Monday, December 3, 2007

PENGHAYATAN KEAGAMAAN POPULER

PENGHAYATAN KEAGAMAAN POPULER (1/3)
DAN MASALAH RELIGIO-MAGISME
oleh Nurcholish Madjid

Setiap gerakan pembaruan atau pemurnian agama (Islam) tentu
mencakup agenda pemberantasan bid'ah dan khurafat. Sebagai
tindakan menambah-nambah hal baru kepada agama tanpa dasar
yang sah dalam prinsip agama itu sendiri, perbuatan bid'ah
tentu akan berakibat mengaburkan ajaran agama yang murni. Dan
sebagai kepercayaan kepada obyek-obyek yang palsu khurafat
dengan sendirinya sudah merupakan penyimpangan dari kemurnian
agama.

Walaupun begitu, untuk menentukan mana yang bid'ah dan mana
pula yang khurafat bukanlah perkara yang dapat dengan mudah
disepakati oleh semua kelompok Islam. Adalah sangat logis
bahwa masing-masing kelompok mengaku sebagai penganut ajaran
yang murni, yang bebas dan bid'ah dan khurafat.

Beberapa gerakan pemurnian Islam memiliki konsep yang tegas
tentang apa yang mereka pandang sebagai bid'ah dan khurafat,
serta melancarkan program pemberantasannya dengan gigih, dan
berhasil. Contoh yang paling tegas dalam hal ini ialah gerakan
pemurnian yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad ibn 'Abd-u
'l-Wahhab (1115-120 H/1703-1787 M) di Jazirah Arabia, yang
memprioritaskan penghancuran makam-makam "suci" sebagai salah
satu agenda pemurnian di manapun mereka berhasil berkuasa.
Gerakan pemurnian yang kemudian dikenal sebagai gerakan
"Wahhabi" itu adalah yang paling berhasil dari usaha serupa di
seluruh dunia Islam. Dalam koalisinya dengan Klan Sa'ud (Al-u
Su'ud), gerakan Wahhabi menyatukan diri dalam sebuah agregat
politik yang dipimpin oleh keluarga Sa'ud, dan lahirlah
Kerajaun Arabia Saudi.

Sebagai wujud lahiriah kesuksesan pemurnian oleh kaum Wahhabi,
Jazirah Arabia merupakan sebuah negeri Muslim, yang paling
bebas dari praktek penghormatan berlebihan kepada makam-makam.
Kecuali makam Nabi di Madinah yang gagal mereka hancurkan
(konon karena kerasnya ancaman dari negara-negara Islam,
khususnya dari Turki yang waktu itu masih perkasa), seluruh
makam di negeri itu, termasuk makam-makam para syuhada, Badar
dan Uhud, telah mereka ratakan dengan tanah sama sekali.

PENGHAYATAN KEAGAMAAN POPULER

Sebagai rahmat untuk sekalian alam, sesuai dengan penegasan
tentang diutusnya Nabi Muhammad saw, Islam adalah untuk
kebahagiaan semua orang, tanpa membeda-bedakan tinggi
rendahnya dalam kemampuan manusiawi pribadi (seperti kemampuan
intelektual) maupun dalam kedudukan sosial. Oleh karena itu
adanya penghayatan keagamaan populer, dalam arti oleh kalangan
umum (awwam, "awam") yang biasanya juga menjadi bagian
terbesar masyarakat, bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya
mengandung kesalahan, kekurangan atau cacat. Nilai keagamaan
seseorang berupa adanya taqwa dan hidayah dari Tuhan tidaklah
tergantung kepada tingkat kemampuan intelektual atau pun
kedudukan sosial. Ini jelas merupakan ajaran moral dibalik
teguran Tuhan dalam al-Qur'an kepada nabi ketika beliau nampak
hanya mau meladeni "orang besar" dan mengabaikan "orang
kecil."

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena
datang kepadanya seorang buta. Apakah engkau tahu (wahai
Muhammad), kalau-kalau dia (orang buta) itu bersih
jiwanya? Atau dia itu hendak belajar, kemudian ajaran
itu bermanfaat baginya? Sedangkan orang yang serba
berkecukupan, maka engkau berikan perhatian. Padahal
tidak mengapa bagimu sekiranya dia (orang kaya) itu
tidak bersih jiwa. Dan adapun orang yang datang bergegas
lagi pula dia itu bertaqwa maka engkau mengabaikannya.
Janganlah begitu! Sesungguhnya ia (ayat-ayat) ini adalah
peringatan. Maka siapa saja yang mau ia akan
memperhatikan. Dalam lembaran-lembaran yang terhormat,
yang tinggi dan suci. Di tangan para utusan (malaikat),
yang mulia dan selalu berbakti. [1]

Dari peristiwa yang dituturkan dalam Kitab Suci itu jelas
sekali bahwa kesucian jiwa bukanlah sesuatu yang mempunyai
kaitan positif dengan kedudukan sosial seseorang. Maka dalam
skema itu penyebutan sesuatu sebagai "penghayatan keagamaan
populer" tidak dengan sendirinya mengandung nilai kerendahan
atau kekurangan. Karena itu ada petunjuk agar kita berbicara
kepada seseorang sesuai dengan kemampuan berpikirnya. [2]

Berkaitan dengan ini, al-Qur'an sendiri menyebutnya bahwa
Tuhan selalu mengutus Utusan-Nya dengan bahasa kaumnya: "Kami
tidaklah pernah mengutus seorang Utusan pun kecuali dengan
bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan kepada
mereka." [3] Tentang "bahasa" itu, A. Yusuf Ali menafsirkan,
tidak hanya bahasa dalam linguistiknya, tapi juga dalam arti
kultural, bahan cara berpikir. Semua Utusan Allah menyampaikan
pesan Ilahi kepada kaumnya, selain melalui bahasa
linguistiknya, juga bahasa budaya dan cara berpikir mereka.
Dan penggunaan "bahasa" itu meliputi semua golongan manusia
tanpa kecuali, tinggi dan rendah ataupun "khawatir" dan
"awam." Yusuf Ali menjelaskan hal itu demikian:

Jika tujuan dari Pesan Suci (Risalah) ialah membuat
sesuatu menjadi terang, maka ia harus disampaikan dalam
bahasa yang berlaku di antara masyarakat, yang kepada
mereka Utusan itu dikirim. Melalui masyarakat itu Pesan
tersebut dapat mencapai seluruh umat manusia. Bahkan ada
pengertian yang lebih luas untuk "bahasa." Ia tidak
semata-mata masalah abjad, huruf atau kata-kata. Setiap
zaman atau masyarakat atau dunia dalam pengertian
psikologis membentuk jalan pikirannya dalam cetakan atau
bentuk tertentu Pesan Tuhan karena bersifat unversal
dapat dinyatakan dalam semua cetakan dan bentuk, dan
sama-sama absah dan diperlukan untuk semua tingkatan
manusia, dan karena itu harus diterangkan kepada
masing-masing sesuai dengan kemampuannya atau daya
penerimaanya. Dalam hal ini al-Qur'an menakjubkan. Ia
sekaligus untuk orang yang paling sederhana dan untuk
orang yang paling maju. [4]

Tentu saja kenyataan memang seperti yang dikatakan oleh Yusuf
Ali. Sebab, kalau tidak maka akan bertentangan dengan rahmat
Allah untuk sekalian umat manusia, dan tentu akan menjadi
absurd seandainya Tuhan akan memberi jalan menuju kebahagiaan
hanya kepada golongan khusus masyarakat saja.

MASALAH PENINGKATAN

Jadi, dalam hal esensi keimanan itu sendiri, Allah tidak
membeda-bedakan antara manusia. Tetapi hal itu tidaklah
berarti tidak ada masalah tinggi-rendah dalam kualitas
keimanan itu. Bahkan, menurut Ibn Taymiyyah, dalam al-Qur'an
ada acuan kepada adanya tiga tingkatan keimanan kalangan
orang-orang Muslim: (1) orang beriman yang masih zalim kepada
dirinya sendiri dengan banyak berbuat dosa; (2) orang beriman
yang sedang atau menengah dalam berbuat kebaikan; dan (3)
orang beriman yang cepat dan bergegas menuju kepada berbagai
kebaikan. [5] Firman Allah:

Dan yang Kami (Tuhan) wahyukan kepada engkau (Muhammad),
yaitu Kitab ini, itulah yang benar, untuk mendukung
kebenaran (kitab-kitab) yang sudah ada sebelumnya.
Sungguh Allah Maha Teliti dan Maha Melihat akan
hamba-hambaNya. Kemudian kami wariskan Kitab itu kepada
mereka yang kami pilih di kalangan hamba-hamba Kami.
Maka dari antara mereka ada yang zalim kepada diri
mereka sendiri, di antaranya lagi ada yang sedang, dan
diantaranya lagi ada yang cepat kepada berbagai kebaikan
dengan perkenan Allah. Itu adalah anugerah yang besar.
[6]

Menurut Kitab Suci lagi, peningkatan dari suatu jenjang ke
jenjang itu adalah melalui karunia ilmu, sebagai penunjang
atau pelengkap bagi iman, Dan di sini ilmu dalam arti yang
seluas-luasnya, termasuk, sudah tentu, ilmu tentang ajaran
agama itu sendiri. Hal ini tentu saja sangat logis, karena
iman tanpa pengetahuan tentang apa yang diimani tentu akan
menghasilkan keimanan yang berkualitas rendah, disebabkan oleh
rendahnya keinsafan akan makna Pesan Ilahi dalam agama. Firman
Allah yang banyak dikutip itu adalah demikian Allah mengangkat
mereka yang beriman di antara kamu dan yang diberi anugerah
ilmu ke berbagai tingkat (yang tinggi)? [7] Oleh karena itu
sebuah firman juga secara retorik (khathabi) mengajukan
pertanyaan: "Apakah sama mereka yang berilmu dengan mereka
yang tidak berilmu? Sesungguhnya yang dapat menerima
pengajaran hanyalah mereka yang berpikiran mendalam." [8]

Setiap orang beriman berkewajiban meningkatkan mutu
keimanannya dengan belajar dan menambah pengetahuann. Dengan
ilmu yang dilandasi oleh iman itu kesadaran akan apa yang baik
dan yang buruk akan meningkat, sehingga setiap kali ia berbuat
sesuatu yang tidak benar ia akan cepat menyadari, dan kembali
ke jalan yang diridlai Allah. Sebuah Hadits menyebutkan,
inilah keunggulan akal atau kemampuan manusia berpikir. Hadits
itu menuturkan tentang pertanyaan Anas ibn Malik kepada Nabi:

"Ya Rasulullah, adakah orang yang baik akalnya tapi
banyak dosanya?" Beliau menjawab "Tidak ada seorang anak
Adam (manusia) kecuali mesti punya dosa dan kesalahan
yang ditempuhnya. Tapi kalau pembawaanya dan nalurinya
ialah yakin (iman) maka dosanya itu tidak membahayakan
baginya. Dan dikatakan: "Setiap kali ia membuat
kesalahan maka ia akan selalu disusulinya dengan taubat
dan rasa penyesalan atas apa yang telah terjadi, dan
dengan begitu ia menghapuskan dosanya, lalu yang tersisa
ialah keutamaan yang membawanya masuk surga." [9]

Karena itu, sejalan dengan firman Allah yang telah dikutip di
atas tadi, semakin mendalam ilmu seseorang yang beriman,
semakin pula ia mendapatkan kebaikan dari Allah. Sebab ilmu
yang diterangi iman itu akan menjadi pangkal kearifan (hikmah,
wisdom). Dan Allah berfirman: "Dia (Allah) menganugerakkan
hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
dianugerahi hikmah maka sungguh ia telah dianugerahi kebaikan
yang banyak." [10]

Jadi ilmu bagi seorang yang beriman akan memberi manfaat
peningkatan atau pendidikan (dalam bahasa Arab disebut
"tabiyah" yang mempunyai makna "peningkatan"), yang
meningkatkan kualitas keimanan dari suatu jenjang ke jenjang
yang lebih tinggi.
MASALAH MU'JIZAT, KERAMAT, DAN MAGISME

Maka sekalipun dari segi esensinya tidak ada perbedaan antara
keimanan "orang umum" (awwam) dan orang khusus (khawas),
namun, jika diambil rata-rata keadaan manusia, keimanan yang
berujud penghayatan keagamaan populer senantiasa memerlukan
peningkatan. Dalam penghayatan keagamaan populer itulah
acapkali muncul masalah magisme keagamaan. Umumnya magisme itu
timbul karena adanya harapan seseorang kepada kejadian
supernatural untuk diri sendiri atau orang lain, sebagai cara
tepat memperoleh suatu manfaat seperti kesembuhan, keamanan,
kekayaan, dll. Dan pangkal magisme itu ialah kepercayaan
tentang mu'jizat atau keramat, sebab kedua hal ini oleh agama
memang diakui adanya.

Tetapi sebenarnya magisme muncul akibat pemahaman yang salah
tentang mu'jizat dan keramat itu. Karena itu yang menjadi
masalah, dan yang dihadapi oleh berbagai gerakan permurnian
agama seperti gerakan Wahhabi di Jazirah Arabia, ialah
pandangan keagamaan yang terbentuk dari pengertian yang salah
tetang mu'jizat dan keramat. Akibatnya ialah tumbuhnya
religio-magisme dalam penghayatan keagamaan populer itu sudah
menjadi bagian dari doktrin dan ajaran Ibn Taymiyyah, rujukan
utama kaum Wahhabi, dan "moyang" hampir semua gerakan
pemurnian di zaman modern.

Pandangan tentang adanya kemampuan melakukan atau memperoleh
suatu efek secara supernatural atau keluar dari hukum-hukum
yang biasa berjalan pada alam (Sunnatullah) tentulah tidak
salah. Dan Ibn Taymiyyah tidak mengingkari adanya kemampuan
atau kejadian supernatural. serupa itu, sebagaimana yang dalam
agama disebut mu'jizat (untuk Nabi) dan keramat (karamah,
untuk wali). Tetapi, Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa, sebagai
suatu bentuk kesempurnaan, mu'jizat dan keramat berdiri di
atas tiga tonggak, yaitu pengetahuan (al-'ilm), kemampuan
(al-Qudrah), dan kemandirian (al-ghina). Namun tidak ada yang
memiliki ketiga-tiganya itu secara sempurna kecuali Allah
saja, sebab Dialah yang "menguasai segala sesuatu dengan
pengetahuan, yang Maha Kuasa atas segala yang ada, dan yang
Maha Mandiri (tidak tergantung dan tidak memerlukan) terhadap
seluruh alam." [11]

Karena hanya Allah yang memiliki ketiga unsur kesempurnaan
mu'jizat dan keramat itu, maka bahkan Rasulullah s.a.w.
sendiripun tidak dapat melakukan mu'jizat sekehendak hati
beliau. Sebagai bukti, Ibn Taymiyyah menyebut tiga kejadian
yang direkam secara abadi dalam Kitab Suci al-Qur'an yaitu:

(1) Kejadian ketika orang-orang kafir Arab bertanya
kepada Nabi tentang Hari Kiamat:

Mereka bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang Hari
Kiamat, kapankah kejadiannya? Katakanlah, "Sesungguhnya
pengetahuan tentang hal itu hanya ada pada Tuhanku,
tidak ada yang dapat menjelaskan tentang waktunya
kecuali Dia. Kiamat itu sungguh berat bagi penghuni
langit dan bumi. Ia akan datang kepadamu secara
tiba-tiba." Mereka bertanya kepada engkau, seolah-olah
engkau mengetahuinya. Katakanlah, "Sesungguhnya
pengetahuan tentang hal itu hanya ada pada Allah, namun
kebanyakan manusia tidak menyadari." Katakan, "Aku tidak
memiliki kemanfaatan, juga tidak kemadaratan, untuk
diriku, kecuali yang dikehendaki Allah. Kalau seandainya
aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku akan memperoleh
banyak sekali keuntungan, dan tentu tidak ada hal buruk
yang menimpaku. Aku hanyalah seorang pembawa dan pemberi
kabar gembira untuk kaum yang beriman." [12]

(2) Kejadian ketika orang-orang kafir Arab menghojat
Nabi s.a.w. dengan argumen-argumen berikut (yang juga
direkam dalam al-Qur'an):

Mereka berkata: "Kami tidak akan beriman kepada engkau
sehingga engkau dapat memancarkan untuk kami mata air
yang deras dari dalam bumi. Atau, sehingga engkau
jatuhkan langit berkeping-keping atas kami seperti kau
katakan sendiri, atau engkau datangkan para malaikat dan
Allah berhadap-hadapan. Atau, sehingga engkau mempunyai
rumah dari emas, atau engkau mampu naik ke langit, dan
kami tidak akan percaya engkau naik ke langit itu
sebelum engkau turunkan atas kami kitab yang dapat kami
baca." Katakan (hai Muhammad): "Maha Suci Tuhanku, aku
tidak lain hanyalah seorang manusia yang menjadi
Utusan." [13]

(3) Kejadian ketika orang-orang kafir "menggugat" Nabi
bahwa beliau hanyalah seorang manusia biasa, yang perlu
makan dan berdagang di pasar:

Dan mereka berkata: "Kenapa Rasul ini makan makanan dan
berjalan di pasar-pasar? Kalau saja diturunkan kepadanya
seorang malaikat, sehingga dapat menyertainya sebagai
pembawa peringatan. Atau dijatuhkan kepadanya harta
kekayaan, atau ia punya kebun yang dari hasilnya ia
dapat makan." Orang-orang zalim itu berkata: "Kamu
(orang-orang beriman) ini hanyalah mengikuti seorang
lelaki yang tersihir." Perhatikanlah bagaimana mereka
membuat perbandingan untukmu (hai Muhammad), maka mereka
pun sesat dan tidak menemukan jalan. Maha Suci Dia, yang
seandainya menghendaki tentu akan diciptakan-Nya untukmu
sesuatu yang lebih bagi daripada hal itu semua, berupa
surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan
tentu akan dibuatkan-Nya untukmu istana-istana." [14]

Dan Kami (Tuhan) tidak pernah mengutus Rasul-rasul
sebelum engkau melainkan mereka itu makan makanan dan
berjalan di pasar-pasar. Dan Kami buat sebagian dari
kamu menjadi fitnah untuk sebagian yang lain apakah kamu
akan sabar? Tuhanmu adalah Maha Melihat." [15]

Firman-firman itu, menurut Ibn Taymiyyah, menegaskan bahwa
Rasulullah saw tidak mengetahui yang ghaib, juga bukan seorang
penguasa yang memiliki harta kekayaan. Beliau hanyalah seorang
manusia, yang tidak lepas dari makan dan minum. Karena itu,
sifat yang cocok dengan Nabi ialah, bahwa beliau semata-mata
mengikuti apa yang diwahyukan kepada beliau, yaitu "taat
kepada Allah dan beribadat kepada-Nya, dengan ilmu dan amal,
secara lahir dan batin," Demikian pula, beliau tidak
memperoleh sifat-sifat kesempurnaan kecuali yang dianugerahkan
Allah, yang antara lain melahirkan mu'jizat.

Walaupun begitu, menurut Ibn Taymiyyah, sesuatu yang bersifat
supernatural ada tiga macam yang terpuji dalam agama, yang
tercela dalam agama, dan yang mubah (netral), tidak terpuji
dan tidak pula tercela. Kalau yang netral itu membawa manfaat,
maka jadilah ia suatu karunia. Dan kalau tidak membawa
manfaat, maka nilainya sama saja dengan segala sesuatu yang
tidak bermanfaat, seperti kelakuan main-main. Ibn Taymiyyah
menyandarkan pandangannya ini kepada ucapan Abu Ali
al-Jurjani: "Jadilah engkau orang yang mencari istiqamah
(konsistensi), bukan orang yang mencari keramat: sebab nafsumu
mendorongmu mencari keramat, padahal Tuhanmu menuntut
istiqamah." [16]

MASALAH RELIGIO-MAGISME

Dalam buku-buku keagamaan populer yang banyak dijual di
kalangan rakyat, terdapat berbagai unsur religio-magisme
seperti dimaksudkan di atas. Diantara buku-buku itu yang
paling terkenal ialah kitab Mujarrabat. Kitab ini banyak
beredar dalam terjemah Jawanya yang ditulis dalam huruf Pego
(Arab Jawa). Contoh religio-magisme dari kitab ini ialah yang
bersangkutan dengan apa yang dinamakan "Ayat Limabelas."
Kutipan dari sebagian keterangan mengenai khasiat yang magis
dari sebagian ayat-ayat itu adalah demikian: [17]

Ayat yang keempat, kalau hendak selamat dari musuh, atau
hendak mencelakakan musuh, maka ayat itu ditulis pada
selembar kertas kemudian dibebani dengan batu agar musuh
itu menjadi sakit tetapi anda sendiri berdosa. Inilah
ayatnya: ...

Dan ayat yang keenam, kalau ada orang kena racun,
kemudian ayat ini dibacakan pada beras tujuh butir, atau
pada air, atau pada gandum, lalu diletakkan dalam
pinggan putih kemudian dibacakan ayat ini tujuh kali,
lalu diminumkan, insya Allah Ta'ala akan sembuh, Inilah
ayatnya: ...

Dan ayat yang kesembilan, kalau ditulis pada kulit
kijang atau kulit macan lalu ditanam ditengah kota atau
ditengah rumah, dengan memasukkan kedalam bumbung, insya
Allah selamat. Inilah ayatnya yang harus dibaca: ...

Jika kita teliti, maka harapan-harapan yang magis di atas itu
sesungguhnya masih mengandung logika, yaitu berdasarkan makna
dan semangat firman-firman yang menjadi tumpuannya. Ayat
"keempat" di atas itu misalnya, mempunyai makna. "Sesungguhnya
perintah Tuhan itu, jika Dia menghendaki sesuatu, hanyalah
bersabda kepadanya: 'Adanya engkau' Maka sesuatu itu pun
menjadi ada." [18] Letak logika harapan magis di atas ialah,
karena ayat yang dibaca itu menegaskan semangat Kemahakuasaan
Tuhan sehingga apapun yang dikehendaki olehNya pasti terjadi,
maka dapat diharap bahwa sakitnya musuh itu pun dapat saja
terjadi, dengan kehendak Tuhan (cukup menarik bahwa pengarang
kitab itu tidak lupa mengingatkan bahwa mengharapkan orang
lain sakit, biarpun dia itu musuh, adalah suatu kejahatan).

Tetapi harapan tersebut benar-benar menjadi bersifat magis,
karena seorang yang awam akan melakukannya tanpa samasekali
mengerti makna ayat di bacanya. Dan karena "japammantra" itu
menggunakan unsur keagamaan (ayat al-Qur'an), maka ia serta
merta dirahasiakan sebagai punya makna religi, dan jadilah ia
sebuah religio-magisme.

Demikian pula dengan ayat "kesembilan" di atas. Ini adalah
firman dengan makna dan semangat yang sangat kuat, yang dapat
dijadikan tumpuan keteguhan jiwa menghadapi kesulitan. Sebab
ayat itu berarti, "Dan barang siapa bertawakal kepada Allah,
maka cukuplah Dia bagi orang itu. Sesungguhnya Allah pasti
melaksanakan keputusanNya. Sesungguhnya Allah membuat
kepastian untuk segala sesuatu." [19] Jadi sebenarnya yang
dijadikan tumpuan harapan keamanan dan keselamatan itu adalah
firman yang mengajarkan tawakal, yaitu sikap bersandar dan
percaya sepenuhnya kepada Allah, suatu nilai keagamaan yang
sangat tinggi. Dengan tawakal itu orang menjadi teguh jiwanya,
tidak mudah goyah. Dengan begitu ia juga merasa aman, karena
yakin berada dalam pengayoman Tuhan. Tetapi semua itu tidak
dipahami oleh seorang awam yang mungkin mempraktekkan resep
kitab Mujarrabat. Maka "lompatan" kepada harapan timbulnya
sesuatu yang bersifat supernatural itu benar-benar merupakan
magisme semata.
Disamping resep-resep magis yang menggunakan ayat-ayat
al-Qur'an yang terang makna dan semangatnya, kitab Mujarrabat
juga memuat resep-resep magis lainnya dengan menggunakan
semacam kode-kode yang samasekali tidak mengandung hubungan
logis dengan harapan yang ditumpukan kepadanya, sehingga
benar-benar hanya bersifat magis. Kode-kode itu dinamakan
jimat (zimat) atau rajah, dan biasanya terdiri dari
huruf-huruf atau kalimat-kalimat Arab, atau gambar-gambar yang
tidak bermakna sama sekali. Meskipun banyak dari
kalimat-kalimat Arab itu yang mempunyai makna terang, namun
tidak sedikitpun, atau amat sedikit, yang mempunyai kaitan
rasional dengan hasil atau pengaruh yang diharapkan. Contohnya
adalah berikut ini:

Inilah jimat tumbal celeng, atau tikus, atau belalang,
atau burung, atau hama, Ditulis pada selembar kertas,
kemudian digantungkan di sawah dengan menghadap ke
langit, lalu dibacakan shalawat tujuh kali. Inilah
jimatnya yang harus ditulis pada malam Jum'at Kliwon
tengah malam: ...

Kitab Mujarrobat, sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah
yang paling terkenal dalam religio-magisme ini. Tetapi, dari
berbagai buku (atau "kitab," karena bertulisan Arab) yang
lain, kita juga dapat menemukan hal-hal serupa, antara lain
dalam kitab-kitab (populer) yang berkaitan dengan amalan
tarekat. Misalnya, dalam sebuah kitab jenis itu kita dapatkan
do'a yang disebut sebagai do'a Nabi Khidir (guru nabi Musa
a.s.), lengkap dengan keterangan tentang khasiatnya yang
bersifat magis. Do'a itu bunyinya, serta keterangan
khasiatnya, adalah seperti ini:

Ini do'a Nabi Khidir a.s. Adapun khasiat do'a ini,
sebagaimana dikatakan oleh Imam Suyuthi dalam kitab
al-Marjan dari Abd-u-'l-Lah ibn 'Abbas. Abd-u-'Lah ibn
'Abbas berkata begini: "Nabi Khidir dan nabi Ilyas
setiap tahun bertemu pada waktu musim haji. Kemudian,
ketika hendak berpisah, keduanya berdo'a "Bismillahi ma
spa' Allah... dan seterusnya." Lalu Sahabat Abd-u-'l-Lah
ibn 'Abbas berkata: "Barangsiapa membaca do'a itu pagi
dan petang masing-masing tiga kali, maka Gusti Allah
akan memberi keselamatan orang lain dari tenggelam,
kebakaran, kecurian, serta dari syetan dan ratu
(penguasa dan dari ular dan kalajengking)." [20]

Selain tidak diajarkan atau dikehendaki oleh agama,
religio-magisme mengandung bahaya membuat orang yang
mempercayainya menjadi sangat tergantung kepada orang lain.
Yaitu kepada seorang tokoh agama yang sekaligus bertindak
menjadi semacam dukun. Oleh karena itu juga terkandung bahaya
tumbuhnya pandangan bahwa seorang menjadi perantara kepada
Tuhan, atau kepada obyek-obyek dan tokoh-tokoh sesama manusia
yang dianggap suci atau mempunyai kekuatan supernatural. Maka
kalau kita ukur dengan apa yang dijelaskan oleh Ibn Taymiyyah
di atas, yaitu bahwa Rasulullah s.a.w. pun tidak pernah
mengaku mempunyai kekuatan magis atau supernatural pada diri
beliau sendiri, maka pandangan yang tumbuh akibat
religio-magisme dapat benar-benar menyesatkan orang dari
Tawhid yang murni, yang menjadi inti ajaran agama yang benar.
Dan sebuah nilai keislaman yang sangat tinggi, yaitu ajaran
bahwa manusia berhubungan langsung dengan Allah, akan hilang.
Bahwa Islam tidak mengajarkan adanya perantara bagi seorang
manusia denga Tuhannya, dijielaskan denga baik sekali oleh
Sayyid Quthb, demikian:

Islam tidak mengenal pendekatan di alamnya, dan tidak
pula penengah antara hamba dan Khaliknya. Setiap orang
Muslim di penjuru bumi dan di hamparan laut dapat
berhubungan sendiri dengan Tuhannya, tanpa pendeta dan
tanpa orang suci. Seorang pemimpin Muslim tidaklah
menyandarkan wewenangnya pada "hak llahi," juga tidak
pada peran penengah antara Allah dan manusia melainkan
pelaksanaan kekuasaannya itu bersandar kepada masyarakat
Islam, sebagaimana kekuasaan itu sendiri bersandar
kepada kemampuan melaksanakan agama yang setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memahami dan
melaksanakannya jika mereka memahaminya, dan semua
berhukum kepadanya secara sama. Jadi dalam Islam tidak
"petugas keagamaan" menurut pengertian yang dipahami
dalam berbagai agama lain, yang pelaksanaan suatu
upacara keagamaan tidak sah jika tidak dihadiri "petugas
keagamaan" itu. Dalam Islam hanya ada 'ulama' (sarjana)
agama, dan seorang sarjana agama tidak mempunyai hak
khusus atas perilaku kaum Muslim. Seorang penguasa pun
tidak berhak atas perilaku kaum Muslim itu selain
melaksanakan syari'at yang ia sendiri mengada-adakannya,
melainkan karena diwajibkan oleh Allah atas semua orang.
Sedangkan di Akhirat, maka semuanya menuju kepada Allah:
"Dan setiap orang datang kepada-Nya pada Hari Kiamat
sebagai pribadi." [21]

Hal terakhir ini amat penting untuk kaum Muslim, karena Islam
justru dikenal sebagai agama dengan titik amat kuat pada
pandangan persamaan semua manusia, dan bahwa setiap orang
dapat berhubungan dengan Tuhan secara pribadi, serta memikul
tanggung jawab seluruh amalnya secara pribadi. Egalitarianisme
antara sesama manusia dan persamaan derajat yang mutlak di
hadapan Allah adalah segi akibat Tawhid yang paling penting.
Keinsafan akan nilai keagamaan yang amat luhur ini hanya
diperoleh jika seseorang memiliki pengetahuan secukupnya
tentang alam yang melebarkan jalan menuju kepada penghayatan
kehadiran Tuhan dalam hidupnya, dan tentang ajaran-ajaran
agamanya sendiri untuk diamalkan dengan baik. Tentang
pentingnya peran ilmu dalam meningkatkan iman seorang yang
telah beriman itu ditegaskan dalam al-Qur'an: "Sesungguhnya
yang benar-benar takur (bertaqwa) kepada Allah hanyalah para
sarjana (al-ulama: orang-orang yang berilmu)." [22]

Kesimpulan dari seluruh dunia di atas ialah bahwa dalam
masyarakat memang ada apa yang dapat dinamakan sebagai
penghayatan keagamaan populer, yang merupakan agregat idiom
keagamaan orang umum. Dalam penghayatan keagamaan serupa itu,
baik yang serupa paham maupun amalan, terkandung unsur-unsur
magisme dengan bungkus keagamaan, atau bahkan magisme yang
telanjang.

Mungkin saja magisme itu timbul karena berpangkal kepada
pengertian yang keliru tentang mu'jizat dan keramat, jadi
memiliki "akar yang absah." Dan magisme serupa itu, yaitu
magisme dalam pengertiannya sebagai kemampuan untuk bertindak
dan menimbulkan efek supernatural, ada yang dibenarkan oleh
agama, ada yang tidak, dan ada pula yang netral, yang nilainya
tergantung kepada kegunaannya. Tetapi magisme sebagai "mind
set" jelas tidak dapat dibenarkan. Ia tidak saja mempunyai
efek peninabobokan yang membuat orang hidup pasif, tapi juga
menyimpangkan orang dari perhatian yang lebih sungguh-sungguh
kepada Sunnatullah yang menguasai hidupnya dan yang harus
dipahami serta dipedomani dalam menjalani hidup itu.

Lebih buruk lagi, magisme dapat menyimpangkan seseorang dari
ajaran inti agama, yaitu Tawhid atau paham Ketuhanan Yang Maha
Esa yang murni, hal mana akan berakibat perampasan kebebasan
asasinya dan membendung jalan ke arah Kebenaran. Oleh karena
itu semua gerakan pemurnian atau pembaharuan agama
mencantumkam sebagai agenda usaha memberantas religio-magisme.
Mu'jizat dan keramat tetap diakui adanya oleh ajaran yang sah,
namun untuk validitas mu'jizat dan keramat itu dituntut adanya
pangkal tolak sikap berpegang kepada agama yang benar dan
secara benar. Maka tugas setiap orang yang mampu dari kalangan
masyarakat ialah mengusahakan peningkatan masyarakat, dengan
meningkatkan kecerdasan umum dan daya serap sebanyak mungkin
orang terhadap nilai-nilai yang lebih benar dan lebih balk.
Nabi saw bersabda:

Maukah aku beritakan kepada kamu sekalian yang paling
pemurah dari semua yang pemurah?" Mereka (para Sahabat)
menyahut, "Ya wahai Rasulullah." Dan beliau bersabda:
"Allah adalah Yang Paling Pemurah dari semua yang
pemurah, dan aku adalah yang paling pemurah dari seluruh
anak-cucu Adam, dan yang paling pemurah sesudahku ialah
orang yang mengetahui suatu ilmu kemudian disebarkannya;
ia akan dibangkitkan di Hari Kiamat sebagai umat yang
utuh, begitu juga orang yang mendermakan dirinya di
Jalan Allah sampai terbunuh." [23]

CATATAN

1. Al Qur'an.s. 'Abasa/80:1-16.

2. Ungkapan terkenal, dan dinisbatkan kepada Nabi:

3. Al-Qur'an, s. Ibrahim/14:4.

4. If the object of Message is to make things clear, it
must be delivered in the language current among the
people to whom the apostle is sent. Through them it can
reach all mankind. There is even a wider meaning for
"language." It is nor merely a question of alpabets,
letters, or word. Each age or people --or world in a
psychological sense-- cast its thoughts in a certain
mould or form. God's Message --being universal-- can be
expressed in all moulds and forms, and is equally valid
and necessary for all grades of humanity, and must
therefore be explained to each anccording to his or her
capacity or receptivity. In this respect the Qur'an is
marvelous. It is for the simplest as well as the most
advanced. (A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation
and Commentary (Jeddah: Dar al-Qibla, 1413 AH), h. 620).

5. Ibn Taymiyyah, al-Furqan bayn Awliya al-Rahman wa
Awliya al-Syaythan (Riyadl: Dar al-Ifta', tt) h. 57.

6. Al-Qur'an, s. Fathir/35:31-32.

7. Al-Qur'an, s. al-Mujadalah/58:11.

8. Al-Qur'an, s. al-Zumar/39:9.

9. Hadist, sebagaimana dikutip dalam Ahmad Isa Asyur,
Muftaraqat, 2 jilid (Kairo al-I'tisham, tt), jil. 1, hh.
133-4. Teks Hadist itu adalah demikian.

10. Al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:269.

11. Dr. Mushthafa Hilmi, Ibn Taymiyyah wa al-Tashawwuf
(Iskandaria: Dar al-Da'wah, 1982). h. 40).

12. Al-Qur'an,s. al-A'raf/7: 187-188.

13. Al-Qur'an, s. al-Isra'/17:90-92.

14. Al-Qur'an,s. al-Furqan/25:7-10.

15. Al-Qur'an, s. al-Furqan/25:20.

16. Lihat Hilmi, hh, 401-3.

17. Kutipan itu diambil dari Mujarrabat, terjeman bahasa
Jawa oleh H. 'Abd-ul 'l-Rahman (Surabaya: Ahmad ibn
Nabhan, tt), hh. 30-31.

18. Al-Qur'an, s. Yasin/36:82.

19. Al Qur'an, s. al-Thalaq/36:3.

20. Dikutip dari al-Risalat al-Khawashishiyyah, oleh KH.
Musta'in Ramli (Rejoso Jombang, 1281 H), hh. 50-51.
Aslinya adalah demikian:

21. Sayyid Quthb, al-Din wa al-Mujtama' bayn al-Islam wa
al-Nashraniyyah (Kuwait; Dar al-Bayan, tt) hh. 21-22.

22. Al-Qur'an, s. Fathir/35:28.

23. Hadits, sebagaimana dikutip dalam Ahmad Isa Asyur,
Mutafarriqat (Kairo, tt. H. 87)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: