Sunday, December 2, 2007

II.8. KONSEP-KONSEP HUKUM (1/3)
oleh KH. Ali Yafie

Hukum yang diperkenalkan al-Qur'an bukanlah sesuatu yang
berdiri sendiri, tapi merupakan bagian integral dari akidah.
Akidah tentang Allah yang menciptakan alam semesta,
mengaturnya, memeliharanya dan menjaganya sehingga segala
makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing dengan baik
dan melakukan fungsinya masing-masing dengan tertib. Hukum
Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta). [1]

Melalui suatu pengamatan yang cermat atas segala alam sekitar
kita, dapat disaksikan betapa teraturnya alam raya ini. Betapa
teraturnya gerakan bintang-bintang pada garis edarnya
masing-masing. Bumi tempat kita hidup yang berputar pada
sumbunya dan beredar pada orbitnya di sekeliling matahari
dalam jangka waktu tertentu dan pasti menyebabkan silih
bergantinya siang dan malam dan bertukarnya satu musim ke
musim lain secara teratur. Lewat ilmu pengetahuan alam kita
diperkenalkan dengan hukum-hukum fisika dan kimia serta
biologi, seperti hukum proporsi, hukum konservasi, hukum
gerak, hukum gravitasi, hukum relativitas, hukum Pascal, kode
genetik, hukum reproduksi dan embriologi. Penemuan hukum-hukum
alam (natuurwet) sebagaimana disinggung di atas, memberikan
informasi yang jelas pada kita betapa alam raya ini mulai dari
bagian-bagiannya yang terkecil seperti partikel-partikel dalam
inti atom yang sukar dibayangkan kecilnya, sampai kepada
galaksi-galaksi yang tak terbayangkan besar dan luasnya,
semuanya bergerak menurut ketentuan-ketentuan hukum alam yang
mengaturnya. Dan yang lebih dekat kita renungkan ialah keadaan
tubuh jasmani kita sendiri. Ilmu pengetahuan mengungkapkan,
tubuh manusia terdiri dari 50 juta sel, jumlah panjang
jaringan pembuluh darahnya sampai 100 ribu kilometer dan lebih
dari 500 macam proses kimiawi terjadi di dalam hati. Tubuh
manusia jauh lebih rumit dan menakjubkan daripada pesawat
komputer. Prestasi atletik seringkali memperlihatkan tenaga
tubuh yang bersifat melar. Sedangkan ketangguhannya
menunjukkan staminanya. Meskipun demikian fungsi-fungsi tubuh
yang tidak tampak, lebih mengesankan lagi. Tanpa kita sadari,
tubuh mengatur suhu badan kita, tekanan darah kita, pencernaan
dan tugas-tugas lain yang tidak terbilang banyaknya. Pusat
pengatur tubuh, yakni otak memiliki kemampuan merekam dan
menyimpan lebih banyak informasi dibandingkan dengan pesawat
apapun. [2]

Dalam hubungan ini, dapat kita renungkan salah satu ayat
al-Qur'an yang berbunyi, Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami segenap ufuk dan pada diri
mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bakwa al-Qur'an
itu adalah benar. [3]

Pesan untuk mengamati, meneliti, memikirkan dan mempelajari
alam semesta, sangatlah jelas dan berulang-ulang kali
disampaikan dalam sekian banyaknya ayat-ayat al-Qur'an.
Katakanlah! Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.
Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang
memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. [4]
... Dan apakah mereka tidak memperhatikan kekuasaan langit dan
bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah ... [5]
...Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang Engkau menciptakan langit dan
bumi (seraya berkata) ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksaan neraka. [6] Rasulullah saw.
mengomentari ayat-ayat ini dengan sabdanya, Celakalah orang
yang membaca ayat ini lalu tidak berfikir. [7]

Petunjuk-petunjuk al-Qur'an yang mengarahkan manusia untuk
berfikir, menalar, mengamati dan meneliti sebagaimana
disinggung di atas yang sifatnya global, dilengkapi dengan
petunjuk-petunjuk lain yang bersifat detail dimana terbayang
isyarat-isyarat yang mengacu pada pokok-pokok ilmu pengetahuan
tentang alam dan hukum-hukum yang berlaku atasnya. Misalnya
ayat yang berbunyi, Dialah yang menjadikan matahari bersinar
dan bulan bercahaya, dan ditetapkan manzilah-manzilah
(mansion) bagi peredarannya supaya kalian mengetahui bilangan
tahun-tahun dan perhitungannya. Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menguraikan tanda-tanda
(kekuasaannya) kepada orang-orang yang mengetahui (berilmu)"
[8] ...Dan matahari itu berjalan di tempatnya, itulah
ketentuan dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan
telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah perjalanan
sehingga (setelah ia sampai ke manzilah terakhir) kembalilah
ia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi
matahari mencapai bulan dan malampun tidak dapat mendahului
siang. Dan masing-masing di dalam orbitnya pada beredar. [9]
Kedua ayat ini cukup jelas isyarat-isyaratnya yang dapat
ditangkap ilmu astronomi. Demikian pula halnya dengan
ilmu-ilmu lain yang dapat menangkap isyarat-isyarat berbagai
ayat al-Qur'an yang berbicara tentang hewan, tumbuh-tumbuhan,
air, awan, kilat, dan tentang manusia sendiri dan kejadiannya
serta segala macam permasalahannya. Upaya pengamatan,
penelitian dan penalaran lewat ilmu-ilmu yang mempelajari
perilaku dan sifat-sifat makhluk-makhluk, baik berupa benda
mati maupun makhluk hidup, telah mengungkapkan banyak penemuan
yang memperkenalkan kepada kita hukum-hukum yang berlaku
dengan pasti atas alam ini.

Kehadiran ayat-ayat yang mengandung isyarat-isyarat yang
mengacu pada pengungkapan misteri alam, mendorong minat dan
membangkitkan semangat kaum Muslim angkatan-angkatan pertama
--yang dapat menghayati ayat-ayat al-Qur'an ini-- untuk terjun
menggali ilmu pengetahuan yang luas dan khazanah ilmiah
bangsa-bangsa Yunani, Romawi, Parsi, India dan Cina di bidang
pengetahuan filsafat dan alam, sehingga menghasilkan
ilmuwan-ilmuwan besar seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi,
al-Ghazali dan serentetan nama besar yang tidak asing bagi
dunia ilmu pengetahuan di Timur dan di Barat.

Adanya sejumlah ketentuan yang pasti dan berlaku sebagai hukum
yang mengatur segala makhluk di alam raya ini, biasanya dalam
bahasa ilmu-pengetahuan disebut natuurwet atau hukum alam, di
dalam bahasa al-Qur'an kadangkala disebut sunnatullah. Salah
satu ayatnya mengatakan, Maka sekali-kali kamu tidak akan
mendapat pergantian bagi sunnatullah itu, dan sekali-kali
tidak (pula) akan menemni penyimpangan dari sunnatullah itu.
[10] Dalam terminologi teologis hal semacam itu termasuk dalam
kategori qadar dan qadla, namun istilah ini lebih mendominasi
hal-hal yang bersangkut paut dengan perilaku manusia, dan
sering kali --secara kurang hati-hati-- dianggap identik
dengan determinisme.

Ayat yang secara jelas merangkaikan sunnatullah itu dengan
qadar, berbunyi ...(Allah telah menetaphan yang demikian)
sebagai sunnatullah pada mereka yang telah berlaku dahulu, dan
adalah ketetapan Allah itu suatu qadar yang pasti berlaku.
[11]

Penjelasan lebih jauh tentang qadar itu dapat kita simak dari
beberapa ayat, diantaranya, Sesungguhaya Kami menciptakan
segala sesuatu dengan qadar. [12] Kata bi qadar (dengan
qadar) di sini ditafsirkan, menurut ukuran. Isyarat yang ada
dibalik kalimat ini dapat ditangkap lebih jelas dengan bantuan
ilmu fisika yang membahas tentang materi dan unsur.
Benda-benda yang ada disekeliling kita, yang merupakan
bahan-bahan kebutuhan dalam hidup kita seperti kayu, besi,
seng, perak, emas, hewan, tumbuh-tumbuhan, air dan sebagainya,
semuanya itu termasuk dalam kategori materi. Sebahagian besar
dari materi-materi yang kita kenal terdiri dari unsur-unsur.
Tergabungnya dua unsur atau lebih melalui pola persenyawaan
atau pola percampuran membentuk suatu materi tertentu.
Misalnya unsur oksigen bergabung dengan hidrogen membentuk
senyawa cair, dan disebut air. Unsur-unsur yang tergabung
dalam suatu senyawa selalu mempunyai proporsi tertentu. Air
murni selalu mempunyai proporsi oksigen dan hidrogen yang
sudah tertentu dan tetap, demikian pula dengan proporsi
nitrogen dan hidrogen dalam amoniak. Dalam kasus-kasus seperti
ini, unsur-unsur telah bergabung membentuk suatu senyawa,
mengikuti suatu aturan yang dikenal hakam proporsi yang sudah
tertentu.

Isyarat serupa yang kita peroleh dari informasi ilmu fisika
sebagaimana disinggung di atas, dapat pula kita temui dari
informasi ilmu kimia yang membahas unsur-unsur itu. Misalnya,
unsur Al (aluminium), jumlah proton yang terkandung di
dalamnya 13; unsur Cu (tembaga), jumlah protonnya 29; unsur Au
(emas), jumlah protonnya 79; unsur Ag (perak), jumlah
protonnya 47; unsur Pt (platina), jumlah protonnya 78; unsur
Ni (nikel), jumlah protonnya 28; unsur Fe (besi), jumlah
protonnya 26; unsur Hg (air raksa), jumlah protonnya 80; dan
seterusnya. [13]

Secara sepintas dari dua informasi yang disajikan di atas,
memperlihatkan kepada kita adanya kadar ukuran tertentu yang
menjadi ketentuan-ketentuan yang pasti yang dapat diamati
dalam diri setiap makhluk. Semuanya ini merupakan bagian dari
hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta. Dalam
hubungan ini dapat kita hayati ungkapan sebuah ayat yang
berbunyi, ... Dan Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu
dan Dia-lah yang menetapkan qadar/ukurannya secara pasti
serapi-rapinya. [14]

Pembahasan teologis dalam bidang qada dan qadar (masalah
takdir) kurang menyentuh apa yang kami singgung di atas.
Padahal ayat-ayat yang berbicara tentang qudrat-iradat
Allah/kekuasaan dan keagungan Allah, sebagian besar mengaitkan
bermacam-macam fenomena alam yang dimintakan perhatian supaya
manusia mengamatinya dan melakukan penalarannya untuk dapat
membaca tulisan Ilahi yang tersirat di dalamnya. Juga untuk
menemukan sunnatullah atau hukum-hukum kauniyah yang akan
menopang tegaknya hukum-hukum syar'iyyah. Mungkin itulah yang
disindir Imam Ghazali dengan ungkapannya:.".. mereka tidak
mampu membaca tulisan Ilahi yang tergurat di atas
lembaran-lembaran alam semesta; tulisan tanpa aksara dan bunyi
itu pasti tidak dapat diraih dengan mata telanjang, tapi harus
dengan mata hati. [15]
Sunnatullah yang diperkenalkan al-Qur'an sebagaimana diuraikan
di atas tidaklah terbatas pada ketentuan-ketentuan yang
mengatur alam materi saja, tapi juga menjangkau alam
nonmateri, bahkan dalam al-Qur'an, pemakaian kata sunnatullah
lebih banyak mengacu pada apa yang disebut oleh ilmu
pengetabuan sebagai "hukum sejarah." Ayat-ayat di dalam
surah-surah al-Isra', al-Kahf, al-Ahzab, Fathir, Ghafir,
al-Fath, Ali 'Imran, al-Nisa, al-Anfal, dan lain sebagainya,
yang berbicara tentang sunnatullah dengan berbagai formulasi
seperti sunnat alawwalin, sunnata man arsalna qablak, sunana
al-ladzina min qablikum, semuanya berkaitan dengan peristiwa
sejarah yang dialami para Nabi/Rasul dengan umatnya
masing-masing, yang diminta al-Qur'an supaya diamati,
direnungkan dan mengambil pelajaran daripadanya. Dalam rangka
itu al-Qur'an memperkenalkan tokoh-tokoh sejarah zaman lampau
seperti Fir'aun, Haman, Jalut, Tubba', al-Tsamud, Quraisy, dan
sebagainya. Demikian pula halnya dengan tempat-tempat
bersejarah seperti Badr, Uhud, Hunain, Thur, Hijr, Ahqaf,
Saba', dan sebagainya. Dari sejarah itu tergambar bagaimana
proses kebangkitan suatu umat dan bagaimana proses
kehancurannya, apa faktor-faktor kemenangan dan apa
faktor-faktor kegagalan dalam satu perjuangan. Bagaimana
pertarungan antara pahlawan-pahlawan kebenaran dan
akibat-akibat apa yang dialami para penentang kebenaran yang
melakukan kezaliman, yang mengabaikan nilai-nilai moral, yang
memeras golongan lemah, yang hidup bergelimang kemewahan, dan
seterusnya. Sejarah mempunyai hukumnya sendiri dalam hal-hal
tersebut di atas. Hukum yang berlaku sepanjang sejarah
kehidupan manusia, merupakan sebagian dari sunnatullah, yang
berlaku secara pasti, sebagaimana berlaku natuurwet.

Selain itu, aspek kesejarahan mempunyai juga arti penting
dalam hukum-hukum syar'iyyah. Apa yang dikenal dalam ilmu
hukum dengan historis-interpretasi cukup jelas padanannya
dalam ilmu ushul fiqh yang lazim dipakai dalam mengolah hukum
Islam, dengan adanya hukum nasikh-mansukh, asbab al-nuzul,
asbab al-wurud dan status makkiyah atau madaniyah dari
ayatayat, semuanya itu adalah untuk memperjelas proses
terbentuknya suatu hukum dan latar belakang sejarah yang
mendorong kehadiran hukum tersebut.

Sunnah Rasullullah saw yang menggambarkan perjuangannya selama
dua dasawarsa lebih, yang banyak dicatat dalam al-Qur'an
menerjemahkan dengan jelas sunnatullah yang berlaku dalam
sejarah. Sukses besar berupa keberhasilan membangun dan
membina suatu umat teladan, dan memenangkan suatu perjuangan
besar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta mewujudkan
kesejahteraan yang memberi arti bagi kemanusiaan, semua itu
tidaklah lahir dalam sehari dengan kilatan lampu aladin, tapi
merupakan hasil kerja keras yang lama dan berkesinambungan,
yang didorong oleh rasa percaya diri dan semangat juang yang
tinggi sebagai perwujudan iman dan taqwa. Sunnah Rasulullah
dalam perjuangan itu mendidik umatnya supaya memahami dan
menghayati sunnatullah yang berlaku dalam sejarah. Dalam
hubungan ini Syeikh Mahmud Syaltut mengomentari, ayat-ayat
yang berbicara tentang perjuangan Rasulullah, mengungkapkan
sesungguhnya Allah hanya memenangkan suatu perjuangan sesuai
dengan ketentuan sunnahNya yang berlaku atas segenap
mahluk-Nya. Siapa yang menolong/membela agama Allah dengan
jalan menegakkan keadilan, memantapkan keamanan, menyebarkan
ketentraman, tidak menjadikan kekuatan/kekuasaan itu sebagai
alat menindas dan merusak, tapi hanya sebagai alat menciptakan
kemakmuran dan untuk menegakkan hukum Allah dalam hal
memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar. Lebih
lanjut beliau menjelaskan bahwa dalam al-Qur'an banyak ayat
memuat janji Allah untuk membantu memenangkan perjuangan
orang-orang mukmin, tapi tidak mewujudkan janji itu dalam
bentuk suatu keajaiban yang langsung turun dari langit, hanya
karena mereka sudah mengaku beriman/percaya kepada Allah, atau
karena sudah memeluk agama Allah, tapi dalam bentuk kesadaran
keimanan yang menjadikan mereka menyadari kewajibannya dan
melaksanakan perjuangan dengan gigih tanpa pamrih. Sikap yang
demikian membuktikan bahwa mereka sudah memenuhi janjinya
kepada Allah. Dan Allah pun mewujudkan janjinya pada mereka.
[16]

Ciri utama agama Islam, ialah ajarannya yang cukup praktis dan
realistis menghadapi kenyataan sosial dengan langkah-langkah
pemecahan yang praktis pula. Maka dengan adanya perjuangan
antara kebenaran dengan kebatilan, yang menandai kehidupan
sosial, maka keharusan memenuhi segala persyaratan-persyaratan
itu adalah suatu hal yang mutlak. Sebab-sebab keberhasilan dan
kemenangan dalam suatu perjuangan dapat dipelajari dari
sejarah dan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya juga segala penyebab terjadinya suatu kegagalan
atau kehancuran harus disadari dan dihindari.

Hukum sejarah sejalan dengan hukum alam. Keduanya mempunyai
titik temu dalam hukum sebab-akibat. Pesan dan petunjuk yang
diberikan al-Qur'an pada manusia, demikian pula sunnah
Rasulullah yang memberikan penjelasan praktis pada pesan
al-Qur'an itu, membimbing kita supaya menyadari keterkaitan
segala sesuatu dengan penyebabnya, sebagai syarat bagi
terjadinya.

Ada sebagian pendapat yang kurang memahami sunnatullah dalam
bentuk hukum alam dan hukum sejarah, melihat adanya semacam
kontradiksi antara hukum sebab-musabab (hukum kausal) dengan
hukum teologis yang disebut tauhid, atau hukum moral yang
disebut tawakkal. Dianggapnya hukum tauhid itu cenderung
memberikan cap syirik (mempersekutukan Allah) jika seseorang
menganggap ada penyebab (faktor penentu) selain Allah. Atau
dianggapnya hukum tawakkal bertentangan dengan hukum
sebab-musabab (kausal). Keraguan seperti itu sejak dini telah
muncul, lalu diluruskan oleh sunnah Rasulullah dalam praktek
sebagaimana tercermin dengan jelas dalam cara-cara perjuangan
Rasul saw. yang menempuh segala persyaratan dan mengkaitkan
segala sebab dengan musababnya, disamping menjelaskan hal itu
dalam petunjuk lisannya pada mereka yang segan berobat di kala
ia sakit, karena khawatir kalau-kalau upaya berobat untuk
menghindarkan penyakit bertentangan dengan iman tauhudnya dan
tidak menjadikan ia bertawakkal kepada Allah. Dalam hubungan
itu Nabi saw. bersabda, Bertobatlah kalian, karena
sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan menciptakan juga
obat. [l7] Dalam sabdanya yang lain, ketika Beliau ditanya
tentang pengobatan, apakah itu bertentangan dengan qadar
(taqdir)? Lalu Beliau menjawab, Itu (pengobatan) adalah
sebahagian dari qadar Allah. [18] Imam Ghazali menjelaskan,
sebab-musabab itu adalah sunnatullah dan penyimpangan dari
sunnatullah bukanlah persyaratan dalam tawakkal bahkan ada
kalanya merupakan kebodohan yang dicela agama. Demikian ulasan
al-Ghazali dalam Kitab Tawhid dan Tawakkal. [39]

Penjabaran yang merinci hukum-hukum al-Qur'an yang dilakukan
fiqh memperlihatkan adanya empat bidang utama yang menjadi
sasaran dari hukum itu, yakni bidang 'ibadat, bidang
mu'amalat, bidang munakahat dan bidang jinayat. Hubungan
manusia sebagai makhluk dengan Khaliqnya (Allah) diatur
penataannya melalui hukum ibadat. Tata hubungan antara manusia
dengan sesamanya dalam lalulintas pergaulan dan hubungan
sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, diatur dalam
hukum mu'amalat. Tata hubungan manusia dalam kehidupan
berkeluarga dalam suatu lingkungan rumah tangga, diatur
melalui hukum munakahat, dan terakhir tata hubungan
keselamatan, keamanan serta kesejahteraannya yang ditegakkan
oleh pemegang kekuasaan umum atau badan peradilan, diatur
melalui hukum jinayat.

Adanya hukum-ibadat dalam batang tubuh hukum Islam yang
bersumber dari al-Qur'an itu merupakan ciri utama hukum Islam.
Ibadat tidak lain adalah perwujudan dari akidah yang diimani.
Di sinilah terlihat secara nyata keterkaitan hukum itu dengan
akidah/keimanan. Hubungan antara makhluk (manusia) dengan
Al-Khaliq, diatur secara pasti. Adanya hukum niat yang diberi
peran menentukan nilai perilaku manusia, memperlihatkan dengan
jelas peran moral dalam hukum itu. Di sini pula tampak titik
awal perbedaan antara pemahaman hukum menurut ilmu hukum
dengan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an. Menurut ilmu
hukum, hukum itu hanya sekedar mengurus dan mengatur hubungan
antar sesama manusia. Di luar itu tidak diperlukan hukum.
Selain itu, masih ada perbedaan asasi antara kedua jenis hukum
itu. Menurut ilmu hukum, hukum itu terdiri dari
suruhan/perintah dan larangan serta hak dan kewajiban. Apa
yang dimaksud dengan nilai moral dan akhlak tidaklah tergolong
hukum. Dengan demikian tidaklah mengherankan akibatnya dalam
rangka pembinaan hukum, hanya diarahkan supaya tidak melanggar
rambu-rambu hukum. Kepatuhan mentaati hukum menjadi kepatuhan
yang semu dan bersifat lahiriah belaka. Sebaliknya hukum
menurut ajaran al-Qur'an penegakkannya berjalan sekaligus
dengan penabinaan moral dan akhlak yang bersumber dari
akidah/keimanan. Karena itu penegakkan hukum menurut ilmu
hukum selama tidak diawasi dan diketahui pejabat/aparat hukum
selalu terjadi pelanggaran hukum. Pembinaan hukum di sini
tidak diarahkan kepada pembinaan diri manusianya. Dalam
penegakkan hukum menurut ajaran al-Qur'an selalu ditekankan
suatu pesan sebagai berikut, Wahai orang-orang yang berilmu!
jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan keluarga kerabatmu; kaya maupun miskin,
Allah jualah yang lebih tabu keadaannya. Maka janganlah kalian
mengikuti hawa nafsumu, supaya kalian tidak menyimpang (dari
kebenaran). Dan jika kalian memutarbalikkan (kebenaran) atau
enggan menjadi saksi. Maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala apa yang kalian lakukan. [20] Itulah pesan al-Qur'an,
bagaimana seyogyanya seorang berbuat adil. Tidak dituntut dari
dan terhadap orang lain saja, yang pertama ialah dari dan
terhadap dirinya sendiri.

Kemungkinan seorang pencari keadilan berlaku memperdaya hakim,
atau adanya aparat hukum yang menyalahgunakan kedudukannya,
secara dini al-Qur'an memperingatkan, Dan janganlah sebagian
dari kalian memakan harta benda sebagian yang lain dengan
jalan batil dan jangan pula mempergunakan harta itu sebagai
umpan (guna menyuap) para hakim, supaya kalian dapat memakan
sebahagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kalian mengetahui. [2l]

Dalam hubungan adanya kemungkinan seseorang berlaku
memperdayakan hakim, sunnah Rasulullah memperjelas sebagai
berikut, Sesungguhnya kalian mengajukan perkara-perkara
kepadaku (untuk diputus). Mungkin sebahagian dari kalian lebih
mampu dari yang lain (lawannya) mengemukakan alasan-alasan
untuk memperkuat tuntutannya, lalu aku memutus perkara itu
atas dasar apa yang saya dengar (dari alasan/keterangan) itu.
Maka barang siapa menerima putusan perkara (yang ia sendiri
tahu) bahwa itu hak saudaranya (lawannya dalam perkara) maka
janganlah ia mengambil (hak) itu. Karena sesungguhnya ia hanya
mengambil (menerima dariku) sepotong api neraka. Demikian
sabda Rasulullah. [22]
Dengan demikian maka jelaslah, al-Qur'an memperkenalkan satu
konsepsi hukum yang bersifat integral. Di dalamnya terpadu
antara sunnatullah dengan sunnah Rasulullah, sebagaimana
terpadunya antara aqidah/keimanan dan moral/ahklak, dengan
hukum dalam rumusan yang diajarkan al-Qur'an.

Dengan sifatnya yang demikian itu, maka hukum dari ajaran
al-Qur'an itu mempunyai kekuatan sendiri yang tidak sepenuhnya
tergantung pada adanya suatu kekuasaan sebagai kekuatan
pemaksa dari luar hukum itu. Ide hukum yang diajarkan
al-Qur'an berkembang terus dari kurun ke kurun, melalui jalur
ilmu. Seandainya hukum yang diajarkan al-Qur'an itu tergantung
pada suatu kekuasaan, maka sudah lama jenis hukum ini terkubur
dalam perut sejarah atau sekurang-kurangnya menjadi barang
pajangan di lemari-lemari museum. Karena kita semua cukup
mengetahui betapa hebat upaya dari kekuasaan-kekuasaan yang
mampu menaklukkan wilayah-wilayah Islam dan umatnya disertai
upaya melikwidasi budaya dan hukumnya. Tapi ternyata hukum
Islam dari ajaran al-Qur'an itu dapat memperlihatkan daya
tahannya yang ampuh. Ia tetap bertahan bahkan berkembang dalam
bentuk baru melalui proses taqnin (dirumuskan menjadi positif
melalui yurisprudensi dan adakalanya melalui berbagai bentuk
perundang-undangan).

Di lain pihak, perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat, yang terjadi di negara-negara maju dapat pula mencari
pandangan yang negatif terhadap Islam dan al-Qur'an, yang
sangat mendominasi bangsa-bangsa Barat. Salah satu gejala dari
perkembangan tersebut adalah minat para ilmuwan Barat untuk
mempelajari Islam/Qur'an, sebagai ilmu. Dalam rangka itu para
ahli hukum dari mereka, dari kongres ke kongres mulai terbuka
pandangan terhadap Islam, yang tidak lain wujud nyatanya dan
terinci adalah fiqh (hukum Islam) itu sendiri. Maka Fiqh ini
dijadikan agenda tetap dalam pengkajian-pengkajian mereka di
bidang hukum. Sebagai contoh dapat kita lihat dari hasil
Kongres Ahli-ahli Hukum Internasional yang berlangsung di
London (2-7 Juli 1951) yang antara lain menetapkan,
pokok-pokok hukum (undang-undang) yang terdapat dalam agama
Islam merupakan undang-undang yang bernilai tinggi dan sulit
dibantah kebenarannya. Disamping itu, adanya berbagai madrasah
dan madzhab di dalamnya menunjukkan, perundang-undangan Islam
kaya dengan berbagai teori hukum dan teknik hukum yang indah,
sehingga perundang-undangan ini dapat memenuhi kebutuhan hidup
modern. [23] Dalam rangka pembangunan hukum di negara kita
Republik Indonesia, pembangunan dan pembinaan hukum nasional
diarahkan kepada pembaharuan hukum yang sesuai dengan
kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai
kelanjutan dari pokok pikiran ini, sejak 1978 sampai dengan
1983 telah dilaksanakan pengkajian hukum yang meliputi antara
lain Hukum Islam. Terakhir kita mendengar selesainya upaya
kompilasi Hukum Islam yang dilakukan Mahkamah Agung bersama
Departemen Agama.

Hukum yang diperkenalkan al-Qur'an hidup terus, sekali pun
harus mengalami pasang surut dan pasang naik dan penerapannya,
karena memang demikianlah hukum sejarah dalam sunnatullah
sendiri. Namun harus diakui, perkembangan segi-seginya
tidaklah seimbang. Seginya yang menyangkut hukum sosial
kemasyarakatan (ahkam syar'iyah 'amaliyah/fiqh) lebih banyak
mendominasi perkembangan itu. Dan seginya yang menyangkut
sunatullah berupa hukum alam dan sejarah, kurang mendapat
perhatian dalam pengembangannya. Tetapi bagaimana pun juga,
perkembangan segi fiqhnya yang merumuskan hukum sosial
kemasyarakatan itu, sangat berjasa dalam menumbuhkan kesadaran
hukum dan sikap normatif dalam kehidupan umat Islam.

Selain itu, wawasan hukum yang diperkenalkan al-Qur'an,
penerapannya ternyata juga kurang terpadu antara
hukum-hukumnya yang menyangkut segi sosial kemasyarakatan,
dengan hukum-hukumnya yang menyangkut sunnatullah yang berupa
hukum alam dan hukum sejarah. Dua hal yang disinggung terakhir
ini, yakni keseimbangan dan keterpaduan dalam hal pemahaman,
pelaksanaan dan pengembangan wawasan hukum yang diperkenalkan
al-Qur'an itu merupakan tantangan bagi para ulama dan para
cendekiawan Muslim.

CATATAN

1) QS. al-A'raf:87; Hud:45.

2) QS. al-Mumtahanah:10; al-Maidah:43; dan lain-lain.

3) QS. al-Nisa':68.

4) QS. al-Maidah:42

5) QS. al-Maidah:8.

6) UUD 1945, Penjelasan Umum.

7) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman

8) QS. 'Ali 'Imran.83; Al-Ra'd:15.

9) Jonathan Rutland, Human Body.

10) QS. Fusshilat:53.

11) QS. Yunus:101.

12) QS. al-A'raf: 185.

13) QS. 'Ali 'Imran:190/191.

14) Taisir Ibn' Katsir, I/440.

15) QS. Yunus:15.

16) QS. Yasln:38/40.

17) QS. Fathir :43.

18) QS. al-Ahzab:38.

19) QS. al-Qamar:49.

20) Ilmu Pengetahuan Populer, Grolier Internasional Inc.
IV/146.

21) QS. al-Furqan:2

22) Ihya 'Ulum al-Din, al-Ghazali, LV/89.

23) Min Taujuhat al-Islam, Syaltut, h.272.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: