Sunday, December 2, 2007

KONSEP-KONSEP TEOLOGIS

II.5. KONSEP-KONSEP TEOLOGIS
oleh Djohan Effendi

Perkataan teologi tidak berasal dari khazanah dan tradisi
agama Islam. Ia istilah yang diambil dari agama lain, yaitu
dari khazanah dan tradisi Gereja Kristiani. Hal ini tidaklah
dimaksudkan untuk menolak pemakaian kata teologi itu. Sebab
pemungutan suatu istilah dari khazanah dan tradisi agama lain
tidaklah harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif, apalagi
jika istilah tersebut bisa memperkaya khazanah dan membantu
mensistematisasikan pemahaman kita tentang Islam.

Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of
Religion and Religions berarti "ilmu yang membicarakan tentang
Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali
diperluas mencakup keseluruhan bidang agama." Dalam pengertian
ini agaknya perkataan teologi lebih tepat dipadankan dengan
istilah fiqih, dan bukan hanya dengan ilmu kalam atau ilmu
tauhid. Istilah fiqih di sini bukan dimaksudkan ilmu fiqih
sebagaimana kita pahami selama ini, melainkan istilah fiqih
seperti yang pernah digunakan sebelum ilmu fiqih lahir. Imam
Abu Hanifah, Bapak ilmu fiqih, menulis buku al-fiqh-u 'l-akbar
yang isinya bukan tentang ilmu fiqih, tapi justru tentang
aqidah yang menjadi obyek bahasan ilmu kalam atau tauhid.
Boleh jadi, ilmu fiqih seperti yang berkembang sekarang ini
dalam kerangka pemikiran Imam Abu Hanifah adalah al-fiqh-u
'l-ashghar. Sebab, keduanya baik ilmu kalam atau ilmu tauhid
maupun ilmu fiqih pada dasarnya adalah fiqih atau pemahaman
yang tersistematisasikan. Yang pertama, menyangkut bidang
ushuliyah (tentang yang prinsip atau yang pokok), sedangkan
yang kedua meyangkut bidang furu'iyah (detail atau cabang).
Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam
telah menyingkirkan pengertian fiqih sebagaimana dipergunakan
Imam Abu Hanifah. Dengan menyinggung masalah ini, hanya ingin
dikatakan bahwa pemakaian istilah teologi mempunyai alasan
cukup kuat, sebab ia membantu kita memahami Islam secara lebih
utuh dan lebih terpadu.

Pijakan tulisan ini tentang teologi al-Qur'an. Kita tentu
sepakat bahwa ide sentral dalam teologi al-Qur'an adalah ide
tauhid. Pertanyaan yang perlu kita munculkan, bagaimana
sebaiknya kita memahami dan kemudian menghayati ide tauhid itu
dalam kehidupan kita sebagai muslim? Dalam pengalaman kita
--sekurang-kurangnya sebagian dari kita-- mengenal atau pernah
diberi pelajaran ilmu tauhid. Biasanya, dalam mempelajari ilmu
tersebut, pertama-tama kita diperkenalkan dengan apa yang
disebut sebagai "hukum akal." Hal ini bisa kita baca dalam
buku-buku ilmu tauhid, dari yang sangat tradisional hingga
yang termasuk modern seperti buku Risalah Tawhid karya
Muhammad Abduh, misalnya. Melalui kategori-kategori yang
dirumuskan sebagai hukum akal itu, yakni: wajib, mustahil dan
harus, kita diajak memahami tentang konsep ketuhanan dan
kenabian. Maka kita pun mengetahui sifat-sifat Tuhan dan
Nabi-nabi, baik yang dikategorikan sebagai sifat-sifat yang
wajib, sifat-sifat yang mustahil maupun sifat-sifat yang
harus. Masalah-masalah lain seperti kepercayaan tentang
malaikat, kitab-kitab wahyu, hari akhirat maupun qadla dan
qadar, adalah kelanjutan atau pelengkap dari kepercayaan
terhadap Tuhan dan Kenabian tersebut. Pembahasan tentang dan
di sekitar hal-hal inilah yang selama ini disebut sebagai ilmu
tauhid.

Jelas sekali pembahasan tentang teologi sebagaimana terdapat
dalam ilmu tauhid sangat intelektualistik sifatnya.
Lebih-lebih kalau kita memasuki pembahasan yang lebih rumit,
terutama ketika membicarakan sifat-sifat Tuhan, yang selama
ini dikenal sebagai "sifat dua puluh." Dalam membahas sifat
dua puluh itu, muncul berbagai konsep seperti sifat nafsiyah,
Salbiyah, ma'ani dan sifat ma'nawiyah. Juga dikemukakan
pembahasan tentang kaitan atau ta'alluq sifat-sifat Tuhan
dengan alam ini, dan muncullah konsep-konsep tentang ta'alluq
ma'iyah, ta'alluq ta'tsir, ta'alluq hukmiyah, ta'alluq bi
'l-quwwah, ta'alluq shuluhi qadim, ta'allaq tanjizi qadim,
ta'alluq tanjizi hadits. Kebanyakan dari kita tentu tidak
akrab dengan istilah-istilah atau konsep -konsep tersebut.

Dengan mengemukakan hal itu ingin diturunkkan betapa jauhnya
teologi yang dibahas dalam buku-buku ilmu tauhid dengan dunia
praktis, dengan problematika kemanusiaan. Teologi semacam itu
adalah teologi yang steril dan mandul. Ia tidak mempunyai
relevansi dengan realitas kehidupan kita. Teologi semacam itu
tidaklah membuahkan elan vital (gairah hidup). Ia tidak
melahirkan innerforce (kekuatan batin), moral maupun
spiritual, yang membuat kita bergairah dalam aksi untuk
membebaskan diri kita dan masyarakat sekitar kita dari segala
bentuk kemusyrikan.

BENTUK-BENTUK KEMUSYRIKAN

Dalam memahami ide tauhid, ada baiknya bila kita memahami
apa-apa yang oleh al-Qur'an dianggap sebagai syirik atau
kemusyrikan. Al-Qur'an mengemukakan dua ciri utama dari
kemusyrikan, yakni, pertama, menganggap Tuhan mempunyai syarik
atau sekutu, dan kedua, menganggap Tuhan mempunyai andad atau
saingan. Kedua ciri utama itu wujud dalam berbagai bentuk
manifestasi.

Kalau kita mendengar perkataan syirik atau kemusyrikan yang
segera terbayang dalam angan-angan kita biasanya penyembahan
berhala, seperti dilakukan para penganut agama-agama "pagan."
Dan memang al-Qur'an sendiri menyinggung bahkan mengecam
orang-orang yang menjadikan berhala sebagai ilah atau
sesembahan (QS. 6:74; 7:138; 21:52). Selain berhala al-Qur'an
juga mengemukakan hal-hal lain yang bisa dijadikan obyek
sesembahan selain Tuhan, misalnya penyembahan benda-benda
langit seperti matahari, bulan dan bintang (QS. 41:37) atau
benda-benda mati lainnya (QS. 4:117). Juga disinggung adanya
penyembahan makhluk halus seperti jin (QS. 6:101) atau
tokoh-tokoh yang dipertuhan atau dianggap mempunyai
unsur-unsur ketuhanan (QS. 4:171; 5:116; 6:102; 19:82-92;
16:57; 17:40 dan 37:49).

Berkenaan dengan penyembahan berhala, benda-benda langit atau
benda-benda mati lainnya, atau penyembahan makhluk halus atau
manusia yang dipertuhan, kiranya dari segi keberagamaan kita
sebagai muslim, bukanlah persoalan yang masih memerlukan
perhatian lebih banyak. Masalahnya sangat jelas dan karena itu
menghindarinya pun sangat mudah. Akan tetapi masalah
kemusyrikan tidak berhenti sampai di situ saja. Al-Qur'an
masih mengemukakan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah
kemusyrikan, yang lebih halus sifatnya, terutama berkaitan
dengan ciri kemusyrikan yang menempatkan adanya andad atau
saingan terhadap Tuhan, bukan dalam bentuk penyembahan
melainkan dalam bentuk kecintaan (QS. 2:165). Dalam kategori
ini bisa dimasukkan juga sikap ketaatan yang sama sekali tanpa
reserve terhadap ulama (QS. 9:31) atau sikap fanatisme
golongan, aliran atau juga organisasi yang berlebih-lebihan
(QS. 23:52-53; 30:31-32).

Hal-hal lain yang oleh al-Qur'an dijadikan contoh sebagai
saingan Tuhan dalam kaitannya dengan kecintaan kita adalah
keluarga dan kerabat dekat kita, kekayaan, usaha atau
bussiness kita, dan rumah-rumah mewah kita (QS. 9:24). Selain
itu masih ada satu hal lagi yang oleh al-Qur'an disebutkan
sebagai "sesuatu yang bisa menjadi ilah atau sesembahan kita,"
yaitu hawa nafsu kita sendiri (QS.25:43).

Berbagai bentuk manifestasi kemusyrikan tersebut, sebagaimana
dikemakakan al-Qur'an, menunjukkan bahwa masalah kemusyrikan
bukanlah sesuatu yang sederhana, karena itu usaha kita menjadi
orang yang benar-benar bertauhid bukanlah masalah yang mudah.

KESERAKAHAN DAN KETIDAKPEDULIAN SOSIAL

Berangkat dari berbagai bentuk manifestasi kemusyrikan yang
disebutkan al-Qur'an di atas, kita bisa sampai pada kesimpulan
bahwa teologi al-Qur'an tidak sekedar terbatas pada aspek
kepercayaan saja. Ia sangat terkait dengan hal-hal yang sangat
praktis. Kebertauhidan tidak hanya menyangkut kepercayaan kita
terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi juga menyangkut pandangan
dan sikap kita terhadap manusia, benda dan lembaga. Hubungan
manusia dengan benda, baik pandangan maupun sikapnya, mendapat
sorotan yang sangat tajam dalam al-Qur'an. Khususnya berkaitan
dengan kekayaan. Hal ini menarik dan perlu untuk dikaji lebih
jauh.

Suatu hal yang sangat menggoda untuk direnungkan adalah,
justru pada surat-surat atau ayat-ayat yang diwahyukan di
masa-masa permulaan kenabian Muhammad saw tidak terdapat
kecaman terhadap penyembahan berhala. Yang ada malah kecaman
terhadap keserakahan dan ketidakpedulian sosial. Untuk
memperjelas hal ini ada baiknya bila lebih dahulu dikemukakan
tentang periodisasi turunnya al-Qur'an.

Seperti kita ketahui masa turunnya al-Qur'an dibagi dalam dua
priode: periode Mekkah (610-622 M.) dan periode Madinah
(622-632 M.). Periode Mekkah sendiri juga dibagi dalam tiga
tahap, tahap Mekkah awal (610-615 M.), tahap Mekkah
pertengahan (616-617) dan tahap Mekkah akhir (618-622 M.).

Pada masa periode Mekkah awal terdapat 48 surah yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Di sini hanya diambil 12
surah paling awal saja, yakni: (1) Surah al-'Alaq, (2) Surah
al-Mudatstsir, (3) Surah al-Lahab, (4) Surah al-Quraysy, (5)
Surah al-Kawtsar, (6) Surah al-Humazah, (7) Surah al-Ma'un,
(8) Surah al-Takatsur, (9) Surah al-Fil, (10) Surah al-Layli,
(11) Surah al-Balad, dan (12) Surah al-Insyirah. Sengaja hanya
diambil 12 surah di atas, sebab surah yang ke-13 adalah Surah
al-Dhuha. Beberapa mufassir menceriterakan bahwa Surah
al-Dhuha turun sesudah Nabi mengalami masa jeda di mana wahyu
terhenti beberapa lama. Karena itu ke-12 surah di atas turun
atau diwahyukan kepada Nabi pada masa-masa sangat awal dari
kenabian, atau dari sejarah Islam.

Ke-12 surah tersebut sama sekali tidak menyinggung masalah
penyembahan berhala. Enam surah di antaranya justru
menyinggung masalah keserakahan terhadap kekayaan dan
ketidakpedulian terhadap orang-orang yang menderita. Dalam
Surah al-Lahab, yang turun dalam urutan ke-3, disinggung bahwa
harta kekayaan dan usaha seseorang sama sekali tidak akan
menyelamatkannya dari hukuman di Hari Akhirat.

Tidak berguna baginya kekayaannya, dan apa yang dikerjakannya!
Akan dibakar ia dalam api menyala

Surah al-Humazah, yang turun dalam urutan ke-6, dengan keras
mengingatkan akan nasib celaka bagi mereka yang dengan serakah
menumpuk-numpuk kekayaan dan menganggap kekayaannya itu bisa
mengabadikannya.

Celaka amat si pengumpat si pemfitnah. Yang menumpuk-numpuk
harta kekayaan dan menghitung-hitungnya. Ia menyangka harta
kekayaannya bisa mengekalkannya.

Dalam surah yang turun berikutnya, Surah al-Ma'un, orang-orang
yang tidak mempedulikan penderitaan anak-anak yatim dan
orang-orang miskin dikualifikasikan sebagai orang-orang yang
membohongkan agama.

Tahukah engkau orang yang membohongkan agama Itulah dia yang
mengusir anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan
orang-orang miskin.

Surah berikutnya yang turun dalam urutan ke-8, Surah
al-Takatsur, memberikan peringatan keras terhadap orang-orang
yang asyik berlomba-lomba dalam kemewahan dan kekayaan.

Kalian menjadi lalai karena perlombaan mencari kemegahan dan
kekayaan. Hingga kalian masuk ke pekuburan.

Dalam Surah al-Layli yang diwahyukan dalam urutan ke-10
diberikan kabar baik terhadap mereka yang suka memberi dan
sebaliknya kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil.

Maka siapa yang suka memberi dan bertaqwa. Dan membenarkan
nilai kebaikan Kami akan memudahkan baginya jalan kebahagiaan.
Dan siapa yang kikir dan menyombongkan kekayaan. Dan
mendustakan nilai kebaikan Kami akan mudahkan baginya jalan
kesengsaraan. Dan tiada berguna baginya kekayaannya ketika ia
binasa.

Yang terakhir Surah al-Balad yang diwahyukan dalam urutan
ke-11, menyinggung keengganan manusia memberikan bantuan
kepada sesamanya yang hidup dalam penderitaan dan
kesengsaraan.

Dan Kami tunjuki ia dua jalan. Tapi tak mau ia menempuh jalan
mendaki. Tahukah engkau jalan mendaki itu. Memerdekakan budak
sahaya. Atau memberi makanan di masa kelaparan. Pada anak
yatim yang punya tali kekerabatan. Atau orang papa yang
terlunta-lunta.

Pesan-pesan al-Qur'an di atas, yang diwahyukan justru di masa
yang sangat awal dari kenabian, sangat jelas dan sama sekali
tidak memerlukan penafsiran. Ia memperlihatkan betapa, dalam
al-Qur'an masalah kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian
sosial mempunyai perspektif teologis. Ia tidak sekedar masalah
etik dan moral. Ia langsung menyangkut kebertauhidan kita.

REFORMASI SOSIAL

Kalau kita renungkan mengapa masalah kekayaan, keserakahan dan
ketidakpedulian sosial mendapat sorotan tajam pada masa yang
sangat awal dari kenabian Muhammad, mungkin kita bisa menarik
kesimpulan bahwa Risalah Nabi kita terutama untuk mengadakan
reformasi sosial. Hal ini bisa kita kaitkan dengan penegasan
al-Qur'an yang mengatakan bahwa Muhammmad diutus tidak lain
kecuali dalam rangka membawa rahmat bagi seluruh alam (QS.
21:107). Dengan perkataan lain, misi utama Nabi Muhammad saw
adalah membantu manusia mewujudkan tata kehidupan yang
disemangati nilai-nilai rahmah.

Anjuran Nabi agar kita selalu memulai kegiatan dan kerja kita
dengan ucapan "Bismillahirrahmanirrahim" (bism-i 'l-Lah-i
'l-rahman-i 'l-rahim), memberikan suatu isyarat kepada kita
agar kita menjadikan diri kita sebagai perwujudan dari
nilai-nilai rahmah itu bagi sesama makhluk Tuhan. Dengan
perkataan lain apapun profesi kita, motivasi dan orientasi
kita tidak boleh bergeser dari ide untuk menciptakan --atau
setidak-tidaknya menjadi bagian dari proses menciptakan--
suatu tata kehidupan yang dilandasi nilai-nilai rahmah itu.

Pertanyaan yang mungkin timbul, bagaimana kaitan antara
sorotan tajam terhadap kekayaan, keserakahan dan
ketidakpedulian sosial dengan cita-cita tentang reformasi
sosial yang dilandasi semangat mewujudkan kehidupan yang penuh
rahmah itu? Kaitannya sangat jelas, bahwa keserakahan dan
ketidakpedulian sosial adalah yang menimbulkan suatu kehidupan
yang tidak disemangati nilai-nilai rahmah. Karena itu
reformasi sosial mestilah ditandai, pertama-tama oleh
distribusi kekayaan yang adil. Itulah prioritas utama yang
digumuli Nabi dalam usaha mewujudkan reformasi sosial.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: