perbendaharaan keagamaan, khususnya
kata-kata atau lafal yang berkaitan dengan Tuhan seperti
"Allah" dan "La ilaha illa 'l-lah". Selain lafal "Allah"
sebagai lafal keagungan (lafzh al-jalalah) karena merupakan
nama Wujud Maha Tinggi yang utama juga terdapat lafal-lafal
lain yang merupakan nama-nama Wujud Maha Tinggi itu, seperti
al-Rahman, al-Rahim, al-Ghaffar, al-Razzaq, dll, dari antara
nama-nama terbaik (al-asma al-husna) Tuhan.

Dalam Kitab Suci al-Qur'an terdapat sebuah firman yang isinya
petunjuk kepada Nabi saw menghadapi orang-orang musyrik Arab
yang menolak adanya nama lain, selain nama "Allah" untuk Wujud
Maha Tinggi. Sebab pada saat itu al-Qur'an mulai banyak
menggunakan nama al-Rahman, yang selama ini tidak dikenal
orang Arab yang selama ini menggunakan nama Allah (al-Lah).
Karena salah paham, kaum musyrik Arab mengira bahwa Nabi tidak
konsisten dalam mengajarkan paham Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan mereka yang keliru itu, jika Dzat Yang Mutlak
itu mempunyai nama lain, berarti Ia tidak Maha Esa, melainkan
berbilang sebanyak nama yang digunakan. Maka turunlah firman
Allah, memberi petunjuk kepada Nabi dalam menghadapi mereka:

"Katakan (hai Muhammad), "Serulah olehmu sekalian
(nama) Allah atau serulah olehmu sekalian (nama)
al-Rahman, nama manapun yang kamu serukan, maka bagi
Dia adalah nama-nama yang terbaik". Dan janganlah
engkau (Muhammad) mengeraskan shalatmu, jangan pula kau
lirihkan, dan carilah jalan tengah antara keduanya."
[12]
Menurut Sayyid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa
manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan
mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang
paling baik (al-asma al-husna). Firman itu juga merupakan
sanggahan terhadap kaum Jahiliah yang mengingkari nama
"al-Rahman", selain nama "Allah". [l3] Berkenaan dengan alasan
turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya
Hadits dari Ibn Abbas, bahwa di suatu malam nabi beribadat,
dan dalam bersujud beliau mengucapkan: "Ya Allah, ya Rahman".
Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Makkah yang sangat memusuhi
kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi dalam sujud itu,
ia berkata: "Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua Tuhan,
dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi." Ada
juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi karena kaum
Ahl al-Kitab pernah mengatakan kepada beliau, "Engkau
(Muhammad) jarang menyebut nama al-Rahman, padahal Allah
banyak menggunakan nama itu dalam Taurat."

Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa
kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada
Hakikat, Dzat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari,
al-Baidlawi dan al-Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama
"Dia" dalam kalimat "maka bagi Dia adalah nama-nama yang
terbaik" dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama "Allah" atau
"al-Rahman", melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat
(Esensi) Wujud Yang Maha Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah
diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu dzat atau
esensi. Jadi, Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama "Allah"
dan atau "al-Rahman" serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya
"Allah" bernama "al -Rahman" atau "al-Rahim".

Jadi yang bersifat Maha Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan
Dzat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena
itu al-Baidlawi menegaskan bahwa pahan Tauhid bukanlah
ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid
yang benar ialah "Tawhid al-Dzat" bukan "Tawhid al-Ism"
(Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama). [l4]

Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar ini diterangkan dengan
jelas sekali oleh Ja'far al-Shadiq, guru dari para imam dan
tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan
Ahl al-Sunnah maupun Syi'ah. Dalam sebuah penuturan, ia
menjelaskan nama "Allah" dan bagaimana menyembah-Nya secara
benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam:

"Allah" (kadang-kadang dieja, "Al-Lah") berasal "ilah"
dan "ilah" mengandung makna "ma'luh', (yang disembah),
dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai
(al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa
makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah
apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna
(sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan
menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna
tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai
Hisyam?" Hisyam mengatakan lagi, "Tambahilah aku
(ilmu)". Ja'far al-Shadiq menyambung, "Bagi Allah Yang
Maha Mulia dan Maha Agung ada sembilanpuluh sembilan
nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang
dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan.
Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah
suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu,
sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah
sama dengan Dia ..." [15]

Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan
menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai
suatu bentuk kemusyrikan oleh Ja'far al-Shadiq itu, berarti
kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang
menurut al-Qur'an memang tidak tergambarkan, dan tidak
sebanding dengan apapun. Berkenaan dengan ini, 'Ali Ibn Abi
Thalib ra. mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada
kita Dia mengatakan,

"Allah" artinya "Yang Disembah" (al-Ma'bud), yang
mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya'lahu) dan
dicekam (yu'lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan
tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang
terdinding dari dugaan dan benih pikiran. [16]

Dan Muhammad al-Baqir ra. menerangkan,

"Allah" maknanya "Yang Disembah" yang agar makhluk
(aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya
(Mahiyyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyyah). Orang
Arab mengatakan

"Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung
(tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya,
dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut
(fazi'a) kepada sesuatu yang ia takuti atau kuatiri.
Jadi "al-Lah" ialah Dia yang tertutup dari indera
makhluk. [17]

Jadi, menyembah Tuhan sebagai maknanya berarti menyembah Wujud
yang tak terjangkau dan tak terhingga, yang Hakikatnya tidak
dibatasi oleh nama-nama-Nya, betapapun nama-nama itu nama-nama
utama (al-Asma al-Husna). Sebab, betapapun, seperti ditegaskan
oleh Ja'far al-Shadiq yang dikutip di atas, antara nama (ism)
dan yang dinamakan (musamma) tidak identik. Jadi, jangankan
sekedar simbol dan ritus, Nama Tuhan pun, menurut
Hadits-hadits di atas, tidak benar untuk dijadikan tujuan
penyembahan, sambil melupakan Makna dan Esensi di balik Nama
itu. Maka sebenarnya yang boleh dikatakan "ideal" dalam
kehidupan keagamaan ialah jika ada keseimbangan antara
simbolisasi dan substansiasi. Artinya, jika terdapat kewajaran
dalam penggunaan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga agama
memiliki daya cekam kepada masyarakat luas (umum), namun tetap
ada kesadaran bahwa suatu simbol hanya mempunyai nilai
instrumental, dan tidak intrinsik (dalam arti tidak menjadi
tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan menuju kepada suatu
nilai yang tinggi).

Bersamaan dengan penggunaan simbol-simbol diperlukan adanya
kesadaran tentang hal-hal yang lebih substantif, yang justru
mempunyai nilai intrinsik. Justru segi ini harus ditumbuhkan
lebih kuat dalam masyarakat. Agama tidak mungkin tanpa
simbolisasi, namun simbol tanpa makna adalah absurd, muspra
dan malah berbahaya. Maka agama ialah pendekatan diri kepada
Allah dan perbuatan baik kepada sesama manusia, sebagaimana
keduanya itu dipesankan kepada kita melalui shalat kita, dalam
makna takbir (ucapan "Allah-u Akbar") pada pembukaan dan dalam
makna taslim (ucapan,'assalamu'alaikum ...") pada
penutupannya.

CATATAN

1. QS. al Ma'un/107:1-7. Perkataan "yahudldlu" yang
diterjemahkan dengan "berjuang" di sini mempunyai asal
arti "menganjurkan dengan kuat". A. Hassan dalam
Al-Furqan, menerjemahkan perkataan itu dengan
"menggemarkan," Departemen Agama menerjemahkan dengan
"menganjurkan" sedangkan Mahmud Yunus dalam tafsir
Qur'an Karim menggunakan perkataan "menyuruh". Dan
Muhammad Asad, dalam The Message of the Qur'an,
menerjemahkannya dalam bahasa Inggeris dengan "feels no
urge" (tidak merasakan adanya dorongan), karena baginya
perkataan "yahudldlu" mempunyai makna "mendorong diri
sendiri" (sebelum mendorong orang lain). Jadi, perkataan
"yahudldlu" menunjuk pada adanya komitmen batin yang
tinggi, yakni usaha mengangkat dan menolong nasib kaum
miskin. Berarti bahwa indikasi ketulusan dan kesejatian
dalam beragama ialah adanya komitmen sosial yang tinggi
dan mendalam kepada orang bersangkutan.

2. Yang diterjemahkan dengan "lupa" atau "lalai" dalam
firman itu ialah kata-kata yang dalam bahasa aslinya
(Arab) "sahun". Yang dimaksud dalam firman ini bukanlah
mereka itu dikutuk Allah karena lupa mengerjakan shalat
yang disebabkan, misalnya, terlalu sibuk bekerja. Sebab
lupa dan alpa serupa itu justru dimaafkan oleh Allah,
tidak dikutuk. (Lihat, Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah,
4 jilid, Riyadl, Maktabat al-Riyadl al-Haditsah, tt.,
Jilid 3, hal. 46). Tapi yang dimaksud dalam firman itu
ialah mereka yang menjalankan shalat itu lupa akan
shalat mereka sendiri, dalam arti bahwa shalat mereka
tidak mempunyai pengarah apa-apa kepada pendidikan
akhlaknya, sehingga mereka yang menjalankan shalat itu
dengan mereka yang tidak menjalankannya sama saja.
Apalagi jika lebih buruk!

3. Jadi bergaya hidup egoistis, tidak peduli kepada
orang lain sekitar, khususnya mereka yang memerlukan
pertolongan. Kata-kata Arab "al-ma'un" yang merupakan
ujung surat dan menjadi nama suratnya dijelaskan oleh
Muhammad asad, berdasarkan berbagai tafsir klasik,
sebagai "comprises the small items needed for one's
daily use, as well as the occasional acts of kindness
consisting in helping out one's fellow-men with such
item. In its wider sense, it denotes "aid" or
"assistance" in any difficulty" (... kata-kata
"al-ma'un" mencakup hal-hal kecil yang diperlukan orang
dalam penggunaan sehari-hari, juga perbuatan kebaikan
kala-kala berupa pemberian bantuan kepada sesama manusia
dalam hal-hal kecil tersebut. Dalam maknanya yang lebih
luas, kata-kata itu berarti "bantuan" atau "pertolongan"
dalam setiap kesulitan) -The Message of the Qur'an, hal.
979.

4. Yaitu sabda nabi yang amat terkenal, [tulisan Arab]
"Innama bu'its-tu li-utammim-a makarim-a 'l-akhlaq-i-
Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan
berbagai keluhuran budi."

5. Yaitu sabda Nabi saw, [tulisan Arab] "ma min syay-in
fi 'il-mizan-i atsqal-u min husn-i 'l-khulaq-i- ("Tiada
sesuatu apapun yang dalam timbangan (nilainya) lebih
berat daripada keluhuran budi").

6. Sebuah Hadits otentik, [tulisan Arab], "Aktsar-u ma
yudkhil-u 'l-jannat-a taqwa 'l-Lah-i wa husn-u
'l-khuluq-i "Yang paling banyak memasukan orang ke dalam
surga ialah taqwa kepada Allah dan keluhuran budi".

7. QS.'Ali 'Imran 3:93.

8. QS. al-Baqarah 2:177.

9. A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation and
Commentery (Jeddah: Dar al-Qiblah 1403 H), hal. 69.

10. Muhammad Asad, hal. 36.

11. Dikutip oleh Roger Garaudy, dalam Integrismes,
terjemah bahasa Arab oleh Dr. Khalil A. Khalil, Al-
Ushuliyyat al-Mu'ashirah: Asbabuha wa Mazhahiruha
(Paris: Dar Am Alfayn, 1992), hal. 93:

12. QS. al-Isra'/17:110.

13. Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur'an, Jil. 5, Juz 15,
hal. 73.

14. Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan
dalam kitab-kitab tafsir klasik: Anwar al-Tanzil wa
Asrar al-Ta'wil oleh al-Baidlawi, al-Kasysyaf
al-Zamaksyari, Tafsir al-Khazin oleh al-Baghdadi,
Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta'wil oleh al-Nasafi,
dll.

15. Lengkapnya, riwayat itu dalam bahasa aslinya (Arab)
adalah demikian; [tulisan Arab].

16. Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib r.a.,
menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab].

17. Yaitu sebuah penuturan atau riwayat yang berasal
dari Muhammad al-Baqir; [tulisan Arab].

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: