Sunday, December 2, 2007

KONSEP ASBAB AL-NUZUL - Relevansinya Bagi Pandangan

I.3. KONSEP ASBAB AL-NUZUL - Relevansinya Bagi Pandangan
Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan
oleh Masdar F. Mas'udi (1/3)

Asbab al-Nuzul adalah konsep, teori atau berita tentang adanya
"sebab-sebab turun"-nya wahyu tertentu dari al-Qur'an kepada
Nabi s.a.w., baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat atau
satu surat. Konsep ini muncul karena dalam kenyataan, seperti
diungkapkan para ahli biografi Nabi, sejarah al-Qur'an maupun
sejarah Islam, diketahui dengan cukup pasti adanya situasi
atau konteks tertentu diwahyukan suatu firman. Beberapa di
antaranya bahkan dapat langsung disimpulkan dari lafal teks
firman bersangkutan. Seperti, misalnya, lafal permulaan ayat
pertama surat al-Anfal menunjukan dengan jelas bahwa firman
itu diturunkan kepada Nabi untuk memberi petunjuk kepada
beliau mengenai perkara yang ditanyakan orang tentang
bagaimana membagi harta rampasan perang. Atau seperti surat
al-Masad (Tabbat), adalah jelas turun dalam kaitannya dengan
pengalaman Nabi yang menyangkut seorang tokoh kafir Quraisy,
paman nabi sendiri, yang bernama atau dipanggil Abu Lahab,
beserta istrinya. Demikian juga, dari lafal dan konteksnya
masing-masing dapat diketahui dengan jelas sebab-sebab
turunnya surat Abasa al-Tahim, ayat tentang perubahan bentuk
rembulan (al-ahillah) dalam surat al-Baqarah/2:189, dan lain
sebagainya.

MANFAAT PENGETAHUAN ASBAB AL-NUZUL

Di antara hal-hal yang dapat dengan jelas menjadi petunjuk
tentang sebab turunnya sebuah firman ialah jika dimulai dengan
ungkapan dialogis, seperti "Mereka bertanya kepadamu (Nabi)",
"Katakan kepada Mereka". dan lain-lain. Juga jika di situ
disebutkan nama pribadi orang seperti, sudah dikemukakan di
atas, nama Abu Lahab, dan juga Zayd (ibn Haritsah).

Pengetahuan tentang asbab al-Nuzul akan membantu seseorang
memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Konteks itu
akan memberi penjelasan tentang implikasi sebuah firman, dan
memberi bahan melakukan penafsiran dan pemikiran tentang
bagaimana mengaplikasikan sebuah firman itu dalam situasi yang
berbeda. Dengan mengutip berbagai sumber otoritas dalam bidang
ini, Ahmad von Denffer memberi rincian arti penting bagi
pengetahuan tentang asbab al-nuzul, khususnya mengenai
ayat-ayat hukum, sebagai berikut:

1. Makna dan implikasi langsung dan segera terpahami (muhabir,
immediate) dari sebuah firman, sebagaimana hal tersebut dapat
dilihat dari konteks aslinya.

2. Alasan mula pertama yang mendasari suatu kepentingan hukum.

3. Maksud asal sebuah ayat.

4. Menentukan apakah makna sebuah ayat mengandung terapan yang
bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau demikian dalam
keadaan bagaimana itu dapat atau harus diterapkan.

5. Situasi historis pada zaman Nabi dan perkembangan komunitas
muslim. Sebagai sebuah contoh ialah firman Allah, "Kepunyaan
Allah-lah timur dan barat; maka kemanapun kamu menghadapkan
wajahmu, di sanalah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Meliputi dan Maha Tahu". (QS. al-Baqarah/2:115). Firman
ini turun kepada Nabi berkaitan dengan adanya peristiwa yang
dialami sekelompok orang beriman yang mengadakan perjalanan di
malam hari yang gelap gulita. Pagi harinya mereka baru
menyadari bahwa semalam mereka bersembahyang dengan menghadap
ke arah yang salah, tidak ke kiblat. Kemudian mereka bertanya
kepada Nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami itu. Maka
turunlah ayat suci itu, yang menegaskan bahwa kemanapun
seseorang menghadapkan wajahnya, ia sebenarnya juga menghadap
Tuhan, karena Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu,
sehingga Tuhanpun "ada dimana-mana, timur ataupun barat."
Tetapi karena konteks turunnya firman itu bersangkutan dengan
peristiwa tertentu diatas, tidaklah berarti dalam sembahyang
seorang muslim dapat menghadap kemanapun ia suka. Ia harus
menghadap ke kiblat yang sah, yaitu arah al-Masjid al-Haram di
Makkah. Tetapi ia dibenarkan menghadap mana saja dalam shalat
jika ia tidak tahu arah yang benar, atau kalau karena kondisi
tertentu tidak mungkin baginya menghadap ke arah yang benar.
[1]

SUMBER BERITA ASBAB AL-NUZUL

Sumber pengetahuan tentang asbab al-nuzul diperoleh dari
penuturan para Sahabat Nabi. Nilai berita itu sendiri sama
dengan nilai berita-berita lain yang menyangkut Nabi dan
Kerasulan Beliau, yaitu berita-berita Hadist. Karena itu
bersangkut pula persoalan kuat dan lemahnya berita itu, shahih
dan dha'if; serta otentik dan palsunya. Semua ini menjadi
wewenang cabang ilmu kritik hadits (ilmu tajrih dan ta'dil)
para ahli. Dan seperti halnya persoalan hadits pada umumnya,
penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu
tertentu juga dapat beraneka ragam, sejalan dengan keaneka
ragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa
informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap
kritis.

Sebagai misal ialah berita tentang sebab turunnya firman yang
dikutip di atas. Berdasarkan penuturan Jabil ibn 'Abd-Allah,
al-Wahidi al-Nisaburi menerangkan tentang adanya beberapa
versi lain tentang sebab turunnya firman terrsebut, sehingga
implikasinya juga dapat menyangkut beberapa situasi yang
berbeda. Pertama, berdasarkan penuturan Abd 'l-Lah ibn 'Umar,
seseorang boleh melakukan shalat sunnah kemanapun di atas
kendaraannya. Tapi firman itu juga menegaskan bahwa sembahyang
menghadap kemanapun dalam keadaan darurat, apalagi jika
sembahyang itu bukan sembahyang wajib, melainkan sunnah,
tidaklah menjadi persoalan. Sebab yang penting ialah nilai
shalat itu sendiri sebagai tindakan mendekatkan diri kepada
Allah dan mengasah jiwa untuk lebih bertaqwa kepada-Nya.
Menghadap kiblat yang telah ditentukan, yaitu al-Masjid
al-Haram di Makkah, sekalipun dalam keadaan normal diwajibkan,
tidaklah menyangkut sebenarnya nilai shalat itu. Kiblat itu
hanya sebagai lambang orientasi hidup yang benar dan konsisten
serta kesatuan orientasi itu antara seluruh umat Islam
sedunia. Kita sendiri mengetahui betapa efektifnya simbolisasi
kiblat ini, dengan dampak kesamaan yang menakjubkan antara
seluruh kaum muslim di muka bumi ini dalam hal peribadatan.
Kalangan bukan Islam biasanya merasa heran, mungkin tidak akan
dapat mengerti, mengapa terdapat kesamaan yang demikian besar
dan jauh diantara seluruh umat Islam di dunia dalam hal shalat
dan peribadatan lain. (Dalam agama lain, perbedaan sangat
terasa dari sekte ke sekte lain, juga dari bangsa atau negeri
ke bangsa atau negeri lain meskipun dari satu sekte).

Walaupun kiblat sebagai lambang persatuan dan kesamaan itu
demikian pentingnya, namun berdasarkan firman Allah yang
menegaskan bahwa kemanapun kita menghadapkan wajah kita maka
di sanalah wajah Allah, tidaklah dibenarkan adanya tekanan
yang serba mutlak atas kewajiban menghadapkan wajah ke Makkah,
sebab tekanan serupa itu akan membawa kepada sikap lebih
mementingkan lambang atau simbol daripada isi atau makna.
Meskipun lambang dan makna harus ada secara serentak, namun
dari ayat suci itu jelas sekali bahwa segi makna adalah lebih
penting daripada segi lambang.

Seterusnya, pandangan lain, berdasarkan penuturan 'Abd 'l-Lah
ibn 'Abbas, ayat suci di atas itu turun berkenaan dengan
adanya pertanyaan kepada Nabi, mengapa mereka diperintahkan
untuk melakukan shalat jenazah bagi Raja Najasyi (Negus) dari
Abessinia (Habasyah, Ethiopia), yang semasa hidupnya (sebagai
seorang Kristen) bersembahyang menghadap kiblat yang berbeda
dengan kiblat mereka sendiri, kaum Muslim. Najasyi adalah raja
Habasyah yang besar sekali jasanya kepada Nabi, kaum muslim
dan agama Islam, karena perlindungan yang diberikannya kepada
para pengikut Nabi yang berhijrah ke negeri itu untuk
menghindar dari penyiksaan kaum musyrik Makkah. Perlakuan yang
amat simpatik kepada kaum muslim dan sikapnya yang penuh
pengertian kepada ajaran Islam yang menyebabkan turunnya
firman Allah yang lain, yang menegaskan bahwa sedekat-dekat
umat manusia dalam rasa cintanya kepada kaum muslim ialah
"mereka yang berkata, "Kami adalah orang-orang Nasrani" (Q.s.
al-Maidah/6:82). Dan Nabi dalam memerintahkan sahabat beliau
untuk melakukan shalat jenazah bagi Najasyah menggambarkan
raja Habasyah itu sebagai "saudara" kaum beriman.

Dari balik pertanyaan sementara Sahabat di atas itu dapat
diketahui dengan jelas bahwa sekalipun Najasyi adalah seorang
Kristen, namun Nabi memerintahkan mereka berdoa baginya,
mengingat jasa-jasanya yang besar itu. Dan firman Allah yang
terkait itu, menurut versi penuturan ashab al-nuzul ini,
menegaskan bahwa masalah kemanapun orang menghadap dalam
sembahyang bukanlah perkara penting. Yang penting ialah sikap
batin yang ada dalam dada. Sebab, seperti difirmankan di
tempat lain, setiap kelompok manusia mempunyai arah (wijhah)
ke mana mereka menghadap atau berorientasi. Dan umat manusia
dalam orientasi yang berbeda-beda itu hendaknya berlomba
menuju kepada berbagai kebaikan, tanpa terlalu banyak
mempersoalkan perbedaan antara mereka. Lengkapnya, firman
Allah itu, terjemahnya, kurang lebih adalah demikian:

Dan bagi setiap (kelompok manusia) ada arah (wijhah) yang
kepadanya kelompok itu menghadap. Maka berlomba-lombalah kamu
sekalian untuk berbagai kebaikan. Di (kelompok) manapun kamu
berada, Allah akan mengumpulkan kamu semua. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. al-Baqarah/2:148).

Jadi firman Allah tentang "timur dan barat" tersebut di atas
mempunyai kemungkinan implikasi dan aplikasi yang luas.

Versi ketiga tentang sebab turunnya firman itu menyangkut kaum
Yahudi Madinah. Menurut penuturan ibn Abi Thalhah, ketika Nabi
dengan izin Allah mengubah kiblat sembahyang dari arah
Yerusalem menjadi ke arah Makkah, kaum Yahudi bertanya-tanya,
mengapa ada perubahan yang mengesankan sikap tidak teguh dalam
beragama serupa itu?! Maka firman Allah tersebut dimaksudkan
untuk menampik ejekan kaum Yahudi dan menegaskan bahwa perkara
arah menghadap dalam sembahyang bukanlah sedemikian
prinsipilnya sehingga harus dikaitkan dengan permasalahan
nilai keagamaan yang lebih mendalam seperti keteguhan atau
konsistensi (istiqamah) sebagai ukuran kesejatian dan
kepalsuan. Sebab akhirnya semua penjuru angin, seperti barat
dan timur, adalah milik Allah semata, tanpa kelebihan nilai
salah satu atas yang lain. [2]

Berkenaan dengan masalah itu bahkan turun firman yang
menegaskan bahwa kebaikan tidaklah diperoleh hanya
menghadapkan muka ke arah timur ataupun barat, melainkan
karena hal-hal yang lebih sejati seperti iman kepada Allah
yang selalu hadir (omnipresent) dalam hidup manusia
sehari-hari, percaya kepada adanya pertanggungjawaban pribadi
mutlak di Hari Kemudian (Akhirat), dan berbuat kepada sesama
manusia dan makhluk untuk dibawa ke Hadirat Tuhan di Akhirat
nanti. Lengkapnya, firman berkenaan dengan masalah kiblat ini,
terjemahnya adalah demikian:

Bukanlah kebaikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah
timur atau barat. Tetapi kebaikan ialah jika orang beriman
kepada Allah, Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab Suci dan
para Nabi; dan jika orang mendermakan hartanya, betapapun
cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, yatim piatu,
orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, para
peminta-minta, guna membebaskan budak; juga jika orang
menegakkan sembahyang dan mengeluarkan zakat; serta mereka
yang menepati janji jika mereka berjanji, dan tabah dalam
menghadapi penderitaan dan kesusahan, serta dalam masa-masa
sulit. Mereka itulah orang-orang yang benar (sejati dalam
kebaikan), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. (QS.
al-Baqarah/2:177).

Para ulama telah menuangkan masalah asbab al-nuzul ini dalam
berbagai karya ilmiah yang kini menjadi rujukan para ahli.

IMPLIKASI ASBAB AL-NUZUL

Salah satu masalah yang banyak dibahas oleh para ahli agama,
khususnya segi-segi tertentu ajaran agama di bidang hukum,
ialah sejauh mana nilai atau ketetapan hukum dalam Islam
ditentukan oleh keadaan ruang dan waktu. Para ahli fiqih
sepakat bahwa dalam hukum berubah menurut peruhahan zaman dan
tempat. Kaidah mereka mengatakan, "Taghayyur al-ahkam bi
thagayyur al-zaman wa al-makan" (Perubahan hukum oleh
perubahan zaman dan tempat). Tetapi mereka berselisih tentang
batas terjauh dibenarkannya perubahan itu.

Asbab al-Nuzul menunjukkan banyaknya kasus suatu nilai ajaran
atau hukum diwahyukan kepada Nabi dalam kaitannya dengan
peristiwa nyata tertentu yang menyangkut. Nabi dan masyarakat
Islam di zaman beliau. Telah dikemukakan bahwa adanya nama
pribadi Zayd yang tersebutkan dalam al-Qur'an. Suatu peristiwa
pribadi, berupa perceraian Zayd ("ibn Muhamad") dari istrinya,
Zaynab, telah menjadi titik tolak ditetapkannya suatu hukum
Tuhan tentang pembatalan atau, penghentian makna kehukuman
(legal significance) praktek pengambilan anak angkat (tanpa
memelihara atau mempertahankan adanya informasi tentang, siapa
ayah-ibu biologis anak tersebut). Pembatalan ini dipertegas
dengan contoh nyata. yaitu dinikahkannya Nabi oleh Allah
dengan Zainab, setelah bercerai dari, Zayd, bekas anak
angkatnya. Kemudian Zayd-pun tidak lagi menyandang nama "ibn
Muhamad" tapi dikembalikan kepada nama aslinya, yaitu "ibn
Haritsah." Firman Allah yang menyangkut tentang Zaid dan
Zainab itu demikian:

Dan ingatlah tatkala engkau (Nabi) berkata kepada dia (Zaid)
yang Allah telah karuniakan kebahagiaan dan engkaupun telah
pula memberinya kebahagiaan. "Pertahankanlah istrimu (Zainab)
dan bertaqwalah kepada Allah, "namun engkau sendiri (Nabi)
merahasiakan apa yang ada dalam dirimu yang Allah akan
memperlihatkannya, dan engkau (Nabi) takut kepada sesama
manusia padahal Allah lebih patut engkau takuti; maka setelah
putus Zaid untuk bercerai dari dia (Zainab), agar tidak lagi
ada halangan bagi kaum beriman untuk (kawin dengan bekas)
istri anak-anak angkat mereka, jika mereka (anak-anak angkat)
itu telah putus menceraikan istri-istri mereka. Dan perintah
Allah haruslah terlaksana. Tidak sepatutnya bagi Nabi ada
perasaan enggan mengenai apa yang diwajibkan Allah kepadanya,
sesuai dengan sunnah (hukum) Allah pada mereka yang telah
lewat sebelumnya. Dan perintah Allah adalah sesuatu yang
sangat pasti. Mereka (yang telah lalu sebelumnya) itu adalah
orang-orang yang menyampaikan risalat (pesan-pesan suci)
Allah; mereka takut kepada-Nya, dan tidak takut kepada
seorangpun selain Allah. Cukuplah Allah sebagai penghitung.
Muhamad bukanlah ayah seseorang (tanpa keterkaitan
keorangtuaan biologis) di antara kamu, melainkan dia adalah
rasul Allah dan Penutup para Nabi. Allah Maha Tahu akan segala
sesuatu. (Q.s. al-Ahzab/33:37-40).
Jadi firman itu memang turun kepada Nabi berkenaan dengan
suatu peristiwa konkret yang menyangkut sepasang suami-istri.
Dapat dilihat bahwa dalam peristiwa Zaid dan Zainab dan yang
"ditangani" langsung oleh kitab suci itu terdapat kaitan
antara suatu nilai hukum kulli (universal), yaitu pembatalan
makna legal praktek mengangkat anak, dengan sebuah kasus jaz'i
(partikular), yaitu perceraian Zaid dari Zainab dan perkawinan
Nabi dengan Zainab, bekas "menantu"-nya.

Masalah selanjutnya yang lebih esensial dari contoh di atas
itu ialah, bagaimana suatu nilai dari sebuah kasus dapat
ditarik dari dataran generasitas yang setinggi-tingginya.
Dengan begitu nilai tersebut tidak lagi terikat oleh
kekhususan peristiwa asal mulanya dan dapat diberlakukan pada
kasus-kasus lain di semua tempat dan sepanjang masa (dan
inilah makna universalitas suatu nilai). Para ahli hukum Islam
telah membuat patokan untuk masalah ini, dengan kaidah mereka,
"Pengambilan makna dilakukan berdasarkan generalitas lafal,
tidak berdasarkan partikularitas penyebab" (Al-Ibrah bi umum
al-lafdh, la bi khushush al-sabab). Tetapi sebuah generalisasi
hanya dapat dilakukan jika inti pesan suatu firman dapat
ditangkap. Ini dengan sendirinya menyangkut masalah kemampuan
pemahaman yang mendalam sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
Lalu, pada urutannya, tersangkut pula masalah tafsir, atau
bahkan mungkin ta'wil (interprestasi metaforis) yang tidak
jarang menimbulkan kontroversi. Sebab dalam melakukannya
selalu ada kemungkinan dicapai suatu pandangan, atau tindakan,
yang pada lahirnya seperti meninggalkan atau menyimpang dari
ketentuan Kitab

Contoh klasik dari persoalan tersebut ialah tindakan Umar ibn
al-Khaththab pada waktu menjabat sebagai khalifah. Komandan
kaum beriman (Amir al-Mu'minin) itu tidak membenarkan seorang
tokoh Sahabat Nabi kawin dengan wanita Ahl al-Kitab (Yahudi
atau Kristen), padahal al-Qur'an jelas membolehkannya.
Penyebutan tentang dibolehkannya lelaki Muslim kawin dengan
wanita Kristen atau Yahudi dalam al-Qur'an ada dalam rangkaian
dengan penyebutan tentang dihalalkannya makanan kaum Ahl
al-Kitab itu bagi kaum beriman, sebagimana makanan kaum
beriman halal bagi mereka:

Mereka bertanya kepada engkau (Nabi) tentang apa yang
dihalalkannya untuk mereka. Jawablah, "Dihalalkannya bagi kamu
apa saja yang baik; juga (dihalalkan bagi kamu binatang yang
ditangkap) oleh binatang-binatang berburu yang kamu latih
dengan kamu biasakan menangkap binatang buruan dan kamu ajari
binatang-binatang itu dengan sesuatu (ketrampilan) yang
diajarkan Allah kepada kamu, karena itu makanlah apa yang
ditangkap oleh binatang berburu itu untuk kamu, dan sebutlah
nama Adlah atasnya, serta bertaqwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha Cepat dalam perhitungan. Pada hari ini
dihalalkan pada kamu perkara yang baik-baik. Makanan mereka
yang mendapat Kitab Suci (Ahl al-Kitab) adalah halal bagi
kamu, dan makanan kamu halal bagi mereka. Dan (halal, yakni
dibenarkan kawin, bagi kamu) para wanita merdeka dari kalangan
wanita beriman, juga wanita merdeka dari kalangan mereka yang
mendapat Kitab Suci sebelum kamu, jika kamu beri mereka
mahar-mahar mereka, dan kamu nikahi mereka (secara sah), tanpa
kamu menjadikan mereka objek seksual semata (zina), dan tanpa
kamu memperlakukan mereka sebagai gundik. Barangsiapa menolak
untuk beriman, maka sungguh sia-sialah amal perbuatannya, dan
ia di akhirat akan tergolong orang-orang yang merugi." (QS.
al-Maidah/5:4-5).

Tapi Umar seperti dalam beberapa kasus lain, tidak berpegang
kepada makna lahiriah bunyi lafal firman itu. Suatu ketika
Umar menerima surat dari Hudzaifah ibn al-Yamman, yang isinya
menceritakan bahwa ia telah kawin dengan seorang wanita Yahudi
di kota al-Mada'in, ketika Hudzaifah meminta pendapat. Maka
Umar, dalam surat jawabannya memberi peringatan keras, antara
lain dengan mengatakan: "Kuharap engkau tidak akan melepaskan
surat ini sampai dia (wanita Yahudi) itu engkau lepaskan Sebab
aku khawatir kaum Muslim akan mengikuti jejakmu, lalu mereka
mengutamakan para wanita Ahl al-Dzimmah (Ahl al-Kitab yang
dilindungi) karena kecantikan mereka. Hal ini sudah cukup
sebagai bencana bagi para wanita kaum muslim."

Menurut julur penuturan lain, Umar menegaskan bahwa kaum
lelaki muslim kawin dengan wanita Ahl alKitab tidaklah
terlarang atau haram. Ia hanya mengkawatirkan terlantarnya
wanita muslimah. Disebabkan oleh meluasnya daerah kekuasaan
politik kekhalifahan Islam, dan banyaknya bangsa-bangsa bukan
muslim yang menjadi rakyat kekhalifahan itu, maka kesempatan
nikah dengan wanita Kristen dan Yahudi juga menjadi terbuka
lebar. Apabila kelak, setelah Persia dibebaskan (di zaman Umar
sendiri) dan lembah Indus oleh Muhamad ibn Qasim (di zaman
al-Walid ibn al-Malik), konsep tentang Ahl al-Kitab diperluas
meliputi kaum Majusi dan Hindu-Buddha. Karena itu banyak ahli
fiqih yang berpandangan bahwa konsep Ahl al-Kitab tidak
terbatas hanya kepada kaum Yahudi atau Kristen saja, tetapi
dapat diperluas juga kepada kaum Majusi atau Zoroastri (sudah
sejak Umar), dan kepada kaum Hindu, Buddha, Konfusianis,
Taois, Shinthois dll. Sebab, seperti dikatakan oleh Abd
al-Hamid Hakim, seorang tokoh terkemuka pembaharuan Islam di
Sumatra Barat, asal-usul agama-agama Asia itupun adalah paham
Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid, dan agama-agama itu
mempunyai kitab suci. [3]

Maka apa yang dikuatirkan khalifah sungguh-sungguh dapat
menjadi kenyataan, yaitu terlantarnya kaum muslimah sendiri
jika kaum muslim lelaki diizinkan dengan bebas menikah dengan
wanita Ahl al-Kitab. Sebab waktu itu kaum muslim itu hanya
terbatas kepada minoritas kecil para penguasa politik dan
militer dan hampir terdiri hanya dari bangsa Arab saja, dan
belum banyak kalangan dari bangsa lain yang memeluk Islam,
sekalipun berada di negara Islam. Meskipun ternyata larangan
(sementara) Umar itu lambat laun ditinggalkan (dan bangsa Arab
umumnya melakukan integrasi total dengan penduduk di mana
mereka hidup sehingga lebur dengan bangsa setempat), namun
kebijakan khalifah kedua itu menjadi preseden dalam
yurisprudensi Islam tentang kemungkinan dilakukannya kebijakan
khusus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Jadi ada
timbangan sisi historis dan humanis dalam menetapkan suatu
hukum.

MASALAH KEPENTINGAN UMUM (AL-MASHLAHAT AL-AMMAH)

Maka berdasarkan tindakan Umar itu, para ahli hukum Islam masa
lalu, seperti, misalnya, Muhamad ibn al-Husain, mengatakan,
"Kita ikuti pendapat Umar itu, namun kita tidak memandang
perkara tersebut (lelaki muslim kawin dengan wanita Ahl
al-Kitab) sebagai terlarang. Kita hanya berpendapat hendaknya
para wanita muslim diutamakan, dan itulah juga pendapat Abu
Hanifah." Kemudian rektor universitas al-Azhar, Dr.
Abd-al-Fattah Husaini al-Syaikh, mengatakan bahwa tindakan
khalifah kedua itu menyalahi nas atau lafal Kitab Suci, juga
menyalahi apa yang dilakukan sebagian para Sahabat Nabi.
Sebab, selain Hudzaifah, ada beberapa tokoh Sahabat Nabi yang
beristrikan wanita Ahl al-Kitab, seperti, misalnya, Utsman bin
Affan, khalifah ketiga, yang beristrikan wanita Kristen Arab,
Na'ilah al-Kalbiyah, dan Thalhah ibn Ubaid-Allah yang
beristrikan seorang wanita Yahudi dari Syam (Syiria). Tetapi,
kata rektor al-Azhar lebih lanjut, Umar tidak melakukan
larangan itu kecuali setelah melihat adanya hal yang kurang
menguntungkan bagi masyarakat Islam. Dan Umar tidaklah
mengatakan sebagai haram --hal mana tentu akan berarti
menentang hukum Allah-- melainkan hanya sekedar menjalankan
suatu patokan yang sudah tetap dikalangan para ahli, bahwa
pemerintah boleh melarang sementara sesuatu yang sebenarnya
halal jika ada faktor yang merugikan masyarakat. Tetapi faktor
itu lenyap, maka dengan sendirinya lenyap pula alasan
melarangnya. [4]

Karena itu ada yang menyatakan bahwa tindakan khalifah kedua
itu adalah sejenis tindakan politik (tasharuf siyasi), yang
timbul karena pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut
tuntutan zaman dan tempat. Kekhalifahan Umar adalah masa
permulaan pembebasan negeri-negeri sekitar Arabia, khususnya
Syria, Mesir dan Persia, yang dalam hal ini adalah jauh lebih
kaya daripada Hijaz di Jazirah Arabia. Kekayaan yang melimpah
ruah secara tiba-tiba akibat banyaknya harta rampasan perang,
termasuk juga wanita tawanan (yang menurut hukum perang di
seluruh dunia pada waktu itu tawanan perang, lelaki maupun
lebih-lebih lagi perempuan, adalah sepenuhnya berada dibawah
kekuasaan dan menjadi "milik" perampasnya), membuat ibukota,
Madinah, mengalami berbagai perubahan sosial yang besar, yang
dapat menjadi sumber krisis. Maka Umar dengan berbagai
kebijakannya adalah seorang penguasa yang berusaha mengurangi
sesedikit mungkin efek kritis perubahan sosial itu.

Dan Umar tidak hanya menerapkan kebijakan politik melarang
sementara perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab. Ia juga
dicatat membuat deretan berbagai kebijaksanaan "kontroversial"
seperti meniadakan hukum potong tangan bagi pencuri di masa
sulit seperti paceklik; penghapusan perlakuan khusus pada para
mu'allaf; larangan berkumpul untuk selamanya bagi wanita
dengan lelaki yang tidak dikawininya pada saat menunggu
(iddah), pengefektifan hukum talak tiga (talak batin yang
dilarang rujuk) bagi orang yang menyatakan talak tiga kali
kepada istrinya meskipun pernyataan itu diucapkan sekaligus
dan tanpa tenggang waktu; pembagian tanah-tanah pertanian di
Syria dan Irak kepada penduduk setempat (tidak kepada tentara
Islam seperti sebagian besar Sahabat Nabi berpendapat
demikian); pembagian tingkat penerimaan "ransum" (semacam gaji
tetap) bagi tentara Islam berdasarkan seberapa jauh ia banyak
atau kurang berjasa dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi
(padahal Abu Bakar, pendahulunya, menerapkan prinsip
penyamarataan antara semuanya).

Semua tindakan tersebut tidaklah dilakukan khalifah menurut
kehendak hatinya sendiri. Menurut Dr Abd-al-Fattah, Khalifah
dalam menetapkan kebijakan hukumnya menerapkan prinsip bahwa
semua hukum agama mengandung alasan hukum (illah, ratio legis)
yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, sejalan dengan
kepentingan umum (al-mashlahat al-ammah) dan sesuai dengan
tanggungjawab seorang penguasa dan pelaksana hukum
bersangkutan. [6] Dan meskipun, sebagai misal, Umar berbeda
dengan Abu Bakar dalam kebijakannya tentang penyamarataan atau
pembedaan besarnya jumlah ransum tentara, namun kedua-duanya
bermaksud membela keadilan. Abu Bakar berpendapat bahwa
keadilan terwujud dengan penyamarataan antara semua tentara
Islam, tanpa memandang masa lampau mereka. Sebaliknya Umar
justru berpendapat akan tidak adil jika masa lalu
masing-masing tentara itu diabaikan, padahal sebagian dari
mereka benar-benar jauh lebih berjasa daripada sebagian yang
lain. Rasa keadilan mengatakan bahwa sebagian orang yang
berbuat lebih banyak tentunya juga harus mendapatkan balas
jasa dan penghargaan lebih banyak.

MASALAH HISTORIS AJARAN KEAGAMAAN

Itulah wujud contoh apa yang dikemukakan di atas, yaitu bahwa
masalah penarikan atau pengangkatan makna umum (generalisasi)
suatu nilai hukum akan menyangkut masalah penafsiran dan
kemampuan memahami lebih mendalam inti pesan yang
dikandungnya. Dan karena kemampuan tersebut dapat berbeda-beda
antara berbagai pribadi, maka hasilnya pun dapat berbeda-beda
pula. Yang jelas ialah, seperti dikatakan rektor al-Azhar,
pendirian Abu Bakar dan Umar membuktikan bahwa yang dituju
oleh hukum ialah makna atau pesan yang dikandungnya (al-ahkam
turadu li ma ani-ha). [6] Ini membawa kita kembali pada
polemik sekitar kiblat shalat yang telah dikemukakan di atas.
Yaitu bahwa kiblat, dalam arti wujud fisiknya yang menyangRut
formalitas penghadapan wajah ke suatu arah tertentu, tidaklah
dimaksudkan pada dirinya sendiri, melainkan dimaksudkan
maknanya. Dan karena lebih penting daripada formalitas, maka
makna tidak boleh ditinggalkan, sementara formalitas dalam
keadaan tertentu boleh ditinggalkan.

Konsep asbab al-Nuzul mempunyai kaitan yang erat dengan konsep
lain yang juga amat penting, yaitu nasikh-mansukh, berkenaan
dengan sumber-sumber pengambilan ajaran agama, baik Kitab
maupun Sunnah. Konsep itu, seperti yang pandangan teoretisnya
dikembangkan oleh para ahli fiqih dengan kepeloporan Imam
al-Syafi'i, menyangkut masalah adanya bagian tertentu dari
al-Qur'an ataupun Hadits yang "dihapus" (mansukh) dan yang
"menghapus" (nasikh). [7] Meskipun teori "hapus-menghapuskan"
ini tidak lepas dari kontroversi, namun sebagian besar ulama
menganutnya, dengan perbedaan disana-sini dalam hal materi
mana yang menghapus dan mana pula yang dihapus. Yang jelas
ialah bahwa dalam kaitannya dengan konsep tentang asbab
al-Nuzul, konsep nasikh-mansukh juga mengandung kesadaran
historis di kalangan ahli hukum Islam.

Adalah kesadaran historis ini, menurut Hodgson, yang menjadi
salah satu tumpuan harapan bahwa Islam akan mampu lebih baik
dalam menjawab tantangan zaman di masa depan. Kata Hodgson,
yang ikut berharap bahwa umat Islam akhirnya akan mampu
menjawab tantangan zaman:
Tetapi barangkali modal potensial terbesar Islam yang paling
hebat ialah kesadaran historisnya yang jelas, yang sejak dari
semula mempunyai tempat begitu besar dalam dialognya. Sebab,
kesediaan mengikuti dengan sungguh-sungguh bahwa tradisi agama
terbentuk dalam waktu, dan selalu mempunyai dimensi historis,
membuat agama itu mampu menampung ilham baru apapun ke dalam
realita dari warisan dan dari titik tolak mulanya yang
kreatif, yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau
pengalaman rohani baru. Al-Syafi'i membawa ke depan
kecenderungan yang sudah ada secara laten dalam karya (Nabi)
Muhamad sendiri ketika ia menekankan pemahaman al-Qur'an
secara benar-benar konkret dalam interaksi historisnya dengan
kehidupan Nabi Muhamad dan masyarakat beliau. Ia (al-Syafi'i)
melakukan hal ini memang tanpa ketepatan sejarah tertentu,
tetapi itu bukanlah maksudnya yang semula dan meskipun oleh
kaum muslim kemudian hari kajian yang jujur tentang kenyataan
sejarah masa silam Islam ditukar dengan gambaran stereotipikal
dan berang, namun mereka tidak pernah mengingkari prinsip
bahwa ketepatan historis adalah fondasi semua pengetahuan
keagamaan. [8]

Sekarang bandingkan ungkapan Hodgson itu dengan yang dapat
kita baca dalam sebuah kitab klasik, yaitu kitab Muhyi al-Din
ibn al-Arabi, Fushush al-Hikam, dalam syarah al-Syaikh
Abd-al-Razzaq al-Qasyani. Dalam kitab ini dijelaskan tentang
adanya konteks sejarah bagi ajaran agama-agama sehingga
menghasilkan manifestasi lahiriah yang berbeda-beda. Padahal
inti semua agama yang benar, sepanjang ajaran tentang pasrah
kepada Allah (Islam) berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa (tawhid). [9] Dalam syarah Fushush al-Hikam diuraikan
sebagai berikut:

Jika cara turunnya ajaran ke dalam jiwa para Nabi itulah yang
dimaksud dengan kesatuan cara yang diturunkannya semua ajaran
(dari Tuhan), lalu mengapa agama para Nabi itu berbeda-beda?
Jawabnya ialah, karena terdapat perbedaan kesiapan antara
berbagai umat maka berbeda pula bentuk-bentuk jalan tauhid dan
bagaimana jalan itu ditempuh, sementara maksud, tujuan dan
hakikat metode itu semuanya satu, seperti jari-jari yang
menghubungkan garis luar lingkaran dengan titik pusat
lingkaran itu. Jari-jari tersebut merupakan jalan-jalan yang
berbeda-beda menurut perbedaan garis yang menghubungkan antara
titik pusat lingkaran itu dengan setiap titik yang ditentukan
pada garis lingkar luarnya. Sama juga dengan cara pengobatan
yang berbeda-beda, namun tujuannya adalah satu, yakni
kesehatan, dan semua cara pengobatan itu sebagai cara
menyingkirkan penyakit dan mengembalikan kesehatan adalah
satu. Maka begitu pula cara turunnya ajaran kepada Para Nabi
adalah satu, dan tujuannya ialah hidayah ke arah kebenaran.
Jadi jalan tauhid pun satu, tetapi perbedaan kesiapan umat
manusia mengakibatkan perbedaan agama dan aliran. Sebab
perbaikan setiap umat adalah dengan menghilangkan keburukan
yang khusus ada padanya, dan hidayah mereka bersumber dari
berbagai sentra dan martabat yang berbeda-beda menurut tabiat
dan kejiwaan mereka. [10]

Pendekatan historis ini tidaklah berarti relativisasi total
ajaran agama dan sifat yang memandang sebagai tidak lebih
daripada produk pengalaman sejarah belaka. Justru dalam
penegasan tentang kesatuan agama para Nabi terkandung makna
yang tegas bahwa ada sesuatu yang benar-benar universal dalam
setiap agama dan menjadi titik pertemuan antara semua agama.
Dan karena yang universal ini tidak terikat oleh ruang dan
waktu, maka dapat disebut "tidak historis".

Tetapi masalahnya tetap sama, yaitu bagaimana menangkap pesan
inti yang uraiversal itu, yang tidak tergantung kepada
konteks, juga tidak kepada suatu sebab khusus dari asbab
al-Nuzul munculnya suatu ajaran atau hukum. Maka banyak para
ahli yang akhirnya sampai kepada persoalan bahasa: bagaimana
kita mempersepsi suatu ungkapan linguistik untuk dapat
melakukan generallisasi tinggi dari makna immediate-nya ke
makna universalnya. Berkaitan dengan ini, penting sekali
memahami penegasan dalam Kitab Suci bahwa Allah tidak mengutus
seorang Rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnnya (QS.
Ibrahim/14:4). Maka meskipun bahasa para Nabi itu
bermacam-macam, namun tujuan dan makna risalah mereka semua
sama. Hal yang sudah amat jelas ini perlu dipertegas, agar
kita waspada agar jangan sampai kita terkungkung oleh
lingkaran kebahasaan semata dan terjerumus ke dalam sikap
mental seolah-olah suatu nilai akan hilang kebenarannya jika
tidak dinyatakan dalam bahasa tertentu atau ungkapan
kebahasaan tertentu yang dianggap suci. Bahasa termasuk
kategori historis, dan kesadaran kebahasaan akan dengan
sendirinya menyangkut kesadaran historis. Tentang hal ini,
keterangan yang cukup baik diberikan oleh Ibn Taimiyah,
demikian:

Jadi diketahui bahwa Tuhan mengajari jenis manusia agar
mengungkapkan apa yang dikehendaki dan digambarkan dalam
benaknya dengan bahasanya. Dan yang pertama mengetahui hal itu
ialah bapak mereka, yaitu Adam, dan umat manusiapun kemudian
mengetahui seperti Adam mengetahui, meskipun bahasa mereka
berbeda-beda. Allah telah memberi wahyu kepada Musa dalam
bahasa Ibrani (Hebrew) serta kepada Muhamad dalam bahasa Arab,
dan semuanya itu adalah sabda (Kalam) Allah, dan dengan sabda
itu Allah menjelaskan apa yang dikendaki dari mahlukNya dan
apa perintahNya, meskipun bahasa itu berlainan. Padahal bahasa
Ibrani adalah paling dekat ke bahasa Arab, sedemikian dekatnya
sehingga kedua bahasa itu lebih dekat daripada bahasa bukan
Arab (Ajam) satu dari yang lain. [11]

Namun masalah kebahasaan mungkin akan ternyata tidak terbatas
hanya kepada segi linguistiknya semata, tetapi juga
kulturalnya. Misalnya, jika dalam al-Qur'an disebutkan bahwa
Allah menciptakan tujuh lapis langit (QS. al-Mulk/67:3),
terdapat kemungkinan bahwa "tujuh lapis langit" adalah bahasa
kultural (yang historis), karena kosmologi yang umum pada
waktu itu, khususnya sekitar Timur Tengah, memang mengenal
adanya konsep demikian. Dan jika masalah kebahasaan menyangkut
pula segi kultural ini, maka konsep asbab al-nuzul dapat
diperluas sehingga tidak hanya menyangkut sebuah ayat tertentu
saja misalnya, melainkan menyangkut seluruh Kitab Suci itu
seutuhnya; dan tidak hanya berkaitan dengan kasus spesifik
dalam kehidupan Nabi dan masyarakat beliau pada saat itu,
tetapi meliputi seluruh kondisi kultural dunia, khususnya
Timur Tengah, lebih khusus lagi Jazirah Arabia sebagai "situs"
langsung wahyu Allah kepada Nabi Muhamad. Karena itu, dari
sudut pendekatan historis dan ilmiah kepada wahyu Tuhan,
sebagai kelanjutan dan pengembangan ide Imam al-Syafi'i, kita
tidak hanya akan mendapat manfaat dari pengetahuan tentang
asbab al-nuzul saja, tetapi juga pengetahuan yang lebih
menyeluruh tentang pola budaya Arabia dalam sejarahnya yang
panjang, sebelum Islam, semasa Nabi, dan (bagi kita sekarang)
sesudah Islam. Maka dari sudut ini sungguh besar harapan kita
kepada kegiatan penelitian ilmiah di bidang kultural yang
mulai tumbuh di Jazirah Arabia. Terutama kegiatan arkeologis
yang baru-baru ini secara spektakuler, berkat teknologi
satelit, berhasil menemukan kota kuna Ubar (Iram) yang
didirikan oleh Syaddad ibn Ad hampir empat ribu tahun yang
lalu. Jika benar temuan itu maka kita akan lebih mampu
memahami penuturan al-Qur'an (al-Fajr/87:6-8) tentang kaum 'Ad
dan pesan suci di balik penuturan itu. [12]

CATATAN

1. Ahmad Von Denffer. 'Ulum al-Qur'an, an Introduction to the
Sciences of the Qur'an (London: The Islamic Foundation,1985),
hh.92-93.

2. Al-Wahidi al-Nisaburi, Asbab al-Nuzul, Kairo, 1968, h.4.

3. 'Abd al-Hamid Hakim, Al-Mu'in al-Mubin, 4 jilid
(Bukittinggi. Nusantara 1955 M/1374 H), jil. 4, h.48.

4. Dr 'Abd al-Fattah, Tarikh al-Tasyri' al-Islami, Kairo, Dar
al-Ittihad al-'Arabi, 1990, hh. 161, 177 dan 185.

5. Ibid., h.175.

6. Ibid., h.177.

7. Pembahasan panjang lebar diberikan Imam al-Syafi'i dalam
kitabnya yang terkenal, Al-Risalah, Kairo: Markaz al-Ahram,
1988, hh.96-144 dan 170-176. (Buku ini dapat diperoleh dalam
terjemahan Indonesia, Risalah). Termasuk masalah
Nasikh-Mansukh atau "hapus menghapus" ini adalah keterangan
Umar, Khalifah kedua bahwa ada firman bahwa hukuman orang yang
sudah beristri atau bersuami kemudian berzina ialah dirajam
sampai mati, bukan sekedar dicambuk seratus kali seperti yang
ada dalam al-Qur'an sekarang ini. Menurut Umar, firman itu
berbunyi:

Lelaki maupun perempuan kawin jika berzina, maka rajamlah
mereka sama sekali. Menurut para ulama, firman ini dalam isi
hukum atau makna legalnya telah menghapus firman Allah: "Orang
yang berzina, perempuan dan lelaki, cambuklah masing-masing
seratus kali". Q.s. al-Nur/4:24). Segi amat menarik dari
masalah ini ialah adanya teori dalam nasikh-mansukh bahwa
suatu firman mungkin saja masih tetap bertahan (tidak dihapus)
dari segi bunyi lafalnya, tetapi maknanya sudah tidak berlaku,
seperti "ayat cambuk" diatas: sebaliknya, ada kemungkinan
suatu firman dihapus (terhapus?) dari segi lafalnya, seperti
"ayat rajam" di atas, namun hukumnya masih berlaku. Dalam
bahasa fiqhnya, ada "penghapusan lafal tapi makna hukumnya
tetap"

[kalimat dalam huruf Arab]

atau sebaliknya "penghapusan hukum tapi lafalnya tetap"

[kalimat dalam huruf Arab]

Bagaimana umat Islam memperoleh teori yang "aneh" ini, dapat
dilihat dari kesepakatan hampir seluruh para ulama bahwa orang
yang sudah kawin dan berzina memang harus dihukum rajam sampai
mati, seperti dapat dilihat dalam praktek di Kerajaan Saudi
Arabia.

8. Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid,
(Chicago, The University of Chicago Press, 1974), jld. 3, h.
437.

9. Lihat penjelasan makna asal kata-kata Arab "islam" dalam
kitab Ibn Taimiyah, al-Iman, Kairo: Dar al-Thiba'ah
al-Muhammadiyah, tt., hh. 223-4. Dalam pembahasannya, Ibn
Taimiyah antara lain mengatakan:

[kalimat dalam huruf Arab]

(Hakikat perbedaannya adalah bahwa arti "islam" ialah "din"
dan "din" adalah masdar dari kata kerja "dana-yadinu" (yang
menunjuk makna) jika (seseorang) tunduk dan patuh. "Agama
Islam" yang diridhai Allah dan dengan itu diutus-Nya pada
Rasul ialah "istislam " (sikap tundukpatuh) kepada Allah
semata. Pangkalnya pada kalbu ialah sikap tunduk kepada Allah
semata, dengan menyembah (beribadat) kepada-Nya semata, tanpa
orang lain. Orang yang menyembah-Nya dan bersama Dia menyembah
"tuhan" yang lain bukanlah seorang yang tunduk patuh (muslim).
Dan orang yang tidak menyembah-Nya, bahkan besar kepala untuk
menyembah-Nya, bukanlah seorang muslim. "Islam" ialah
"istislam" kepada Allah, yaitu tunduk dan penghambaan diri
kepada-Nya. Para ahli bahasa mengatakan begini: "Seseorang
melakukan islam (aslama) jika ia melakukan istislam
(istaslama). "Jadi "islam" pada asalnya termasuk bab tindakan
(bukan nama), yaitu tindakan kalbu dan anggota badan ")

10. Lihat [kalimat dengan huruf Arab] oleh [kalimat dengan
huruf Arab], Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, (1987), h. 8.

11. Ibn Taimiyah, op. cit., h. 82.

12. Lihat berita arkeologis penting ini dalam Time, 17 Peb.
1992, h. 30.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: