Monday, December 3, 2007

PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG FIQH

IV.29. PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG FIQH (1/4)
Telaah Problematika hukum Islam di Zaman Modern

Oleh Nurcholish Madjid

Salah satu kesibukan para intelektual Muslim di seluruh dunia
saat ini ialah memikirkan bagaimana menerjemahkan nilai-nilai
Islam ke dalam perangkat nyata kehidupan modern. Seorang
Muslim yang serius tentu menyadari, betapa ia dihadapkan pada
tantangan hidup dalam suatu masyarakat modern, yaitu suatu
masyarakat yang notabene merupakan kelanjutan logis, meskipun
melalui proses transmutasi yang amat besar, dari berbagai
unsur tatanan dan nilai hidup yang telah pernah berkembang
sebelumnya, khusus di dunia Islam. Ilmu pengetahuan modern,
misalnya, dengan mudah dapat ditelusuri asal-usulnya sebagai
kelanjutan dunia keilmuan Islam yang pernah berkembang dalam
masanya jayanya yang "liberal," ketika kaum Muslim terlatih
menghargai suatu temuan pikiran dan keilmuan baru, dan ketika
wawasan mereka terbentuk karena semangat kosmopolitanisme dan
universalisme sejati. Namun pada saat yang sama, karena
tuntutan imannya, seorang Muslim "modern" harus tetap berada
dalam pangkuan agamanya dan dijiwai nilai-nilai asasinya.

Zaman modern, atau yang menurut Marshall Hodgson lebih tepat
dinamakan "Zaman Teknik" (Technical Age) adalah jelas berbeda
secara mendasar dari zaman agraris sebelumnya. Padahal agama
Islam, sebagaimana halnya dengan agama-agama besar lain,
dilahirkan dalam zaman agraris. Seperti baru saja disebutkan
di atas, ini tidaklah berarti zaman modern terputus samasekali
dari zaman sebelumnya Justru unsur kontinuitasnya dengan masa
lalu sedemikian rupa tidak mungkin diingkari, karena
dasar-dasar zaman modern ini pun diletakkan masa sebelumnya,
yaitu di zaman agraris. Suatu teori kesejarahan dunia malah
menyebutkan, zaman agraris sebenarnya telah mengalami
perkembangan menuju ke arah kompleksitas yang tinggi pada masa
Axial Age ("Masa Aksial" atau "Sumbu"), yaitu masa yang
terbentang selama enam abad sejak abad kedelapan sampai abad
kedua sebelum Nabi 'Isa al-Masih as. Pada saat itu terjadi
perubahan asasi di mana-mana, akibat lepasnya monopoli
pengetahuan tulis baca dari tangan kelas pendeta, menjadi
tersebar di antara berbagai kelompok borjuis, dan karenanya
watak serta kecepatan perkembangan tradisi tulis-baca itu juga
berubah. Pada waktu yang sama, keseluruhan tatanan geografis
bagi kegiatan bermakna kesejarahan manusia juga mengalami
transformasi, sebab saat itu mulai menyebar, meliputi hampir
seluruh belahan bumi. [1] Pada masa itu dengan nyata budaya
manusia mulai berkembang keluar dari inti kawasan Nil-Amudarya
(Mesir-Transoxiana) yang menjadi inti kawasan bumi yang
berpenghuni dan berperadaban (Arab: al-Da'irat al-Ma'murah;
Yunani: Oikoumene, "Daerah Berpenduduk").

Zaman Islam adalah zaman "Pasca-Sumbu" (Post-Axial), dan masa
kejayaan Islam merupakan puncak perkembangan "Zaman Agraria
Berkota" (Agrariante Citied Society), yaitu masyarakat agraris
dengan ciri kehidupan perkotaan (urbanity) yang menonjol.
Adalah dalam urbanity itu --suatu pola kehidupan
sosial-ekonomi yang ditandai tingginya kegiatan ekonomi urban
dan penghargaan kepadanya, khususnya perdagangan, dan etos
intelektual-- terletak benang merah kontinuitas antara zaman
modern dengan zaman Islam. Tapi sekali pun zaman Islam masih
sepenuhnya berada dalam rangkaian zaman agraris (jadi masih
mempunyai kesinambungan dengan zaman sebelumnya), perubahan
yang dibawanya sedemikian radikal dan eksplosif, sebanding
dengan radikal dan eksklusif pembebasan (futuhat) yang
dilakukan kaum Muslim, pertama-tama atas kawasan Nil-Amudarya,
kemudian segera meliputi daerah yang lebih luas, yang kurang
lebih waktu itu merupakan daerah paling maju di muka bumi.

Dengan flashback di atas, kiranya menjadi jelas, sesungguhnya
peralihan dari masa lalu yang agraris-urban itu, ke zaman
modern sekarang, ini tidaklah terlalu unik dalam pandangan
sejarah umat manusia. Dan disebabkan faktor peranan sejarahnya
sendiri sebagai puncak zaman agraris urban, maka Islam
memiliki potensi menjadi pewaris yang paling beruntung dari
zaman modern ini, dan pelanjut serta pengembangnya di masa
depan, karena unsur-unsur asasi zaman modern itu tidak asing
bagi pandangan hidup kaum Muslim. Jika kita ambil peristiwa
Inkuisisi Kristen dalam menghadapi ilmu pengetahuan, praktis
tidak ada hal serupa dalam Islam. Sejarah membuktikan betapa
problematiknya hubungan dogma Kristen dengan unsur pokok
modernitas, yaitu ilmu pengetahuan, dan betapa dalam Islam,
situasi problematik itu dapat dikata tidak ada sama sekali,
bahkan sebaliknya sikap positif terhadap ilmu pengatahuan
adalah sui generis atau tiada taranya dalam pandangan hubungan
organiknya yang sejati dengan sistem keimanan.

Tapi sudah tentu faktor kontinuitas prinsipil bukanlah
satu-satunya perkara yang membentuk dan menentukan sikap
seseorang atau komunitas dalam menghadapi perubahan zaman.
Berbagai pengalaman historis yang lebih spesifik pada
bangsa-bangsa Muslim dalam interaksinya dengan bangsa-bangsa
Barat, khususnya pengalaman permusuhan (antara lain karena
titik singgung keagamaan Islam-Kristen dan ketetanggaan
geografis Timur Tengah-Eropa) justru nampak menjadi sumber
problematik bangsa-bangsa Muslim menghadapi perubahan ke zaman
modern, karena adanya asosiasi (yang tidak seluruhnya benar)
antara modernisme dan westernisme. Apalagi bangsa-bangsa Barat
itu, ketika melakukan penjajahan atas bangsa-bangsa Muslim,
jelas-jelas membawa kenangan pengalaman historis masa lampau
yang penuh permusuhan (antara lain dilambangkan dan dibuktikan
dalam: bagaimana para penjajah Spanyol menamakan kaum Muslim
Mindanao sebagai "orang-orang Moro," sebagai kelanjutan
semangat permusuhan antara orang Spanyol Kristen dengan orang
Spanyol Muslim yang mereka sebut "orang Moro"). Adalah
beberapa pengalaman historis permusuhan ini, dan bukannya
faktor kontinuitas kultural di atas, yang menyebabkan
kebanyakan kaum Muslim mengalami kesulitan dalam menghadapi
zaman modern. Maka, misalnya, Turki yang Muslim sampai
sekarang masih menunjukkan ciri dunia ketiga yang
non-industrial, sementara Jepang yang Buddhis justru
memperlihatkan tanda-tanda Barat dalam beberapa segi
industrialnya. Kesulitan kaum Muslim ini di antaranya
tercermin dalam bagaimana menangani masalah reinterpretasi
hukum Islam untuk zaman modern.

MASALAH KONTINUITAS DAN PERUBAHAN

Kontinuitas yang mengisyaratkan pertahanan unsur-unsur masa
lalu dan perubahan yang mengandung makna penggantian
unsur-unsur masa lalu itu, dengan sesuatu yang lain dengan
sendirinya selalu menimbulkan kesan pertentangan: Tapi,
sebagaimana setiap "kesan" atau "dugaan" (dhan) tidak
selamanya mengandung kebenaran, pengamatan lebih jauh atas
berbagai peristiwa besar menyimpulkan tidak adanya kemestian
pilihan hitam putih antara kontinuitas dan perubahan. Betapa
pun besarnya suatu perubahan, sebagaimana sedikit banyak
ditunjukkan dalam pembicaraan di atas tadi, tetap terdapat
unsur-unsur persambungan tertentu dengan masa lalu. Justru
tidak jarang esensi nilai baru dalam suatu masyarakat yang
berubah itu memperoleh pengukuhannya dan penguatan
efektifitasnya karena mendapatkan tempat dalam sistem nilai
lama yang lebih luas, atau dapat diterangkan dalam kerangka
nilai lama yang lebih luas itu. Inilah yang dalam jargon ilmu
sosial mutakhir disebut "modernitas tradisi".

Garis argumen itu lebih-lebih tepat, jika dikenakan terhadap
Islam dan kaum Muslim dalam menghadapi zaman modern. Yaitu
bahwa mereka, sementara secara imperatif mesti menerima
kehidupan modern (sebagaimana telah menjadi kenyataan,
betapapun ad hoc dan eclectic-nya sikap yang
melatarbelakanginya) tapi dapat bertahan dengan nilai-nilai
keislamannya, dan samasekali tidak perlu meninggalkannya. Jika
hal ini dengan sendirinya menjadi keyakinan seorang Muslim,
para pengamat luar pun mengakui adanya hal yang sama, bahkan
sering dengan nada peneguhan dan apresiasi. Maka sosiolog
terkenal Ernest Gellner, misalnya, memiliki pandangan tentang
Islam dan kemodernan yang mungkin membuat seorang Muslim
menjadi lebih percaya diri. Ia katakan:

Hanya Islam yang mampu bertahan sebagai keimanan yang
serius, yang mengatasi baik tradisi kecil maupun
Tradisi Besar. Tradisi Besarnya dapat dipermodern
(modernisable); dan pelaksanaannya dapat disajikan,
tidak sebagai inovasi ataupun konsesi kepala pihak
luar, tapi sebaliknya sebagai kelanjutan dan
penyempurnaan dialog lama dalam Islam... Jadi dalam
Islam, dan hanya dalam Islam, purifikasi/modernisasi di
satu pihak, dan penegahan apa yang dianggap suatu ciri
lokal lama, dapat dilakukan dalam bahasa dan perangkat
simbol yang satu dan sama. Versi kerakyatan lama
(seperti praktek kesufian rakyat yang tidak sah atau
mu'tabarah, misalnya-NM), yang pernah menjadi alas
dangkal tradisi sentral sekarang menjadi kambing hitam
yang dibuang, yang dipersalahkan menyebabkan kemunduran
dan dominasi unsur asing. Karena itu meskipun tidak
merupakan sumber modernitas, Islam mungkin akan
ternyata merupakan penerima manfaat modernitas itu.
Kenyataan bahwa varian sentral, resmi dan "murni" Islam
bersemangat egaliter dan keilmiahan --sementara hirarki
dan ekstase (seperti dalam banyak praktek kesufian
rakyat-NM berkaitan dengan bentuk-bentuknya yang
bersifat pinggiran senantiasa meluas namun akhirnya
ditampik- sangat membantu adaptasi Islam ke dunia
modern. Dalam zaman cita-cita melek huruf universal,
lapisan sarjana yang terbuka (dalam Islam) dapat
berkembang sehingga meliputi seluruh masyarakat, dan
dengan begitu maka cita-cita "protestan" agar semua
yang beriman mempunyai akses yang sama (kepada kitab
Suci-NM) akan terlaksana. Egalitarianisme modern
terpenuhi. Sementara Protestantisme Eropa hanya
menyiapkan lahan untuk nasionalisme melalui perluasan
melek-huruf, potensi Islam yang hangkit kembali untuk
skripturalisme egaliter dapat secara aktual menyatu
dengan nasionalisme, sehingga orang tidak lagi mudah
mengatakan mana salah satu dari keduanya itu yang
paling bermanfaat bagi yang lain.[2]

Karena observasi dan kesimpulannya itu, maka tidak heran
menurut Ernest Gellner, Islam adalah agama yang paling dekat
dengan modernitas dibanding agama Yahudi dan Kristen. Yaitu
dipandang dari sudut semangat Islam tentang universalisme,
skripturalisme, egalitarianisme spiritual, perluasan
partisipasi dalam masyarakat suci yang meliputi semua
anggotanya tanpa kecuali, dan sistematisasi rasional kehidupan
sosial.[3]

Pendapat tentang tidak perlunya kaum Muslim menanggalkan
nilai-nilai dasar keislaman mereka untuk dapat masuk zaman
modern itu juga dikemukakan Maxime Rodinson, juga seorang
sosiolog (Perancis) kontemporer. Dalam pembukaan sebuah
bukunya, Rodinson mempertanyakan, "Sejauh mana orang (Muslim)
harus pergi dalam proses mencapai kemakmuran yang menggiurkan
dari negara-negara industri? Haruskah seseorang berjalan
sedemikian jauhnya sehingga mengorbankan berbagai nilai yang
secara khusus diyakini, yaitu yang membentuk ciri tertentu,
kepribadian dan identitas kelompok orang bersangkutan?"4.
Jawaban terhadap pertanyaan ini diberikan pada akhir bukunya,
yang oleh Leonard Binder diringkaskan, bahwa tidaklah perlu
meninggalkan sesuatu apapun yang secara esensial bersifat
Islam, karena Islam sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan
lingkungan ekonomi negeri-negeri Muslim. Karena itu Islam
tidak dapat dipandang sebagai bertanggung jawab atas
kemunduran kaum Muslim. Dalam perkataan lain, seseorang dapat
berjalan sejauh yang ia perlukan untuk dapat mengejar Barat
tanpa mengorbankan apapun yang esensial bagi Islam dan yang
menjadi bagian integral dari identitas kaum Muslim. [5]
IV.29. PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG FIQH (2/4)
Telaah Problematika hukum Islam di Zaman Modern

Oleh Nurcholish Madjid

MASALAH PESAN DASAR ISLAM

Ketika mengatakan Islam tidak mempunyai sangkut paut dengan
milieu ekonomi negeri-negeri Muslim sehingga tidak dapat
dipandang, apalagi dituduh, sebagai penyebab kemunduran
negeri-negeri itu, Rodinson menunjuk kepada kenyataan betapa
masyarakat-masyarakat Islam sepanjang sejarahnya menunjukkan
gejala menganut pola ekonomi yang bermacam-macam dalam zaman
yang berbeda atau tempat yang berbeda, maka jika kemajuan
adalah suatu "Kapitalisme" (sebagaimana orang cenderung
melihat buktinya melalui runtuhnya sistem sosialis atau
komunis) maka Islam dapat saja bersatu dengan kapitalisme itu,
tanpa kehilangan sifatnya yang paling mendasar.

Tesis Rodinson ini terbuka untuk dipersoalkan, namun
kesimpulannya yang tegas bahwa kaum Muslim tidak perlu
meninggalkan hal-hal yang secara esensial bersifat Islam
mendorong orang bertanya: Lalu apa wujud dari hal-hal yang
secara esensial bersifat Islam itu? Jawabnya adalah, hal-hal
yang secara esensial bersifat Islam itu dengan sendirinya
adalah "pesan dasar" (risalah asasiyyah) Islam itu sendiri.
Tapi sementara frase "pesan dasar" Islam terdengar familiar
bagi setiap yang pernah membahas masalah-masalah keislaman,
namun wujud nyatanya sendiri sering masih merupakan problem.
Meskipun problem di sini agaknya lebih banyak berurusan dengan
soal kemampuan ekspresif, bukan substantif (orang tahu atau
merasa tahu substansinya, tapi gagal mengungkapkannya). Namun
realita menunjukkan adanya kesulitan yang nyata. Karena suatu
"pesan dasar" mengacu pada suatu nilai yang amat tinggi,
karena itu ada risiko abstraksi yang tinggi pula, maka dalam
suatu masyarakat yang diliputi paham serba simbol (akibat
pendidikan yang rata-rata rendah dan cara berpikir yang
sederhana) "pesan dasar" itu sering terkacaukan dengan hal-hal
simbolik dan formal yang mewadahinya. Beragama bagi seseorang
tentu tidak akan bermakna, jika ia tidak mampu menangkap pesan
dasar itu, namun dalam kenyataan kita masih menemui diri kita,
sering tidak begitu jelas mengenai pesan dasar itu.

Tanpa berarti dukungan untuk salah satu dari Ahl al-Dhawahir
dan Ahl al-Bawathin yang buah pikiran mereka sempat ikut
mewarnai polemik-polemik dalam khazanah literatur Islam
klasik, tidak bisa disangkal, kecenderungan banyak orang
menilai kadar keimanan orang lain hanya dari segi hal-hal
simbolik dan formal, merupakan indikasi kesulitan menangkap
pesan dasar agama seperti sering dikuatirkan sementara Ahl
al-Bawathin tentang orientasi keagamaan Ahl al-Dhawahir.

Dalam Kitab Suci al-Qur'an banyak diungkapkan tentang adanya
perjanjian, persetujuan dan kesepakatan antara Tuhan dan
manusia, yang dinyatakan dalam kata-kata Arab sebagai abd,
'aqd dan mitsaq. Sebuah firman suci menyebutkan adanya
perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia, bahwa manusia
tidak akan menyembah setan dan harus hanya menyembah Allah
semata.[6]. Artinya, manusia harus menempuh hidup bermoral,
demi perkenan Tuhan (ridha Allah), dan harus menjauh dari
penyembahan kepada setan, dengan berbuat hal-hal tidak
bermoral (fahsya', munkar). Perjanjian primordial itu juga
diungkapkan dalam bahasa metaforik yang sangat ilustratif,
demikian:

Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengambil (menciptakan)
dari anak cucu Adam, yaitu dari tulang belakang mereka,
keturunan mereka dan Dia minta kesaksian mereka atau
diri mereka sendiri: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
mergawab: "Benar, kami bersaksi!" (Demikian itu supaya
kami tidak) berkata di hari Kiamat: "Sesungguhnya kami
lupa akan hal itu." [7]

Perjanjian itu pula yang terjadi antara Tuhan dan Adam, namun
kemudian Adam melupakannya dan tergoda setan, yang membuatnya
diusir dari surga.[8] Karena itu manusia diharapkan memenuhi
perjanjiannya dengan Tuhan, agar Tuhan pun memenuhi
perjanjian-Nya dengan manusia.[9] Maka kaum beriman sejati
ialah mereka yang memenuhi janjinya, dengan Allah dan tidak
membatalkan kesepakatan antara dia dan Allah itu.[l0]
Sebaliknya orang itu kafir, jika menyalahi perjanjiannya
dengan Allah setelah perjanjian itu menjadi kesepakatan.[11]

Muhammad Asad, dengan mengutip Zamakhsyari dalam tafsir
al-Kasysyaf, menerangkan, perjanjian (Inggris: covenant)
antara Allah dan manusia itu, sebagaimana telah disinggung,
adalah suatu istilah umum yang mencakup kewajiban-kewajiban
moral dan sosial yang timbul akibat iman itu, terhadap sesama
manusia. [12]. Asad juga memperjelas makna perjanjian dengan
Allah (ahd Allah), yang dalam bahasa Inggris secara
konvensional diterjemahkan dengan God's covenant, sebagai
merujuk pada kewajiban moral manusia untuk menggunakan karunia
bawaan lahirnya --intelektual dan fisik-- dalam suatu cara
yang ditetapkan Ailah untuknya, yang antara lain akan membawa
manusia kepada kesadaran akan dirinya berhadapan dengan Sang
Maha Pencipta.[13]. Kesadaran Ketuhanan (Rabbaniyyah) yang
mendasari akhlaq mulia itulah inti pesan dasar agama lewat
para Rasul,[l4] dan pokok perjanjian Tuhan dengan semua Nabi:
"Ingatlah ketika Kami (Tuhan) mengambil dari para Nabi
perjanjian mereka, juga dari engkau (Muhammad) dan dari Nuh,
Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan telah Kami ambil dari
mereka perjanjian yang berat." [16]

Pemenuhan perjanjian manusia dengan Tuhannya itu melahirkan
sikap hidup bertaqwa, yaitu sikap hidup yang penuh
pertimbangan moral, atas dasar keinsyafan mendalam, bahwa
Allah adalah Maha Hadir, yang selamanya menyertai dan
mengawasi tingkah laku setiap orang. [16] Maka al-Qur'an pun
disebutkan sebagai "petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa."
[l7] Dengan al-Qur'an itu, Allah membimbing siapa saja yang
mengikuti keridlaan-Nya ke berbagai jalan keselamatan.[18] Dan
Nabi saw pun bersabda bahwa "Tiada suatu apapun yang dalam
timbangannya lebih berat daripada keluhuran budi." [l9] Dan
bahwa "Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga
ialah taqwa kepada Allah dan budi pekerti luhur." [20]

Pesan dasar itu, sebagai pesan Tuhan kepada semua Nabi dan
Rasul --dan melalui mereka kepada seluruh ummat manusia
membentuk makna "generik" agama, yaitu makna dasar dan
universal sebelum suatu agama terlembagakan menjadi
bentuk-bentuk formal dan parokial. Karena itu, sepanjang
penjelasan al-Qur'an, agama yang benar ialah agama yang
memiliki makna generik itu, yang titik tolaknya ialah sikap
pasrah dan berdamai dengan Allah (dalam bahasa Arab disebut
Islam).[21] Maka, misalnya, al-Qur'an menolak klaim kaum
Yahudi atau Nasrani bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Yahudi
atau Nasrani, sebab dalam pandangan Kitab Suci al-Qur'an
keyahudian dan kenasranian adalah bentuk-bentuk pelembagaan
formal dan bahkan parokial dari suatu agama generik, yang
sesungguhnya tidak memerlukannya. Yang pertama (Yahudi)
merupakan pelembagaan berdasarkan kebangsaan (atau malah
kesukuan, yaitu suku keturunan Yehuda, anak pertama Israil
atau Ya'qub), sedangkan yang kedua (Nasrani) konon berdasarkan
nama tempat (Nazaret).

Demikian pula bentuk-bentuk pelembagaan formal dan parokial
lainnya, ditolak Kitab Suci, sebab agama yang benar secara
asli haruslah tidak bernama kecuali dengan nama yang
menggambarkan semangat makna generik kebenaran itu sendiri,
yaitu, dalam bahasa Arab, Islam (Sikap Pasrah dan Damai kepada
Allah). Karena itu al-Qur'an menegaskan, Ibrahim adalah
seorang hanif; yaitu seorang yang karena bimbingan kesucian
dirinya sendiri (fithrah) memelihara kecenderungan dan
pemihakan yang murni kepada yang benar dan baik secara
generik, asli dan sejati. Juga ditegaskan, Ibrahim adalah
seorang Muslim (yang pasrah dan damai kepada Allah).[22]
Demikianlah Nabi Ibrahim, dan demikian pula dengan semua Nabi,
termasuk Musa dan Isa (Yesus, setelah lewat proses pengalihan
nama itu dalam bahasa Yunani), semuanya adalah tokoh-tokoh
yang muslim dan mengajarkan islam [23]. (sekalipun tidak
berarti para Nabi itu secara harfiah menggunakan perkataan
Arab yang berbunyi m-u-s-l-i-m dan i-s-l-a-m, karena justru
kebanyakan para Nabi bukanlah orang-orang Arab). Mereka adalah
muslim dan mengajarkan islam dalam arti, semuanya bersikap
pasrah dan berdamai dengan Allah dan membawa pesan dasar yang
sama, yaitu agar manusia tunduk patuh kepada-Nya melalui sikap
pasrah dan berdamai, dan dengan jalan menempuh hidup bermoral.

PRINSIP KEADILAN (SOSIAL)

Pada pokoknya pesan dasar ini, yang meliputi perjanjian dengan
Allah ('ahd, aqd, mitsaq di atas), sikap pasrah kepada-Nya
(islam) dan kesadaran akan kehadiran-Nya dalam hidup (taqwa,
rabbaniyyah), adalah universal, berlaku untuk semua ummat
manusia, dan tidak terbatasi oleh pelembagaan formal
agama-agama. Sebagai hukum dasar dari Tuhan, pesan dasar ini,
bahkan meliputi seluruh alam raya ciptaan-Nya ini, di mana
manusia hanyalah salah satu bagian saja.

Ketika pesan dasar itu menuntut terjemahannya dalam tindakan
sosial nyata, yang menyangkut masalah pengaturan tata hidup
manusia dalam hubungan mereka satu sama lain dalam masyarakat,
maka tidak ada manifestasinya yang lebih penting daripada
nilai keadilan. Karena itu tindakan menegakkan keadilan
ditegaskan sebagai nilai yang paling mendekati taqwa.[24] Dan
sebagai wujud terpenting pemenuhan perjanjian dengan Allah dan
pelaksanaan pesan dasar agama, maka ditegaskan, menegakkan
keadilan dalam masyarakat adalah amanat Allah kepada
manusia.[25]

Keadilan yang dalam bahasa Kitab Suci dinyatakan dalam
kata-kata 'adl, qisth, wasth (semuanya memiliki makna dasar
"tengah" atau "jujur") adalah wujud lain hukum keseimbangan
(mizan) yang telah ditetapkan Allah untuk seluruh jagad raya.

Sesungguhnya, dari sudut pandangan kosmologi al-Qur'an,
keadilan adalah hukum primer seluruh jagad raya. Maka keadilan
adalah aturan kosmis (cosmic order), yang pelanggaran
terhadapnya dapat dilukiskan secara metaforik sebagai
mengganggu atau "mengguncangkann tatanan jagad raya. Inilah
yang antara lain dapat kita ambil pengertiannya dari firman
Allah:

Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, dan Dia tetapkan
(hukum) keseimbangan. Hendaknya kamu tidak melanggar
(hukum) keseimbangan itu. Dan tegakkanlah olehmu semua
akan neraca dengan jujur, dan jangan kamu bertindak
merugikan (hukum) keseimbangan.[26]

Beberapa tafsir dan terjemah konvensional menerangkan, yang
dimaksud dengan mizan dalam firman itu ialah neraca yang
dikenal. Tentu saja tidak terlalu salah. Tapi dalam kaitannya
dengan penciptaan Allah akan jagad raya, yang dalam firman ini
dilambangkan sebagai penciptaan langit yang "ditinggikan"
oleh-Nya, maka lebih tepat memandang perkataan mizan ini,
dalam makna kosmologisnya, yaitu seluruh jagad raya ini
berjalan mengikuti hukum keseimbangan. Bahkan neraca yang kita
kenal dan tampak bekerja secara "sederhana" itu pun adalah
suatu gejala kosmis, karena keseimbangan dalam sebuah neraca
adalah kelanjutan dari hukum keseimbangan yang lebih luas
(yang menguasai seluruh alam), misalnya, melalui hukum
gravitasi.

Dari sudut pandangan inilah kita memahami mengapa banyak para
'ulama', dalam hal ini khususnya Ibn Taymiyyah, sedemikian
tegas dan jauh berpegang pada prinsip keadilan itu sebagai
ideatum tatanan sosial manusia yang akan menjamin kekokohan
dan kelangsungannya. Sedemikian rupa jauhnya pandangan Ibn
Taymiyyah, sehingga ia menguatkan pandangan bahwa
"Sesungguhnya Allah akan menegakkan negeri yang adil meskipun
kafir, dan tidak akan menegakkan negeri yang zalim meskipun
Islam," dan "Dunia akan bertahan bersama keadilan dan
kekafiran, dan tidak akan bertahan lama bersama kezaliman dan
Islamn" [27]

Dengan pernyataannya yang tidak biasa itu, Ibn Taymiyyah hanya
bermaksud agar ummat Islam tidak taken for granted dalam hal
keislaman. Keislaman yang formal saja tidak akan membawa
keselamatan di dunia ini, khususnya dalam arti sosial, jika
tidak disertai keadilan. Sebaliknya, meskipun suatu masyarakat
adalah kafir namun menegakkan keadilan di dunia ini, maka
masyarakat itu akan tegak, didukung Allah. Sebab, sama dengan
yang telah dijelaskan di atas, keadilan adalah "tatanan segala
sesuatu" (nidham-u kull-i syay) [28], yakni, suatu cosmic
order yang menjadi hukum Tuhan, atau Sunnatullah yang tidak
tergantung kepada keinginan seseorang (obyektif) dan berlaku
universal, di segala tempat dan masa, sehingga tidak akan
berubah (immutable).
BEBERAPA CONTOH PEMIKIRAN KONTEMPORER FIQH

Kita telah pergi sejauh yang diperlukan, untuk membahas
masalah-masalah pokok yang mendasari pemikiran kontemporer
tentang fiqh. Berbagai pemikiran mutakhir tentang fiqh
menegaskan perlunya kesadaran akan pesan dasar Islam sebelum
suatu hukum atau hukuman dilaksanakan. Kesadaran itu dapat
disebut sebagai karakteristik pemikiran fiqh dan hukum Islam
di zaman modern. Di sini akan dikemukakan contoh pemikiran
para intelektual Islam mutakhir, dari tiga tokoh yang
representatif, yaitu Fat'hi 'Utsman (pemimpin redaksi majalah
Islam internasional Arabia yang terbit di London), Muhammad
Asad (salah seorang arsitek dan pemikir konstitusi Negara
Islam Pakistan), dan Ahmad Zaki Yamani (yang pernah menjabat
Menteri Perminyakan Saudi Arabia dan tokoh OPEC yang amat
terkenal).

Fatthi 'Utsman menegaskan, suatu hukum, termasuk yang ada
dalam al-Qur'an dapat dilaksanakan hanya setelah ditegakkannya
keadilan sosial dan tatanan kemasyarakatan yang menjamin
anggotanya untuk tidak melanggar ketentuan yang ditetapkan.
Kami kutipkan dan terjemahkan sepenuhnya pendapat Fat'hi
'Utsman yang relevan, dari bukunya, al-Din li al-Waqi' (Agama
untuk Realita):

Keadilan Sosial sebelum hukuman. Allah menerangkan dalam
Kitab-Nya berbagai hukuman kejahatan (had) seperti, misalnya,
hukum bunuh (qishash) untuk kejahatan pembunuhan, potong
tangan untuk pencurian, dan lain-lainnya. Wajar bahwa Islam
menempuh jalan penetapan hukum-hukum setelah ditempuhnya jalan
pengarahan pikiran melalui aqidah dan pendidikan tingkah laku
melalui prinsip tabadul. Tapi penetapan hukum Islam tidak
pernah disebut kecuali mesti timbul dalam pikiran orang,
gambaran yang mengerikan tentang tangan-tangan buntung dan
jasad-jasad berserakan. Sedangkan yang sebenarnya ialah bahwa
rahmat Allah untuk sekalian alam tidaklah menetapkan hukuman,
kecuali sesudah ditempuh jalan proteksi, sama dengan yang
dikatakan Francis Aveling dalam bukunya ilmu Jiwa Klasik dan
Modern, "Kalau tujuan kita ialah kebaikan masyarakat, maka
tujuan hukuman haruslah proteksi. Dan cara apapun yang dapat
merealisasikan tujuan ini harus dipandang sebagai wajar dari
sudut pandangan sosial. Jadi jika kita dapat mencegah
sebab-sebab dan situasi yang mendorong kejahatan, baik yang
berasal dari lingkungan atau pun dari pribadi sendiri, maka
itulah cara yang ideal yang kita wajib menggunakannya."

Dalam praktek memang telah terjadi berbagai usaha ke
arah ini melalui berbagai pengabdian sosial. Tapi kalau
seandainya seluruh situasi yang berkaitan dengan
lingkungan telah tersedia dengan sebaik-baiknya, maka
tentulah yang tersisa bagi kita ialah memikirkan
sebab-sebab individual yang mendorong orang untuk
melakukan pelanggaran-pelanggaran.

Dari sini kita melihat, Islam ketika menetapkan
pelaksanaan qishash dalam kejahatan pembunuhan, ia
bersama itu juga menetapkan langkah-langkah yang
menjamin hilangnya dorongan-dorongan permusuhan
golongan, kelompok atau perbedaan tingkat sosial. Dan
ketika menetapkan hukuman potong tangan pencuri, maka
Islam tidaklah melakukan hal itu sebelum tegaknya
hak-hak hidup pribadi dan mantapnya tanggung negara
untuk menjamin hak-hak pribadi itu. Dan ketika Islam
menetapkan hukum rajam atau cambuk atas pezina, maka
sesungguhnya ia juga menetapkan kemudahan jalan
perkawinan dan melindungi bagian-bagian privat dari
tubuh dengan menutup aurat dan menjaga penglihatan
mata, serta melarang khalwat (kencan seorang lelaki dan
seorang perempuan yang bukan muhrim, namun tanpa muhrim
perempuan itu). Jadi pengaturan sosial berjalan seiring
atau mendahului penetapan hukuman kejahatan.[29]

Lebih runtut lagi adalah jalan pikiran dan garis argumen
Muhammad Asad. Dalam memberi penjelasan tentang makna yang
lebih mendasar di balik hukuman yang amat keras bagi pencuri
(potong tangan), Asad membuat uraian panjang lebar. (Di sini
kami kutipkan seluruh uraian itu, namun maaf tidak sempat
menerjemahkan):

The extreme severity of this Qur'anic punishment can be
understood only if one bears in mind the fundamental
principle of Islamic Law that no duty (taklif) is ever
imposed on man without his being granted a coresponding
right (haq); and the term "duty" also comprises, in
this context, liability to punishment. Now, among the
inalienable rights of every member of the Islamic
society --Muslim and non-Muslim alike-- is the right to
protection (in every sense of the word) by the
community as a whole. As is evedent from innumerable
Qur'anic ordinances as well as the Prophet's injuctions
forthcoming from authentic Traditions, every citizen is
entitled to a share in the community's economic
resources and thus, to the enjoyment of social
security: in other words, he or she must be assured of
an equitable standard of living commensurate with the
resource at the disposal of the community. For,
although the Qur'an makes it clear that human life
cannot be expressed in terms of physical existence
alone --the ultimate values of life being spiritual in
nature-- the believers are not entitled to look upon
spiritual truths and values as something that could be
divorced from the physical and social factors of human
existence. In short, Islam envisages and demands a
society that provides not only for the spiritual needs
of man, but for his bodily and intellectual needs as
well. It follows, threfore, that --in order to be truly
Islamic-- a society (or a state) must be so constituted
that every individual, man and woman, may enjoy that
minimum of material well-being and security without
which there can be no human dignity, no real freedom
and, in the last resort, no spiritual progress: for,
there can be no real happiness and strength in a
society that permits some of its members to suffer
undeserved want while others have more than the need.
If the whole society suffers privations owing to
circumstances beyond its control (as happened, for
instance, to the Muslim community in the early days of
Islam), such shared privations may become a source of
spiritual strength and, through it, of future
greatness. But if the available resources of a
community are so unevenly distributed that certain
groups within it live in affluence while the majority
of the people are forced to use up all their energies
in search of their daily bread, poverty becomes the
most dangerous enemy of spiritual progress, an
occasionally drives whole communities away from
God-consciousness and into the arms of soul-destroying
materialism. It was undoubtedly this that the Prophet
had in mind when he uttered the warning woeds (quoted
by al-Suyuti in al-Jami al-Saghir), "Proverty may well
turn into a denial of the truth (kafr)." Consequently,
the social legislation of Islam aims at a state of
affair in which every man, woman and child has (a)
enough to eat and wear, (b) an adequate home, (c) equal
opportunities and facilities for education, and (d)
free medical care in health and sickness. A corollary
of these rights is the right to productive and
remunerative work while of working age and in good
health, and a provision (by the community or the state)
of adequate nourishment, shelter, etc. in cases of
disability resulting from illness, widowhood, enforeced
enemployment, old age, or under-age. As already
mentioned, the communal obligation to create such a
comprehensive social security scheme has been laid down
in many Qur'anic verses, and has been amplified and
explained by a great number of the Prophers
commandments. It was the second Caliph, Umar ibn
al-Khattab, who began to translate these ordinances
into a concrete administrative scheme (see Ibn Said,
Tabagat, III/1. 213-217); but after his premature
death, his successors had either the vision nor the
statemanship to continue his unfinished work.

It is against the background of this social security
scheme envisaged by Islam that the Qur'an imposes the
severe sentence of hand-cutting as a deterrent
punishment for robbery. Since, under the circumstances
outlined above, "temptation" cannot be admitted as a
justifiable excuse, and since, in the last resort, the
entire socioeconomic system of Islam is based on the
faith of its adherents, its balance is extremely
delicate and in need of constant, strictly enforced
protection. In a community in which everyone is assured
of full security and social justice, any attempt on the
part of an individual to achieve an easy, unjustified
gain at the expense of other members of the community
must be considered an attack against the system as a
whole, and must be punished as such: and, therefore,
the above ordinance which lays down that the hand of
the thief shall be cut off. One must, however, always
hear in mind the principle mentioned at the beginning
of this note: namely, the absolute interdependence
between man's right and corresponding duties (including
liability to punishment). In a community or state which
neglects or is unable to provide complete social
security for all its members, the temptation to enrich
onself by illegal means often becomes irresistible
--and, consequently, theft cannot and should not be
punished as severely as it should be punished in a
state in which social security is a reality in the full
sense of the woed. If the society is unable to fulfil
its duties with regard to everyone of its memebers, it
has not right to invoke the full sanction of criminal
law (had) against the individual transgressor, but must
confine itself to milder forms of administrative
punishment. (Its was in correct appreciation of this
principle that the great Caliph Umar waived the had of
handcutting in a period of famine which afflicted
Arabia during his reign.) To sum up, one may safely
conclude that the cutting-off of a hand in punishment
for theft is applicable only within the context of an
already existing fully-functioning social security
scheme, and in no other circumstances.[30]

Fiqh sangat erat kaitan dengan Syari'ah, jika bukannya malah
identik (seperti menurut pengertian kebanyakan orang). Ahmad
Zaki Yamani, dalam sebuah risalahnya yang terkenal,
memperjelas persoalan Syari'ah itu dalam kaitannya dengan
hasil karya para ulama terdahulu yang secara keseluruhannya
biasanya dipandang sebagai korpus Hukum Islam. Perhatikanlah
bagaimana Yamani menegaskan, hasil pemikiran ("fiqh" dalam
arti asalnya) para ulama dalam kitab-kitab itu baginya
tidaklah mengikat, karena pemikiran itu tidak lepas dari
tuntutan zaman dan tempat yang lebih spesifik, yang belum
tentu cocok dengan tuntutan zaman kita sekarang. Sama dengan
yang di atas, di sini kami kutipkan sepenuhnya uraian Yamani
(namun, sekali lagi, maaf tidak sempat menerjemahkannya):

The Islamic Shari'a as a phrase has two scope of
meanings. Generally and widely construed, it denotes
everything that has been written by Moslem jurists
throughout the centuries, whether it dealt with
contemporaneous issues of the time or in anticipation
of future ones. The jurists derived their principles
from the Qur'an and the Sunnah (way of action and the
opinions of the Prophet), and from the other sources of
Shari'a such as Ijma' (the consensus of the community
represented by its scholars and learned men), and
public interest considerations. The Shari'a, looked
upon in this wide scope, constitutes a huge Juristic
tradition the value of which depends on the individual
jurist himself, his era, or even the particular problem
confronting him. As such the system has a tremendous
scholastic value to the Moslem, however, it has no
binding authority; since within it one might find
different, and sometimes contradictory principles
resolving the same issues depending on the Juristic
school that propagated the principle. Furthermore, it
cannot have a binding authority since circumstances
that brought about a certain principle might not be in
existence any more, and surely we cannot maintain that
previous Moslem Jurists have anticipated all our
existing contemporary problems. Yet, as I said before
in this wide sense, one cannot deny the Shari'a
scholastic value as an elaborate system of deduction
which should be relied upon for future derivations of
principles.

Construed narrowly, the Shari'a is confined to the
undoubted principles of the Qur'an, to what is true and
valid of the Sunna, and the consensus of the community
represented by its sholars and learned men during a
certain period and regarding a particular problem,
provided such consensus was possible. Viewed as such,
the Shari'a has a binding authority on every Moslem,
and he is obligated to follow and employ it to solve
his affairs ...

The importance of differentiating between the wide and
the narrow scope of Shari'a is evident in countries
that fully implement the system, such as the Kingdom of
Saudi Arabia. As I explained earlier, not all the
principles of Shari'a in its wider sense are of a
binding authority, because of certain inherent
difficulties in attempting to harmonize some of them.
Furthermore, one cannot choose one juristic school for
implementation to the exclusion of all others, which
was done in the past, since as a logical consiquence on
would have to maintain the princiles of the other
schools are not valid, or at least, are not worthy of
being followed.

According to the well-known Shari'a principle "the
validity of that on which there is a difference can be
questioned, but not the validity of that on which there
is consensus," it becomes imperative ... to adopt the
narrow meaning of Shari'a, confined to the Qur'an, the
Sunna, and consensus, then, select principles from the
various juristic schools with no exceptions, the
criterion being what is more appropriate to the needs
of that particular country. Such countries could
legislate new solutions for novel problems, deriving
such solutions from the general principles of the
Shariia and considerations of public interest and
communal welfare. [31]
Bagi Yamani prinsip public interest atau kepentingan umum
adalah sangat fundamental. Berkaitan dengan prinsip ini,
dengan merujuk kepada kitab Thabaqat al-Hanabilah oleh Ibn
Rajab, Yamani mengutip, dengan implikasi sebuah dukungan,
pendapat yang ekstrim dari Imam al-Tuff yang diduga dari
madzhab Hanbali (tapi juga ada yang menduganya bermadzhab
Syi'ah), yang mengatakan bahwa kepentingan umum mengatasi dan
mendahului ketentuan tekstual, sekalipun dari al-Qur'an dan
Sunnah. Maka jika terdapat pertentangan pertimbangan
kepentingan umum di satu pihak, dan ketentuan tekstual atau
nas di pihak lain, al-Tufi berpendapat bahwa kepentingan umum
itu harus dimenangkan, betapapun absahnya sebuah nas. Ia
berpandangan bahwa kepentingan umum itulah yang menjadi maksud
dan tujuan Maha Hakim (Allah), sedangkan ketentuan tekstual
yang diwahyukan dan sumber-sumber lainnya hanyalah perantara
untuk mencapai tujuan itu, dan tujuan harus selalu mendahului
perantaraan atau cara.[32]

Lebih jauh, Yamani mengritik sebagian kaum Orientalis yang
tidak memahami Syari'ah dan mencampuradukkan dua unsurnya yang
berbeda namun tidak terpisah, yaitu hukum-hukum keagaman
('ibadat) dan hukum-hukum kegiatan manusia dalam hidup
keduniaan (mu'amalat):

The religious essence and value of the Shari'a must
never be overestimated. Many Western Orientalists who
wrote about Shari'a failed to distinguish between what
is purely religious and the principles of secular
transactions. Though both are derived from the same
source, the latter principles have to be viewed as a
system of civil Iaw, based on public interest and
utility, and therefore always evolving to an ideal
best... The Prophet himself had set precedence for this
religious-secular relationship when he said "I am only
human, if I order something pertaining to your religion
comply, if I order something of my opinion consider it
in the light that I am only human." Or when he said,
"You know better about your civil non-religious
matters." [33]

PENUTUP

Dari seluruh uraian di atas dapatlah disimpulkan, fiqh dan
sistem hukum Islam memiliki kesempatan besar untuk diterapkan
dalam zaman modern. Tetapi prasyaratnya ialah, kaum Muslim
harus mampu terlebih dahulu menangkap pesan dasar agamanya,
dan berdasarkan itu, mengembangkan pemikiran hukum yang akan
menjawab tuntutan zaman dan tempat. Halangan terbesar bagi
kemungkinan itu datang dari sikap-sikap dogmatic dan
literalis, yang kini masih banyak melanda kaum Muslim. Tapi
dengan bekal inner dynamics Islam itu sendiri, masa depan yang
lebih baik tentu dapat diciptakan, sehingga akan terbukti
ramalan Gellner: Kaum Muslim adalah penarik manfaat yang
sebenarnya dari modernitas.

CATATAN

1. Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid
(Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil.
1, h. 108.

2. ... Only Islam survives as a serious faith pervading
both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition
is modernisable; and the operation can be presented,
not as an innovation or concession to oursiders, but
rather as the continuation and completion of and old
dialogue within Islam... Thus in Islam, and only in
Islam, purification modernization on the one hand, and
the reaffirmation of a putative old local identity on
the other, can be done in one and the same language and
set of symbols. The old folk version, once a shallow of
the central tradition now becomes a repidiated
scapegoat, blamed for retardation and foreign
domination. Hence, though not the source of modernity,
Islam may yet turn out to be its beneficiary. The fact
that its central, official, "pure" variant was
egalitarian and scholarly, whilst hierarchy and
ecstaasy pertained to its expendable, eventually
disavowed, peripheral forms, greatly aids its
adaptation to the modern world. In an age of aspiration
to universal literacy, the open class of scholars can
expand towards embracing the entire community, and thus
the 'protestant' ideal of equal access for all
believers can be implemented. Modern egalitarianism is
satisfied. Whilst European Protestantism merely
prepared the ground for nationalism by furthering
literacy, the reawakened Muslim potential for
egalitarian scripturalism can actually fuse with
nationalism, so that one can hardly tell which one of
the two is of most benefit to the other. (Ernest
Gallner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), h. 4-5).

3. By various obvious criteria --universalism,
scripturalism, spiritual egalitarianism, the extension
of full participation in the sacred community not to
one, or some, but to all, and the rational
systematisation of social life-- Islam is, of the three
great Western monotheisms, the one closest to
modernity. (Gallner, h. 7).

4. Maxime Rodinson, Islam and Capitalism., terjemahan
dari Perancis oleh Brian Peace (Austin: University of
Texas Press, 1978), h. 1.

5. Leonard Binder, Islamic Liberalism (Chicago: The
University of Chicago Press, 1988), h. 211.

6. Lihat QS. Yasin/36:60

7. QS. al-A'raf/7:172.

8. Lihat QS. Thaha/20:115.

9. Lihat QS. al-Baqarah/2:40.

10. Lihat QS. al-Ra'd/13:20.

11. Lihat QS. al-Ra'd/13:25.

12. Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (London:
E.J. Brill, 1980), h.363, catatan 42.

13.Ibid., h. 7-8, catatan 21.

14. Lihat QS. Ali Imran 3:79.

15. QS. al-Ahzab/433:7.

16. Lihat QS. al-Hadid/57:4.

17. Lihat QS. al-Baqarah/2:2.

18. Lihat QS. al-Ma'idah/5:16.

19. Bulugh al-Maram, hadits No. 1551.

20. Ibid., hadits No. 1561.

21. Lihat QS. Ali Imran 3:19 dan 85.

22. "Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi ataupun
Nasrani, melainkan seorang hanif (lurus kepada
kebenaran), dan seorang muslim (pasrah kepada Tuhan),
dan tidaklah dia termasuk mereka yang musyrik.
Sesungguhnya manusia yang paling dekat kepada Ibrahim
ialah mereka yang benar-benar mengikutinya dan Nabi ini
(Muhammad) serta mereka yang beriman. Allah adalah
pembimbing kaum beriman itu." (QS. Ali Imran/3:67-68).

23. Terdapat banyak penegasan, langsung dan tidak
langsung, berkenaan dengan keislaman para Nabi. Suatu
penegasan bahwa semua penganut agama (yang benar secara
generik, hanif) menyembah Tuhan yang sama, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa, dan bersikap pasrah kepada-Nya (Islam).
Secara umum dapat disimpulkan dari firman Allah tentang
sikap anak turun Ya'qub Israil):

"Adakah kamu menjadi saksi ketika maut datang kepada
Ya'qub, ketika ia bertanya anak-anaknya: 'Apa yang kamu
sembah sesudahku?' Mereka menjawab: 'Kami menyembah
Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma'il dan
Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kami semua pasrah
(muslimun) kepada-Nya.'" (QS. al-Baqarah 2:133).

Setiap orang yang dikaruniai Allah pangkat kenabian
pasti menyeru manusia agar berkesadaran Ketuhanan
(Rabbaniyyun) dan tidak akan menyimpang dari garis
lurus itu setelah para pengikutnya benar-benar menjadi
kaum yang pasrah kepada-Nya (muslimun):

"Tidak pernah terjadi pada seorang manusia yang
kepadanya Allah mengaruniakan kitab suci, ajaran
kebenaran (hukum) dan kenabian kemudian berkata kepada
orang banyak: 'Jadilah kamu semua hamba-hamba bagiku,
bukan bagi Allah!' Melainkan (ia tentu berkata):
'Jadilah kamu orang-orang yang berkesadaran Ketuhanan
(Rabbaniyyun) berdasarkan kitab suci yang kamu ajarkan
dan berdasarkan yang kamu sendiri pelajari.' Dan ia
(Nabi itu) tidak menyuruh kamu agar kamu mengambil para
malaikat dan para Nabi yang lain sebagai tuhan-tuhan.
Apakah patut ia menyuruh kamu menjadi kafir sesudah
kamu semua menjadi orang-orang yang pasrah (muslimun)?"
(QS. Ali Imran/3:79-80).

24. Lihat QS. al-Ma'idah/5:8.

25. Lihat QS. al-Nisa/4:58.

26. QS. al-Rahman/55:7-9.

27. Ibn Taymiyyah, dalam risalahnya, al-Amr bi
al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar
al-Kitab a-jadid, 1396 H/1976 M), h. 40.

28. Ibid.

29. Fat'hi Utsman, al-Din li al Waqi' (Kuwait: al-Dar
al-Kuwaytiyyah, tt.), h.91-92.

30. Muhammad Asad, h. 149-150, catatan 48.

31. Ahmad Zaki Yamani, Islamic Law and Contemporary
Issues (Jeddah: The Saudi Publishing House 1388 H), h.
6-7).

32. Ibid., h. 10-11.

33. Ibid., h. 13-14.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: