Monday, December 3, 2007

ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI

V.36. ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI
oleh Nurcholish Madjid (1/4)

Di antara perbendaharaan kata dalam agama Islam ialah iman,
Islam dan ihsan. Berdasarkan sebuah hadits yang terkenal,
ketiga istilah itu memberi umat Islam (Sunni) ide tentang
Rukun Iman yang enam, Rukun Islam yang lima dan ajaran tentang
penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup. Dalam
penglihatan itu terkesan adanya semacam kompartementalisasi
antara pengertian masing-masing istilah itu, seolah-olah
setiap satu dari ketiga noktah itu dapat dipahami secara
tersendiri, dapat bentuk sangkutan tertentu dengan yang lain.

Sudah tentu hakikatnya tidaklah demikian. Setiap pemeluk Islam
mengetahui dengan pasti bahwa Islam (al-Islam) tidak absah
tanpa iman (al-iman), dan iman tidak sempurna tanpa ihsan
(al-ihsan). Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan
iman juga tidak mungkin tanpa inisial Islam. Dalam telaah
lebih lanjut oleh para ahli, ternyata pengertian antara ketiga
istilah itu terkait satu dengan yang lain, bahkan tumpang
tindih sehingga setiap satu dari ketiga istilah itu mengandung
makna dua istilah yang lainnya. Dalam iman terdapat Islam dan
ihsan, dalam Islam terdapat iman dan ihsan dan dalam ihsan
terdapat iman dan Islam. Dari sudut pengertian inilah kita
melihat iman, Islam dan ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.

Trilogi itu telah mendapatkan ekspresinya dalam banyak segi
budaya Islam. Arsitektur masjid Indonesia yang banyak diilhami
oleh, dan pinjam dari, gaya arsitektur kuil Hindu, mengenal
adanya seni arsitektur atap bertingkat tiga. Seni arsitektur
itu sering ditafsirkan kembali sebagai lambang tiga jenjang
perkembangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat
dasar atau permulaan (purwa), tingkat menengah (madya) dan
tingkat akhir yang maju dan tinggi (wusana). Dan ini dianggap
sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman, dan ihsan, selain
juga ada tafsir kesejajarannya dengan syari'at, thariqat dan
ma'rifat. Dalam bahasa simbolisme, interpretasi itu hanya
berarti penguatan pada apa yang secara laten telah ada dalam
masyarakat.

Berikut ini kita akan mencoba, berdasarkan pembahasan para
ulama, apa pengertian ketiga istilah itu dan bagaimana
wujudnya dalam hidup keagamaan seorang pemeluk Islam.
Diharapkan bahwa dengan memahami lebih baik pengertian
istilah-istilah yang amat penting itu kemampuan kita menangkap
makna luhur agama dan pesan-pesan sucinya dapat ditingkatkan.

Pembahasan secara berurutan pengertian istilah-istilah di atas
- pertama Islam, kemudian iman dan akhirnya ihsan - dilakukan
tanpa harus dipahami sebagai pembuatan kategori-kategori yang
terpisah - sebagaimana sudah diisyaratkan - melainkan karena
keperluan untuk memudahkan pendekatan analitis belaka. Dan di
akhir pembahasan ini kita akan mencoba melihat relevansi
nilai-nilai keagamaan dari iman, Islam dan ihsan itu bagi
hidup modern, dengan mengikuti pembahasan oleh seorang ahli
psikologi yang sekaligus seorang pemeluk Islam yang percaya
pada agamanya dan mampu menerangkan bentuk-bentuk pengalaman
keagamaan Islam.

MAKNA DASAR ISLAM

Ada indikasi bahwa Islam adalah inisial seseorang masuk ke
dalam lingkaran ajaran Ilahi. Sebuah Ayat Suci melukiskan
bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi
Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka
belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum
masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS. al-Hujarat 49:14).
Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam konteks
firman itu, kaum Arab Badui tersebut barulah tunduk kepada
Nabi secara lahiriah, dan itulah makna kebahasaan perkataan
"Islam", yaitu "tunduk" atau "menyerah." Tentang hadits yang
terkenal yang menggambarkan pengertian masing-masing Islam,
iman dan ihsan, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa agama memang
terdiri dari tiga unsur: Islam, iman dan ihsan, yang dalam
ketiga unsur itu terselip makna kejenjangan: orang mulai
dengan Islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam
ihsan. Ibn Taimiyah menghubungkan pengertian ini dengan firman
Allah, "Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci pada
kalangan para hamba Kami yang Kami pilih, maka dari mereka ada
yang (masih) berbuat zalim, dari mereka ada yang tingkat
pertengahan (muqtashid), dan dari mereka ada yang bergegas
dengan berbagai kebijakan dengan izin Allah" (QS. Fathir
35:32). Menurut Ibn Taimiyah, orang yang menerima warisan
Kitab Suci (yakni, mempercayai dengan berpegang pada
ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat zalim adalah orang
yang baru ber-Islam, menjadi seorang Muslim, suatu tingkat
permulaan pelibatan dari dalam kebenaran. Ia bisa berkembang
menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mu'min, untuk
mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat menengah
(muqtashid), yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan
zalim, namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja. Dalam
tingkatnya yang lebih tinggi, pelibatan diri dalam kebenaran
itu membuat ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau
dzalim dan berbuat baik, bahkan ia "bergegas" dan menjadi
"pelomba" atau "pemuka" (sabiq) dalam berbagai kebaiikan, dan
itulah orang yang telah ber-ihsan, mencapai tingkat seorang
muhsin. Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dengan
imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-nya, kata Ibn Taimiyah,
akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab. Sedangkan
orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai tingkat
ber-Islam sehingga masih sempat berbuat dzalim, ia akan masuk
surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-dosanya
itu. Jika ia tidak bertobat tidak diampuni Allah (Lihat, Ibn
Taimiyah, al-Iman [Kairo: Dar al-Thiba'at al-Muhammadiyah,
tt.], hal. 11).

Pada saat ini, tentu saja, kata-kata "al-Islam" telah menjadi
nama sebuah agama, khususnya agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. yaitu agama Islam. Tapi, secara generik, "Islam"
bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis atau sebuah
proper noun. Dan ini melibatkan pengertian tentang istilah itu
yang lebih mendalam, yang justru banyak diketemukan dalam
Kitab Suci. Perkataan itu, sebagai kata benda verbal yang
aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini
sikap pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap
itulah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar dan
diterima Tuhan: "Sesungguhuya agama bagi Allah ialah sikap
pasrah pada-Nya (al-Islam) (QS. Al-Imran 3:19). Maka selain
dapat diartikan sebagai nama sebuah agama, yaitu agama Islam,
perkataan al-Islam dalam firman ini bisa diartikan secara
lebih umum, yaitu menurut makna asal atau generiknya, yaitu
"pasrah kepada Tuhan," suatu semangat ajaran yang menjadikan
karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah dasar
pandangan dalam al-Qur'an bahwa semua agama yang benar adalah
agama Islam, dalam pengertian semuanya mengajarkan sikap
pasrah kepada Tuhan, sebagaimana antara lain bisa disimpulkan
dari firman.

Dan janganlah kamu sekalian berbantahan dengan para penganut
Kitab Suci (Ahl al-Kitab) melainkan dengan yang lebih baik,
kecuali terhadap mereka yang dzalim. Dan nyatakanlah kepada
mereka itu, "Kami beriman kepada Kitab Suci yang diturunkan
kepada kami dan kepada yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami
dan Tuhan kamu adalah Maha Esa, dan kita semua pasrah
kepada-Nya (muslimun) (Q.S. al-'Ankabut 29:46).

Sama dengan perkataan "al-Islam" di atas, perkataan "muslimun"
dalam firman itu lebih tepat diartikan menurut makna
generiknya, yaitu "orang-orang yang pasrah kepada Tuhan." Jadi
seperti diisyaratkan dalam firman itu, perkataan muslimun
dalam makna asalnya juga menjadi kualifikasi para pemeluk
agama lain, khususnya para penganut Kitab Suci. Ini juga
diisyaratkan dalam firman,

Apakah mereka mencari (agama) selain agama Tuhan? Padahal
telah pasrah (aslama - "ber-Islam") kepada-Nya mereka yang ada
di langit dan di bumi, dengan taat atau pun secara terpaksa,
dan kepada-Nya-lah semuanya akan kembali. Nyatakanlah, "Kami
percaya kepada Tuhan, dan kepada ajaran yang diturunkan kepada
kami, dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq,
Ya'qub serta anak turun mereka, dan yang disampaikan kepada
Musa dan 'Isa serta para Nabi yang lain dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan mereka itu, dan kita semua pasrah
(muslimun) kepada-Nya. Dan barang siapa menganut agama selain
sikap pasrah (al-Islam) itu, ia tidak akan diterima, dan di
akkirat termasuk orang-orang yang merugi. (QS. 'Alu-'lmran
3:85).

Ibn Katsir dalam tafsirnya tentang mereka yang pasrah
(muslimun) itu mengatakan yang dimaksud ialah "mereka dari
kalangan umat ini yang percaya pada semua Nabi yang diutus,
pada semua Kitab Suci yang diturunkan, mereka tidak
mengingkarinya sedikitpun, melainkan menerima kebenaran segala
sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua Nabi
yang dibangkitkan oleh Tuhan" (Tafsir Ibn Katsir [Beirut: Dar
al-Fikr, 1404 H/1984 M), jilid 1, hal. 380). Sedangkan
al-Zamakhsari memberi makna pada perkataan Muslimun sebagai
"mereka yang bertawhid dan mengikhlaskan diri pada-Nya," dan
mengartikan al-Islam sebagai sikap memaha-esakan (ber-tawhid)
dan sikap pasrah diri kepada Tuhan" (taisir al-Kaskshaf
[Teheran: Intisharat-e Aftab, tt.] jilid 1, hal. 442). Dari
berbagai keterangan itu dapat ditegaskan bahwa beragama tanpa
sikap pasrah kepada Tuhan, betapapun seseorang mengaku sebagai
"muslim" atau penganut "Islam", adalah tidak benar dan tidak
bakal diterima oleh Tuhan.
Selanjutnya, penjelasan yang sangat penting tentang makna
"al-Islam" ini juga diberikan oleh Ibn Taimiyah. Ia mengatakan
bahwa "al-Islam" mengandung dua makna adalah: pertama, ialah
sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong; kedua, ketulusan
dalam sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa, seperti
difirmankan Allah, "wa rajul-an salam-an li rajul-in" (Dan
seorang lelaki yang tulus tunduk kepada satu orang lelaki)
(QS. al-Zumar 39:29). Jadi orang yang tulus itu tidak musyrik,
dan ia adalah seorang hamba yang berserah diri hanya kepada
Allah, Pangeran sekalian alam, sebagaimana Allah firmankan:

Dan siapalah yang tidak suka kepada agama Ibrahim kecuali
orang yang membodohi dirinya sendiri. Padahal sungguh Kami
telah memilihnya di dunia, dan ia di akhirat pastilah termasuk
orang-orang yang salih. Ketika Tuhannya bersabda kepadanya,
"Berserah dirilah engkau!', lalu ia menjawab, "Aku berserah
diri (aslam-tu) kepada Tuhan seru sekalian alam." Dan dengan
ajaran itu Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, demikian pula
Ya'qub. "Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah
memilihkan agama untuk kamu sekalian, maka janganlah sampai
kamu mati kecuali kamu adalah orang-orang yang pasrah
-muslimun- (kepada-Nya) (Q.S. al-Baqarah 2:130-132).

Katakanlah (hai hluhammad), ",Sesungguhnya aku telah diberi
petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus. Yaitu agama
yang tegak, ajaran Ibrahim, yang hanif, dan tidaklah dia
termasuk orang-orang musyrik." Katakan juga (hai Muhammad),
"Sesungguhnya sembahyangku, darmabaktiku, hidupku dan matiku
adalah untuk Allah seru sekalian alam, tiada serikat bagi-Nya.
Begitulah aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama dari
kalangan orang-orang yang pasrah." (QS. al-An'am 6:161-163).

Dan kembalilah kamu semua kepada Tuhanmu, serta berserah
dirilah kamu semua (aslimu) kepada-Nya sebelum tiba kepada
kamu azab, lalu kamu tidak tertolong lagi. (QS. al-Zumar
39:54).

Demikian itu sebagian dari penjelasan yang diberikan Ibn
Taimiyah tentang makna al-Islam [lihat, Ibn Taimiyah, al-Amr
bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar al-Kitab
al-Jadid, 1976, hal. 72-3). Berdasarkan pengertian-pengertian
itu juga harus dipahami penegasan dalam al-Qur'an bahwa semua
agama para Nabi dan Rasul adalah agama Islam. Yakni, agama
yang mengajarkan sikap tunduk dan patuh, pasrah dan berserah
diri secara tulus kepada Tuhan dengan segala qudrat dan
iradat-Nya. Maka sebagai misal, mengenai Nabi Ibrahim as.
ditegaskan bahwa dia bukanlah seorang penganut agama komunal
seperti Yahudi atau Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang
tulus mencari dan mengikuti kebenaran (hanif) dan yang pasrah
kepada Tuhan (muslim) (QS. 'Ali 'Imran 3:67). Demikian agama
seluruh Nabi keturunan Ibrahim, khususnya anak-cucu Ya'qub
atau Bani Israil, sebagaimana dilukiskan dalam penuturan Kitab
Suci, demikian:

Adakah kamu menyaksikan tatkala maut datang kepada Ya'qub, dan
ketika ia bertanya kepada anak-anakuya, "Apakah yang akan kamu
sekalian sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab, "Kami
menyembah Tuhanmu dan Tuhan leluhurmu, Ibrahim, Isma'il dan
Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada-Nya kamu semua
pasrah (muslim) (QS al-Baqarah 2:133).

Kemudian tentang Nabi Musa as. digambarkan melalui ucapan
pertobatan Fir'aun bahwa dia, Nabi Musa, membawa ajaran agar
manusia pasrah (muslim) kepada Tuhan. Dengan begitu, agamanya
pun sebuah agama Islam. Kata Fir'aun! yang berusaha bertobat
setelah melihat kebenaran, "Aku percaya bahwa tiada Tuhan
kecuali yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk
orang-orang yang pasrah -muslimun- (kepadaNya)" (QS. Yunus
90:10). Demikian pula, sebuah ilustrasi tentang Nabi 'Isa dan
para pengikutnya, menunjukkan bahwa agama yang diajarkannya
pun adalah sebuah agama Islam, dalam arti agama yang
mengajarkan sikap pasrah kepada-Nya:

Maka ketika 'Isa merasakan adanya sikap ingkar dari mereka
(kaumnya), ia berkata, "Siapa yang akan menjadi pendukungku
kepada Allah?" Para pengikut setianya (al-Hawariyyun) berkata,
"Kamilah para pendukung (menuju) Allah, kami beriman kepada
Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang
pasrah -muslimun- (kepada-Nya). (QS. 'Ali 'Imran 3:52).

Karena semua agama yang benar adalah agama yang mengajarkan
sikap pasrah kepada Tuhan, maka tidak ada agama atau sikap
keagamaan yang bakal diterima Tuhan selain sikap pasrah kepada
Tuhan atau Islam itu. Dan karena Islam pada dasarnya bukanlah
suatu proper name untuk sebuah agama tertentu (para Nabi,
Rasul dan umat terdahulu yang digambarkan dalam Kitab Suci
sebagai orang-orang yang pasrah kepada Tuhan itu pun tidak
menggunakan lafal harfiah "Islam" atau pun "muslim") maka
orang pemeluk Islam sekarang ini, juga seorang muslim, masih
tetap dituntut untuk mengembangkan dalam dirinya kemampuan dan
kemauan untuk tunduk patuh serta pasrah dan terserah diri
kepada Tuhan dengan setulus-tulusnya. Hanya dengan itu agama
dan keagamaan bakal diterima Allah, dan di akhirat tidak bakal
termasuk mereka yang merugi. Inilah yang sebenarnya dimaksud
oleh firman Allah, "Sesungguhnya agama bagi Allah ialah
al-Islam (yaitu sikap pasrah yang tulus kepada-Nya) (QS. 'Ali
'Imran 3:19), serta firman Allah: "Dan barangsiapa menganut
selain al-Islam (sikap pasrah kepada Allah) sebagai agama maka
ia tidak akan diterima, dan di akhirat ia akan termasuk mereka
yang menyesal"- (QS. 'Ali 'Imran 3:85). Sudah terang bahwa
Islam dalam pengertian ini mustahil tanpa iman, karena ia
dapat tumbuh hanya kalau seseorang memiliki rasa percaya
kepada Allah yang tulus dan penuh.

PENGERTIAN DASAR IMAN

Kita telah mengetahui pengertian iman secara umum, yaitu sikap
percaya, dalam hal ini khususnya percaya pada masing-masing
rukun iman yang enam (menurut akidah Sunni). Karena percaya
pada masing-masing rukun iman itu memang mendasari tindakan
seorang maka sudah tentu pengertian iman yang umum dikenal itu
adalah wajar dan benar.

Namun, dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak cukup
hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu
belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau
eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan. Dalam pengertian
inilah kita memahami sabda Nabi bahwa iman mempunyai lebih
dari tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan
Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah menyingkirkan
bahaya di jalanan:

[Tulisan Arab]

Juga dalam pengertian ini kita memahami sabda Nabi, "Demi
Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak beriman!" Lalu
orang bertanya, "Siapa, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab,
"Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan
buruknya." Lalu orang bertanya lagi, "Tingkah laku buruknya
apa?" Beliau Jawab, "Kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan."

[Tulisan Arab]

Juga sabda Nabi, "Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu
tidak akan masuk surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak
beriman sebelum kamu saling mencintai. Belumkah aku beri
petunjuk kamu tentang sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu
akan saling mencintai? Sebarkanlah perdamaian di antara sesama
kamu!"

[Tulisan Arab]

Keterpaduan antara iman dan perbuatan yang baik juga
dicerminkan dengan jelas dalam sabda Nabi bahwa orang yang
berzina, tidaklah beriman ketika ia berzina, dan orang yang
meminum arak tidaklah beriman ketika ia meminum arak, dan
orang yang mencuri tidaklah beriman ketika ia mencuri, dan
seseorang tidak akan membuat teriakan menakutkan yang
mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman."

[Tulisan Arab]

Tiadanya iman dari orang yang sedang melakukan kejahatan itu
ialah karena iman itu terangkat dari jiwanya dan
"melayang-layang di atas kepalanya seperti bayangan." Demikian
itu keterangan tentang iman yang dikaitkan dengan perbuatan
baik atau budi pekerti luhur. (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman,
hal.l2-13).

Berdasarkan itu, maka sesunggahnya makna iman dapat berarti
sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik. Ini dikuatkan
oleh adanya riwayat tentang orang yang bertanya kepada Nabi
tentang iman, namun turun wahyu jawaban tentang kebajikan
(al-birr), yaitu:

Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah
Timur atau pun Barat. Tetapi kebajikan ialah jika orang
beriman kepada Allah, hari Kemudian, para malaikat, Kitab Suci
dan para Nabi. Dan jika orang mendermakan hartanya, betapa pun
cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim
orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, dan untuk
orang yang terbelenggu perbudakan. Kemudian jika orang itu
menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Juga mereka yang
menepati janji jika membuat perjanjian, serta tabah dalam
kesusahan, penderitaan dan masa-masa sulit. Mereka itulah
orang-orang yang tulus, dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa." (QS. 2:177).

Oleh karena itu perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci
dan sunnah Nabi sering memiliki makna yang sama dengan
perkataan kebajikan (al-birr), taqwa, dan kepatuhan (al-din)
pada Tuhan (al-din) (Lihat Ibn Taimiyah, al-Iman, hal.
162-153).

PENGERTIAN DASAR IHSAN

Dalam hadits yang disinggung di atas, Nabi menjelaskan, "Ihsan
ialah bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihat engkau." Maka ihsan adalah ajaran
tentang penghayatan pekat akan hadirnya Tuhan dalam hidup,
melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadap dan berada
di depan hadirat-Nya ketika beribadat. Ihsan adalah pendidikan
atau latihan untuk mencapai dalam arti sesungguhnya. Karena
itu, seperti dikatakan Ibn Taimiyah di atas, ihsan menjadi
puncak tertinggi keagamaan manusia. Ia tegaskan bahwa makna
ihsan lebih meliputi daripada iman, dan karena itu, pelakunya
adalah lebih khusus daripada pelaku iman, sebagaimana iman
lebih meliputi daripada Islam, sehingga pelaku iman lebih
khusus daripada pelaku Islam. Sebab dalam Ihsan sudah
terkandung iman dan Islam, sebagaimana dalam iman sudah
terkandung Islam (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman, hal. 11).

Kemudian, kata-kata ihsan itu sendiri secara harfiah berarti
"berbuat baik." Seorang yang ber-ihsan disebut muhsin, sebagai
seorang yang ber-iman disebut mu'min dan yang ber-Islam
disebut muslim. Karena itu, sebagai bentuk jenjang penghayatan
keagamaan, ihsan terkait erat sekali dengan pendidikan berbudi
pekerti luhur atau berakhlaq mulia. Disabdakan oleh Nabi bahwa
yang paling utama di kalangan kaum beriman ialah yang paling
baik ahlaqnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits
[tulisan Arab]. Dirangkaikan dengan sikap pasrah kepada Allah
atau Islam, orang yang ber-ihsan disebutkan dalam Kitab Suci
sebagai orang yang paling baik keagamaannya:
Siapakah yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang
memasrahkan (aslama) dirinya kepada Allah dan dia adalah orang
yang berbuat kebaikan (muhsin), lagi pula ia mengikuti agama
Ibrahim secara tulus mencari kebenaran (hanif-an) (QS.
al-Nisa: 4:125).

Ihsan dalam arti akhlaq mulia atau pendidikan ke arah akhlaq
mulia sebagai pucak keagamaan dapat dipahami juga dari
beberapa hadits terkenal seperti "Sesungguhnya aku diutus
hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi"
[tulisan Arab] dan sabda Beliau lagi bahwa yang paling
memasukkan orang ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan
keluhuran budi pekerti."

[Tulisan Arab]

Jika kita renungkan lebih jauh, sesungguhnya makna-makna di
atas itu tidak berbeda jauh dari yang secara umum dipahami
oleh orang-orang muslim, yaitu bahwa dimensi vertikal
pandangan hidup kita (iman dan taqwa --habl min al-Lah,
dilambangkan oleh takbir pertama atau takbirat al-Ihram dalam
shalat) selalu, dan seharusnya, melahirkan dimensi horizontal
pandangan hidup kita (amal salih, akhlaq mulia, habl min
al-nas, dilambangkan oleh ucapan salam atau taslim pada akhir
shalat). Jadi makna-makna tersebut sangat sejalan dengan
pengertian umum tentang keagamaan. Maka sebenarnya di sini
hanya dibuat penjabaran sedikit lebih mendalam dan penegasan
sedikit lebih kuat terhadap makna-makna umum itu.

Ihsan, Tasawuf dan Psikoterapi

Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlaq mulia kita melihat
hubungan ihsan dengan ajaran kesufian atau tasawuf. Menurut
K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari, dengan mengutip Kitab Futuhat
al-Ilahiyyah, ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh
orang yang bakal menjalankan thariqat: 1) qashd shahih,
artinya, dalam menjalani thariqat itu ia harus mempunyai
tujuan yang benar, yaitu niat menjalaninya sebagai ubudiyyah,
yakni penghambaan diri kepada Tuhan Yang Maha Benar (al-Haqq),
dan berniat memenuhi haqq al-rubbiyyah, yakni hak Ketuhanan
Allah Ta'ala, bukan untuk meraih keramat atau pangkat, juga
bukan untuk memperoleh hasil yang bersifat nafsu seperti ingin
dipuji orang lain dan seterusnya; 2) shidq sharif, artinya
kejujuran yang tegas, yaitu bahwa murid harus membenarkan dan
memandang gurunya sebagai memiliki rahasia keistimewaan (sirr
al-khushushiyyah) yang akan membawa muridnya ke hadapan Ilahi
atau hadlrat al-ilahiyyah; 3) adab murdliyyah, artinya,
tatakrama yang diridhai, yaitu bahwa orang yang mengikuti
thariqat harus menjalankan tatakrama yang dibenarkan ajaran
agama, seperti sikap kasih sayang kepada orang yang lebih
rendah, menghormati orang lain sesamanya dan yang lebih
tinggi, sikap jujur, adil dan lurus terhadap diri sendiri, dan
tidak memberi pertolongan kepada orang lain hanya karena
kepentingan diri sendiri; 4) akwal zakiyyah artinya, tingkah
laku yang bersih, yaitu bahwa orang masuk thariqat tersebut
tingkah lakunya dan ucapan-ucapannya harus sejalan dengan
syari'at Nabi Muhammad saw.; 5) hifz al-hurmah, artinya,
menjaga kehormatan, yaitu bahwa orang yang mengikuti thariqat
harus menghormati gurunya, hadir atau gaib, hidup atau pun
mati, dan menghormati sesama saudara pemeluk Islam, tabah atas
sikap-sikap permusuhan saudara, dengan menghormati orang yang
lebih tinggi dan cinta kasih kepada orang yang lebih rendah;
6) husn al-khidmah, artinya, orang yang masuk thariqat harus
mempertinggi mutu pelayanannya kepada guru, pada sesama
saudara pemeluk Islam, dan kepada Allah swt. dengan
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangannya al-shiddiq-un dan itulah al-maqshud al-a'dzham
(tujuan agung) mengikuti thariqat; 7) raf' al-himmah, artinya,
mempertinggi mutu tekad hati, yaitu bahwa orang masuk thariqat
tidak karena tujuan-tujuan dunia dan akhirat tapi karena
hendak mencapai ma'rifat khashshah (ma'rifat atau pengetahuan
khusus atau istimewa) tentang Allah swt.; 8) nufudz
al-'azimah, artinya, kelestarian tekad dan tujuan, yaitu bahwa
orang yang masuk thariqat harus menjaga kelestarian tekad dan
tujuannya, memelihara kelanjutan menjalankan thariqatnya, demi
meraih ma'rifat khashshah tentang Allah Ta'ala, dan bila
melakukan kebajikan maka ia melakukannya dengan lestari
sehingga berhasil (Lihat, Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Durrar
al-Muntatshirah fi al-Masa'il al-Tis' al'Asyarah (tanpa tempat
penerbitan, 1359 H/1940 M, hal. 16-17). KH. Hasyim Asy'ari
juga menegaskan bahwa tujuan menjalankan thariqat ialah
mempertinggi tatakrama, abad atau akhlaq. Ia mengutip sebuah
syair dari Kitab Al-Mabahits al-Ashliyyah, demikian:

[Tulisan Arab]

Tujuan thariqat ialah pendidikan tatakrama, dalam segala
tingkah laku, dan itulah madzhabnya.

Dengan mengutip Abu al-Hasan al-Syadzili, KH. Hasyim Asy'ari
mengetengahkan empat tatakrama yang seseorang tidak dapat
disebut pengikut thariqat jika tidak menjalaninya, betapapun
luasnya pengetahuan orang tersebut. Empat tatakrama atau
akhlaq itu ialah: 1) menjauhi semua orang yang bertindak
dzalim, seperti penguasa atau orang kaya yang berlaku tidak
adil pada orang lain; 2) menghormati orang yang memusatkan
perhatiannya pada akhirat; 3) menolong kaum melarat; 4) selalu
melakukan shalat berjama'ah dengan orang banyak (ibid, hal.
17).

Kata K.H. Hasyim Asy'ari selanjutnya, "Telah berkata Imam Muhy
al-Din Ibn al'Arabi, ra. Adapun empat akhlak itu, maka siapa
saja yang menjalankan keempat-empatnya, ia sungguh telah
menggabungkan semua kebajikan, yaitu: 1) ta'zhim hurumat
al-muslimin, artinya, menjunjung kehormatan semua orang Islam;
2) khidmat al-fuqara wa al-masakin, artinya, melayani kaum
fakir-miskin; 3) wa l-inshaf min nafsihi, artinya, jujur dan
adil mengenai diri sendiri; 4) tark al-intishar la-ha,
artinya, tidak memberi pertolongan hanya semata karena
kepentingan diri sendiri." (ibid, hal. 18).

Selanjutoya, KH. Hasyim Asy'ari, dengan mengutip Suhrawardi,
menjelaskan bahwa jalan kaum sufi ialah niat untuk
membersihkan jiwa dan menjaga hawa nafsu, serta untuk
melepaskan diri dari berbagai bentuk 'ujub, takabbur, riya'
dan hubb al-dunya (kagum pada diri sendiri, sombong, suka
pamrih, dan cinta kehidupan duniawi), dan lain sebagainya,
serta menjalani budi pekerti yang bersifat kerohanian, seperti
ikhlas, rendah hati (tawadldlu), tawakkal (bersandar dan
percaya kepada Tuhan), selalu memberikan perkenan hati pada
setiap kejadian dan terhadap orang lain (ridla), dan
seterusnya, serta karena hendak memperoleh ma'rifat dari Allah
dan tatakrama di hadapan Allah (ibid, hal. 18).

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa menurut banyak ulama, tasawuf
mengandung berbagai hakikat dan keadaan tertentu yang membahas
segi-segi kelakuan dan akhlaq para pengamalnya. Ada kalangan
yang mengatakan bahwa seorang sufi ialah orang yang bersih
(shafa) dari kekotoran, penuh dengan pemikiran, dan yang
baginya sama saja antara nilai emas dan batu-batuan. Kemudian
mereka lanjutkan kesufian itu mencapai makna orang yang
berkata benar (al-siddiq), dan semulia-mulia manusia setelah
para nabi ialah orang-orang yang berkata benar itu, seperti
difirmankan Allah, "Mereka itulah orang-orang yang diberikan
nikmat kebahagiaan oleh Allah, yang terdiri dari para Nabi,
orang-orang yang berkata benar, para syuhada, dan orang-orang
salih. Sungguh baik mereka itu dalam perkawanan" (QS. al-Nisa'
4:69). Karena itu, bagi mereka sesudah para nabi tidak ada
yang lebih mulia daripada kaum sufi. Namun sesungguhnya kaum
sufi termasuk jenis tertentu kelompok orang-orang yang benar,
yaitu orang yang benar dalam zuhud atau asketisme dan ibadat
menurut cara yang mereka ijtihadkan. Jadi orang sufi adalah
al-shiddzq dalam arti di kalangan para pengamal zuhud dan
ibadat itu, sebagaimana juga adanya al-shiddiqu di kalangan
para ulama, al-shiddiq-u di kalangan para umara (pejabat), dan
seterusnya. Mereka belum tentu mencapai derajat al-shiddiq-u
mutlak, yang sempurna kualitas kebenarannya dalam berkata,
yang terdiri dari para sahabat Nabi, kaum Tabi'un dan kaum
pengikut Tabi'un itu [Ibn Taimiyah, al-Shufiyyah wa al-Furuqa,
(Cairo: al-Manar, 1348 H.), hal. 17-18].

Kesufian merupakan cabang keagamaan dalam Islam yang sering
kontroversial. Beberapa tokohnya menjadi sasaran kritik,
bahkan penyiksaan atau pembunuhan, disebabkan pendirian atau
praktek mereka yang dianggap menyimpang dari agama yang benar.
Sekalipun KH. Hasyim Asy'ari, seperti terbukti dari keterangan
di atas demikian menghargai tasawuf dan kaum sufi, namun ia
dikenal sangat keras terhadap setiap gejala penyimpangan dalam
amalan thariqat. Sikap ini ia ungkapkan dalam risalahnya yang
ia tulis pada tahun 1360 H. Al-Tibyanfi al-Nahy 'an Muqatha'at
al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Percetakan
Nahdlatul Ulama, tt.).

Ibn Taimiyah melacaki sejarah munculnya kaum sufi dan paham
tasawuf itu dari orientasi keagamaan yang tumbuh di kota
Basrah, Irak, yang menunjukkan ciri-ciri kezuhudan yang
tinggi. Berbeda dengan para ulama kota Kuffah yang lebih
banyak mencurahkan perhatian pada bidang hukum dan
mengembangkan keahlian di bidang fiqh, para ulama kota Basrah
menghayati agama dalam spiritualisme yang pekat dan
menumbuhkan amalan-amalan guna mempertinggi pengalaman
keagamaan yang mendalam. Mereka dikenal sebagai para pengamal
ubudiah (al-'ubbad), para pengamal kezuhudan (al-zuhhad),
dengan titik orientasi keagamaan yang berbeda dari para ulama
Kuffah. Namun, menurut Ibn Taimiyah, kedua kelompok itu
sama-sama berhak memperoleh sebutan al-shiddiq-u, hanya saja
masing-masing menempuh jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya
menurut ijtihad yang mereka lakukan.

Tapi, lanjut Ibn Taimiyah dalam penjelasannya, karena di
kalangan mereka terjadi banyak ijtihad dan perbedaan pendapat,
maka masyarakat pun berselisih dalam menilai kaum sufi.
Sekelompok orang memandang mereka sebagai kaum pembuat bid'ah
dan menyimpang dari sunnah, dan banyak dikutip orang
pernyataan serupa itu dari kalangan para ulama yang sudah
dikenal. Pandangan serupa ini banyak dianut oleh kalangan ahli
fiqh dan kalam. Kemudian segolongan masyarakat lain berlebihan
dalam penilaian positif mereka pada kaum sufi. Golongan ini
melihat kaum sufi sebagai makhluk paling utama dan paling
mulia setelah para Nabi. Ibn Taimiyah menegaskan bahwa kedua
pandangan yang ekstrem itu tercela. Yang benar ialah bahwa
kaum sufi adalah orang-orang yang berijtihad dalam menaati
Allah, sebagai golongan lain yang taat kepada Allah juga
melakukan ijtihad. Maka di kalangan kaum sufi ada golongan
pemuka (al-sabiq) yang memperoleh kedekatan (al-muqarrab)
kepada Allah setingkat dengan ijtihadnya. Juga ada golongan
yang sedang-sedang saja (al-muqtashid), yang termasuk kelompok
ahl al-yamin ("kelompok kanan" seperti disebutkan QS.
al-Waqi'ah 56:38). Dan pada masing-masing golongan itu ada
yang melakukan ijtihad lalu membuat kesalahan, ada yang
berdosa dan kemudian bertobat atau tidak bertobat. Dari
kalangan mereka yang mengikuti kaum sufi juga ada orang-orang
yang dzalim dan membangkang pada Tuhannya (ibid, hal. 19-20).
"Dan", tandas Ibn Taimiyah, "barang siapa menganggap tercela,
terhina dan terkutuk setiap orang yang melakukan ijtihad dalam
usaha taat kepada Allah namun pada membuat kesalahan dalam
beberapa perkara, maka ia keliru, sesat dan pembuat bid'ah
(ibid, hal. 16). Anggapan serupa itu, menurut Ibn Taimiyah,
adalah pendirian kaum ekstremis. Lalu ia tegaskan bahwa "Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah menganut pandangan seperti disebutkan
dalam Kitab, sunnah dan ijma" yaitu bahwa seorang yang
beriman, berdasarkan janji Allah dan kemurahan-Nya, berhak
atas pahala untuk kebaikan-kebaikannya dan berhak atas siksa
untuk kejahatan-kejahatannya, dan bahwa dalam diri satu orang
tergabung sesuatu (kebaikan) yang bakal mendapat pahala dan
sesuatu (kejahatan) yang bakal mendapat siksa, juga ada
sesuatu yang terpuji dan ada sesuatu yang tercela, sebagaimana
juga ada sesuatu yang menyenangkan dan ada sesuatu yang tidak
menyenangkan, dan begitu seterusnya." (ibid, hal. 17).
Jadi ihsan yang diwujudkan secara nyata dalam tasawuf,
kemudian yang dipraktekkan melalui ajaran thariqat, pada
analisa terakhir adalah sebuah wawasan tentang kebulatan,
kebenaran, atau kebenaran dalam dimensinya yang utuh.
Kemampuan menangkap kebenaran yang utuh itulah tingkat yang
paling sulit dicapai oleh manusia, bahkan juga yang paling
sulit dipahami. Sebabnya ialah, kebenaran dalam dimensinya
yang utuh, justru dalam dirinya mengandung paradoks, dan orang
dapat belajar menangkap keutuhan kebenaran itu jika ia
terlatih melihat paradoks-paradoks dan berusaha menangkap apa
hakikat yang ada di balik penampakkan lahiriahnya itu.

Pembahasan tentang kebenaran yang utuh dalam wujud yang
paradoksal itu biasanya dilakukan dengan merujuk pada kisah
dalam Kitab Suci tentang Nabi Musa as., dengan seorang yang
dilukiskan sebagai seorang hamba Allah yang memperoleh 'ilmu
ladunni, yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah. Tokoh
ini dalam literatur kesufian biasa diidentifikasi sebagai Nabi
Khidlir (al-Khidlr), yang agaknya merupakan nama perlambang
akan kebenaran yang selalu hijau agar dan tidak pernah mati
(khidlr artinya hijau). Dalam kisah itu dituturkan bagaimana
seorang Nabi yang hebat seperti Musa tidak tahan, dan
memprotes keras sekali-kali melihat tingkah laku orang tua
yang bijak dan menjadi gurunya itu, seperti tindaknya merusak
perahu milik seorang nelayan miskin, membunuh bocah yang
sedang asyik bermain dan menegakkan tembok rumah yang hampir
roboh di sebuah desa yang penduduknya bersikap tidak ramah
pada mereka berdua. Dan barulah Musa paham akan tingkah laku
aneh gurunya itu ketika ia memperoleh keterangan saat mereka
hendak berpisah: guru itu merusak perahu nelayan miskin, ialah
justru untuk menyelamatkan miliknya yang berharga itu dari
bahaya perampok yang memilih perahu-perahu --yang nampak baik
dan utuh; ia bunuh bocah itu karena ia tahu dari Allah bahwa
anak itu akan tumbuh menjadi penjahat dan membuat sengsara
orang tuanya, padahal orang tuanya adalah lelaki-perempuan
yang saleh, dan ia juga tahu Allah akan menggantinya dengan
anak yang lebih suci; ia tegakkan tembok rumah yang hendak
roboh itu, karena di dalamnya terdapat harta anak yatim yang
kini tinggal di kota dan ia bermaksud melindungi harta itu
sehingga dapat dimanfaatkan oleh anak yatim tersebut dan
selamat dari gangguan pencurian penduduk desa yang akhlaqnya
rendah itu.

Penampilan paradoksal tokoh-tokoh kesufian sudah cukup
terkenal. Bahkan dalam anggapan yang sangat umum, keanehan
sering justru dianggap sebaga bagian dari kualtias tokoh
tersebut sebagai "orang suci" atau kekasih Allah (wali). Namun
justru disini letak masalahnya yang paling pelik, yaitu,
menurut para filsuf kesufian sendiri, tidak ada seorang wali
yang mengaku sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh
agar disebut sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh
agar disebut sebagai seorang wali. Juga tak ada yang tahu
bahwa seseorang itu wali kecuali seorang wali sendiri. Seperti
dikatakan oleh penulis kitab Nata'ij al-Afkar sebagaimana
dikutip ole KH. Hasyim Asyari:

Seorang wali tidak akan membuka pintu ketenaran dan pengakuan,
bahkan kalau seandainya ia mampu mengubur dirinya tentu ia
akan lakukan hal itu. Maka siapa saja yang menginginkan
dirinya menonjol, tidaklah dia termasuk golongan thariqat
sedikit pun juga, malah sebaliknya, dia berlawanan dengan
tingkah laku mereka (golongan thariqat). (Muhammad Hasyim
Asy'ari, Al- Durar antara lain Muntatsirah fi al-Masa'il
al-Tis' al-'Asyarah," dalam op cit, hal. 8-9)

Pandangan tentang keutuhan kebenaran yang mengandung paradoks
ini juga dicerminkan dalam keterangan tentang sifat atau sikap
Allah sendiri, seperti misalnya, bahwa Dia adalah Awal dan
yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin, dan bahwa Dia adalah
Maha Pengampun dan Maha Penyayang, tapi juga Maha Dahsyat
azhab-Nya:

Beritahukan kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku Yang
Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya
azabku adalah azab yang amat pedih (Q.S. al-Hijr 15:49-50).

Oleh karena Tuhan adalah Maha Esa (ahad; wahid), maka tidak
mungkin Wujud-Nya terdiri dari dua bagian, pertama sebagai
Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan kedua sebagai yang
azab-Nya amat pedih. Paradoks itu hanyalah suatu wujud nisbi,
sedangkan wujud mutlaknya berada di balik paradoks itu, yang
justru karena kemutlakannya maka manusia tidak akan mampu
menangkapnya. Manusia hanya harus melatih diri untuk melihat
paradoks-paradoks, den mencoba memperoleh cita rasa (menurut
istilah al-Ghazali, dzawq) kebenaran yang utuh di balik
paradoks-paradoks, tanpa mesti mengetahui hakikatnya yang
mutlak dan tak mungkin diraih yang nisbi itu.

Dengan mengutip Risalah Qusyayriyyah den syarahnya, KH. Hasyim
Asy'ari bahwa tauhid mengenal tigajenjang: pertama penilaian
bahwa Allah satu adanya; kedua, pengetahuan (dengan ilmu den
teori) bahwa Allah itu satu adanya; den ketiga, timbulnya cita
rasa penglihatan pada Yang Maha Benar (al-Haqq). Yang pertama,
adalah tauhid kaum awam; yang kedua, tauhid para ulama kaum
eksoteris (ahl al-zhahir); dan yang ketiga, adalah tauhid kaum
sufi yang telah mencapai ma'rifat dan yang memiliki pengalaman
tentang hakikat. (Hasyim Asy'ari, "Al-Durrar," dalam op. cit.,
hal. 10-11).

PENUTUP

Hukum paradoks yang oleh kaum sufi dicoba dihayati secara
intens itu adalah sesungguhnya hukum atau Sunnah Allah
(Sunnatullah) juga, seperti disebutkan dalam firman Allah:
"Dan dari segala sesuatu Kami ciptakan wujud berpasangan
(yakni, terdiri dari dua bagian yang paradoksal), agar kamu
renungkan." (Q.S. al-Dzariyat 51:49).

Maha Suci Dia yang telah menciptakan segala sesuatu
berpasang-pasangan; dari segala sesuatu yang ditumbuhkan bumi,
dari diri mereka (manusia) sendiri, dan dari hal-hal lain yang
tidak kamu ketahui (yakni, tidak dapat kamu pahami). (Q.S.
Yasin 36:36)

Sebuah hadits menyebutkan tentang adanya sabda Nabi saw.
"Berakhlaq kamu dengan akhlaq Allah." Berkenaan dengan masalah
hukum paradoksal ini, sabda Nabi itu tentunya juga dimaksudkan
antara lain agar kita mempunyai sikap menghayati melalui cita
rasa, akan kebenaran yang utuh, yang mungkin terdiri dari
paradoks-paradoks, dengan mencoba menerima hikmah yang ada di
belakang, seperti (seharusnya) sikap Nabi Musa terhadap
tingkah laku gurunya, al-Khidlr.

Dengan menerima kenyataan-kenyataun paradoksal sambil meyakini
adanya hikmah di balik penampakan lahiriahnya, seseorang akan
mengalami ketenteraman, atau gejolak untuk "memberontak"
akibat sikap menolak paradoks-paradoks dapat ditekan. Ini
dapat mempunyai dampak penyembuhan den penyehatan jiwa,
seperti saat sekarang mulai banyak digunakan dalam
teknik-teknik penyembuhan psikoterapis. Dikatakan oleh Prof.
Muhammad Shaalan, Guru Besar den ketua Departemen
Neuro-pschiciatry Universitas Al-Azhar, Kairo, yang melihat
kaitan pengalaman kesufian dengan psikologi modern aliran C.G.
Jung:

The use paradox is not explicitly described as a technique in
jungian therapy, but the basis of it is there. Recently it has
been given a name and clarified as technique. Paradoxes serve
to bring out a person from complacency of accepting either I
or concepts so that a different and higher state of
consciousness is attained immediately.

With the sufi, the use of paradox is not restricted to
technique but is a genuine expression of his state of
consciousness. By example and action rather than by preaching
and teaching, a sufi conveys directly to the intuition of his
follower the paradoxical naure of truth (Prof. Dr. Muhammad
Shaalan, "Some Parallel between Sufi Practices and the path of
individucation", dalam J. Marvin Spiegelman, Ph.D., et al.,
ed., Sufism, Islam and Jungian Psychology (Scottsdale,
Arizona: Falcon Press, 1991), hal. 88.

(Penggunaan paradoks tidak dengan jelas digambarkan sebagai
suatu teknik -penyembahan- dalam terapi care Jung, tetapi
dasarnya ada di sana. Baru-baru ini paradoks itu telah diberi
sebuah name dan dijelaskan sebagai teknik. Paradoks berguna
untuk melepaskan seseorang dari rasa puas diri dalam menerima
konsep-konsep yang bersifat ya atau tidak, sehingga tingkat
kesadaran yang berbeda den lebih tinggi dapat segera dicapai.

Dengan seorang Sufi, penggunaan paradoks tidak dibatasi hanya
sebagai teknik tetapi merupakan suatu ekspresi sejati tingkat
kesadaran Sufi itu. Melalui percontohan den tindakan, dan
bukannya melalui wejangan dan pengajaran, seorang sufi secara
langsung menyajikan intuisi pengikutnya sifat paradoksal dari
kebenaran).

Sebuah ayat menegaskan bahwa kita harus bersifat adil
sekaligus melakukan ihsan yaitu firman Allah: "Sesungguhnya
Allah memerintahkan sikap adil dan ihsan" (QS. al-Nahl 16:90)

Dari berbagai kemungkinan tafsir atas firman itu, melakukan
keadilan terhadap segala suatu ialah memahaminya dalam
kerangka pandangan yang berkeseimbangan ('adl sendiri artinya
seimbang) antara bagian-bagian yang nampak paradoksal, tanpa
berat sebelah, dan dengan sikap menerima menurut apa adanya.
Kemudian ihsan dapat diartikan sebagai usaha penuh ketulusan
untuk mengapresiasikan segi hikmah di balik paradoks-paradoks.
Maka sikap tulus dan pasrah, yaitu Islam, tidak mungkin tanpa
sikap percaya pada Allah, yaitu iman, yang menghasilkan
pandangan positif-optimis pada-Nya dan ciptaan-Nya. Dari sini
juga nampak dengan jelas bahwa Islam akan membawa kita pada
kedamaian (salam) dan keselamatan (salamah), dan iman akan
menghantarkan kita ke aman (rasa sentosa) dan rasa terlindung
atau proteksi (amanah), kemudian, akhirnya ihsan akan
membingungkan kita menuju hidup yang bahagia (hasanah).

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: