Tuesday, December 4, 2007

JIHAD

JIHAD

Kebajikan dan keburukan sama-sama bersanding dalam jiwa setiap
manusia.

Allah mengilhami jiwa manusia dengan kedurhakaan dan
ketakwaan.

Begitu firman Allah dalam surat Asy-Syams ayat 8, yang artinya
diri manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan.

Seperti itu jugalah sifat masyarakat dan negara yang terdiri
dari banyak individu. Keburukan mendorong pada
kesewenang-wenangan, sedangkan kebajikan mengantarkan pada
keharmonisan. Saat terjadi kesewenang-wenangan, kebajikan
berseru dan merintih untuk mencegahnya. Dari sanalah
perjuangan, baik di tingkat individu maupun di tingkat
masyarakat dan negara. Demikian itulah ketetapan ilahi.

Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan segala
yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.
Sekiranya hendak membuat suatu permainan, tentulah
Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki
berbuat demikian (tentulah Kami telah melakukannya).
Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang
batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan
serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaan bagi
kamu menyifati (Allah dengan sifat yang tidak layak).
(QS Al-Anbiya' [21]: 16-18)

Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan
manusia agar menghiasi diri dengannya, serta memerintahkan
manusia agar memperjuangkannya hingga mengalahkan kebatilan.
Atau seperti bunyi ayat di atas, melontarkan yang hak kepada
yang batil hingga mampu menghancurkannya. Tapi hal itu tak
dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali melalui
perjuangan. Bumi adalah gelanggang perjuangan (jihad)
menghadapi musuh. Karena itu, al-jihad madhin ila yaum
al-qiyamah (perjuangan berlanjut hingga hari kiamat).

Istilah Al-Quran untuk menunjukkan perjuangan adalah kata
jihad. Sayangnya, istilah ini sering disalahpahami atau
dipersempit artinya.

MAKNA JIHAD

Kata jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak empat puluh satu
kali dengan berbagai bentuknya. Menurut ibnu Faris (w. 395 H)
dalam bukunya Mu'jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, "Semua kata yang
terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung arti
kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya."

Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti "letih/sukar."
Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang
berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata "juhd" yang
berarti "kemampuan". Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan
harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama
tersusun ucapan "jahida bir-rajul" yang artinya "seseorang
sedang mengalami ujian". Terlihat bahwa kata ini mengandung
makna ujian dan cobaan, hal yang wajar karena jihad memang
merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang.

Makna-makna kebahasaan dan maksudnya di atas dapat
dikonfirmasikan dengan beberapa ayat Al-Quran yang berbicara
tentang jihad. Firman Allah berikut ini menunjukkan betapa
jihad merupakan ujian dan cobaan:

Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal
belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara
kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (QS Ali
'Imran [3]: 142).

Demikian terlihat, bahwa jihad merupakan cara yang ditetapkan
Allah untuk menguji manusia. Tampak pula kaitan yang sangat
erat dengan kesabaran sebagai isyarat bahwa jihad adalah
sesuatu yang sulit, memerlukan kesabaran serta ketabahan.
Kesulitan ujian atau cobaan yang menuntut kesabaran itu
dijelaskan rinciannya antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat
214:

Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal
belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya (yang
dialami) oleh orang-orang terdahulu sebelum kamu?
Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta
diguncang aneka cobaan sehingga berkata Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya. "Bilakah
datangnya pertolongan Allah?" ingatlah pertolongan
Allah amat dekat (QS Al-Baqarah [2]: 214).

Dan sungguh pasti kami akan memberi cobaan kepada kamu
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang bersabar (QS Al-Baqarah [2]:
155).

Jihad juga mengandung arti "kemampuan" yang menuntut sang
mujahid mengeluarkan segala daya dan kemampuannya demi
mencapai tujuan. Karena itu jihad adalah pengorbanan, dan
dengan demikian sang mujahid tidak menuntut atau mengambil
tetapi memberi semua yang dimilikinya. Ketika memberi, dia
tidak berhenti sebelum tujuannya tercapai atau yang
dimilikinya habis.

Orang-orang munafik mencela orang-orang Mukmin yang
memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga
orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk
disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan
mereka. Orang-orang munafik menghina mereka. Allah
akan membalas penghinaan mereka, dan bayi mereka siksa
yang pedih (QS Al-Tawbah [9]: 79).

Jihad merupakan aktivitas yang unik, menyeluruh, dan tidak
dapat dipersamakan dengan aktivitas lain --sekalipun aktivitas
keagamaan. Tidak ada satu amalan keagamaan yang tidak disertai
dengan jihad. Paling tidak, jihad diperlukan untuk menghambat
rayuan nafsu yang selalu mengajak pada kedurhakaan dan
pengabaian tuntunan agama.

Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada
orang-orang yang melaksanakan haji dan mengurus Masjid
Al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan
Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Allah tidak
memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (QS Al-Tawbah
[9]: 19).

Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri kamu, keluarga, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal
yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik." (QS Al-Tawbah [9]: 24).

Karena itu, seorang Mukmin pastilah mujahid, dan tidak perlu
menunggu izin atau restu untuk melakukannya. Ini berbeda
dengan orang munafik. Perhatikan dua ayat berikut:

Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian tidak meminta izin kepadamu (Muhammad Saw.)
untuk berjihad dengan harta benda dan jiwa mereka.
Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa (QS
Al-Tawbah [9]: 44).

Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang)
bergembira di tempat mereka di belakang Rasul, mereka
tidak senang untuk berjihad dengan harta dan diri
mereka di jalan Allah ... (QS Al-Tawbah [9]: 81).

Mukmin adalah mujahid, karena jihad merupakan perwujudan
identitas kepribadian Muslim. Al-Quran menegaskan,

Barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya
untuk dirinya sendiri (berakibat kemaslahatan baginya)
(QS A1-Ankabut [29]: 6).

Maka, jangan menduga yang meninggal di medan juang sebagai
orang-orang mati, tetapi mereka hidup memperoleh rezekinya di
sisi Allah Swt. (baca QS 3: 169). Karena jihad adalah
perwujudan kepribadian, maka tidak dibenarkan adanya jihad
yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Bahkan bila jihad
dipergunakan untuk memaksa berbuat kebatilan, harus ditolak
sekalipun diperintahkan oleh kedua orangtua.

Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad
(bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada
bagimu pengetahuan tentang itu (apalagi jika kamu
telah mengetahui bahwa Allah tidak boleh
dipersekutukan dengan sesuatu pun), jangan taati
mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik
... (QS Luqman [31]. 15).

Mereka yang berjihad pasti akan diberi petunjuk dan jalan
untuk mencapai cita-citanya.

Orang-orang yang berjihad di jalan kami, pasti akan
Kami tunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami (QS
Al-Ankabut [29]: 69).

Terakhir dan yang terpenting dari segalanya adalah bahwa jihad
harus dilakukan demi Allah, bukan untuk memperoleh tanda jasa,
pujian, apalagi keuntungan duniawi. Berulang-ulang Al-Quran
menegaskan redaksi fi sabilihi (di jalan-Nya). Bahkan Al-Quran
surat Al-Hajj ayat 78 memerintahkan:

Berjihad di (jalan) Allah dengan jihad
sebenar-benarnya.

Kesimpulannya, jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Jihad
tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan, tidak pula
pamrih. Tetapi jihad tidak dapat dilaksanakan tanpa modal,
karena itu jihad mesti disesuaikan dengan modal yang dimiliki
dan tujuan yang ingin dicapai. Sebelum tujuan tercapai dan
selama masih ada modal, selama itu pula jihad dituntut.

Karena jihad harus dilakukan dengan modal, maka mujahid tidak
mengambil, tetapi memberi. Bukan mujahid yang menanti imbalan
selain dari Allah, karena jihad diperintahkan semata-mata demi
Allah. Jihad menjadi titik tolak seluruh upaya; karenanya
jihad adalah puncak segala aktivitas. Jihad bermula dari upaya
mewujudkan jati diri yang bermula dari kesadaran. Kesadaran
harus berdasarkan pengetahuan dan tidak datang dengan paksaan.
Karena itu mujahid bersedia berkorban, dan tak mungkin
menerima paksaan, atau melakukan jihad dengan terpaksa.

MACAM-MACAM JIHAD

Seperti telah dikemukakan, terjadi kesalahpahaman dalam
memahami istilah jihad. Jihad biasanya hanya dipahami dalam
arti perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata. Ini mungkin
terjadi karena sering kata itu baru terucapkan pada saat-saat
perjuangan fisik. Memang diakui bahwa salah satu bentuk jihad
adalah perjuangan fisik/perang, tetapi harus diingat pula
bahwa masih ada jihad yang lebih besar daripada pertempuran
fisik, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. ketika beliau baru
saja kembali dari medan pertempuran.

Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad
terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.

Sejarah turunnya ayat-ayat A1 Quran membuktikan bahwa
Rasulullah Saw. telah diperintahkan berjihad sejak beliau di
Makkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk
membela diri dan agama. Pertempuran pertama dalam sejarah
Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijrah, tepatnya 17
Ramadhan dengan meletusnya Perang Badr.

Surat Al-Furqan ayat 52 yang disepakati oleh ulama turun di
Makkah, berbunyi:

Maka jangan kamu taati orang-orang kafir, dan
berjihadlah melawan mereka menggunakan Al-Quran dengan
jihad yang besar.

Kesalahpahaman itu disuburkan juga oleh terjemahan yang kurang
tepat terhadap ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang jihad
dengan anfus dan harta benda. Kata anfus sering diterjemahkan
sebagai jiwa Terjemahan Departemen Agama RI pun demikian
(lihat misalnya ketika menerjemahkan QS 8: 72, 49 :15;
walaupun ada juga yang diterjemahkan dengan diri [QS 9: 88]).
Memang, kata anfus dalam Al-Quran memiliki banyak arti. Ada
yang diartikan sebagai nyawa, di waktu lain sebagai hati, yang
ketiga bermakna jenis, dan ada pula yang berarti "totalitas
manusia" tempat terpadu jiwa dan raganya, serta segala sesuatu
yang tidak dapat terpisah darinya.

Al-Quran mempersonifikasikan wujud seseorang di hadapan Allah
dan masyarakat dengan menggunakan kata nafs. Jadi tidak salah
jika kata itu dalam konteks jihad dipahami sebagai totalitas
manusia, sehingga kata nafs mencakup nyawa, emosi,
pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan waktu dan tempat yang
berkaitan dengannya, karena manusia tidak dapat memisahkan
diri dari kedua hal itu. Pengertian ini, diperkuat dengan
adanya perintah dalam Al-Quran untuk berjihad tanpa
menyebutkan nafs atau harta benda (antara lain QS Al-Hajj:
78).

Pakar Al-Quran Ar-Raghib Al-Isfahani, dalam kamus A1-Qurannya
Mu'jam Mufradat Al-Fazh Al-Quran, menegaskan bahwa jihad dan
mujahadah adalah mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan
musuh. Jihad terdiri dari tiga macam: (1) menghadapi musuh
yang nyata, (2) menghadapi setan, dan (3) menghadapi nafsu
yang terdapat dalam diri masing-masing. Ketiga hal di atas
menurut Al-Isfahani dicakup oleh Firman Allah:

Berjihadlah demi Allah dengan sebenar-benarnya jihad
(QS Al-Hajj [22]: 78).

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang yang
berhijrah dan berjihad dengan harta dan diri mereka di
jalan Allah, hanya mengharapkan rahmat Allah (QS
Al-Baqarah [2]: 218).

Rasulullah Saw. bersabda, "Jahiduw ahwa akum kama tujahiduna
'ada akum" (Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau
berjihad menghadapi musuhmu). Dalam kesempatan lain beliau
bersabda, "Jahidu Al-kuffar ba aidiykum wa al-sinatikum"
(Berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dengan tangan dan
lidah kamu).

Pada umumnya, ayat-ayat yang berbicara tentang jihad tidak
menyebutkan objek yang harus dihadapi. Yang secara tegas
dinyatakan objeknya hanyalah berjihad menghadapi orang kafir
dan munafik sebagaimana disebutkan Al-Quran surat At-Taubah
ayat 73 dan At-Tahrim ayat 9.

Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir
dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah
terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam
dan itu adalah seburuk-buruk tempat.

Tetapi ini tidak berarti bahwa hanya kedua objek itu yang
harus dihadapi dengan jihad, karena dalam ayat-ayat lain
disebutkan musuh-musuh yang dapat menjerumuskan manusia
kedalam kejahatan, yaitu setan dan nafsu manusia sendiri.
Keduanya pun harus dihadapi dengan perjuangan.

Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena
sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagimu (QS
Al-Baqarah [2]: 168).

Hawa nafsu pun diperingatkan agar tidak diikuti sekehendak
hati.

Siapa lagi yang lebih sesat daripada yang mengikuti
hawa nafsunya, tanpa petunjuk dan Allah? (QS
Al-Qashash [28]: 50).

Nabi Yusuf diabadikan Al-Quran ucapannya:

Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena
sesungguhnya (hawa) nafsu selalu mendorong kepada
kejahatan kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS
Yusuf [12]: 53)

Jelaslah, paling tidak jihad harus dilaksanakan menghadapi
orang-orang kafir, munafik, setan, dan hawa nafsu.

Dapat dikatakan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah
setan yang sering memanfaatkan kelemahan nafsu manusia. Ketika
manusia tergoda oleh setan, ia menjadi kafir, munafik, dan
menderita penyakit-penyakit hati, atau bahkan pada akhirnya
manusia itu sendiri menjadi setan. Sementara setan sering
didefinisikan sebagai "manusia atau jin yang durhaka kepada
Allah serta merayu pihak lain untuk melakukan kejahatan."

Menghadapi mereka tentunya tidak selalu harus melalui
peperangan atau kekuatan fisik. Tapi pada saat yang sama perlu
diingat bahwa hal ini sama sekali bukan berarti bahwa jihad
fisik tidak diperlukan lagi --sebagaimana pandangan kelompok
Qadiyaniah dari aliran Ahmadiah.

Seluruh potensi yang ada pada manusia harus dikerahkan untuk
menghadapi musuh, tetapi penggunaan potensi tersebut harus
juga disesuaikan dengan musuh yang dihadapi.

BERJIHAD MENGHADAPI MUSUH

Allah Swt. memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan dan
mengatur strategi menghadapi musuh sebelum berjihad. Salah
satu hal yang membantu tercapainya kemenangan adalah
pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan musuh, serta tipu
dayanya. Karena itu pula Al-Quran banyak menguraikan
sifat-sifat setan, nafsu manusia, orang kafir, dan orang
munafik.

Al-Quran dan hadis Nabi Saw. juga memberi petunjuk tentang
cara menghadapi setan dan nafsu manusia, serta petunjuk
mengenai batasan-batasan jihad dengan menggunakan senjata.
BERJIHAD MENGHADAPI SETAN DAN NAFSU

Seperti dikemukakan di muka, sumber segala kejahatan adalah
setan yang sering menggunakan kelemahan nafsu manusia. Setan
adalah nama yang paling populer di antara nama-nama si perayu
kejahatan. Begitu populernya sehingga menyebut namanya saja,
terbayanglah, kejahatan itu. Nama setan dikenal dalam ketiga
agama samawi: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Konon kata setan
berasal dari bahasa ibrani, yang berarti "lawan/musuh."
Tetapi, barangkali juga berasal dari bahasa Arab, syaththa
yang berarti "tepi", dan syatha yang berarti "hancur dan
terbakar", atau syathatha yang berarti "melampaui batas".

Setan, karena jauh dari rahmat Allah, akan hancur dan terbakar
di neraka. Setan selalu di tepi, memilih yang ekstrem dan
melampaui batas. Bukankah seperti sabda Nabi saw., "Khair
al-umur al-wasath" (Sebaik-baik sesuatu itu adalah yang
moderat, yang di tengah). Demikian halnya kedermawanan yang
berada di antara keborosan dan kekikiran, dan keberanian
berada di tengah antara takut dan ceroboh. Konon kata devil di
dalam bahasa Inggris terambil dari kata do yang berati
melakukan dan evil yang berarti kejahatan. Dengan demikian
setan adalah "yang melakukan kejahatan."

Setan terjahat bernama iblis. Sebagian pakar Barat berpendapat
bahwa kata iblis asalnya adalah dari bahasa Yunani Diabolos
yang mengandung arti memasuki dua pihak untuk menghasut dan
memecah belah. Diabolos adalah gabungan Dia yang berarti
ketika, dan Ballein yang berarti melontar. Hingga kemudian
secara majazi berarti demikian. Dari bahasa Arab, iblis diduga
terambil dari akar kata ablasa yang berarti putus harapan,
karena iblis telah putus harapannya masuk ke surga. Demikian
tulis Abbas Al-Aqqad dalam bukunya, iblis.

Yang jelas Allah Swt. tidak menciptakan setan secara sia-sia.
Sejak manusia mengenalnya, sejak itu pula terbuka lebar pintu
kebaikan bagi manusia, karena dengan mengenalnya, dan
mengetahui sifat-sifatnya, manusia dapat membedakan yang baik
dan yang buruk. Bahkan dapat mengenal substansi kebaikan.
Kebaikan bukan sekadar sesuatu yang tidak jelek atau jahat,
bukan pula sekadar lawan kejelekan atau kejahatan. Wujud
kebaikan baru nyata pada saat kejahatan yang ada itu
diabaikan, lalu dipilihlah yang baik. Itu sebabnya manusia
melebihi malaikat, karena kejahatan tidak dimiliki malaikat,
sehingga mereka tidak dapat tergoda. Manusia dapat menjadi
setan pada saat ia enggan memilih yang baik lalu merayu yang
lain untuk memilih kejahatan.

Ketika iblis (setan) dikutuk Tuhan, ia bersumpah di
hadapan-Nya:

Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, maka saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari
jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi
(merayu) mereka dari muka dan dan belakang, dan kanan
dan kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (taat) (QS Al-A'raf [7]:
16-17).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa setan akan menghadang dan merayu
manusia dari empat penjuru: depan, belakang, kanan dan kiri,
sehingga tinggal dua penjuru yang aman, yaitu arah atas
lambang kehadiran Allah Swt., dan arah bawah lambang kesadaran
manusia akan kelemahannya di hadapan Allah Swt. Manusia harus
berlindung kepada Allah, sekaligus menyadari kelemahannya
sebagai makhluk, agar dapat selamat dari godaan dan rayuan
setan.

Ulama-ulama menggambarkan godaan setan seperti serangan virus,
yaitu seseorang tidak akan terjangkiti olehnya selama memiliki
kekebalan tubuh. Imunisasi menjadi cara terbaik untuk
memelihara diri dari penyakit jasmani. Kekebalan jiwa
diperoleh saat berada di arah "atas" maupun "bawah". Al-Quran
surat An-Nisa ayat 76 menggarisbawahi bahwa:

Sesungguhnya tipu daya setan lemah.

Ini tentu bagi mereka yang memiliki kekebalan jiwa. Ini
menjadi dasar Al-Quran memerintahkan manusia untuk
berta'awwudz memohon perlindungan-Nya saat terasa ada godaan,
sebagaimana dalam berjihad seorang Muslim dianjurkan banyak
berzikir, antara lain dengan menyebut atau memekikkan kalimat
takbir "Allahu Akbar".

Al-Quran surat terakhir menggambarkan setan sebagai al-waswas
al-khannas. Kata al-waswas pada mulanya berarti suara yang
sangat halus, lantas makna ini berkembang hingga diartikan
bisikan-bisikan hati. Biasanya dipergunakan untuk
bisikan-bisikan negatif, karena itu sebagian ulama tafsir
memahami kata ini sebagai setan. Menurut mereka setan sering
membisikkan rayuan dan jebakannya ke dalam hati seseorang

Kata al-khannas terambil dari kata khanasa yang berarti
kembali, mundur, melempem, dan bersembunyi. Dalam surat
An-Nas, kata tersebut dapat berarti: (a) Setan kembali
menggoda manusia pada saat manusia lengah dan melupakan Allah,
atau (b) Setan mundur dan melempem pada saat manusia berzikir
dan mengingat Allah.

Pendapat kedua ini didukung hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari --walaupun dalam bentuk mu'allaq berasal dari ibnu
Abbas-- yang berkata bahwa Nabi Saw. bersabda,

Sesungguhnya setan itu bercokol di hati putra Adam.
Apabila berzikir, setan itu mundur menjauh, dan bila
ia lengah, setan berbisik.

Ini berarti bahwa setan dapat mundur dan melempem, atau
bersembunyi, jika manusia melakukan zikir kepada Allah.

Di atas telah dikemukakan bahwa setan, baik dari jenis jin dan
manusia selalu berupaya untuk membisikkan rayuan dan ajakan
negatif, yang dalam surat An-Nas disebut yuwaswisu fi
shudurin-nas. Dalam konteks ini, Al-Quran mengingatkan:

Dan jika kamu ditimpa godaan setan, berlindunglah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang
bertakwa, bila mereka ditimpa waswas setan, mereka
ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka
melihat (menyadari) kesalahan-kesalahannya. (QS
Al-A'raf [7]: 200-201)

Tidak mudah membedakan antara rayuan setan dan nafsu manusia.
Ulama-ulama, khususnya para sufi, menekankan bahwa pada
hakikatnya manusia tidak mengetahui gejolak nafsu dan bisikan
hati, kecuali bila dapat melepaskan diri dari pengaruh gejolak
tersebut. Al-Tustari seorang sufi agung menyatakan:

Tidak mengetahui bisikan syirik kecuali orang Muslim,
tidak mengetahui bisikan kemunafikan kecuali orang
Mukmin, demikian juga bisikan kebodohan kecuali yang
berpengetahuan, bisikan kelengahan kecuali yang ingat,
bisikan kedurhakaan kecuali yang taat, dan bisikan
dunia kecuali dengan amalan akhirat.

Bisikan-bisikan tersebut dapat ditolak dengan jihad, yang
dilakukan dengan menutup pintu-pintu masuknya, atau dengan
mematahkan semua kekuatan kejahatannya. Banyak pintu masuk
bisikan negatif ke dalam dada manusia, antara lain:

1. Ambisi yang berlebihan dan prasangka buruk terhadap
Tuhan. Ini melahirkan budaya mumpung serta kekikiran.
Pintu masuk tersebut dapat ditutupi dengan keyakinan
terhadap kemurahan Ilahi, serta rasa puas terhadap
hasil usaha maksimal yang halal.

2. Gemerlap duniawi. Pintu ini dapat tertutup dengan
sikap zuhud dan kesadaran ketidakkonsistenan kehidupan
duniawi. Di siang hari Anda dapat melihat seorang
kaya, berkuasa, atau cantik, dan menarik, tetapi pada
sore hari semuanya dapat hilang seketika.

3. Merasa lebih dari orang lain. Setan biasanya
membisikkan kalimat-kalimat yang mengantarkan
mangsanya merasa bahwa yang telah dan sedang
dilakukannya adalah benar dan baik. Pintu masuk ini
dapat dikunci dengan kesadaran bahwa penilaian Tuhan
ditetapkan dengan memperhatikan keadaan seseorang
hingga akhir usianya.

4. Memperkecil dosa atau kebaikan. Sehingga
mengantarkan yang bersangkutan melakukan dosa dengan
alasan dosa kecil, atau enggan berbuat baik dengan
alasan malu karena amat sederhana. Ini mesti ditampik
dengan menyadari terhadap siapa dosa dilakukan, yakni
terhadap Allah. Juga kesadaran bahwa Allah tidak
menilai bentuk perbuatan semata-mata, tetapi pada
dasarnya menilai niat dan sikap pelaku.

5. Riya' (ingin dipuji baik sebelum, pada saat, maupun
sesudah melakukan satu aktivitas). Hal ini dihindari
dengan menyadari bahwa Allah tidak akan menerima
sedikit pun amal yang dicampuri pamrih.

Sufi besar Al-Muhasibi menjelaskan bahwa setan amat pandai
menyesuaikan bisikannya dengan kondisi manusia yang dirayunya.
Orang-orang durhaka digodanya dengan mendorong yang
bersangkutan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan dibisikan
kepadanya bahwa perbuatannya (yang buruk) adalah baik/indah.
Upaya setan itu biasanya langsung mendapat sambutan mangsanya.

Adapun terhadap orang yang taat kepada Allah, bisikar setan
dilakukan dengan cara mendorong agar meninggalkan
amalan-amalan sunah dengan berbagai dalih, misalnya, letih
atau mengganggu konsentrasi saat mengamalkannya, bahkan
menimbulkan pikiran-pikiran yang dapat mengurangi nilai amal
ibadah. Hal-hal tersebut dapat di tampik dengan zikir,
mengingat Allah, melaksanakan tuntunan-tuntunannya, serta
menyadari kelemahan, dan kebutuhan manusia kepada-Nya.

Di sisi lain perlu diingat bahwa kemiskinan, kebodohan, dan
penyakit merupakan senjata~senjata setan sekaligus menjadi
iklim yang mengembangbiakkan virus-virus kejahatan.

Setan menjanjikan (mentakut-takuti) kamu dengan
kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan,
sedangkan Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia.
Allah Mahaluas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui (QS
Al-Baqarah [2]: 268).

Penyakit juga merupakan senjata setan. Perhatikan keluhan Nabi
Ayyub a.s.yang diabadikan Al-Quran surat Shad ayat 41 ketika
menderita penyakit menahun.

Dan ingatlah akan hamba Kami, Ayub (a.s.), ketika ia
menyeru Tuhannya, "Sesungguhnya aku diganggu setan
dengan kepayahan dan siksaan (penyakit)."

Kebodohan juga merupakan senjata dan lahan subur bagi setan
untuk memberi janji-janji kepada manusia:

Setan selalu memberi janji-janji kepada mereka, dan
membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal
setan tidak menjanjikan kepada mereka selain tipuan
belaka (QS Al-Nisa' [4]: 120).

Manusia dituntut berjihad melawan segala macam rayuan setan,
menyiapkan iklim dan lokasi yang sehat untuk menghalangi
tersebarnya wabah dan virus yang diakibatkan olehnya.
Selanjutnya yang akan terjangkiti penyakit hati adalah orang
kafir dan munafik. Al-Quran dan Sunnah menjelaskan cara
menghadapi mereka. Intinya dijelaskan oleh sabda Nabi Saw..

Siapa yang melihat kemungkaran hendaklah dicegahnya
dengan tangannya, bila ia tidak mampu maka dengan
lidahnya, dan bila tidak mampu maka dengan hatinya...

Ketiga cara ini termasuk berjihad juga.

BERJIHAD DENGAN SENJATA

Al-Quran menyebutkan bahwa yang pertama dan utama pada saat
melakukan jihad --dengan fisik atau bukan-- adalah kesiapan
mental, yang intinya adalah keimanan dan ketabahan. Al-Quran
surat Al-Anfal ayat 65 mengingatkan:

Hai Nabi, kobarkanlah semangat kaum Mukmin untuk
berperang. Jika ada di antara kamu dua puluh orang
yang sabar, maka mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh. Kalau ada di antara kamu seratus orang
(yang sabar), maka mereka dapat mengalahkan seribu
orang kafir, ini karena mereka (orang-orang kafir)
tidak mengerti.

Pada mulanya para sahabat Nabi Saw. memang berat melaksanakan
tuntunan ini, karena itu turun keringanan yang menyatakan,

Sekarang Allah meringankan untukmu. Dia mengetahui
bahwa padamu ada kelemahan, maka jika di antara kamu
ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang, dan jika ada seribu orang
(yang sabar) niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu
orang dengan seizin Allah Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar (QS Al-Anfa1 [8]: 66).

Sebelum memberi tuntunan, Al-Quran memerintahkan Rasul sebagai
pemimpin kaum Mukmin agar mempersiapkan kekuatan menghadapi
musuh. Seandainya musuh mengetahui kesiapan kaum Muslim terjun
ke medan jihad, tentu mengurungkan niat agresi mereka. Allah
berfirman dalam surat Al-AnfA1 [8]: 60.

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh)
kekuatan yang kamu sanggupi, dan dari kuda-kuda yang
ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)
kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan
orang-orang selain mereka yang tidak kamu ketahui,
sedangkan Allah mengetahuinya.

Tetapi lanjutan ayat ini menyebutkan sikap Al-Quran terhadap
peperangan, yaitu upaya untuk menghindarinya dan tidak
dilakukan kecuali setelah seluruh cara damai ditempuh:

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah
kepadanya, dan berserah dirilah kepada Allah.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Jika mereka bermaksud untuk menipumu, maka
sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi Pelindungmu). Dia
yang menguatkanmu dengan pertolongan-Nya dan dengan
para Mukmin (QS 8: 61-62).

Memang, peperangan pada hakikatnya tidak dikehendaki oleh
Islam. Seorang yang telah dihiasi iman pasti akan membencinya,
begitu yang dijelaskan Al-Quran:

Diwajibkan kepada kamu berperang, padahal berperang
adalah sesuatu yang kamu benci, (tetapi) boleh jadi
kamu membenci sesuatu tetapi baik untukmu, dan boleh
jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal buruk bagimu.
Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui (QS
2: 216).

Allah Swt. mewajibkan perang dan jihad, karena sebagaimana
firman-Nya:

Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian
manusia dengan sebagian yang lain (mengizinkan
peperangan), maka pasti rusaklah bumi ini. Tetapi
Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan pada seluruh
alam) (QS Al-Baqarah [2]: 251)

Ayat tersebut turun berkaitan dengan izin peperangan bagi kaum
Muslim, dan izin itu diberikan dengan penjelasan tentang
alasannya:

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong
mereka. Yaitu orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar,
kecuali karena mereka berkata, "Tuhan kami hanyalah
Allah". Sekiranya Allah tidak menolak keganasan
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya
akan dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat orang Yahudi, dan masjid- masjid
yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi
Mahaperkasa (QS Al-Hajj [22]: 39-40).

Jihad atau peperangan yang diizinkan Al-Quran hanya untuk
menghindari terjadinya penganiayaan sebagaimana bunyi firman-
Nya:

Perangilah di jalan Allah mereka yang memerangi (kamu)
dan jangan melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (QS 2:
190).

"Melampaui batas" dijelaskan oleh Nabi Saw. dengan contoh
membunuh wanita, anak kecil, dan orang tua. Bahkan oleh A1
Quran salah satu pengertiannya adalah tidak mendadak melakukan
penyerangan, sebelum terjadi keadaan perang dengan pihak lain:
karena itu jika sebelumnya ada perjanjian perdamaian dengan
suatu kelompok, perjanjian itu harus dinyatakan pembatalannya
secara tegas terlebih dahulu.

Al-Quran menegaskan:

Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan
dari satu golongan, kembalikanlah perjanjian
perdamaian kepada mereka secara jujur. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat (QS
Al-Anfal [8]: 58)

Peperangan harus berakhir dengan berakhirnya penganiayaan.
Begitu penegasan Al-Quran:

Perangilah mereka sampai batas berakhirnya
penganiayaan, dan agama itu hanya untuk Allah belaka.
Jika mereka telah berhenti dari penganiayaan, tidak
lagi dibenarkan permusuhan kecuali atas orang-orang
yang zalim (QS Al-Baqarah [2]: 193).

Kaum Muslim yang melampaui batas ketetapan Allah pun dinilai
berbuat zalim, dan atas dasar itu mereka wajar untuk dimusuhi
Allah dan kaum Mukmin (yang lain).

Perlu disadari bahwa izin memerangi kaum kafir bukan karena
kekufuran atau keengganan mereka memeluk Islam, tetapi karena
penganiayaan yang mereka 1akukan terhadap "hak asdsi manusia
untuk memeluk agama yang dipercayainya". Banyak sekali ayat
yang dapat diketengahkan untuk membuktikan hal itu, misalnya
lanjutan ayat Al-Baqarah 191:

Bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka dan
usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu,
fitnah (penganiayaan dan pengacauan) lebih besar
bahayanya daripada pembunuhan, (tetapi) jangan perangi
mereka di Masjid Al-Haram kecuali jika mereka
memerangi kamu di sana. Apabila mereka memerangi kamu,
bunuhlah mereka! Demikian itulah balasan bagi
orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari
penganiayaan/permusuhannya), sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang (QS Al-Baqarah [2]:
191-192) .

Dalam ayat lain ditegaskan:

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku
adil (memberi sebagian hartamu) terhadap orang-orang
(non-Muslim) yang tidak memerangi kamu karena agama,
dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
(menjadikan sebagai kawanmu) orang-orang yang
memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dan
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.
Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Mumtahanah
[60]: 8-9).

Dari ayat-ayat itu --dan ayat-ayat lain seperti dalam surat
An-Nisa' ayat 75-- dipahami bahwa Al-Quran mensyariatkan
peperangan untuk mengusir orang-orang yang menduduki tanah
tumpah darah; gugur dalam medan perjuangan ini dinilai sebagai
syahid. Ulama-ulama menegaskan bahwa jihad membela negara
selama musuh masih berada di luar wilayah negara, hukumnya
fardhu kifayah. Oleh karena itu, bila telah ada sekelompok
masyarakat yang melaksanakan pembelaan, maka kewajiban itu
gugur bagi orang yang tidak melaksanakannya. Tetapi jika musuh
telah memasuki wilayah negara, maka hukumnya adalah fardhu
'ain, yakni wajib bagi setiap individu bangkit berjihad sesuai
dengan batas kemampuan masing-masing.

***

Demikian terlihat bahwa jihad beraneka ragam: memberantas
kebodohan, kemiskinan, dan penyakit adalah jihad yang tidak
kurang pentingnya daripada mengangkat senjata. Ilmuwan
berjihad dengan memanfaatkan ilmunya, karyawan bekerja dengan
karya yang baik, guru dengan pendidikannya yang sempurna,
pemimpin dengan keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya,
demikian seterusnya.

Dahulu, ketika kemerdekaan belum diraih, jihad mengakibatkan
terenggutnya jiwa, hilangnya harta benda, dan terurainya
kesedihan dan air mata. Kini jihad harus membuahkan
terpeliharanya jiwa, terwujudnya kemanusiaan yang adil dan
beradab, melebarnya senyum dan terhapusnya air mata, serta
berkembangnya harta benda. Sehingga,

Apakah kamu menduga akan masuk surga, padahal belum
nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara
kamu dan belum nyata pula orang-orang yang tabah? (QS
Ali 'Imran [3]: 142). []

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

No comments: