Monday, December 3, 2007

HAK-HAK INDIVIDU DAN SOSIAL DI INDONESIA

HAK-HAK INDIVIDU DAN SOSIAL DI INDONESIA (1/4)

Oleh Mochtar Pabottinggi

Dalam Spheres of Justice (1983), Michael Walzer dengan tepat
menyatakan bahwa semua distribusi barang atau hak adalah adil
atau tidak adil menurut makna sosial yang diberikan kepada
barang/hak tersebut. Yang hendak ditekankan oleh Walzer di
sini ialah kenyataan bahwa rasa, prinsip dan praktek keadilan
berbeda-beda menurut sejarah, kebudayaan, atau kosmologi
masing-masing masyarakat. Dengan demikian rasa, prinsip, dan
praktek keadilan selamanya bersifat partikular dan karena itu
juga plural.

Partikularitas dan pluralitas persepsi tentang keadilan telah
dikemukakan lebih dahulu oleh Barrington Moore dalam dua
studinya yang terkenal Social Origins of Disctatorship and
Democracy (1966) dan Injustice: The Social Bases of Obedience
and Revolt (1978). Menurut pandangan Moore partikularitas
itulah yang membuat suatu pilihan atau tindakan individual/
sosial menyangkut keadilan berlaku atau tidak berlaku, bukan
universalitasnya.

Sekedar untuk contoh, bisa kita kemukakan hak-hak dan
kedudukan kaum wanita Asia Tenggara paling tidak sekitar abad
kelimabelas hingga abad ketujuhbelas, yakni ketika di Eropa
mereka masih dipandang sebagai "porselen" atau ketika di India
dan Cina mereka masih diperlakukan tak lebih dari "barang"
suami. Menurut penelitian komprehensif yang dilakukan oleh
Anthony Reid, wanita Asia Tenggara dalam kurun itu sudah
diakui sederajat dengan kaum pria. Sama dengan kaum prianya,
wanita Asia Tenggara di masa itu adalah pcmangku hak-milik,
pelaku merdeka dari kegiatan-kegiatan ekonomi, dan penuntut
atau pembela di pengadilan. Wanita juga tampil sebagai
duta-duta niaga dan politik ke negeri-negeri asing, mediator
yang disegani dengan alam roh, dan penguasa atau srikandi-
srikandi tangguh di medan perang. Tak kurang pentingnya,
wanita adalah pasangan yang memiliki hak setara (kalau tidak
bahkan lebih) dengan suaminya dalam hal hubungan intim
suami-isteri. Yang membuat kedudukan wanita Asia Tenggara
lebih tinggi dibanding dengan kaum wanita sezamannya bahkan di
negara-negara yang ketika itu sudah dipandang sebagai pelopor
kemajuan peradaban manusia memang tidak ditentukan oleh
anggapan universalitas apa pun tentang pentingnya suatu
masyarakat menghargai hak-hak wanitanya. Itu ditentukan oleh
evolusi suatu proses budaya yang unik yang telah berlangsung
di kawasan tersebut selama beberapa abad sebelumnya.
Diperkirakan juga adanya pengaruh kepercayaan- kepercayaan
terdahulu yang filsafat hidupnya menyetarakan lingga dan yoni.

Bahkan di Inggris pada abad kesembilanbelas, kaum majikan
masih sangat kuat menganut apa yang disebut Ellen Jordan
sebagai androsentrisme.

Tak ada tempat bagi wanita pada sebagian besar industri
baru atau yang telah ditata kembali secara radikal ...
Pada industri-industri besar, yang dikelola secara
terpusat dan sangat padat modal, telah dikembangkan
tehnik-tehnik mutakhir yang tidak didasarkan pada tenaga
kerja keluarga, sehingga kaum majikan, yang tidak
terhambat oleh sistem pembagian kerja atas dasar jenis
kelamin, hanya memperhitungkan kaum pria tatkala merinci
tugas pekerjaan serta menambah angkatan kerjanya.

Khusus mengenai negeri kita, partikularitas dan keragaman itu
tergambar juga dalam urusan penguasaan atas harta benda. Orang
Minang mengutamakan kaum wanitanya dalam soal pemilikan
harta-pusaka dan satria-satria Bugis-Makasar mengadakan
perjanjian terhormat dengan rajanya untuk saling menghormati
hak masing-masiing dalam pemilikan harta benda. Bandingkan
dengan apa yang disebut "konsep kekuasaan Jawa" (suatu
penamaan yang keliru mengasumsikan Jawa sebagai tunggal) yang
cenderung menghimpun segala kemegahan dan kekayaan di tangan
raja, dari mana lahirlah ungkapan rakyat tentang harta
bendanya sebagai "Nek awan duweke sang nata, nek wengi duweke
dursila."

Memang cukup berdasar jika dikatakan bahwa besarnya
efektivitas suatu rasa atau prinsip keadilan ditentukan oleh
partikularitas mengandaikan adanya suatu resiprokalitas budaya
yang tinggi di kalangan bangsa/masyarakat pendukungnya.
Sebagaimana ditekankan oleh Walzer, "People who do share a
common life have much stronger duties".

Tapi seperti keniscayaan yang sudah dialami oleh pusat-pusat
pemerintahan pantai di Asia Tenggara pada masa kurun niaga
dalam hal aturan perkawinan antar-bangsa, kini kita semakin
gencar berhadapan dengan tuntutan akan perlunya rasa, prinsip,
dan praktek keadilan yang makin lama makin bersifat inklusif.
Maka, anggapan bahwa kekuatan suatu rasa atau prinsip keadilan
terletak pada partikularitasnya sesungguhnya sudah puluhan
tahun mendapat tandingan. Mungkin itu bermula dengan The
Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Wilson
tentang hak setiap bangsa untuk mengatur pemerintahannya
sendiri. Mungkin juga ini bermula dengan ditanggalkannya
hak-hak feodal raja dan bangkitnya kiprah demokrasi
parlementer di Inggris pada dekade-dekade awal abad
kesembilanbelas. Mungkin juga yang paling berperan justru
adalah agama-agama dunia yang mencanangkan universalitas
kebenaran dan karena itu juga universalitas keadilan.

Dengan perkembangan ini semakin banyak orang, terutama pada
dekade keempat dan kelima abad ini, yang menyanggah pentingnya
peranan partikularitas suatu sistem nilai tentang keadilan.
Bangsa-bangsa terjajah semuanya meneriakkan keharusan
dikuburkannya kaidah ganda yang didukung oleh dalih-dalih
etnografis/orientalis dan menuntut hak serta perlakuan yang
sama dengan bangsa-bangsa penjajah. Anggapan lama seolah-olah
dibalikkan sama sekali. Yang benar ialah semakin universal
suatu sistem nilai, semakin kuat ia. Maka kemudian mencullah
teori-teori atau gagasan-gagasan tentang keadilan yang
dipandang dapat berlaku secara lintas bangsa dan lintas
budaya. Untuk itulah John Rawls, misalnya, menulis A Theory of
Justice (1971) yang banyak dirujuk tapi juga dikritik orang.

Tapi bangkitnya lusinan negara baru sekitar pertengahan abad
keduapuluh itu di mana panji-panji universalitas keadilan
dijunjung tinggi segera disusul oleh dekade-dekade kekecewaan
(disillusionment) dan pengkhianatan terhadap citra
universalitas keadilan itu. Ternyata besar sekali kesenjangan
antara nilai-nilai universal dengan praktek-praktek partikular
yang berlaku di negara-negara yang baru merdeka tersebut. Maka
penghargaan atas nilai-nilai universal pun kembali surut.
Studi-studi etnografis kembali memperoleh apresiasi yang
tinggi. Di dalam telaah ilmu politik mengenai Indonesia,
misalnya, kita dapati Harry Benda menyerang asumsi dasar
Herbert Feith ketika yang terakhir ini bicara tentang
demokrasi konstitusional di Indonesia. Pada hakikatnya Benda
menyatakan bahwa demokrasi konsitusional bukanlah "barang"
milik bersama, dan bahwa Indonesia punya ideal dan sistem
politik partikularnya sendiri. Juga kita alami buku klasik
George Kahin Nationalism and Revolution in Indoensia secara
telak diatasi pamornya oleh rangkaian karya-karya Clifford
Geertz dan Benedict Anderson yang semuanya menekankan
partikularitas kebudayaan dan politik.

Kembali universalitas menjadi pecundang dan partikularitas
menjadi pedoman. Sekali lagi faktor-faktor kebudayaan
mengambil tempat sentral dalam telaah-telaah politik dan
ekonomi di mana juga terkandung telaah-telaah, implisit maupun
eksplisit, mengenai keadilan.

Dalam perspektif inilah kita harus menempatkan penilaian
sementara kalangan intelektual bangsa kita terhadap Pancasila.
Falsafah negara kita ini dipandang tak lebih dari penjajaran
(juxtapositio) dari segenap nilai-nilai yang secara universal
baik. Untuk mengutip ucapan seseorang bekas tokoh mahasiswa,
"Ideal Pancasila sama dengan perlunya memiliki satu kepala,
dua tangan dan dua kaki". Tapi ini adalah suatu pemahaman yang
sangat keliru tentang falsafah negara kita itu. Bagi bangsa
Indonesia, Pancasila bukanlah semata-mata kumpulan nilai-nilai
universal. Lebih dari universalitasnya justru tumbuh dari
suatu pengalaman yang sangat partikular, yang mau tak mau
menggiring bangsa kita kepada pengakuan akan luhur dan
esensialnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kerinduan
akan nilai-nilai yang terkandung didalamnya memang adalah
suatu kerinduan universal. Tapi pengalaman eksploitasi dalam
skala seperti yang dialami oleh bangsa Indonesia, terutama di
pulau Jawa, adalah sesuatu yang sangat partikular. Professor
Gonggrip memberi kita suatu ilustrasi yang sangat hidup dari
pengalaman eksploitasi yang amat partikular itu:

"Tak ada tanaman yang begitu banyak menimbulkan
kesengsaraan dibanding dengan indigo. Ketika itu secara
gegabah ditanam di Priangan tahun 1830, hanya
malapetakalah yang terjadi. Rakyat dari sejumlah desa di
kecamatan Simpur dipaksa bekerja di ladang-ladang indigo
yang jauh dari rumah mereka selama tujuh bulan terus
menerus, dengan keharusan menyediakan makanan mereka
sendiri. Tatkala mereka pulang dijumpainya sawah-sawah
mereka sudah dalam keadaan hancur sama sekali. Lima ribu
orang dan tiga ribu ekor kerbau dipaksa mengolah tanah
untuk memasok sebuah pabrik yang baru saja didirikan.
Ketika kerja paksa itu rampung, bibit indigo (yang
sedianya ditanam di situ) belum juga tiba. Dua bulan
kemudian, ketika rerumputan dan ilalang kembali menutupi
pesawahan mereka, barulah kapal-kapal tiba dari Batavõa.
Lelaki, perempuan, dan anak-anak kembali dikerahkan buat
menyiapkan tanah pesawahan itu lagi. Tidaklah aneh jika
seseorang perempuan hamil melahirkan di situ selagi
membanting tulang ..."

Ini barulah satu contoh. Tapi di situ sudah tergambar suatu
apropriasi tujuh kali lipat atas hak-hak kaum tani di Jawa -
suatu eksplotasi yang bahkan jauh melampaui eksploitasi pada
kapitalisme primitif di Barat sendiri. Yang diapropriaskan
adalah hak kaum tani atas lahan pertaniannya, hak kaum tani
akan biaya reproduksi tenaganya, hak kaum tani akan produk
tenaga dan tanahnya, hak kaum tani untuk memasarkan produknya
secara yang lebih menguntungkan mereka, hak kaum tani atas
penghasilan sah mereka sendiri yang ditelan begitu oleh
berbagai cuke dan diensten yang tiada putus-putusnya diminta
baik oleh Belanda maupun oleh kalangan penguasa Pribumi, serta
hak kaum tani atas integritas kebudayaan mereka, yang
didistorsikan guna memperlancar proses eksploitasi Belanda.
Daftar praktek ekaploitasi penjajahan di Indonesia terlalu
panjang dan terlalu menyakitkan untuk diulang-ulang. Toh
menyertai Soedjatmoko tetap perlu diingat bahwa, "Tanpa lebih
mengenal ciri-ciri ekonomi kolonial sulit bagi kita untuk
menghadapi persoalan-persoalan struktural dan sosial di dalam
pembangunan kita". Pergerakan-pergerakan kemerdekaan kita yang
paling representatif semuanya tak lain adalah respon terhadap
struktur ekonomi dan politik kolonial Belanda. Itulah "ibu
kandung" dari seluruh gagasan cemerlang dari para Bapak Bangsa
kita. Pancasila tak lain dari kristalisasi dari respon
bersejarah itu. Maka pada hakikatnya, Pancasila bagi bangsa
Indonesia adalah suatu ambang atau jendela lewat mana seluruh
pengalaman eksploitasi terhadap dirinya selalu bisa terpampang
dan terekam kembali seketika. Dengan kata lain, pada Pancasila
bertemu dan leburlah dikotomi antara partikularitas dan
universalitas itu. Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah
partikularitas dan universalitas sekaligus. Ia adalah antitesa
terhadap pengalaman kolonialisme cum feodalisme yang sangat
panjang.

Rasa keadilan, pandangan tentang hak-hak individu dan sosial
bangsa Indonesia otomatis terikat pada antitesa serta kenangan
kolektif akan tesa yang berada di baliknya. Bangsa Indonesia
selamanya peka terhadap setiap keadaan yang dapat mengingatkan
mereka akan kenangan pahit itu. Katakanlah ada obsesi di situ.
Obsesi tentu saja bisa buruk, namun bagaimana pun kenangan
kolektif itu adalah sesuatu yang sah. Kita memang harus
berusaha menghindari dampak negatif dari suatu obsesi, namun
kenangan pahit akan eksploitasi puncak yang dialami oleh
leluhur kita bertaut erat dengan jatidiri bangsa kita.
Keabsahan kenangan kolektif tersebut lebih perlu ditekankan
lagi mengingat kuatnya kecenderungan ke arah berulangnya
proses sejarah yang mau tak mau akan mengingatkan mayoritas
bangsa ini pada pengalaman pahit leluhur mereka.

Konglomerasi yang menimbulkan banyak suara kekhawatiran sejak
beberapa tahun lalu sesungguhnya sulit diingkari sebagai
perwujudan pola berpadunya kekuatan-kekuatan ekonomi yang
sangat mirip dengan pola yang berlaku pada zaman penjajahan,
yakni ketika pemerintah dan kalangan swasta Belanda
bekerjasama demikian erat dengan golongan priyayi (birokrasi
Pribumi) dan pengusaha Cina dalam melakukan eksploitasi
besar-besaran atas rakyat dan tanah negeri kita. Tentu perlu
diukur lebih jauh apakah identifikasi ini masih punya dasar
sekarang. Tapi sebelum kita sampai pada suatu jawaban pasti
atasnya, kekhawatiran khalayak ramai di atas tetap perlu
diindahkan.

Tiadanya kesadaran melihat Pancasila sebagai suatu
universalitas yang partikular cenderung membuat orang
menyepelekannya atau menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak
bisa jalan (not workable) atau tidak relevan lagi dalam era
pembangunan ini. Ada saja rumusan-rumusan pemikiran, tentu
secara tidak langsung dan tidak berterang-terangan, yang
ujung-ujungnya akan berarti bahwa Pancasila hanya sekedar
utopia. Tidak sedikit kasus menyangkut protes dan keresahan
orang-orang kecil di tanah air yang mestinya dikaitkan dengan
keniscayaan sejarah (historical imperative) dari Pancasila
anehnya justru dicap anti-Pancasila. Usaha Romo Mangun yang
secara sangat menyentuh hati menunjukkan solidaritas kepada
para petani Kedung Ombo yang menolak meninggalkan tanahnya
sama sekali tidak dilihat dalam konteks ideal Pancasila.
Begitu juga dengan usaha tokoh-tokoh LSM yang mengungkapkan
kasus itu di gelanggang internasional. Mereka justru dipandang
sebagai pengacau, sok pahlawan, atau tidak nasionalis. Suatu
sebutan yang juga keliru sebab esensi nasionalisme Indonesia
tak lain dari egalitarianisme.

Tidak diindahkannya keniscayaan sejarah itu juga tercermin
pada bagaimana tantangan terhadap, gejala konglomerasi
dikatakan sebagai ekspresi kecemburuan sosial . Tak ada yang
lebih keliru dan agresif daripada penamaan seperti itu.
Kalangan yang memandang dengan cemas gejal a konglomerasi ini
sesungguhnya bertolak dari persepsi tentang semakin
dikukuhkannya kesenjangan-kesenjangan ekonomi yang berlaku di
zaman kolonial, yang justru hendak dibalikkan dengan pendirian
Republik kita. Harus segera disadari bahwa luasnya tantangan
terhadap gejala konglomerasi bukanlah akibat kecemburuan
sosial, melainkan berakar kuat pada sejarah berdirinya bangsa
ini. Ada citra ideal yang terlanggar di situ.

Sebutan kecemburuan sosial bisa dipakai untuk menyerang rasa
keadilan histroris bangsa kita untuk kemudian membatalkannya
secara tidak sepatutnya. Itu adalah psikologisasi dan
pembalikan privilese yang sangat mendasar. Kata "cemburu"
mempunyai konotasi buruk pada orang yang dihinggapinya.
Merekalah yang jadi "terdakwa" bukan konglomerasinya. Dalam
konteks sebutan itu yang salah bukan yang dicemburui,
melainkan yang cemburu. Di situ lenyaplah rasa atau prinsip
keadilan historis yang sah. Kata "kecemburuan sosial"
sesungguhuya bertolak dari obsesi tentang pertumbuhan serta
keterbelakangan ekonomi kita. Tentu obsesi ini lahir dari
suatu kecemasan yang sah. Tapi sisi sebaliknya yang bahkan
lebih sah lagi justru dilupakan. Pertumbuhan ekonomi yang luar
biasa juga menandai Nusantara katakanlah dari tahun 1930
hingga 1940. Tapi bukankah dengan tandas dan sah kita menolak
pertumbuhan ekonomi luar biasa yang other-centered seperti
itu?

Penyingkapan agresivitas dan pembalikan privilese ini menjadi
jelas jika kita menukar sebutan tersebut dengan mengembalikan
kata kesenjangan sosial. Pada ungkapan ini terkandung
keabsahan historis, yakni sejauh itu menyangkut eksistensi dan
ideal Republik kita. Beda dengan kata "kecemberuan sosial" di
mana yang salah ialah mereka yang cemburu, yang salah pada
kata "kesenjangan sosial" adalah mereka yang hendak
mempertahankan dan meneruskan kesenjangan itu. Pada kata
"kecemburuan sosial" tidak ada keabsahan historis. Sebaliknya
dengan kata "kesenjangan sosial." Pergerakan kemerdekaan yang
penuh pengorbanan dilakukan, kemerdekaan diproklamasikan, dan
sebelumnya falsafah negara dirumuskan dan undang-undang dasar
disusun oleh para Bapak Bangsa kita justru menghilangkan
kesenjangan itu agar manusia Indonesia dapat melangkah maju
secara berharkat guna menyongsong masa depan yang penuh
kebahagiaan. Dari keabsahan historis itulah terkandung unsur
hak pada mayoritas bangsa-bangsa kita yang berada di sisi
malang dari proses pembangunan, yakni hak agar kesenjangan itu
-ekonomis dan politis- ditiadakan oleh Pemerintah atas
dukungan rakyat. Unsur keabsahan atau hak historis itulah yang
dinafikan pada sebutan "kecemburuan sosial" mengandung makna
pengingkaran berat atas ideal tertinggi kita.

Soal istilah, sebutan atau ungkapan ini kita bicarakan dengan
penuh kesungguhan mengingat bahwa belum pernah dalam sejarah
bangsa kita pertandingan ideologis memasuki babak segenting
sekarang. Pertandingan antara kaum komunis dan Islam di masa
Sarekat Islam, pertandingan antara kaum kebangsaan dan Islam
di masa Demokrasi Parlementer, dan pertandingan antara
unsur-unsur Nasakom di masa Demokrasi Terpimpin, termasuk
antara PKI dengan Angkatan Darat, pada umumnya barulah
pertentangan ideologis. Tak satu pun kontestan ideologis di
dalamnya yang memiliki basis ekonomi yang cukup kuat untuk
merealisasikan ideologinya. Apa yang berlaku sekarang sudah
lain sama sekali. Yang sedang kita hadapi bersama ialah suatu
pertandingan ideologis di mana sebagian kontestan memilki
penguasaan yang cukup atas teknologi dan keahlian mutakhir,
mempunyai jaringan nasional dan internasional, serta menguasai
aset ekonomi yang nyata dan masif. Pertandingan ini adalah
suatu pertandingan yang akan sangat jauh dan besar dampaknya.
Dalam waktu singkat bisa terjadi transformasi besarbesaran
dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Bersamanya akan terjadi
perubahan-perubahan penting dalam hak-hak individu dan sosial.
Itulah sebabnya mengapa semakin perlu kita mengawasi kata-kata
yang berseliweran dalam media massa, sebab di situlah
pertandingan yang sebenarnya sekarang berlangsung, bukan dalam
DPR, juga antara partai-partai politik. Sasaran pertandingan
di media massa itu adalah persuasi langsung kepada rakyat.
Dari persuasi kita akan beranjak kepada policy. Dari policy
kita pun memasuki transformasi besar-besaran pada segenap
bidang kehidupan. Transformasi besar-besaran ini adalah
sesuatu yang einmalig. Maka kita harus pandai-pandai
mengarahkan dari sekarang. Kita semua memang menginginkan
adanya suatu transformasi besar di bidang ekonomi, politik,
dan kebudayaan, tapi itu demi sebesar-sebesarnya kemajuan dan
kebahagiaan buat mayoritas bangsa kita. Adalah tugas kita
bersama untuk menyoroti kata-kata, jargon atau bukan, yang
sifatnya menipu dan mengelabui, terutama jika kata-kata itu
laris di pasaran. Singkatnya, kita semua perlu berhati-hati
dengan agresi diskursus yang masuk ke dalam benak kita sebagai
sesuatu yang innocent tapi yang selanjutnya berfungsi merusak
dasar-dasar mulia yang telah disepakati bersama. Kata-kata
adalah gerilya, pasukan bertopeng yang tak hentinya menyerbu.
Untuk itulah Michel Foucault mengingatkan bahwa, "We must
conceive discourse as a violence we do to things..."

Maka perlu ditegaskan kembali bahwa Pancasila lahir dari
rangkaian utuh dan panjang dari suatu peristiwa yang sangat
nyata dan historis. Ia tidak turun atau diturunkan begitu saja
dari langit. Jika sekarang falsafah negara kita ini dilihat
sebagian orang sebagai tak lebih dari suatu wishful thinking,
itu karena sejarah kembali berulang. Pola kolonial khas yang
dialami bangsa kita (kolonialisme-cum-feodalisme) berlaku lagi
katakanlah selama lima belas tahun pertama usia Orde Baru.
Yang begitu kuat itu berulang. Akibatnya Pancasila pun tampak
tidak lagi nyata, dan tidak lagi historis. Tapi pengulangan
sejarah di atas tidak dengan sendirinya membatalkan keabsahan
rasa keadilan historis yang hidup pada bangsa Indonesia.
Sebabnya ialah karena rasa keadilan itu bukan hanya berakar
dalam pada sejarah kita sebagai suatu bangsa, melainkan juga
lantaran ia encoded. Ia resmi kita nobatkan jadi
Weltanschauung yang mendasari konstitusi kita. Tidaklah
mengherankan jika tiap pihak yang hendak berpraktek menyimpang
dari pertama-tama harus mencari dalih-dalih pembenaran yang
tidak secara langsung menolak pandangan hidup yang sekaligus
merupakan falsafah negara kita itu. Disadari atau tidak,
pihak-pihak tersebut telah melakukan rekayasa ideologis yang
sedikit demi sedikit menggerogoti falsafah negara itu
seringkali atas nama falsafah itu sendiri, hingga pada
akhirnya nanti kita semua akan terperanjat bahwa ternyata
dasar pokok (raison d'etre) dari kelahiran bangsa ini sudah
lama terkubur.
Segenap hak-hak individu dan sosial yang luhur dari bangsa
kita tersangkut di dalam falsafah negara kita. Untuk itulah
kita semua perlu waspada. Tidak dengan menarik kembali garis
hitam putih atau kawan-lawan model zaman Demokrasi Terpimpin.
Alternatif demikian harus diletakkan paling akhir. Kewaspadaan
bisa berlaku melalui usaha-usaha bersama dari kalangan
intelektual, negarawan, dan pemuka masyarakat untuk kembali
mengasah ke saran politik kita disertai sikap dewasa dan visi
antisipatif. Dalam hal ini kita perlu kembali menyadari dari
mana kita berasal dan arah mana yang mesti kita tuju.
Kewaspdaan bisa diperoleh dengan terus menggalakkan kegairahan
berdialog secara arif dan matang selidik (well-informed) di
antara seluruh potensi akal budi bangsa kita. Ia juga
diperoleh dengan kesediaan untuk terus-menerus bertanding
melawan kekuatan-kekuatan materil yang senantiasa cenderung
membuat kita terjebak dalam berhala-berhala baru.

Juga diperlukan sikap sabar dalam artinya yang tepat. Tanpa
sikap ini kita tak ubahnya dengan golongan-golongan politik
yang merasa, berpikir, dan bertindak seolah-oIah merekalah
wakil-wakil resmi "Tuhan" -dari kalangan komunis, dari
kalangan agama, maupun dari kalangan mereka yang visinya
tertutup oleh obsesi tentang pembangunan. Sikap ini amat
penting terutama jika kita menyadari bahwa prinsip Hegel yang
digalakkan oleh Marx tentang tesa, antitesa, dan sintesa
sesungguhnya bukanlah tiga arus yang susul-menyusul. Bisa saja
sejarah bolak-balik antara tesa dan antitesa, dengan sintesa
yang terus tertunda. Atau bisa juga ketiganya tak hentinya
bertumpang tindih. Dengan perspektif itulah kita harus melihat
perkembangan dahsyat di Eropa Timur sekarang.

Di atas semuanya, kedewasaan kita peroleh dengan menekankan
bahwa sikap partikularitas dan universitas Pancasila yang ada
bukan hanya hak-hak melainkan juga kewajiban-kewajiban
individual/sosial. Bisa dikatakan bahwa partikularitas sejarah
bangsa Indonesia lahir karena para pejuang kemerdekaan kita
telah menunaikan kewajibannya menerjemahkan prinsip
universitas itu dalam kondisi masyarakat bangsanya. Bisa juga
dikatakan bahwa mereka telah mengangkat partikularitas
pengalaman kolektif bangsa Indonesia yang tertindas kepada
suatu tatanan yang lebih tinggi -suatu transendensi yang
mencapai universalitas. Sudah kita ketahui bahwa hak dan
kewajiban adalah dua hal yang saling membangkitkan. Tapi
sesungguhnya alangkah rumitnya persoalan ini begitu kita
berhadapan dengan masalah-masalah aktual yang telah, sedang,
dan akan dihadapi oleh bangsa kita dan alangkah besarnya
partisipasi akal budi yang diperlukan untuk menanggulanginya
secara bertanggungjawab.

Pada tahun 1919 sejumlah petani dan seorang pemuka agama
di suatu desa di Garut menolak keharusan menyerahkan
padi dengan harga murah kepada Belanda. Sang haji
beserta pengikut-pengikutnya tewas dalam mempertahankan
apa yang mereka yakini sebagai haknya.

Pada sore hari 10 Febuari 1924, Bapak Kajah memimpin
puluhan orang berjubah putih lengkap dengan
senjata-senjata tajam tradisional dan berselempang
jimat-jimat sepanjang jalan Tangerang-Batavia. Tujuannya
ialah menyerbu penjara yang baru didirikan di Tanah
Tinggi sebagai tantangan terbuka terhadap kekuasaan
Belanda demi menegakkan suatu kerajaan baru yang penuh
keadilan. Bapak Kajah beserta segenap pasukannya tewas
seketika di ujung senapan Belanda.

Tahun 1973 terjadi huruhara anti Cina di Bandung hingga nyaris
mengulangi huruhara yang sama di banyak bagian Jawa Barat
sepuluh tahun sebelumnya. Pada 15 Januari 1974 meledak
Peristiwa Malari di Jakarta dan Peristiwa Muncar di Jawa Timur
yang melibatkan ribuan nelayan. Sebelumnya keributan yang sama
telah terjadi di Bagansiapi-api. Tahun 1980 kembali meledak
huruhara anti Cina yang meluas di beberapa kota Jawa Tengah
hingga mencapai Jawa Timur. Tahun 1984 pecah Peristiwa Priok
yang menewaskan puluhan orang. Awal tahun 1989 menghentak kita
dengan Protes Petani Kedunggombo, kekerasan di Lampung, dan
politisasi "biskuit beracun."

Pola-pola apakah yang dapat tertangkap dari semua catatan di
atas? Pelajaran-pelajaran apakah yang dapat ditarik?
Kompleksitas apakah yang tergambar sehubungan dengan
pembicaraan kita mengenai hak-hak individu dan sosial di
Indonesia? Dan jalan keluar apakah yang sebaiknya kita tempuh
agar rentetan pemberontakan kecil itu tidak lalu membola salju
dan menghantam Republik kita dalam wujud malapetaka politik
yang sama-sama tidak kita inginkan?

Dari rangkaian catatan di atas kita berhadapan dengan
pola-pola tentang rasa dan praktek keadilan yang rancu dan
kacau. Katakanlah di situ bergalau keadilan melenarian lawan
keadilan rasional, keadilan lokal lawan keadilan pusat,
keadilan primordial lawan keadilan nasional, keadilan
ideologis lawan keadilan pragmatis, dan keadilan subsistensi
lawan keadilan korporasi.

Adalah keliru jika kita langsung memandang masalah hak-hak
individual sebagai suatu masalah politik, yakni sebagaimana
yang umumnya tersirat dalam ungkapan "hak-hak azasi manusia."
Sebelum menjadi masalah politik, hak-hak individual adalah
suatu masalah kultural. Apa yang kita sebut "hak-hak
individual" tak lain dari hasil suatu kontrak sosial. Dengan
menyebutkan kontrak sosial, kita seolah-olah memang langsung
memasuki dunia politik. Kesan ini lebih diperkuat lagi oleh
kenyataan bahwa para pemikir klasik tentang kontrak sosial itu
(Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau) luput
atau sedikit sekali menangkap sentralitas faktor kebudayaan
dalam analisa mereka. Diskursus pengetahuan mereka umumnya
masih monokultural dan sangat Eurosentris. Keseluruhan tradisi
ilmu politik mereka belum sepenuhnya memperhitungkan adanya
keragaman pengalaman budaya atau keragaman harapan-harapan
sosial (Social Expectation) pada umat manusia.

Kontrak sosial mengandaikan adanya resiprokalitas atau saling
pengertian budaya. Maka sinyalemen tentang adanya pengingkaran
terhadap hak-hak individual pada masyarakat bangsa kita,
misalnya, masih harus dihadapkan pada serangkaian pertanyaan.
Apakah itu benar-benar merupakan pengingkaran (yaitu dengan
asumsi bahwa sudah terdapat resiprokalitas sistem nilai dalam
masyarakat bangsa kita)? Atau apakah itu disebabkan oleh
adanya kesenjangan budaya, sehingga menghambat terjadinya
resiprokalitas budaya? Atau apakah pengingkaran hak-hak
individual itu tidak justru lahir dari rasa keterancaman
eksistensial pada pihak-pihak yang (dipandang) mengingkarinya?
Dengan kata lain, pada kategori terakhir berlaku semacam
antagonisme parah antara kelompok-kelompok masyarakat,
sehingga tiap hak yang diperoleh suatu kelompok dipandang oleh
kelompok lain sebagai ancaman.

Bangsa Indonesia mungkin termasuk di antara bangsa-bangsa
dimana tingkat-tingkat kemajuan dan pencerahan antara kelompok
masyarakat paling beragama sekaligus paling senjang di dunia.
Dengan kebudayaan etnis yang berbeda-beda sudah dapat
dipastikan bahwa harapan-harap an sosial di dalamnya pun
berbeda-beda. Untunglah kita agak tertolong dengan kenyataan
bahwa pulau Jawa tempat hidup enampuluh persen penduduk
Indonesia juga merupakan pula yang ditandai dengan tingkat
kehidupan dan pendidikan yang relatif lebih tinggi. Tapi
memprihatinkan bahwa etnosentrisme yang masih berlaku hingga
sekarang, bahkan mungkin tanpa disadari benar juga berlaku
pada sebagian kalangan berpendidikan tinggi, membuat
resiprokalitas budaya pada bangsa Indonesia rendah sekali.

Soedjatmoko pernah mensinyalir suatu perkembangan negatif di
dunia perguruan tinggi kita merupakan ajang pertemuan
putra-putra dari berbagai daerah Indonesia dan karena itu
menjadi tempat terbinanya semangat kebangsaan yang kuat, kini
perguruan-perguruan tinggi itu cenderung berubah menjadi cagar
etnis, yakni di mana tiap perguruan tinggi berusaha sesedikit
mungkin memasukkan mahasiswa maupun tenaga-tenaga pengajar
dari kelompok-kelompok etnis luar.

Dengan penjajahan Belanda yang sangat eksploitatif,
kelompok-kelompok masyarakat pun di penggal-penggal mengikuti
suatu rekayasa politik dan kultural yang paling memudahkan dan
memaksimalkan eksploitasi. Kalangan aristokrasi pribumi,
terutama kalangan priyayi, direnggutkan integritasnya dengan
rakyat banyak sehingga tidak lagi dimungkinkan munculnya suatu
dinamik politik atau ekonomi yang autosentris seperti yang
bisa berlaku di Inggris, Jepang, dan Muangthai. Kaum imigran
sukarela atau yang didatangkan dari daratan Cina semenjak
zaman Kompeni tidak diberi peluang untuk mengikuti jejak para
pendahulunya untuk menyatu dengan masyarakat bumiputera. Skema
kolonial segera saja mengukuhkan kedudukan mereka sebagai a
nation apart. Proses kebangkitan kelas menengah yang kuat juga
dibabat oleh Belanda dengan menutup segenap jalur lalulintas
perdagangan internasional dan interinsular bumiputera yang
semula begitu ramai dan istimewa. Politik bahasa pemerintah
dan kaum kolonialis Belanda membuat bangsa Indonesia begitu
lama menjadi katak dalam tempurung. Semua proses yang
mematahkan gerak ke arah integrasi serta semua proses yang
memenjarakan dinamik menuju emansipasi, politik dan ekonomi
harus dibalikkan terlebih dahulu jika kita hendak bicara
secara produktif tentang hak-hak individu dan sosial.

Keadaan yang juga seolah-olah menimpakan kutukan kepada usaha
untuk mengembangkan dan menyantun hak-hak individual dan
sosial ialah kenyataan bahwa tingkat permusuhan antara sesama
kekuatan egaliter dalam arena politik di tanah air jauh
melebihi tingkat permusuhan antara sesama kekuatan bukan
egaliter. Bahkan kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan bukan
egaliter itu sanggup menjalin suatu kerjasama simbiosis yang
panjang dan saling menguntungkan semakin memperbesar daya
kutukan itu. Belanda, priyayi, dan imigran Cina (sesudah tahun
1619) yang kesemuanya merendahkan rakyat bumiputera
bekerjasama demikian lancarnya katakanlah hingga awal abad
duapuluh, yakni hingga Belanda tiba pada posisi yang membuat
mereka merasa tidak lagi membutuhkan mediasi kedua kelompok
ini di bidang politik dan ekonomi. Kecuali dengan "bulan madu"
beberapa tahun antara faksi Islam dan faksi komunis di dalam
Sarekat Islam atau "keakraban" kaum sosialis dan modernis
Islam di masa Demokrasi Parlementer, boleh dikata
kekuatan-kekuatan politik egaliter kita justru senantiasa
bertanding atau memangsa satu sama lain.

Islam dan Kristen yang sesungguhnya sama-sama melancarkan
proses emansipasi rakyat dari alam feodal dan takhyul
animistis dan sama-sama melakukan pencerahan
kultural-intelektual juga terus saling menatap sebagai lawan
satu sama lain. Mereka nyaris tak saling menyapa. Jabang kelas
menengah bumiputera senantiasa menempatkan kelas menengah Cina
sebagai lawan di atas segala-galanya. Begitu juga sebaliknya.
Alangkah besarnya kekuatan egaliter yang mendukung perjuangan
menuju pelaksanaan hak-hak individual jika semua
kekuatan-kekuatan ini dapat bersatu.
Perjuangan untuk menegakkan berlaku dan disantuninya hak-hak
individual tidak bisa dilepaskan dari perjuangan untuk kembali
menegaskan prinsip-prinsip universal. Kita harus mengakui
bahwa masih terlalu banyak di antara kita yang pandangan
hidupnya sesungguhnya masih terpenjara pada
kosmologi-kosmologi yang sempit. Tidakkah perlu dipertanyakan
berapa banyak di antara kita yang ikut mengibarkan panji-panji
keterbukaan dengan kosmologi yang tidak memadai dan karena itu
mengibarkan secara percuma? Hak-hak individual, sama halnya
dengan ideal keterbukaan, menuntut adanya ketegangan dalam
universalitas. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu Jamie
Mackie sudah mengingatkan kita bahwa,

"One has to assess the relative significance of the
radical discontinuities in Indonesian political and
social life ... as well as the underlying
discontinuities in Indonesian society, culture and
history which equally deserve attention."

Maka berkaitan dengan analisa di atas ada dua pendekatan
saling terkait yang hendak saya usulkan sebelum kita berbicara
lebih jauh tentang hak-hak individual dan sosial di Indonesia
Pertama ialah apa yang saya sebut pendekatan geokultural.
Pendekatan ini menghendaki agar tiap kelompok budaya pada
bangsa kita dari sekarang mulai saling menyapa dan saling
mengenal lebih jauh untuk kemudian saling memberi dan
menerima. Secara intuitif saya cenderung menyatakan bahwa
sekaranglah saatnya kita mengukuhkan persatuan tidak terbatas
dalam konteks jual-beli atau tawar-menawar politik. Iklim
politik seperti sekarang, dimana pemerintah sangat kuat dan
dimana vokalitas tokoh-tokoh arif yang penuh integritas tidak
terhambat, sesungguhnya adalah suatu iklim yang sangat baik
untuk merekatkan jalinan-jalinan nasional kita. Pembangunan
memerlukan suatu kondisi kehidupan budaya yang lebih hangat
antara kita.

Dalam pidato pengukuhannya tahun lalu, Profesor Umar Kayam
bicara tentang "serat-serat kebudayaan" di Nusantara. Hingga
kini saya belum melihat pluralitas kebudayaan kita sebagai
"serat-serat." Kata itu mengandung konotasi pluralitas yang
saling memperkuat seperti serat-serat pada batang pohon nyiur
atau benang-benang pada tenunan. Hingga kini saya masih
melihat pluralitas sistem nilai etnis kita tak lebih dari
"mosaik" yang indah dipandang. Terutama bagi para ahli
antropologi asing, mosaik itu merupakan gudang yang tiada
habis-habisnya bagi profesi mereka. Tapi mosaik itu sebagai
mosaik sedikit sekali artinya bagi diri bangsa pemiliknya
sendiri sebagai suatu bangsa.

Saya, misalnya, memimpikan bagaimana kelompok etnis saya,
Bugis-Makassar, yang menurut saya amat banyak tertinggal dalam
perlombaan akal-budi, belajar dari kelompok etnis Jawa dan
Minang. Dari sistem nilai Jawa, kami bisa mendewasakan prinsip
siri' agar tidak semata-mata terkungkung pada masalah-masalah
sempit kekeluargaan, melainkan menjangkau penuh hal-hal yang
lebih penting, lebih mulia, dan lebih besar artinya bagi
bangsa kita. Dari sistem nilai Jawa, orang Bugis Makassar
dapat belajar lebih banyak tentang relativisme nilai-nilai dan
tentang internalisasi serta preservasi kekuatan di dalam
kalbu. Dengan demikian prinsip siri' (kehormatan) yang
kesediaan berkorbannya luar biasa bisa dibebaskan dari tradisi
aksi tanpa kontemplasi, dan bisa disalurkan pada hal-hal yang
lebih bermanfaat bagi kehidupan bangsa kita dan yang sekaligus
lebih memerlukan daya tahan yang lama.

Dari kelompok etnis Minang, orang Bugis-Makasar dapat belajar
banyak tentang prinsip musyawarah. Kami terlalu terbiasa
menyelesaikan persoalan secara kaku, lewat ancang-ancang yang
patah berubah, sebab siri' akan suatu pemenuhan seketika
(instantaneous gratification). Rata-rata orang Bugis-Makasar
merasa bahwa hanya merekalah yang memiliki siri', orang lain
tidak. Tidak mengherankan jika untuk menyelesaikan persoalan
orang Bugis-Makassar amat sering menempuh jalan kekerasan yang
banyak kali tragis.

Mungkin kelompok etnis Jawa dan Minang pun dapat belajar dari
sistem nilai Bugis-Makasar. Mereka mungkin dapat belajar
darinya dalam hal penekanan kesetiaan pada kata (kana). Orang
Bugis-Makassar tidak suka melebih-lebihkan atau memanipulasi
kata. Sebagaimana pernah ditulis oleh Profesor Noorduijn,
ucapan akkanaka (saya berkata) mempunyai bobot yang sangat
matter-of-fact dalam tradisi historiografi Bugis-Makasar.
Itulah sebabnya mengapa peninggalan-peninggalan tertulis
mereka punya kadar historisitas yang jauh lebih kuat,
khususnya dibanding dengan babad-babad dari Tanah Jawa.

Alangkah besarnya manfaat yang bisa diperoleh jika pluralitas
budaya kita sungguh menjadi serat-serat yang saling
memperkuat. Dengan saling memberi dan menerima antar sistem
nilai, dan di sini kita bicara juga dalam hubungan masalah
Islam-Kristen dan Melayu-Cina, suatu resiprokalitas budaya
yang sangat kaya akan tercipta. Dengan begitu kita bukan hanya
akan hidup bersama secara lebih rukun dengan kepekaan akan
hak/ kewajiban individual-sosial yang lebih tinggi. Lebih dari
itu, kita juga akan sanggup melaksanakan rencana-rencana
pembangunan dengan sesedikit mungkin distorsi, saling curiga,
dan kesalahan pengertian. Resiprokalitas mengandung
predikatabilitas. Dan predikatabilitas sangat menentukan dalam
setiap rencana pembangunan. Tidak masuk akal bila kita,
misalnya, begitu getol belajar dari nilai-nilai positif yang
ada pada bangsa kita sendiri. Pada konsolidasi dan mobilisasi
nilai-nilai budaya positif kita sendirilah terdapat modal awal
kita yang tidak dapat kita lewati begitu saja jika kita
benar-benar bertekad untuk tumbuh sebagai suatu bangsa besar
yang mandiri.

Untuk menunjang pendekatan geokultural ini, tentu dibutuhkan
aktualisasi lebih nyata dari prinsip universalitas.
Sesungguhnya, aktualisasi prinsip universalitas ini hanyalah
konsekuensi logis dari semangat nasionalisme kita yang terbuka
dan lapang.

Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu
bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan
riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan
bangsa belaka - nasionalis yang bukan chauvinis, tak
boleh tidak, haruslah menolak segala faham pengecualian
yang sempit budi... Baginya, maka rasa cinta bangsa itu
adalah lebar dan luas ... sebagai lebar dan luasnya
udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang
perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.

Juga dibutuhkan penegasan atau pengembangan lebih jauh dari
nilai-nilai partikular milik khazanah kebudayaan etnis kita,
yang sifat positifnya dapat diperluas hingga berlingkup
nasional. Tiadanya androsentrisme pada kebudayaan-kebudayaan
lama di Asia Tenggara akan sangat menunjang usaha untuk
mengangkat harkat kaum wanita kita dengan memberikan atau
mengembalikan hak-hak mereka untuk lebih setara dengan kaum
pria dalam mengatur, berpartisipasi, dan menentukan jalannya
kehidupan masyarakat kita bersama. Partikularitas budaya
Minang- suatu kebudayaan yang luar biasa lapang dan terbukanya
untuk dialog juga akan sangat membantu dalam usaha
mengaktualisasikan ideal universalitas kita.

Seiring dengan pendekatan geokultural ini, kita juga perlu
melancarkan pendekatan hak-hak dasar (basic rights) manusia
secara lebih jelas dengan sasaran yang di satu pihak tidak
terlalu muluk, dan di lain pihak tidak monokultural. Yang ada
dalam benak saya ialah suatu paduan antara model yang
dikemukakan oleh Henry Shue dengan model yang dikemukakan oleh
Michael Walzer.

Model hak-hak dasar yang dikembangkan oleh Henry Shue
menekankan hak akan perlindungan dan hak akan subsistensi.
Kedua hak ini bagi Shue merupakan sesuatu yang sangat mendasar
dan tidak dapat ditawar-tawar, karena yang satu tidak akan
berlaku tanpa yang lainnya. Tidak ada subsistensi jika
keamanan dan jiwa terancam, dan tidak ada artinya keamanan
jika orang tak memiliki sandang, pangan dan papan minimal
untuk hidup sebagai manusia.

Model Kebutuhan Dasar yang pernah dikembangkan oleh
Soedjatmoko bisa amat berperan di sini, terutama dalam hal
keakraban cendekiawan terkemuka ini dengan mekanisme politik
dan ekonomi serta kompleksitas pembagian sumber-sumber daya di
negara-negara berkembang. Kelebihan model Henry Shue ialah
pada ketegasannya bahwa hak akan perlindungan disejajarkan
dengan hak akan subsistensi. Pada model Soedjatmoko, hak akan
perlindungan disubordinasikan pada hak akan subsistensi. Hak
akan perlindungan dengan demikian diserahkan kepada kesadaran
para pelaksana hukum di bawah pengarahan pemerintah. Pada
model Shue hak akan perlindungan itu tidak ditampilkan sebagai
pemberian melainkan sungguh-sungguh sebagai hak, yang harus
disediakan oleh pemerintah tidak sebagai kebaikan melainkan
sebagai kewajiban.

Beda dengan Shue, Walzer memberi kita suatu model yang lebih
memberi ruang bagi perbedaan-perbedaan dalam sistem nilai dan
tingkat kemajuan suatu atau antara kelompok masyarakat. Ideal
Walzer ialah terciptanya suatu keadilan tanpa penindasan. Ia
menyebut modelnya complex equality.

Tyranny is always specific in character: a particular
boundary crossing, a particular violation of meaning.
Complex equality requires the defense of boundaries; it
works by dfflerentiating goods just ... as hierarchies
works by differentiating people ... we can only talk of
a regime of complex equality when there are many
boundaries to defend; and ... the right number is cannot
be specified. There is no right number. Simple equality
is easier: one dominant good widely distributed makes an
egalitarian society. But complexity is hard: harmony
goods must be autonomously conceived before the
relations they mediate can become the relations ...
equal men and women? There is no certain answer ...
hence no ideal regime. But as soon as we start to
distinguish meanings and mark out distributive spheres,
we are launched on an egalitarian enterprise.

Pendekatan kedua ini tentu saja masih perlu diteliti lebih
jauh kesesuaiannya dengan kondisi kita. Tapi mengingat sifat
huru-hara, keributan, dan pemberontakan yang kita gambarkan di
atas maupun yang tidak sempat kita paparkan semua di sini,
yakni sifat subsistensi dan keragaman sistem maknanya, saya
kira pendekatan ini ada baiknya diperhatikan.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: