Tuesday, December 4, 2007

EKONOMI

EKONOMI

Masalah-masalah pokok ekonomi menurut para pakar mencakup
antara 1ain:

a. Jenis dan jasa yang diproduksi serta sistemnya.
b. Sistem distribusi (untuk siapa barang jasa itu).
c. Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
d. Inflasi, resesi, dan depresi.
e. Dan lain-lain.

Melihat luasnya ruang lingkup ekonomi, maka boleh jadi kita
dapat menyederhanakan kajian tulisan ini, dengan mengambil
alih pandangan sekian pakar yang mendefinisikan ilmu ekonomi
sebagai "ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan
dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakannya".

Pendorong bagi kegiatan itu adalah kebutuhan dan keinginan
manusia yang tidak mungkin diperoleh secara mandiri. Untuk
memenuhinya manusia terpaksa melakukan kerja sama, dan sering
kali juga terpaksa harus mengorbankan sebagian keinginannya,
atau mengantarnya menetapkan prioritas dalam melakukan
pilihan.

Namun ada juga manusia yang sukar mengendalikan keinginannya,
sehingga ia terdorong untuk menganiaya, baik terhadap sesama
manusia maupun makhluk lain. Dari sini amat diperlukan
peraturan serta etika yang mengatur kegiatan ekonomi.

Peraturan dan etika itulah yang membedakan antara ekonomi yang
dianjurkan Al-Quran dengan ekonomi lainnya.

Harus diakui bahwa Al-Quran tidak menyajikan rincian, tetapi
hanya mengamanatkan nilai-nilai (prinsip-prinsip)-nya saja.
Sunnah Nabi dan analisis para ulama dan cendekiawan
mengemukakan sebagian dari rincian dalam rangka
operasionalisasinya.

UANG DALAM PANDANGAN AL-QURAN

Terlebih dahulu perlu dijelaskan pandangan Al-Quran tentang
harta (uang) dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi.

"Uang" antara lain diartikan sebagai "harta" kekayaan, dan
"nilai tukar bagi sesuatu".

Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa
Islam kurang menyambut baik kehadiran uang, pada hakikatnya
pandangan Islam terhadap uang dan harta amat positif. Manusia
diperintahkan Allah untuk mencari rezeki bukan hanya yang
mencukupi kebutuhannya, tetapi Al-Quran memerintahkan untuk
mencari apa yang diistilahkannya fadhl Allah, yang secara
harfiah berarti "kelebihan yang bersumber dari Allah". Salah
satu ayat yang menunjuk ini adalah:

Apabila kamu telah selesai shalat (Jumat) maka
bertebaranlah di bumi, dan carilah fadhl
(kelebihan/rezeki) Allah (QS A1-Jumu'ah [62]: 10).

Kelebihan tersebut dimaksudkan antara lain agar yang
memperoleh dapat melakukan ibadah secara sempurna serta
mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang oleh karena
satu dan lain sebab tidak berkecukupan.

Harta atau uang dinilai oleh Allah Swt. sebagai "qiyaman",
yaitu "sarana pokok kehidupan" (QS Al-Nisa' [4): 5). Tidak
heran jika Islam memerintahkan untuk menggunakan uang pada
tempatnya dan secara baik, serta tidak memboroskannya. Bahkan
memerintahkan untuk menjaga dan memeliharanya sampai-sampai
Al-Quran melarang pemberian harta kepada pemiliknya sekalipun,
apabila sang pemilik dinilai boros, atau tidak pandai mengurus
hartanya secara baik. Dalam konteks ini, A1-Quran berpesan
kepada mereka yang diberi amanat memelihara harta seseorang:

Janganlah kamu memberi orang-orang yang lemah kemampuan
(dalam pengurusan harta) harta (mereka yang ada di
tangan kamu dan yang dijadikan Allah untuk semua
sebagai sarana pokok kehidupan) (QS Al-Nisa' [4]: 5).

Bukan hanya itu, Al-Quran memerintahkan siapa pun yang
melakukan transaksi hutang piutang, agar mencatat jumlah
hutang piutang itu, jangan sampai oleh satu dan lain hal
tercecer hilang atau berkurang.

Jangan bosan (enggan) menulisnya sedikit atau banyak
sampai batas waktu pembayarannya (QS Al-Baqarah [2]:
282).

Bahkan kalau perlu meminta bantuan notaris dalam
pencatatannya.

Kepada notaris serta yang melakukan transaksi itu, Allah
berpesan pada lanjutan ayat di atas:

[tulisan Arab]

dalam arti, hendaknya notaris jangan merugikan orang yang
melakukan transaksi terutama dengan mengurangi haknya
masing-masing, dan bagi yang melakukan transaksi hendaknya
jangan juga merugikan sang notaris dalam waktu, tenaga, dan
pikirannya tanpa memberi imbalan yang wajar. Diperintahkan
juga agar memilih saksi-saksi dalam hal hutang-piutang, kalau
bukan dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang
perempuan:

Agar kalau seseorang tersesat/lupa, maka yang satu
lainnya akan mengingatkannya (QS Al-Baqarah [2]: 282).

Demikian antara lain kandungan pesan ayat yang terpanjang
dalam Al-Quran.

Pandangan Al-Quran terhadap uang atau harta seperti yang
dikemukakan sekilas ini, bertitik tolak dari pandangannya
terhadap naluri manusia. Seperti diketahui, Al-Quran
memperkenalkan agama Islam antara lain sebagai agama fitrah
dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia
serta naluri positifnya. Dalam bidang harta atau keuangan,
Kitab Suci umat Islam secara tegas menyatakan:

Telah menjadi naluri manusia kecintaan kepada lawan
seksnya, anak-anak, serta harta yang banyak berupa
emas, perak, kuda piaraan, binatang ternak, sawah, dan
ladang (QS Ali 'Imran [3]: l4).

"Harta yang banyak" oleh Al-Quran disebut "khair" (QS
Al-Baqarah [2): 180), yang arti harfiahnya adalah "kebaikan".
Ini bukan saja berarti bahwa harta kekayaan adalah sesuatu
yang dinilai baik, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa
perolehan dan penggunaannya harus pula dengan baik. Tanpa
memperhatikan hal-hal tersebut, manusia akan mengalami
kesengsaraan dalam hidupnya.

Karena daya tarik uang atau harta seringkali menyilaukan mata
dan menggiurkan hati, maka berulang-ulang Al-Quran dan hadis,
memperingatkan agar manusia tidak tergiur oleh kegemerlapan
uang, atau diperbudak olehnya sehingga menjadikan seseorang
lupa akan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.

PERANAN UANG

Merujuk kepada Mu'jam Al-Muhfaras (Kamus Al-Quran) oleh Fuad
Abdul Baqi, kata mal (uang) terulang dalam Al-Quran sebanyak
25 kali (dalam bentuk tunggal) dan amwal (dalam bentuk jamak)
sebanyak enam puluh satu kali. Diamati oleh Hassan Hanafi
sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Ad-Din wa Ats-Tsaurah
bahwa kata tersebut mempunyni dua bentuk.

Pertama, tidak dinisbahkan kepada "pemilik", dalam arti dia
berdiri sendiri. Ini --menurutnya-- adalah sesuatu yang logis
karena memang ada harta yang tidak menjadi objek kegiatan
manusia, tetapi berpotensi untuk itu.

Kedua, dinisbahkan kepada sesuatu, seperti "harta mereka",
harta anak-anak yatim, "harta kamu" dan 1ain-1ain. Ini adalah
harta yang menjadi objok kegiatan. Dan bentuk inilah yang
terbanyak digunakan dalam Al-Quran.

Menurut hasil perhitungan penulis, bentuk pertama ditemukan
sebanyak 23 kali, sedang bentuk kedua sebanyak 54 kali. Dari
jumlah ini yang terbanyak dibicarakan adalah harta dalam
bentuk objok, dan ini memberi kesan bahwa seharusnya harta
atau uang menjadi objek kegiatan manusia. Kegiatan tersebut
adalah aktivitas ekonomi.

Dalam pandangan Al-Quran, uang merupakan modal serta salah
satu faktor produksi yang penting, tetapi "bukan yang
terpenting". Manusia menduduki tempat di atas modal disusu1
sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan
sementara pelaku ekonomi modern yang memandang uang sebagai
segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya
alam dianiaya atau ditelantarkan.

Modal tidak boleh diabaikan, manusia berkewajiban
menggunakannya dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak
habis digunakan. Karena itu seorang wali yang menguasai harta
orang-orang yang tidak atau belum mampu mengurus hartanya,
diperintahkan untuk mengembangkan harta yang berada dalam
kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak
mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan dari pokok
modal. Ini dipahami dari redaksi surat Al-Nisa' (4): 5 yang
dikutip di atas, di mana dinyatakan Warzuquhum fiha bukan
Warzuquhum minha. "Minha" artinya "dari modal", sedang "fiha"
berarti "di dalam modal", yang dipahami sebagai ada sesuatu
yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari
hasil usaha.

Karena itu pula modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya
sendiri, tetapi harus dengan usaha manusia. Ini salah satu
sebab mengapa membungakan uang, dalam bentuk riba dan
perjudian, dilarang oleh Al-Quran. Salah satu hikmah
pelarangan riba, serta pengenaan zakat sebesar 2,5% terhadap
uang (walau tidak diperdagangkan) adalah untuk mendorong
aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi
spekulasi serta penimbunan. Dalam konteks ini Al-Quran
mengingatkan:

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih (QS Al-Tawbah [9]. 34)

Ancaman ini disebabkan karena uang/harta seperti dikemukakan
sebelum ini dijadikan Allah untuk sarana kehidupan manusia
dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dan menyimpannya tanpa
perputaran, demikian juga penimbunan kebutuhannya, tidak
sejalan dengan tujuan tersebut.

Bagi pemilik uang yang tidak atau kurang mampu mengelola
uangnya, para ulama mengembangkan cara-cara yang direstui oleh
Al-Quran dan Sunnah Nabi, antara lain melalui apa yang dinamai
murabahah, mudharabah atau musyarakah

Murabahah adalah pembelian barang menurut rincian yang
ditetapkan oleh pengutang, dengan keuntungan dan waktu
pembayaran yang disepakati.

Mudharabah adalah bergabungnya tenaga kerja dengan pemilik
modal, sebagai mitra usaha dan keuntungan yang dibagi sesuai
rasio yang disepakati.

Musyarakah adalah memadukan modal untuk bersama-sama
memutarnya, dengan kesepakatan tentang rasio laba yang akan
diterima.

Cara-cara ini akan mendorong setiap pemilik modal untuk tidak
membiarkan modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah uang
--seperti dikemukakan di atas-- dijadikan Allah untuk sarana
kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia?

KEBUTUHAN MANUSIA

"Kebutuhan" biasa diartikan sebagai "hasrat manusia yang perlu
dipenuhi atau dipuaskan".

Kebutuhan bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, namun secara
umum ia dapat dibagi dalam tiga jenis sesuai dengan tingkat
kepentingannya. Primer (dharuriyat), sekunder (hajiyat), dan
tertier (kamaliyat).

Jenis kebutuhan kedua dan ketiga sangat beraneka ragam, dan
dapat berbeda-beda dari seorang dengan lainnya, namun
kebutuhan primer sejak dahulu hingga kini dapat dikatakan sama
dan telah dirumuskan oleh para pakar sebagai kebutuhan
sandang, pangan, dan papan.

Al-Quran secara tegas menyebutkan ketiga macam kebutuhan
primer itu dan mengingatkan manusia pertama tentang keharusan
pemenuhannya sebelum manusia pertama itu menginjakkan kakinya
di bumi. Ketika Adam dan istrinya Hawa masih berada di surga,
Allah mengingatkan mereka berdua:

Maka Kami berkata, "Hai Adam' sesungguhnya ini (iblis)
adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali
janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga
karena (jika demikian) engkau akan bersusah payah
Sesungguhnya engkau tidak akan lapar di surga, dan
tidak pula akan telanjang. Sesungguhnya engkau tidak
akan dahaga, tidak pula disengat panas matahari di sana
(surga)" (QS Thaha [20]: 117-119).

Yang dimaksud dengan bersusah payah adalah bekerja untuk
memenuhi kebutuhan mereka yang di dunia tidak diperoleh tanpa
kerja tetapi di surga telah disediakan yaitu pangan atau dalam
bahasa ayat di atas "tidak lapar dan tidak dahaga". Sandang
dilukiskan dengan "tidak telanjang", sedangkan papan
diisyaratkan oleh kalimat "tidak disengat panas matahari".

Sementara ulama menganalisis mengapa peringatan ini ditujukan
kepada mereka berdua selaku suami-istri, tetapi pernyataan
bersusah payah dikemukakan dalam bentuk tunggal yang ditujukan
kepada suami (Adam) saja. Jawabannya menurut mereka adalah,
karena kebutuhan sandang, pangan dan papan, merupakan
kebutuhan pria dan wanita (suami-istri), tetapi kewajiban
bersusah payah mencarinya, berada di pundak suami, sehingga
merupakan kewajiban suami untuk mengikhtiarkannya.

Ketiga jenis kebutuhan seperti yang disebut di atas, mengantar
manusia berikhtiar untuk memproduksi alat-alat pemenuhannya,
baik berupa barang maupun jasa.
AKTIVITAS EKONOMI

Aktivitas antar manusia --termasuk aktivitas ekonomi-- terjadi
melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu'amalah
(interaksi). Pesan utama Al-Quran dalam mu'amalah keuangan
atau aktivitas ekonomi adalah:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara
batil... (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Kata "batil" diartikan sebagai "segala sesuatu yang
bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama".

Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi
Al-Quran --sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan
bersifat ibadah murni-- pada dasarnya tidak memberikan
perincian. Ini untuk memberikan peluang kepada manusia atau
masyarakat yang sifatnya selalu berubah, agar menyesuaikan
diri dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan dengan
nilai-nilai Islam.

NILAI-NILAI ISLAM

Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam terangkum
dalam empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendak
bebas, dan tanggung jawab.

Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allah
mengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu
bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah Swt. Dialah
Pemilik mutlak dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segala
kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang
Muslim untuk menyatakan:

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
adalah semata-mata demi karena Allah, Tuhan seru
sekalian alam.

Prinsip ini menghasilkan "kesatuan-kesatuan" yang beredar
dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet
tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara
lain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia
dan akhirat, dan 1ain-lain.

Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segala
sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi,

Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan
dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah
mengamati! Apakah engkau melihat sedikit ketimpangan?
(QS Al-Mulk [67]: 3)

Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi,
dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya
untuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya,
bahkan alam seluruhnya.

Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslim
meyakini bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak namun Dia
juga menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih
dua jalan yang terbentang di hadapannya --baik dan buruk.
Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu
menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dan
keseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab
baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam
memperkenalkan konsep fardhu 'ain dan jardhu kifayah. Yang
pertama adalah kewajiban individual yang tidak dapat
dibebankan kepada orang lain sedang yang kedua adalah
kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain sehingga
terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah semua
anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila
tidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh
sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, maka
berdosalah setiap anggota masyarakat.

Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas
setiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.

Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi
untuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman
tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan
oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang
membutuhkan:

Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang
diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33).

Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segala
sesuatu adalah milik Allah. Memang jika diamati dengan
saksama, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uang
atau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia
dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Tuhan Yang Maha
Esa.

Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanya
disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga
partisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang
--misalnya-- membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau
barang dagangannya terjual? Bukankah petani membutuhkan
irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para pengusaha
membutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangan
dan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalau
demikian, wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk
menyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggaman
tangannya ("miliknya") demi kepentingan masyarakat umum. Dari
sini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagi
harta kekayaan.

Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan
akhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar
keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal
dan abadi.

Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan
umat manusia mengantar seorang pengusaha Muslim untuk
menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia.
Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang
praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau
terselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barang
pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.

Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk
monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau
satu kelompok. Atas dasar ini pula Al-Quran menolak dengan
amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar
pada orang-orang atau kelompok tertentu.

Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang
kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Dari sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan. Hal
ini tercermin pada ayat 34 surat At-Taubah yang memberikan
ancaman sedemikian keras kepada para penimbun, serta sabda
Nabi Muhammad Saw. berikut:

Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari,
dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas
diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya.

Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar
dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk
mencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukan
penimbunan, penyelundupan, dan yang mengambil keuntungan
secara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan
harga yang tidak semestinya.

Di sisi lain pemborosan pun dilarang juga:

Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan;
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).

Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menimbulkan kelangkaan
barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat
kenaikan harga-harga.

Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan
Pemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar-paling
tidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah
oleh seluruh anggota masyarakat.

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa:

Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan
api (HR Abu Daud).

Tiga komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masa
Nabi Saw., dan tentunya setiap masyarakat dapat memiliki
kebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan demikian masing-masing
dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya.

Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan
oleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara individu
maupun kolektif.

Demikian sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islam
dalam bidang ekonomi.

Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya A1-Quran
telah lahir institusi-institusi serta kondisi yang
diperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti halnya
dengan perbankan konvensional. Sementara ulama mempersamakan
praktek perbankan itu dengan riba, sementara ulama lainnya
mentoleransinya dengan syarat-syarat tertentu, antara lain
bahwa bank yang menyalurkan kredit haruslah bank pemerintah,
karena keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembali
juga ke masyarakat. Berikut akan disoroti hal tersebut dan
segi penafsiran ayat riba.

RIBA

Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan menjadikan
para sahabat Nabi, seperti ucap Umar ibn Khaththab,
"Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal." Ini
disebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang utuh
tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Saw.

Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Kalau kita
hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang
dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat
dibenarkan. Ketika itu mereka berkata --seperti yang
diungkapkan Al-Quran-- bahwa "jual beli sama saja dengan riba"
(QS Al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka dengan tegas
bahwa "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara
eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau
hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.

Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam
empat surat, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan
satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah,
walaupun menggunakan kata riba (QS Al-Rum [30]: 39), ulama
sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram
karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif
memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.

Upaya memahami apa yang dimaksud dengan riba adalah dengan
mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus
lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh'afan
mudha'afah (berlipat ganda), ma baqiya minarriba (apa yang
tersisa dari riba) dan falakum ru'usu amwalikum, la tazlimun
wa la tuzlamun.

Sementara ulama, semacam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,
memahami bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya riba yang
berlipat ganda. Lipat ganda yang dimaksud di sini adalah
"pelipatgandaan yang berkali-kali".

Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorang
debitur yang tidak mampu membayar hutangnya pada saat yang
ditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janji
membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.

Sikap semacam ini amat dikecam oleh Al-Quran, sebagaimana
firman Allah:

Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah
diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan
menyedekahkan (semua atau sebagian dan piutang) (lebih
baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS Al-Baqarah [2]:
280).

Pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yang
berlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja
karena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya, yang
memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil,
tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang riba,
memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila mereka
mengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadap
mereka sedang

Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan
demikian) Kami tidak menganinya dan tidak pula dianiaya
(QS Al-Baqarah [2]: 279).

Hemat penulis, inilah kata kunci yang terpenting dalam
persoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilai
transaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk praktek-praktek
perbankan.

Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quran
yang berbicara tentang riba, demikian pula hadis Nabi dan
riwayat-riwayat lainnya adalah, bahwa riba yang dipraktekkan
pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut
bersama jumlah hutang, pungutan yang mengandung penganiayaan
dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan dan
jumlah hutang.

Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktek Nabi Saw.
yang membayar hutangnya dengan berlebihan. Dalam konteks
pembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda:

Sebaõk-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar hutang.
(Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi A'bi Rafi',
yakni antara lain "melebihkan". Hanya tentu harus
digarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu tidak bersyarat
pada awal transaksi)

Nah, bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini?

Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan
tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi
diri orang-orang yang bertakwa.

***

Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang
ekonomi. Intinya adalah keadilan, kerja sama, serta
keseimbangan dan lain-lain. Dan semua itu tercakup dalam
larangan melakukan transaksi apa pun yang berbentuk batil,
eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

No comments: