Sunday, December 2, 2007

PERSOALAN PENAFSIRAN METAFORIS ATAS FAKTA-FAKTA TEKSTUAL

I.1. PERSOALAN PENAFSIRAN METAFORIS ATAS FAKTA-FAKTA TEKSTUAL
oleh M. Quraish Shihab (1/2)

Dalam kamus linguistik, "metafora" (metaphor) berarti
pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu obyek atau
konsep, berdasarkan kias atau persamaan." (1) Itu berarti
suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan
untuk makna tertentu (secara literal atau harfiah) dialihkan
kepada makna lain. Dalam disiplin ilmu al-Qur'an pengalihan
arti itu disebut ta'wil, atau oleh ulama-ulama sesudah abad ke
3 H., diartikan sebagai "mengalihkan arti suatu kata atau
kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke makna lain
berdasarkan indikator-indikator atau argumentasi-argumentasi
yang menyertainya." (2)

Salah satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab yaitu ilmu
al-bayan menggunakan istilah majaz untuk maksud di atas. Tak
dapat disangkal, setiap bahasa mengenal kata atau ungkapan
yang bersifat metaforis, termasuk bahasa yang digunakan
al-Qur'an.

Tapi bagaimana dengan al-Qur'an yang redaksi-redaksinya
merupakan susunan Ilahi? Apakah mengenal pula metafora?
Al-Qur'an menegaskan, Ia turun dalam bahasa Arab. Kosakata
yang digunakan umumnya digunakan pula oleh masyarakat Arab
pada masa turunnya, tapi gaya susunannya yang bukan prosa dan
bukan pula puisi, serta keindahan nada yang dihasilkannya
menjadikan pakar-pakar bahasa Arab ketika itu mengakui, mereka
tak mampu menyusun semacam redaksi ayat-ayatnya. Hal ini
memberi petunjuk atau kesan bahasa al-Qur'an berbeda dengan
bahasa yang digunakan ketika itu.

Tapi di sisi lain, para ahli dalam rangka memahami al-Qur'an
menelusuri dan mempelajari penggunaan kosakata dan
ungkapan-ungkapan yang digunakan khususnya oleh suku-suku
Qais, Tamim dan Asad karena mereka dinilai masih bertahan
dengan bahasa Arab asli. Mereka oleh pakar-pakar budaya dan
bahasa dinilai belum atau tak tersentuh oleh akulturasi budaya
atau bahasa. Berbeda dengan suku-suku Arab lain nya yang
bertetangga dengan daerah-daerah yang tak berbahasa Arab
ketika itu seperti, Lakhem dan Juzaam yang bertetangga dengan
penduduk Coptik di Mesir atau Gassaan dan Qudha'ah yang
bertetangga dengan penduduk Syam yang berbahasa Ibrani. Atau
suku Abdi al-qais dan Azad, penduduk Bahrain (Emirat Arab)
yang bergaul dengan orang-orang India dan Persia. Bahkan para
pakar bahasa tersebut --tak merujuk dalam rangka memahami
kosakata atau ungkapan-ungkapan al-Qur'an-- pada penduduk
kota-kota Hijaz sekali pun, karena mereka menilai bahwa
pergaulan mereka relatif luas sehingga mengakibatkan bahasa
mereka tak "asli" lagi.

Isi yang dikemukakan di atas, menjadi bukti bahwa pemahaman
al-Qur'an tak terlepas dari pemahaman kosakata atau ungkapan
yang digunakan orang-orang Arab pada masa turunnya; dan
apabila terbukti mereka menggunakan metafora dalam percakapan
mereka maka tentunya dalam al-Qur'an hal yang demikian pasti
ditemukan, karena ia diturunkan dengan bahasa Arab, agar dapat
mereka pahami (QS. Fushshilat: 3).

Penelitian-penelitian yang dilakukan pakar-pakar bahasa,
seringkali menimbulkan perbedaan-perbedaan di antara mereka,
khususnya ulama-ulama Kufah versus ulama-ulama Bashrah. Ini
berarti sebagian hasil-hasil yang mereka peroleh belum
mendapat kesepakatan semua pihak, yang berakibat membawa
sebagian ulama pada sikap hati-hati dalam menolak pemahaman
metaforis bagi teks-teks keagamaan. Paling tidak, jika tak
memahaminya secara literal, mereka menyerahkan pengertian
sekian banyak kosakata atau ungkapan al-Qur'an kepada Allah
swt.

Sikap semacam ini tentunya tak memuaskan banyak pihak dan dari
hari ke hari pembahasan masalah-masalah metaforis dalam
teks-teks keagamaan tumbuh dengan pesatnya. Agaknya al-Jahiz
(w. 255 H/868 M) merupakan tokoh pertama yang menghasilkan
pemikiran-pemikiran jernih menyangkut masalah tersebut.
Walaupun harus diakni bahwa kitab tafsir pertama, karya Abu
Ubaidah Mu'ammar bin Al-Mustana (w. 209 H) bernama Majazat
al-Qur'an. Namun nama ini tak berkaitan dengan pengertian
majaz atau metafora yang dimaksud di sini.

Tokoh al-Mahiz adalah seorang penganut aliran rasional dalam
bidang teologi (Mu'tazilah) dan dengan
penafsiran-penafsirannya ia telah mampu menyelesaikan sekian
banyak problema pemahaman keagamaan yang tadinya dihadapi
sekian banyak ulama.

Imam Malik (w. 795 M) misalnya, enggan membenarkan redaksi
"langit menurunkan hujan," karena berkeyakinan bahwa yang
menurunkan hujan adalah Allah swt. (3) Demikian juga ketika
beliau ditanya tentang pengertian Firman Allah dalam QS.
Thaha: 5, "Tuhan yang maha pemurah bersemayam di atas Arasy."
Malik menjawab: Pertanyaan semacam ini merupakan bid'ah"
(tercela dalam pandangan agama).

Bahkan sebagaimana ditulis al-Jahiz dalam bukunya al-Hayawan
(4) ada orang-orang yang menduga bahwa batu merupakan makhluk
berakal, berdasarkan Firman Allah dalam QS. al-Baqarah: 74
"... dan diantaranya (diantara batu) sungguh ada yang meluncur
karena takut kepada Allah ...," sebagaimana ada yang menduga
bahwa ada nabi-nabi untuk lebah-lebah berdasarkan QS. al-Nahl:
68, "Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah." Kemudian mereka
berpaham demikian merangkai hikayat-hikayat yang tak mempunyai
dasar sedikitpun.

Al-Jahiz yang sangat rasional dan ahli dalam bidang kebahasaan
itu membantah pendapat-pendapat semacam itu dengan menunjuk
pada penggunaan kosakata atau ungkapan yang sama dan yang
pernah digunakan orang-orang Arab menjelang dan pada masa
turunnya al-Qur'an.

Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M), murid al-Jahid walau pun bukan
penganut aliran Muitazilah bahkan dinilai sebagai "juru bicara
Ahl-u'l-Sunnah" (5) melanjutkan dan mengembangkan usaha-usaha
gurunya dalam memahami teks-teks keagamaan dengan berbagai
motif yang berkembang dengan sangat pesat; dan tentu
menggunakan segala cara dan argumentasi, baik logika maupun
kebahasaan.

Mereka yang menolak pemahaman metaforis dalam teks-teks
keagamaan, paling tidak menggunakan dua argumentasi berikut,
pertama, Metafora sama dengan kebohongan, sedangkan al-Qur'an
adalah firman-firman Allah yang suci dari hal tertentu. Kedua,
Seorang pembicara tak menggunakan metafora kecuali jika ia tak
mampu menemukan kosakata atau ungkapan yang bersifat hakiki,
dan tentunya harus diyakini bahwa Allah maha mampu atas segala
sesuatu.

Kedua argumentasi di atas jelas sekali kekeliruannya, sehingga
berbagai ahli menolaknya. Ibnu Qutaibah menolak dengan
menyatakan, "Seandainya metafora atau majaz dinilai
kebohongan, maka alangkah banyaknya ucapan-ucapan kita
merupakan kebohongan." (6)

Al-Sayuthi (w. 911 H/1505 M) menulis dalam bukunya al-Itqan,
"Metafora adalah unsur keindahan bahasa dan jika ia ditolak
keberadaannya dalam al-Qur'an, maka tentunya sebahagian unsur
keindahan pun tak akan ada padanya." (7) Sebagaimana telah
dikemukakan pada awal uraian metafora dalam istilah ilmu
bahasa Arab dinamai majaz, atau dalam istilah ilmu-ilmu
al-Qur'an disebut ta'wil.

Majaz menurut kaidah kebahasaan dapat dilakukan akibat adanya
satu dari dua hal berikut, pertama, terdapat persamaan antara
makna yang dikandung kosakata atau ungkapan dalam arti
literalnya dengan makna yang dikandung oleh pengertian
metaforis yang ditetapkan. Kedua, adanya perkaitan atau
hubungan antara dua hal dalam ungkapan, sehingga mengakibatkan
terjadinya penisbahan satu kalimat kepada sesuatu yang
seharusnya bukan kepadanya. Ia dinisbahkan, misalnya "langit
menurunkan hujan." Di sini terdapat perkaitan antara langit
dan hujan, karena langit atau awan adalah sumber kedatangannya
dan dengan demikian kepadanya ia dinisbahkan.

Disepakati oleh mereka yang berpendapat adanya metafora, bahwa
dibutuhkan dukungan petunjuk atau argumen guna mengalihkan
satu makna hakiki ke makna metaforis. Tanpa adanya petunjuk
maka penta'wilan tak dapat dilakukan. Tapi bagaimana bentuk
petunjuk atau argumen tersebut, diperselisihkan mereka.

Pertama, Kelompok yang dikenal dengan "al-Dhahiriyah" yaitu
pengikut-pengikut Daud al-Dhahiri (w. 270 H) tak membenarkan
adanya penta'wilan atau pengertian metaforis dalam teks-teks
keagamaan, kecuali bila pengertian yang ditetapkan itu telah
populer di kalangan orang-orang Arab pada masa turunnya
al-Qur'an, serta terdapat petunjuk yang jelas yang mendukung
pengalihan makna atau penta'wilan tersebut. (8) Ibnu Hazem (w.
456 H/1064 M) menegaskan,"Selama arti yang dipilih bagi satu
kosakata atau ungkapan telah dikenal di kalangan sahabat dan
Tabi'in dan sejalan pula dengan bahasaArab klasik, maka arti
tersebut harus diterima baik dalam pengertian majaz, maupun
hakiki." (9) Hanya perlu dicatat, satu kosakata atau ungkapan,
tak dialihkan ke makna metaforis kecuali setelah makna hakiki
tak dapat digunakan.

Kedua, al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi
penta'wilan ayat-ayat al-Qur'an" (10) Pertama, makna yang
dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh
mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya. Tidak tepat
kata al-Syathibi, memahami kata khalila dalam QS. al-Nisa'
125: Allah menjadikan Ibrahim khalila sebagai seorang "fakir"
karena pengertian tersebut bertentangan dengan nash al-Qur'an
yang lain, yaitu bahwa "ia (Ibrahim) menjamu tamunya dengan
daging anak sapi yang dipanggang" (QS. Hud:69), yang
menunjukkan beliau bukan seorang fakir; di samping bahwa
kenyatann sejarah membuktikan bahwa Ibrahim as. bukan seorang
fakir.

Kedua, arti yang dipilih tersebut telah dikenal oleh
bahasa-bahasa Arab klasik. Dalam syarat ini terbaca bahwa
syarat "popularitas" artinya kosakata tak disinggung lagi,
bahkan lebih jauh al-Syathibi menegaskan bahwa satu kosakata
yang bersifat ambigu atau musytarak (mempunyai lebih dari satu
makna), maka kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian
teks tersebut selama tak bertentangan satu dengan lainnya.
Contoh kata "hidup" dan "mati." Al-Qur'an menggunakan kata
"hidup" dalam arti berpisahnya Ruh dari badan dan juga dalam
arti "kosongnya jiwa dari nilai-nilai agama." Firman Allah
dalam QS. al-Rum 19, "Dia Allah mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup" dapat
diartikan dengan salah satu atau dengan kedua arti tersebut di
atas, demikian pula sebaliknya kata mati.

Dalam hal ini tentunya kita tak dapat menyalahkan mereka yang
memahami Firman Allah dalam QS. al-Baqarah 243, "Apakah kamu
tak mengetahui orang-orang yang keluar dari kampung halaman
mereka yang jumlah mereka beribu-ribu (keluar) karena takut
mati, maka Allah berfirman kepada mereka 'matilah kamu,'
kemudian Allah menghidupkan mereka, sesungguhnya Allah
mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia
tak bersyukur."
Kita tak mempermasalahkan walaupun seandainya kita tak
sependapat dengan orang-orang yang memahami kata "matilah
kamu" dan "Allah menghidupkan mereka" dalam pengertian
"kematian semangat jihad mereka" kemudian "kehidupan" semangat
jihad tersebut sehingga kembali ke kampung halaman mereka
untuk mengusir orang yang selama itu menganiaya mereka.

Ketiga, Sementara penganut-penganut aliran Rasional dinilai
sementara ahli melakukan ta'wil dengan menitik beratkan tolok
ukurnya pada akal mereka dan kalau pun menggunakan argumentasi
kebahasaan, maka yang digunakan adalah riwayat-riwayat yang
sangat lemah atau dibuat-buat. Mereka juga dinilai sangat
memperluas penggunaan metafora dengan menggunakan pemahaman
tamsil atau perumpamaan bagi ayat-ayat al-Qur'an.

Muhammad Abduh (w. 1906 M) dinilai sebagai salah seorang tokoh
penganut aliran ini. Ayat-ayat yang menguraikan kisah kejadian
Adam as. pada surah al-Baqarah 30 dan seterusnya, difahaminya
atas dasar tamsil, (11) sehingga tak ada dialog sebagaimana
tersurat, tetapi penyampaian Tuhan kepada malaikat tentang
rencana-Nya menciptakan khalifah di bumi, adalah pertanda
kesiapan bumi untuk menyambut satu makhluk yang dapat
mengolahnya sehingga tercapai kesempurnaan hidup di dunia.

Pertanyaan malaikat kepada Tuhan tentang khalifah yang dapat
merusak dan menumpahkan darah, dipahami Abduh sebagai gambaran
tentang potensi dalam diri manusia untuk melakukan kejahatan.
Pengajaran Tuhan kepada Adam tentang nama benda-benda, adalah
gambaran tentang potensi manusia mengetahui serta mengolah dan
mengambil manfaat segala yang terdapat di bumi ini. Pemaparan
pertanyaan kepada malaikat dan ketakmampuan mereka menjawab,
menunjukkan keterbatasan hukum-hukum alam. Sujudnya Malaikat
kepada Adam, menunjukkan kemampuan manusia memanfaatkan
hukum-hukum alam. Keengganan Iblis sujud, menandakan kelemahan
manusia dan ketakmampuannya menghilangkan bisikan-bisikan
negatif yang mengantar kepada perselisihan, perpecahan, agresi
dan permusuhan di muka bumi ini.

Abduh ketika menguraikan tentang "malaikat," mengemukakan dua
pendapat. Pertama, bahwa malaikat merupakan makhluk ghaib yang
tak dapat diketahui hakikatnya namun harus dipercaya wujudnya.
Sedang pendapat yang kedua, adalah bahwa "malaikat merupakan
makhluk-makhluk Allah yang bertugas dalam pekerjaan-pekerjaan
tertentu, seperti menumbuhkan tumbuh-tumbuhan memelihara
manusia dan sebagainya." Hal ini menurut Abduh, adalah isyarat
yang lebih jelas dari satu redaksi tentang satu ciri tertentu
bahwa pertumbuhan dalam tumbuh-tumbuhan terjadi tak lain
kecuali dengan adanya Ruh yang dihembuskan Allah Swt ke dalam
benihnya, sehingga dengan demikian terjadilah kehidupan bagi
tumbuhan tersebut. Demikian pula halnya dengan manusia dan
binatang. Yang demikian itu menurut Abduh dinamai, dalam
istilah agama dengan "malaikat."

Selanjutnya Abduh menulis, "Bagi mereka yang tak mengindahkan
penamaan yang ditetapkan agama, hal tersebut mereka namakan
natural power karena mereka tak mengenal dalam kehidupan ini
kecuali apa yang tampak dan atau yang tampak bekasnya dalam
alam nyata. Satu hal yang pasti, kata Abduh selanjutnya, bahwa
hakikat setiap ciptaan terdapat sesuatu yang menjadi sumber
ketergantungannya serta sistem wujudnya. Hal ini tak dapat
diingkari siapa pun yang berakal walau pun mereka tak beriman
atau mengingkari bahwa hal tersebut dinamai malaikat, demikian
pula sebaliknya hal tersebut tak diingkari oleh seseorang yang
beriman walaupun ia mengingkari penamaan tersebut dengan
"natural power" atau hukum alam.

Muhammad Abduh menambahkan, dirasakan oleh mereka yang
mengamati dirinya, atau membanding-bandingkan pikiran dan
kehendaknya yang mempunyai dua sisi baik dan buruk, bahwa
dalam batinnya terjadi pergolakan, seakan-akan apa yang
terlintas dalam pikirannya itu sedang diajukan ke suatu sidang
Majelis Permusyawaratan yang ini menerima dan yang itu
menolak, yang ini berkata "Kerjakanlah" dan yang itu "Jangan,"
demikian halnya sehingga pada akhirnya menanglah salah satu
pilihan. Proses demikian yang terdapat dalam jiwa setiap
manusia, tak mustahil dinamai Allah atau dinamai penyebab hal
tersebut sebagai "malaikat."

Demikian antara lain penta'wilan yang dilakukan Muhammad
Abduh, yang kemudian diikuti oleh tak sedikit dari ulama-ulama
sesudah masa beliau.

Kita dapat memahami motivasi Muhammad Abduh dan
penganut-penganut alirannya dalam menggunakan akal
seluas-luasnya ketika memahami teks-teks keagamaan sehingga
merasionalkan ajaran-ajaran agama sambil mempersempit sedapat
mungkin wilayah ghaib, namun hal ini bila diturutkan tanpa
batas yang jelas, dapat mengantar pada pengingkaran hal-hal
yang bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan kemudian
dalam perkembangan pemikiran selanjutnya.

Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam
memahami teks-teks keagamaan khususnya tentang
peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal
ghaib berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap
perbuatan-perbuatan Tuhan (zat yang tak terbatas itu). Tapi
tentunya ini bukan pula berarti kita menerima begitu saja
penafsiran-penafsiran yang tak logis. Tidak demikian! Apa yang
dikemukakan di atas hanya berarti bahwa bila suatu redaksi
sudah cukup jelas serta penafsirannya tak bertentangan dengan
akal, walaupun belum dipahaminya, maka redaksi tersebut tak
harus dita'wilkan lagi dengan memaksakan suatu penafsiran yang
dianggap logis sehingga dipahami akal. Karena kalau hal
tersebut harus dipaksakan maka tak jarang ditemukan
pemahaman-pemahaman yang tak hanya bertentangan dengan
kaidah-kaidah kebahasaan tetapi juga bertentangan dengan
hakikat keagamaan.

Ahmad Musthafa al-Maraghi salah seorang penganut aliran Abduh
menulis dalam tafsirnya menyangkut ayat 10 surah Saba', "Dan
sesungguhnya Kami telah anugerahkan kepada Daud karunia dari
Kami. (Kami berfirman) Hai gunung-gunung bertasbihlah
berulang-ulang bersama Daud." Al-Maraghi menulis bahwa
pengertian ayat tersebut adalah bahwa "gunung mengantar Daud
bertasbih mensucikan Allah, dengan jalan pandangan yang
diarahkan Daud kepada keajaiban tersebut berfungsi
mengingatkan sebagaimana seseorang mengingatkan yang lain."
(12)

Pendapat di atas dinilai sementara ulama tak sejalan dengan
teks ayat di mana yang diperintahkan adalah gunung-gunung,
bukannya Daud. Dan yang lebih penting lagi bahwa Mufassir
al-Maraghi telah berusaha memahami hakikat tasbih gunung,
sedang terdapat ayat yang lain yang menegaskan bahwa: "Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalammya bertasbih
kepada Allah dan tak sesuatu pun melainkan bertasbih
memujiNya, tapi kamu sekalian tak mengetahui (hakikat) tasbih
mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun" (QS. al-Isra' 44). Jika apa yang digambarkan
tentang pendapat al-Maragi di atas tak disetujui, tetap harus
diakni bahwa pendapat tersebut dari sisi kebahasaan memiliki
alasan-alasannya.

Penta'wilan yang parah adalah yang semata-mata mengandalkan
penalaran akal seseorang dengan mengabaikan pertimbangan-
pertimbangan kebahasaan. Dr. (medis) Mustafa Mahmud memahami
larangan Tuhan pada Adam dan Hawa "mendekati pohon" sebagai
larangan mengadakan "hubungan sexual." Bukti yang dijadikan
dasar pertimbangannya adalah,

Pertama, Ketika mereka (Adam dan Hawa) telah memakan (buah)
pohon tersebut (mengadakan hubungan sex) mereka tanpa busana
dan berusaha menutupi auratnya dengan daun-daun surga, ketika
itu mereka merasa malu. Perasaan malu akibat terlihatnya alat
kelamin hanya dialami oleh mereka yang telah mengadakan
hubungan sexual. Terbukti bahwa anak kecil tak merasakan hal
tersebut, berbeda dengan orang dewasa yang merasa malu, walau
sekedar menyebutnya.

Kedua, Redaksi Firman Allah sebelum mereka mendekati pohon
tersebut adalah dalam bentuk dual ("Janganlah kamu berdua
mendekati pohon ini," QS. al-Baqarah: 35), tetapi setelah
mereka mendekatinya (memakan buah terlarang) redaksi ayat
berbentuk plural atau jama' "Turunlah kamu, sebahagian kamu
menjadi musuh bagi yang lain" (Q.S. al-Baqarah: 36). Hal ini
menunjukkan bahwa ketika itu mereka yang tadinya hanya berdua
(Adam dan Hawa) kini telah menjadi lebih dari dua orang dengan
adanya janin yang dikandung oleh Hawa setelah hubungan sex
tersebut. (13)

Apa yang dikemukakan di atas hemat kita bertentangan dengan
teks ayat-ayat al-Qur'an serta kaidah-kaidah kebahasaan.
Pertama, ayat al-Qur'an menggambarkan bahwa keadaan tanpa
busana terjadi setelah atau akibat dari memakan buah pohon
terlarang bukan sebelumnya, sebagaimana dipahami oleh Mustafa
Mahmud. Kedua, Kosakata "pohon" dita'wilkan atau dipahami
secara metaforis tanpa ada argumentasi pendukung, dan anehnya
"daun-daun surga" difahami secara hakiki. Ketiga, Di sisi lain
bahasa Arab tak menganggap wujud janin sebagai wujud yang
penuh, karena itu wanita hamil akan tetap diperlakukan oleh
bahasa sebagai wujud tunggal, tak sebagaimana dipahami oleh
dr. Mustafa Mahmud. Contoh yang dikemukakan di atas
menunjukkan betapa pemahaman ayat-ayat al-Qur'an, apalagi
penta'wilan ayat-ayatnya, membutuhkan, di samping nalar, juga
penguasaan bahasa Arab.

CATATAN

1. Harimurti Kridalaksana, Kamus linguistik, Gramedia,
Jakarta 1983, h. 106.

2. Muhammad Husen al-Zahaby, al-Tafsir Wa 'l-Mufassirun, Dar
al-Kutub al-Haditsah, Cairo, 1963, Jilid 1, h. 18.

3. Syarid Al-Radhy, Talkhis al-Bayan, diedit oleh Muhammad
Abdulghani Hasan, Al-Halaby, Mesir, 1955, h. 11.

4. Lihat al-Jahiz dalam al-Hayawan, diedit oleh Abdussalam
Harun, Cairo, 1364 H., Jilid.II, h. 128.

5. Muhammad Rajab al-Bayyumy, Dr., Khathawat al-Tafsir
Al-Bayany, Majma' al-Buhuts, Cairo, 1971, hl. 92.

6. Syarif AlRadhy, Op. Cit. hal. 56.

7. Al Sayuthi, al-Itqan, Al-Azhar, Cairo, 1318 H. Jilid 11,
h. 36.

8. Abu Zahrah, Ibnu Hazem Hayatuha Wa Ashruhu, Dar Al-Fikr,
Cairo, tp. th. h. 226.

9. Ibid.

10. Lihat Abu Ishaq al-Syathiby, al-Muwafaqat, diedit oleh
Abdullah Darraz, Dar al-Ma'rifah, Beirut, 1971, Jilid 111, h.
99.

11. Tentang pendapat-pendapat Abduh lihat lebih jauh Muhammad
Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, Percetakan al-Manar, Cairo
1367 H. Jilid 1, h.261 dst.

12. Ahmad Musthafa al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy, al-Halaby,
Cairo 1964 M. Juz 22, h. 64.

13. Lihat lebih jauh Abdul Muta'al Muhammad al-Jabri,
Syathahat Musthafa Mahmud, Dar al-Itisham, Cairo, 1967, h. 119
dst.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: