Monday, December 3, 2007

KONSEP MUHAMMAD SAW SEBAGAI PENUTUP PARA NABI

KONSEP MUHAMMAD SAW SEBAGAI PENUTUP PARA NABI (1/3)
Implikasinya dalam Kehidupan Sosial serta Keagamaan

oleh Nurcholish Madjid (hal. 523)

Suatu kenyataan sejarah yang amat menarik tentang Nabi
Muhammad saw ialah bahwa sejak beliau tampil sekitar lima
belas abad yang lalu sampai sekarang tidak pernah muncul
tantangan yang cukup berarti atas klaim bahwa beliau adalah
penutup segala Nabi dan Rasul. Di mata beberapa orang
sarjana Islam terkemuka, seperti Fazlur Rahman, kenyataan
itu merupakan bukti dan dukungan bagi pandangan Islam bahwa
Nabi Muhammad saw adalah benar-benar yang terakhir dalam
deretan mata rantai para Nabi dan Utusan Allah sepanjang
sejarah ummat manusia.

Konsep bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan
Rasul adalah cukup sentral dalam sistem kepercayaan Islam.
Dan implikasi konsep itu cukup luas dan penting. Hal itu
terbukti antara lain dari adanya beberapa kontroversi yang
memakan korban akhir-akhir ini di kalangan ummat Islam,
seperti pengkafiran kaum Ahmadiyah oleh Rabithat al-Alam
al-Islami dengan dampak pengucilannya di Pakistan. Juga,
yang lebih dramatis, sikap permusuhan yang sengit pemerintah
Republik Islam Iran terhadap kaum Baha'i (jika memang kaum
Baha'i masih dapat dipandang sebagai bagian dari Islam; jika
tidak, maka penyebutannya disini menjadi tidak relevan).

Namun agak mengherankan bahwa meskipun doktrin tentang Nabi
Muhammad saw itu begitu penting dan sentral dengan implikasi
yang luas dan asasi, sedikit sekali para ahli tafsir
al-Qur'an yang memberi perhatian dan ulasan kepada masalah
pokok ini ketika menjabarkan makna firman Allah yang
terkait. Bahkan Sayyid Qutb, seorang ahli tafsir al-Qur'an
zaman modern dengan karyanya yang berjilid-jilid, Fi Dhilal
al-Qur'an, ternyata membahas masalah ini hanya secara
sepintas lalu saja. [1] Tidak bedanya dengan Sayyid Muhammad
dengan al-Thaba' Thaba'i, penulis kitab tafsir al-Mizan fi
Tafsir al-Qur'an yang juga berjilid-jilid, juga menyinggung
masalah ini secara sekedarnya saja. [2]

Para penafsir al-Qur'an dari zaman modern ini dan yang
berlatar belakang pengalaman dalam budaya modern justru
lebih menyadari implikasi penting pandangan bahwa Nabi
Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan Rasul. Dengan
referensi silang dalam kitab tafsirnya, Muhammad Asad,
misalnya, menunjukkan makna yang lebih luas dan fundamental
dari pandangan itu, dengan implikasi yang juga luas dan
fundamental. Makalah ini banyak menggunakan pendekatan
Muhammad Asad dalam pengembangan argumennya, disamping
sumber-sumber lain yang relevan.

Karena pokok pembahasan disini dalam beberapa segi
menyangkut masalah 'aqidah (simpul keimanan) maka tentu
tidak dapat diremehkan signifikansinya. Karena itu
pengembangan lebih lanjut argumen disini oleh mereka yang
berwenang secara ilmiah akan sangat disambut gembira.

CONTOH KLAIM KENABIAN: KASUS GHULAM AHMAD DAN JOSEPH SMITH

Sebagai gambaran nyata, di zaman modern ini terdapat
beberapa orang pengaku kenabian. Kehadiran mereka tidak
memiliki dampak seperti yang diharapkan dari yang
benar-benar Nabi dan Rasul, namun mereka mempunyai pengikut.
Di India pernah muncul Mirza Ghulam Ahmad yang dipandang
oleh para pengikutnya (versi Qadianis, dan bukan bersi
Lahore) sebagai seorang Nabi. Namun dalam beberapa
penjelasan terdapat penegasan bahwa kenabian Mirza adalah
jenis "kenabian kecil" (minor prophethood), karena ia
"hanya" bertugas meneruskan dan menghidupkan kembali pesan
suci Nabi besar Muhammad saw. Keterangan mengenai hal ini
dari seorang tokoh gerakan Ahmadiyah terbaca demikian:

Klaim Hazra Mirza Ghulam Ahmad (salam-sejahtera atasnya),
ialah bahwa Tuhan telah membangkitkan dia untuk membimbing
dan memberi petunjuk ummat manusia; bahwa dia adalah
al-Masih yang diramalkan dalam Hadits-hadits Nabi Besar
(Muhammad saw) dan Mahdi yang dijanjikan dalam sabda-sabda
(Nabi Muhammad saw); bahwa nubuwat (ramalan suci) yang
termuat dalam berbagai kitab suci agama tentang tampilnya
seorang utusan Tuhan pada zaman akhir juga telah dipenuhi
dalam dirinya; bahwa Tuhan telah membangkitkannya untuk
membela dan menyebarluaskan Islam di zaman kita; bahwa Tuhan
telah memberinya karunia pemahaman mendalam tentang
al-Qur'an, dan mewahyukan kepada dia maknanya dan
kebenarannya yang paling mendalam; bahwa Dia telah
mewahyukan kepadanya berbagai rahasia hidup salih. Dengan
karyanya, pesannya, dan teladannya, dia mengagungkan Nabi
Besar (Muhammad saw) dan membuktikan keunggulan Islam atas
agama-agama yang lain. [3]

Di Amerika muncul seorang bernama Joseph Smith, yang oleh
para pengikutnya dari Kristen sekte "The Church of Jesus
Christ of Latter-Day Saint" (kaum "Mormon") juga dianggap
sebagai Nabi. Tapi, sama halnya dengan hubungan Mirza dengan
Nabi Muhammad saw, Smith pun mengaku "hanya" meneruskan dan
menghidupkan kembali ajaran Isa al-Masih as, khususnya
berkenaan dengan kitab sucinya yang "hilang," yang
disampaikan oleh Isa al-Masih kepada penghuni kuno kedua
benua Amerika (Utara dan Selatan), yaitu Buku Mormon (The
Book of Mormon). Suatu penuturan dalam pengantar Buku Mormon
itu terbaca demikian:

Buku Mormon adalah suatu jilid dari kitab suci yang
sebanding dengan Bibel. Ia merupakan catatan urusan Tuhan
dengan penghuni kuna kedua benua Amerika dan, sebagaimana
Bibel, memuat pemenuhan gospel yang abadi.

Buku itu ditulis oleh banyak Nabi kuna dengan ruh kenabian
dan wahyu. Kata-kata mereka, tertulis pada lempengan-
lempengan emas, dikutip dan diringkas oleh seorang nabi dan
ahli sejarah, bernama Mormon... [4]

Puncak kejadian yang tercatat dalam Buku Mormon ialah
kependetaan pribadi Tuhan Yesus Kristus di kalangan kaum
Nephites segera setelah kebangkitannya kembali. Buku itu
mengemukakan doktrin-doktrin gospel, memberi garis besar
rencana penyelamatan, dan memberi tahu manusia apa yang
harus mereka kerjakan untuk memperoleh kedamaian dalam hidup
ini dan keselamatan abadi dalam hidup yang akan datang.

Setelah Mormon menyelesaikan tulisannya, ia menyerahkan
cerita itu kepada anaknya Moroni, yang menambahkan beberapa
kata dari dirinya sendiri dan menyembunyikan
lempengan-lempengan tadi di bukit Cumorah. Pada tanggal 21
September 1323, Moroni itu sendiri, yang saat itu merupakan
makhluk yang dimuliakan dan dibangkitkan kembali,
menampakkan diri pada Nabi Joseph Smith dan mengajarinya
berkenaan dengan catatan kuna itu serta penerjemahannya yang
mesti terjadi ke dalam bahasa Inggris.

Selanjutnya lempengan-lempengan tersebut diberikan kepada
Joseph Smith, yang menerjemahkannya dengan anugerah dan
kekuatan dari Tuhan. Catatan itu sekarang diterbitkan dalam
banyak bahasa sebagai saksi baru dan tambahan bahwa Yesus
Kristus adalah Putera dari Tuhan yang hidup dan semua orang
yang bersedia datang kepadanya serta menaati hukum-hukum dan
ajaran-ajaran gospelnya akan terselamatkan.

Tapi, seperti telah disinggung, dan sebagaimana telah
disaksikan oleh sejarah, kehadiran baik Mirza maupun Smith
tidak meninggalkan dampak sosial dan spiritual dengan
keluasan dan kedalaman seperti yang biasanya ditinggalkan
oleh para Nabi terdahulu. Karena itu bagi hampir seluruh
kaum Muslim klaim Mirza akan kenabian itu harus ditolak
(atau ditafsirkan kembali seperti dilakukan oleh sebagian
pengikutnya sendiri dari versi Lahore); dan bagi hampir
semua kaum Kristen klaim Joseph Smith pun ditolak, dan kaum
Mormon diakui hanya sebagai salah satu saja dari puluhan
atau ratusan sekte dan denominasi dalam agama Kristen.

Klaim kenabian atau, apalagi, kerasulan, akan menimbulkan
masalah dalam masyarakat, karena logika setiap klaim
kenabian atau kerasulan tentu menuntut kepada setiap orang
untuk menerima, membenarkan dan "beriman" kepada pengaku
itu. Ghulam Ahmad, misalnya, memperlihatkan gejala ini,
seperti dengan jelas bisa dipahami dari pernyataan berikut:

Setelah secara singkat menggambarkan klaim al-Masih Yang
Dijanjikan (the Promised Messiah), Pendiri Gerakan
Ahmadiyah, saya ingin menerangkan kriteria umum yang dengan
itu kebenaran pengaku (kenabian) serupa itu bisa dinilai.
Jika telah terbukti bahwa pribadi tertentu mendapat tugas
Maki sebagai Utusan Tuhan, maka menjadi wajib atas setiap
orang untuk menerima pengakuannya itu. [5]

Kaum Mormon pun mempunyai sikap yang serupa, sebagai
konsekuensi kepercayaan mereka bahwa Joseph Smith adalah
seorang Nabi. Dalam pengantar Buku Mormon dikutip perkataan
kita sendiri, demikian: Berkenaan dengan catatan ini Nabi
Joseph Smith berkata: "Saya telah katakan kepada para
saudara bahwa Buku Mormon adalah buku yang paling benar dari
semua buku yang ada di muka bumi, dan batu dasar agama kita,
dan seseorang akan menjadi lebih dekat kepada Tuhan dengan
menaati ajaran-ajaran buku itu daripada dengan buku lain
manapun." [6]

Kegawatan muncul karena setiap sikap menerima atau menolak
sesuatu dari pesan Ilahi akan dengan sendirinya bersangkutan
dengan masalah keselamatan atau kesengsaraan. Maka logika
pengakuan kenabian, lebih sering daripada tidak, mengundang
percekcokan tajam, sebab terjadi dalam kerangka kemutlakan
(ultimacy). Karena itu pengaku kenabian tentu menghasilkan
sistem kepengikutan yang eksklusifistik, yang menampik
"orang luar" untuk menyertai mereka dalam panji keselamatan
dan kebahagiaan. Dalam penampilannya yang ekstrem, seperti
ditunjukkan oleh berbagai perkumpulan yang bersifat kultus
(cultic) di banyak negara (terutama Amerika), harapan
keselamatan yang dipusatkan dan digantungkan kepada pribadi
seorang tokoh akan melahirkan gejala-gejala anti sosial dan
penuh permusuhan. Maka agaknya yang diperlukan oleh manusia
zaman modern bukanlah tokoh yang mengarah kepada penampilan
bergaya cultic, melainkan yang manusiawi biasa, terbuka dan
tampil dalam gaya dialogis dengan anggota masyarakat yang
lebih luas dalam semangat persamaan hak dan kewajiban. Dan
hal ini memerlukan suatu perangkat kepercayaan yang kukuh
bahwa sekarang tidak ada lagi yang dibenarkan mengklaim
sebagai "petugass" dari Tuhan.

NABI MUHAMMAD PENUTUP SEGALA NABI

Keterangan bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup para nabi
dan Rasul diberikan dalam al-Qur'an dalam rangkaian firman
Allah dan ajaran-Nya tentang pembatalan praktek tabanni
(mengangkat anak, kemudian anak itu diakui seperti anak
sendiri, seolah benar-benar mempunyai pertalian darah dengan
orang tua angkat bersangkutan, dengan segala konsekuensi
kehukuman atau legalnya). Praktek tabanni itu dibatalkan
karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang lebih mendalam
dan asasi, yaitu ajaran tentang fitrah yang antara lain
menghendaki segala sesuatu dinilai, dipandang dan dilakukan
berdasarkan kenyataan intrinsiknya, bukan fakta formalnya.
Karena tabanni memberi hak kehukuman kepada seseorang anak
angkat hanya karena ia dinyatakan sebagai anak sendiri
secara lisan (yakni, secara formal), maka praktek itu
dianggap tidak fithri.
Dalam sangkutannya dengan Nabi, praktek tabanni (yang beliau
lakukan untuk bekas budaknya yang dimerdekakan oleh beliau
sendiri, Zayd [ibn Haritsah]) mengakibatkan sebutan Nabi
sebagai "bapak" seseorang diantara kaum beriman, yaitu Zayd
(maka ia disebut Zayd ibn Muhammad), dengan mengesampingkan
kaum beriman yang lain. Maka firman Allah mengenai hal ini
terbaca: "Muhammad itu bukanlah bapak seseorang dari antara
kaum lelakimu, melainkan Rasul Allah dan penutup para Nabi."
[7] Kemudian, mendahului firman itu terbaca firman: "Nabi
lebih berhak atas kaum beriman daripada diri mereka sendiri,
dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka..." [8]. Sudah
tentu yang dimaksud bahwa isteri-isteri Nabi itu adalah
ibu-ibu kaum beriman ialah dalam pengertian spiritual. Maka
Nabi sendiri, sementara dinyatakan sebagai bukan bapak salah
seorang diantara kaum beriman, adalah bapak (spiritual)
seluruh kaum beriman, yakni, panutan mereka semua. Inilah
yang dapat kita simpulkan dari rangkaian firman-firman yang
relevan. Muhammad Asad menjabarkan bahwa penegasan itu
mengandung arti penolakan kepada pandangan bahwa adanya
hubungan fisik (keturunan) dengan Nabi mempunyai makna
spiritual tersendiri; sebaliknya, karena hubungan kebapakan
kepada Nabi dan keibuan kepada para isteri beliau itu harus
dipahami hanya sebagai hubungan spiritual (dan mustahil
sebagai hubungan fisikal), [9] maka kedudukan seluruh kaum
beriman dalam hal ini di hadapan beliau adalah mutlak sama.
Pengertian ini lebih-lebih lagi sangat logis karena Nabi
Muhammad saw adalah Utusan Allah yang terakhir.

Untuk pengertian "penutup" itu al-Qur'an menggunakan istilah
"khatam," yang secara harfiah berarti "cincin," yaitu cincin
pengesah dokumen (seal, stempel), sebagaimana Nabi Muhammad
sendiri juga memilikinya (antara lain beliau pergunakan
mereka yang sahkan surat-surat yang beliau kirim ke para
penguasa sekitar Jazirah Arabia saat itu). Jadi fungsi Nabi
Muhammad saw terhadap para Nabi dan Rasul sebelum beliau
ialah untuk memberi pengesahan kepada kebesaran, kitab-kitab
suci, dan ajaran mereka. Hal ini tersimpul dari penjelasan
tentang kedudukan al-Qur'an terhadap kitab-kitab suci yang
lalu, yaitu sebagai pembenar (mushaddiq) dan penentu atau
penguji (mahaymin), disamping sebagai pengoreksi (furqan)
atas penyimpangan yang terjadi oleh para pengikut
kitab-kitab itu. Penegasan itu kita dapatkan dalam al-Qur'an
dalam deretan keterangan tentang kaum Yahudi dan Kristen,
disertai harapan agar mereka benar-benar menjalankan ajaran
agama mereka masing-masing dengan baik, dan dirangkaikan
dengan penegasan pluralitas kenyataan hidup manusia,
termasuk dan terutama hidup keagamaannya. Di sini akan
dikutip deretan firman itu, karena amat patut (dan di zaman
sekarang cukup mendesak) untuk disimak dan direnungkan akan
makna dan semangatnya:

Mereka (kaum Yahudi) itu suka mendengarkan kedustaan dan
memakan harta terlarang. Kalau mereka datang kepadamu
(Muhammad) maka buatlah keputusan hukum antara mereka
(berkenaan dengan perkara yang menyangkut mereka), atau
berpalinglah dari mereka. Jika engkau berpaling dari mereka,
maka mereka tidaklah akan merugikan engkau sedikitpun juga
Dan jika engkau buat keputusan hukum, maka buatlah keputusan
hukum itu antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berbuat keadilan.

Tetapi bagaimana mereka akan meminta hukum kepadamu, padahal
mereka punya Taurat yang didalamnya ada hukum Allah kemudian
mereka berpaling sesudah itu (dari keputusanmu). Mereka
bukanlah kaum yang (benar-benar) beriman.

Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menurunkan Kitab Taurat yang
didalamnya ada hidayah dan cahaya, yang dengan Taurat itu
para Nabi yang berserah diri (kepada Allah) membuat
keputusan hukum untuk mereka yang beragama Yunani, demikian
pula mereka yang ber-Ketuhanan (rabbaniyyun) dan para
pendeta mereka, karena perintah agar mereka memelihara kitab
Allah, dan mereka menjadi saksi atas hal itu. Maka janganlah
kamu takut kepada manusia, melainkan takutlah kepada-Ku, dan
jangan pula kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga murah.
Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan
Allah maka mereka adalah kaum yang kafir.

Dan telah kami tetapkan bagi mereka (kaum Yahudi) dalam
Taurat bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, kuping dengan kuping, gigi dengan
gigi, dan luka pun ada balasannya. Namun barangsiapa
melepaskan haknya (untuk membalas), maka hal itu menjadi
penebus bagi (dosa)-nya. Dan barangsiapa tidak menjalankan
hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah kaum
yang zalim.

Dan Kami susuli atas jejak mereka dengan Isa putera Maryam
sebagai pendukung bagi kitab yang ada sebelumnya, yaitu
Taurat. Dan Kami karuniakan kepadanya Injil, didalamnya ada
hidayah dan cahaya, sebagai mendukung kebenaran kitab yang
ada, yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk dan nasihat bagi
mereka yang bertaqwa.

Karena itu hendaknyalah para penganut Injil itu menjalankan
hukum dengan apa yang diturunkan Allah didalamnya.
Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan
Allah maka mereka adalah kaum yang fasik.

Dan Kami turunkan kepada engkau (Muhammad) dengan benar,
sebagai pendukung bagi yang ada sebelumnya, yaitu
kitab-kitab suci (terdahulu) dan sebagai penentu (kebenaran
kitab yang lalu itu). Maka jalankan hukum dengan yang
diturunkan Allah, dan jangan mengikuti keinginan mereka
sehingga menyimpang dari yang datang kepada engkau, yaitu
kebenaran. Untuk masing-masing dari kamu (ummat manusia)
telah Kami tetapkan tatanan hukum (syir'ah, syari'ah) dan
jalan hidup (minhaj). Jika seandainya Allah menghendaki,
maka tentu akan dijadikannya kamu sekalian ummat yang
tunggal. Tetapi Dia hendak menguji kamu berkenaan dengan
hal-hal yang telah dikaruniakan kepada kamu. Maka
berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada
Allah tempat kembalimu semua, maka Dia akan menjelaskan
kepadamu tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan.
[10]

Penafsiran terhadap ayat-ayat Ilahi ini amat baku di
kalangan para ahli dan 'ulama. Pertama, dalam firman itu
terdapat penegasan bahwa para penganut agama, dalam hal ini
Yahudi dan Kristen, harus menjalankan ajaran kebenaran yang
diberikan Allah kepada mereka melalui kitab-kitab mereka,
berturut-turut Taurat dan Injil. Kalau mereka tidak
melakukan hal itu, maka mereka adalah kafir dan zalim.
Kedua, al-Qur'an mendukung kebenaran dasar ajaran-ajaran
dalam kitab-kitab suci itu, tapi juga mengujinya dari
kemungkinan pengimpangan oleh para pengikutnya. Jadi
al-Qur'an mengajarkan tentang kontinuitas agama-agama Tuhan
-sebagaimana banyak ditegaskan di berbagai tempat lain dalam
al-Qur'an- sekaligus ajaran tentang perkembangan agama-agama
Tuhan itu dari masa ke masa.

Segi kebenaran yang didukung dan dilindungi oleh al-Qur'an
ialah kebenaran asasi yang menjadi inti semua agama Allah,
khususnya Tawhid atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Inti
agama yang umum itu dinyatakan dalam istilah Arab al-din,
yang seperti dijelaskan oleh Muhammad Asad mengandung makna
kebenaran-kebenaran agama/spiritual yang asasi dan tidak
berubah-ubah, yang menurut al-Qur'an diajarkan kepada setiap
Utusan Allah. Jadi semua Nabi dan Rasul membawa ajaran inti
keagamaan (din) yang sama, kecuali jika diselewengkan atau
diubah oleh para pengikutnya. Namun para Nabi dan Rasul
tidak membawa sistem hukum (syir'ah, syari'ah) ataupun cara
hidup (minhaj, way of life) yang sama. Perbedaan dalam segi
ini membawa kepada adanya kenyataan plural agama-agama, yang
sepanjang ajaran al-Qur'an tidak perlu kita persoalkan,
karena itu sudah menjadi kehendak Allah (Dia tidak
menghendaki masyarakat tunggal manusia), dan Allah pula yang
akan menjelaskan adanya perbedaan ini. [11]

Dari urutan dan logika ajaran al-Qur'an itu dapat dilihat
letak pandangan bahwa al-Qur'an adalah kulminasi semua kitab
suci, dan bahwa penerimanya, yaitu Nabi Muhammad saw adalah
penutup para Nabi dan Rasul. Sebab ajaran yang dibawakannya
adalah perkembangan akhir dari semua agama, menuju
kesempurnaan. Maka Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi
juga berarti bahwa beliau diutus untuk sekalian ummat
manusia:

Katakan olehmu (Muhammad): "Wahai sekalian ummat manusia!
Sesungguhnya aku adalah Utusan Allah kepada kamu sekalian,
yang bagi-Nya kekuasaan seluruh langit dan bumi; tiada Tuhan
selain Dia yang menghidupkan dan mematikan." Maka sekarang
berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan kepada Rasul-Nya
yang tak pandai baca tulis itu, yang beriman kepada
firman-firmanNya. Ikutilah dia, agar kamu mendapatkan
petunjuk. [12]

Firman ini, dilihat dari letaknya, merupakan interpolasi
atas deretan keterangan tentang Nabi Musa dan keturunan
Israel. Maksudnya ialah menjelaskan bahwa sementara
Nabi-nabi terdahulu dan ajaran-ajaran yang dibawanya tertuju
khusus kepada bangsa, tempat dan zaman tertentu, namun Nabi
Muhammad dan al-Qur'an tertuju kepada seluruh ummat manusia,
tanpa terikat oleh bangsa, tempat maupun zaman tertentu.
Sebab sesudah Nabi Muhammad saw tidak akan lagi ada Nabi,
dan sesudah al-Qur'an tidak diturunkan lagi kitab suci. [13]
Oleh karena itu Nabi Muhammad saw juga disebut sebagai bukti
rahmat atau kasih Allah kepada seluruh alam, khususnya
seluruh ummat manusia:

Dan tidaklah Kami mengutus engkau (hai Muhammad) melainkan
sebagai rahmat untuk sekalian alam. Katakan (olehmu,
Muhammad), "Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu
adalah Tuhan Yang Maha Esa. Apakah kamu bersedia tunduk
(Islam) kepada-Nya?" Kalau mereka berpaling, maka katakan
olehmu, "Ku telah sampaikan hal ini kepada kamu semua tanpa
perbedaan. Dan aku tidak tahu apakah dekat (segera) atau
jauh (terjadinya) apa yang dijanjikan kepada kamu (oleh
Tuhan) itu. [14]

Jadi paham Tawhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti
ajaran al-Qur'an, sebagaimana juga inti ajaran para Nabi
yang lain. Kita diperintahkan untuk tunduk (Islam) kepada
Tuhan Yang Maha Esa itu. Dan ajaran inti ini telah
disampaikan Nabi kepada ummat manusia tanpa perbedaan.
Dengan kata-kata lain, ajaran adalah universal. Muhammad
Asad menjelaskan segi-segi yang mendukung universalitas
al-Qur'an, yaitu, pertama, seruan al-Qur'an tertuju kepada
seluruh ummat manusia, tanpa mempedulikan keturunan, ras dan
lingkungan budayanya: kedua, fakta bahwa al-Qur'an menyeru
semata-mata kepada amal manusia dan karenanya, tidak
merumuskan dengan yang bisa diterima atas dasar kepercayaan
buta semata; dan akhirnya, fakta bahwa -berbeda dari semua
kitab suci yang diketahui dalam sejarah- al-Qur'an tetap
seluruhnya tak berubah dalam kata-katanya sejak ia
diturunkan dalam belasan abad yang lalu dan akan selamanya
demikian keadaannya, karena ia diantara sedemikian luas,
sesuai dengan janji Illahi. "Dan Kami-(Tuhan)-lah yang pasti
menjaganya" (QS. al-Hijr/15:9). Berdasarkan tiga daftar isi
muka al-Qur'an merupakan tahap akhir wahyu Tuhan, dan Nabi
Muhammad adalah penutup segala Nabi.
Implikasi bahwa al-Qur'an menyeru kepada akal, dan karenanya
tidak ada dogma yang harus diterima tanpa sikap kritis,
ialah bahwa al-Qur'an terbuka bagi setiap orang yang akan
mencoba untuk menangkap pesan-pesan Ilahi di dalamnya.
Keterbukaannya bagi setiap orang itu benar-benar sejalan
dengan tekanan atas adanya tanggung jawab pribadi setiap
orang kepada Allah kelak di akhirat, yang ajaran ini sendiri
membawa konsekuensi tidak dibenarkannya sistem perantaraan
bagi seseorang kepada Allah melalui lembaga-lembaga
keagamaan seperti kependetaan. Setiap orang adalah pendeta
untuk dirinya sendiri, dalam arti bahwa dia sendirilah yang
mampu membawa jiwanya untuk mendekat kepada Allah, bukan
orang lain.

Kemudian, implikasi dari prinsip ini ialah bahwa manusia
tidak lagi perlu kepada pembimbing keruhanian melainkan
dirinya sendiri setingkat dengan usahanya memahami ajaran
Kitab Suci yang terbuka itu. Mungkin ia memerlukan bantuan
dari seorang atau para sarjana (ulama), atau pemikir, atau
pembaharu, namun tidak kepada seorang atau para tokoh dengan
kekuasaan spiritual. Ini ditegaskan, misalnya, oleh A. Yusuf
Ali dalam tafsirnya uraiannya atas ayat "penutup (khatam)
pada Nabi:"

Jika sebuah dokumen telah distempel, ia telah lengkap, dan
tidak boleh ada tambahan. Nabi Besar Muhammad mengakhiri
garis panjang para rasul. Ajaran Tuhan tetap berlanjut, dan
akan tetap terus demikian, namun tidak pernah ada dan tidak
akan ada lagi Nabi sesudah Muhammad. Zaman akhir memerlukan
para pemikir dan pembaharu bukan Nabi-nabi. Ini bukanlah
perkara sewenang-wenang. Ia merupakan keputusan dengan penuh
pengetahuan dan kebijaksanaan: "sebab Allah mengetahui
sepenuhnya akan segala sesuatu." [l6]

Maka kesimpulannya ialah sungguh banyak implikasi positif,
baik sosial maupun keagamaan, dari ajaran bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. adalah penutup segala Nabi. Dengan
berakhirnya kemungkinan ada Nabi dan Kitab suci serta agama
sesudah Nabi Muhammad, al-Qur'an dan agama Islam, maka
manusia tinggal harus mengembangkan apa yang telah
diwariskan itu, dalam semangat persamaan hak dan kewajiban,
dan dengan penuh rasa tanggung jawab pribadi kepada Allah di
akhirat. Dan dengan begitu pula maka manusia terbebas dari
keharusan tunduk tidak semestinya kepada sesamanya, dan
terbebas pula dari godaan cultic dan mitologi. Jalan lurus
terbentang di hadapannya, dan tinggallah ia harus
menempuhnya sesuai dengan kemampuannya. Maka konsep Nabi
Muhammad sebagai penutup segala Nabi terkait erat dengan
semangat ajaran Tauhid.

CATATAN

1. Lihat Muhammad Sayyid Qutb, Fi Dhilal al Qur'an, 8 jilid
(1386 H/1967 M), jil. 6, juz 22, hh. 30. Di situ masalah
Nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup para Nabi disinggung
secara sangat minimal hanya dalam dua baris.

2. Lihat al-Sayyid Muhammad Husayn al-Thaba'thaba'i,
al-Mizan fi Tafsir al Qur'an, 21 jilid (Beirut: Mu'assasat
al-A'lami li al-Mathbu'at, 1393 H/1979 M), jil. 16, h. 327.
Di situ hanya disebutkan dua Hadits yang tentang Nabi
Muhammad s.a.w. sebagai penutup para Nabi.

3. The claim of Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, (upon whom be
peace), is that God has raised him for the guidance and
direction of mankind; that he is the Messiah fortold in the
Traditions of our Holy Prophet in the Mahdi promised in his
Sayings; that the prophecies contained in the different
religious books about the advent of a divine messenger in
the latter days have also been fulfilled in his person; in
our time; that God has raised him for the advocacy and
promulgation of Islam in our time; that God has granted him
insight into the Holy Qur'an, revealed to him its inner-most
meaning and truth; that He has revealed to him the secrets
of a virtuous life. By his work, his message, and his
example, he has glorifled the Holy Prophet and demonstrated
the superriority of Islam over other religions." (Hazrat
Haji Mirza Bashiruddin Mahrud Ahmad, Invitation to
Ahmadiyyat [Lahore Ilmu Printing Press, 1961], h. 56).

4. The Book of Mormon is a volume of holy scripture
comparable to the Bible. It is a record of God's dealings
with the ancient inhabitants of the Americas and contains,
as does the Bible, the fullness of the everlasting gospel.

The books was written by many ancient prophets by the
spirit of prophecy and revelation. Their words, written on
gold paltes, were quoted and abridged by a prophet-historian
named Mormon...

The crowing event recorded in the Books of Mormon is the
personal ministry of the Lord Jesus Christ among the
Nephites soon after his resurrection. It puts forth the
doctrines of the gospel, outlines the plan of salvation, and
tells men what they must do to gain peace in this life and
eternal salvation in the life to come.

After Mormon completed his writings, he delivered the
account to his son Moroni, who added a few word of his own
and hid up the plates in the hill Cumorah. On September 21,
1823, the same Moroni, then a glorified, resurrected being,
appeared to the Propet Joseph Smith and instructed him
relative to the ancient record and its destined translation
into the English language.

In due cource the plates were delivered to Joseph Smith,
who translated them by the gift and power of God. The record
is now published in many languages as a new and additional
witness that Jesus Christ is the Son of the living God and
that all who will come into him and obey the laws and
ordinances of his gospel may be saved. (The Book of Mormon,
Another Testament of Jesus Christ [Salt Lake City, Utah,
Amerika Serikat: The Church of Jesus Christ of Latter-Day
Saints, 1981], "Introduction").

5. Having described briefly the claim of the Promised
Messiah, the Founder of the Ahmadiyya Movement, I wish to
enumerate the major criteria by which the truth of such a
claimant can be judged. When it is proved that a certain
person is divinely commissioned a Messenger of God, it
becomes incumbent upon everyone to accept his claim. (Mirza
Bashiruddin Mahmud Ahmad, h. 57).

6. Concerning this record the Prophet Joseph Smith said: "I
told the brethren that the Book of Mormon was the most
correct of any book on earth, and the keystone of our
religion and a man would get nearer to God by abiding by its
precepts, than by any other books." (The Book of Mormon,
Introduction).

7. QS. al-Ahzab/33:40.

8. QS. al-Ahzab/33:6.

9. Muhammad Asad The Message of the Qur'an (London: E.J.
Brill, 1980), h. 647, catatan 50).

10. QS. al-Maidah/5:42-8.

11. Selanjutnya kami persilakan menelaah keterangan Muhammad
Asad yang cukup panjang lebar dan amat berguna, sbb:

The expression "every one of you" denotes the various
communities of which mankind is composed. The term syir'ah
(or syari'ah) signifies, literally, "the way to a watering
place" (from which men and animals derive the element
indipendsable to their life), and is used in the Qur'an to
denote a system of law necessary for a community's social
and spiritual welfare. The term minhaj, on the other hand,
denotes an "open road," usually in an asbstract sense: that
is, "a way of life." The term shir'ah and minhaj are more
restricted in their meaning than the term din, which
comprises not merely the laws relating to aparticular
religious but also the basic, unchanging spiritual truths
which, according to the Qur'an, have been preached by every
one of God's apostles, while the particular body of laws
(syir'ah or syari'ah) promulated through them, and the way
of life (minhaj) recommended by them, varied in accordance
with the exigencies of the time and of each community's
cultural development. This "unity in diversity" is frequency
stressed incorruptibility of its teachings as well as of the
fact that the Prophet Muhammad is "the seal of all prophet,"
i.e. the last of them -the Qur'an prepresent the culminating
point of all revelation and offers the final, perfect way to
spiritual fulfilment. This uniqueness of the Qur'anic
message does not, however, preclude all adherents of earlier
faiths from attaining to God's grace: for -as the Qur'an so
often points out- those among them who believe
uncompromisingly in the One God and the Day of Judgment
(i.e. in individual moral responsibility) and live
rightously "need have no fear, and neither shall they
grieve." (Asad, hh. 153-4, catatan 66).

12. QS. al-A'raf/7:158.

13. Ikuti keterangan menarik dari Muhammad Asad berikut:

This verse, placed paranthetically in the midst of the
story of Moses and the children of Israel, is meant to
elucidate the preceding passage. Each of the earlier
prophets was sent to his, and only his, community: thus, the
Old Testament addresses it self only to the children of
Israel; and even Jesus, whose message had a wider bearing,
speaks of himself as "sent only unto the lost sheep of the
house of Israel" (Matthew xv. 24). In contrast, the message
of the Qur'an is universal -that is, addressed to mankind as
a whole-and is neither time- bound nor cenfined to any
particular cultural environment. It is for this reason that
Muhammad, through whom this message was revealed, is
described in the Qur'an (21:107) as an evidence of "(God's)
grace toward as the world" (i.e. toward all mankind), and as
"the Seal of all Prophets' (33:40) -in other words, the last
of them. (Asad, h. 227, catatan 126).

14. QS. Al-Anbiya/21:107-9.

15. The universality of the Qur'anic revelation arises from
there factors: fisrtly, its appeal to all mankind
irrespective of descent, race or cultural environment;
secondly, the fact that it appeals exclusively to man's
reason and, hence, does not postulate any dogma that could
be accepted on the basis of blind faith alone; and finally,
the fact that -contrary to all other sacred sciptures know
to history- the Qur'an has reamind entirety unchange in its
wording ever since its revelation fourteen centuries ago and
will, because it is so widely recorded forever remain so in
accordance with the divine promise, "it is We who shall
trully guard it (from all corruption)" ... It is by virtue
of these three factors that the Qur'an represents the final
stage of all divine revelation, and that the Prophet through
whom it has been conveyed to mankind is stated to have been
the last (in Qur'anic terminology, "the seal") of all
prophets. (Asad, h. 502, catatan 102).

16. When a document is sealed, it is complete, and there can
be no further addition. The Holy Prophet Muhammad closed the
long line of Apostles. God's teaching is and will be
continous, but there has been and will be no Prophet after
Muhammad. The later ages will want thinkers and reformers,
not Prophets. This is not an arbitrary matter. It is a
decree full of knowledge and wisdom: "for God has full
knowledge of all things." (A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an,
[Jeddah: Dar al-Qiblah, 1403 H], h. 1119, n. 3731).

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: