Monday, December 3, 2007

KETERKAITAN DAN HUBUNGAN UMARA DAN ULAMA DALAM ISLAM

KETERKAITAN DAN HUBUNGAN UMARA DAN ULAMA DALAM ISLAM

Oleh Aswab Mahasin

Hubungan antara Umara dan Ulama sebenarnya merupakan gejala
mutakhir. Sebab, pada dasarnya Islam tidak mengenal pemisahan
antara agama dan negara; atau lebih khusus lagi, antara gereja
dan negara, sebagaimana halnya dalam agama Kristen. Masalahnya
sederhana, yakni kalau dalam Islam tidak ada institusi gereja
sehingga dari segi ajaran apa yang dianggap sebagai
pertentangan antara gereja dan negara tidak pernah ada. Dalam
sejarah, sejak awal lahirnya agama Islam tidak ada pemisahan
antara kewajiban keagamaan dan kewajiban kenegaraan dan pada
masa Nabi baik kepemimpinan keagamaan maupun kepemimpinan
kenegaraan bersatu pada diri beliau. Demikian juga halnya
semasa para Khalifah mengganti Nabi. Mungkin sekali hal itu
terjadi karena masyarakatnya masih lebih sederhana dalam arti
belum banyak lembaga dan pranata yang majemuk sebagaimana
dalam masyarakat mutakhir. Bahkan pengertian tentang negara
saja tumbuh secara pelan-pelan dari masyarakat kesukuan atau
federasi kesukuan, kemudian berkembang menjadi umat dan lambat
laun menjelma menjadi negara.

Istilah umat sebenarnya sudah dipakai dalam masa sebelum Islam
yang berarti kelompok agama. Konon, dalam masyarakat Arabia
Selatan Kuno dikenal istilah lumiya yang berarti konfederasi
suku-suku, dan istilah umat pada masa Nabi agaknya berdekatan
dengan istilah ini yang dimaksudkan untuk menunjuk komunitas
Islam yang pertama di Madinah. Perkataan Madinah yang semula
menjadi gelar kehormatan untuk kota Yathrib kemudian sering
dipakai Yunani. Dari pengertian inilah lambat laun muncul
negara sebagaimana kita kenal dalam masa sekarang.

Sesudah Nabi, istilah yang banyak dipakai untuk menyebut
pimpinan negara adalah Khalifah. Pada masa Abu Bakar,
istilahnya adalah Khalifat-u Rasul-u 'l-Lah yang berarti
pengganti Nabi. Pada masa Umar diusulkan penggunaan gelar
Khalifat-u Khalifat-i Rasul-u 'l-Lah yang berarti pengganti
Nabi. Konon, Umar berkeberatan dengan istilah yang panjang ini
sehingga kemudian diperkenalkan istilah baru Amir-u
'l-Mukmin-in. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah Amir ini
banyak dipakai untuk menyebut penguasa-penguasa pada tingkat
yang lebih rendah seperti Gubernur atau Walikota. Konon, pada
tahun 935, seorang Amir di Baghdad mulai menggunakan gelar
Amir al-Umara' untuk menegaskan bahwa dia adalah Amir yang
tertinggi atau Amir di atas Amir.

Istilah lain yang juga sering dipakai untuk menunjuk pimpinan
negara adalah Sultan. Gelar ini konon pertama kalinya
diberikan oleh Khalifah Harun al-Rashid kepada Wazirnya. Konon
pada abad ke X sudah banyak dipakai secara tak resmi untuk
menunjuk kepada penguasa-penguasa daerah yang merdeka. Pada
masa kesultanan Seljuk, istilah Sultan lantas dipakai sebagai
gelar untuk pimpinan politik dan militer tertinggi, sementara
istilah Khalifah lebih terbatas kepada pimpinan keagamaan
saja. Hal ini menunjukkan telah merosotnya istilah Khalifah
yang sudah mulai sejak abad-abad akhir dari Khalifah Abbasiah
di Baghdad. Dan dengan jatuhnya Baghdad pada tahun 1258, maka
gelar Khalifah hanyalah semacam gelar kehormatan tanpa
wewenang politik. Ini terbukti misalnya dengan diterimanya
seorang Pangeran Abbasiah yang melarikan diri dari Baghdad
pada tahun 1261 dengan gelar Khalifah tetapi tanpa kekuasaan
politik. Khalifah lalu diartikan sebagai Imam yang hanya
mengurusi soal-soal peribadatan, sedangkan soal-soal
kenegaraan menjadi urusan Sultan.

Dari telaah tarikh ringkas ini barangkali kita bisa mengatakan
bahwa walaupun pada mulanya agama dan negara tidak dapat
dipisahkan dalam Islam, perkembangan masyarakat bisa
menyebabkan terpisahnya kepemimpinan agama dan kepemimpinan
negara karena berbagai alasan. Yang pertama tentu saja karena
harapan untuk memperoleh pimpinan politik yang saleh dan
religius serta memperoleh dukungan yang luas dari umat tidak
berhasil. Yang kedua, mungkin juga karena makin majemuknya
masyarakat dan makin luasnya kekuasaan negara. Dua jenis
kekuasaan itu sulit disatukan dalam satu tangan. Apakah hal
ini melanggar doktrin asli, para ahli fiqh yang bisa menjawab
itu.

Memang, kemerosotan kedudukan Khalifah sebenarnya terjadi pada
saat kekuasaan politik mengalami kemerosotan. Dan pada masa
semacam itu sering terjadi perebutan kekuasaan. Menghadapi
situasi semacam itu para ulama banyak yang memilih berada di
luar kekuasaan dan berbakti sebagai penjaga hati nurani
umatnya. Karena itu sering kita mendengar cerita ketegangan
antara Sultan atau para umara dengan para ulama. Hal ini bisa
terjadi karena para ulama itu menilai bahwa Sultan tidak lagi
berada di garis agama atau sedikitnya melakukan maksiat dengan
kekuasaannya. Karena para ulama ini hidup di tengah rakyat
dengan gaya hidup sederhana seperti masyarakat sekitarnya,
maka fatwanya tidak saja berbobot agama tetapi juga
berpengaruh luas dan sering kali mencerminkan pendapat
masyarakatnya. Dalam kedudukan seperti itu fatwa para ulama
lantas menjadi semacam sumber legitimasi. Karena itulah kita
mendengar banyak cerita tentang usaha Sultan untuk "membeli"
ulama yang berpengaruh, dengan memberinya jabatan sebagai
qadli atau mufti negara. Lalu ada banyak cerita tentang ulama
besar yang menolak tawaran Sultan dan kemudian mengalami
siksaan. Dalam bahasa sekarang seakan-akan ulama besar ini
menjadi semacam "tokoh oposisi" yang tidak mau tunduk kepada
kekuasaan Sultan. Tentu saja ada juga ulama yang bersedia
menerima tawaran Sultan dan kemudian menjadi Ulama Negara.
Ketegangan semacam ini tampaknya agak laten di dunia Islam
yang tidak lagi bisa menyatakan kembali kuasa agama dan kuasa
negara.

Seperti kita baca dari sejarah klasik Islam, proses itu sudah
mulai sejak berakhirnya masa Khulafa-u 'l-Rasjid-in. Kekuasaan
Islam yang semula bersumbu pada ikatan keagamaan (umat)
pelan-pelan terbawa kembali ke dalam ikatan kesukuan
(qabilah). Hal ini terus terjadi sampai kepada tergesernya
kekuasaan itu dari bangsa Arab sampai kemudian berakhir pada
masa Turki Usmani. Keummatan memang masih menjadi dasar
legitimasi tetapi kekuasaan riil mulai bertumpu kepada ikatan
kesukuan bahkan cabang-cabang keluarga. Dari segi agama
barangkali kita bisa menganggap ini sebagai kemerosotan,
tetapi dari segi sejarah tampaknya hal itu menunjukkan
kemustahilan menegakkan republik keagamaan dalam susunan
masyarakat feodal.

Pada masa kita sekarang jarak antara umara dan ulama
diperbesar oleh banyak faktor yang kompleks. Masyarakat telah
jauh mengalami proses deferensiasi dan para ulama seakan-akan
hanya mengkhususkan diri dalam soal-soal keagamaan. Juga
perkembangan ilmu pengetahuan modern menyebabkan perbedaan
bidang antara ilmuwan dan ulama walaupun secara bahasa
sebenarnya kedua kata itu masih searti. Sekalipun demikian
pengaruh ulama pada masyarakat masih tetap besar sehingga
fatwa mereka sedikit banyak masih mempengaruhi legitimasi
pemerintahan. Dengan kalimat yang lebih singkat para ulama ini
bagaimanapun juga masih punya peranan politik. Karena itu
senantiasa ada usaha-usaha untuk merangkul para Ulama; baik
itu dilakukan oleh Partai Politik, atau golongan-golongan lain
yang ingin turut serta dalam pengambilan keputusan politik.
Dan seperti biasa, senantiasa ada ulama yang ingin tetap
merdeka dan ada pula yang memutuskan untuk bergabung dengan
kekuatan politik. semua ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat
modern sekalipun, agama masih memiliki peranan penting dalam
proses politik.

Pada abad kita sekarang masalah yang menonjol adalah
tarik-menarik antara agama dan kebangsaan sebagai dasar ikatan
kenegaraan. Hal ini muncul, sebagaimana umum diketahui, dari
proses modernisasi yang mulai di Eropa kemudian menyebar
keseluruh dunia. Gejala yang kita kenal adalah jatuhnya
imperium-imperium besar dan munculnya negara-negara kebangsaan
sebagai pengganti. Di dunia Islam mula-mula dasar ikatan
keagamaan dan kebangsaan bersama-sama digunakan sebagai dasar
untuk melawan imperialisme. Patriotisme dinyatakan sebagai
bagian dari iman. Di negara kita pada masa pergerakan nasional
juga muncul perlawanan dengan kombinasi keagamaan dan
kebangsaan. Pada Sarekat Islam misalnya istilah "selam" sama
artinya dengan "Bumiputera". Dengan kata lain menjadi muslim
sama artinya dengan menjadi Pribumi. Tetapi perkembangan
kemudian, terutama pada saat konsolidasi kemerdekaan,
menunjukkan meningkatnya persaingan antara kedua dasar ini
yang akhirnya dimenangkan oleh dasar kebangsaan. Hal ini tidak
saja terjadi di negeri kita tapi juga di negara-negara Islam
lannya. Di Turki misalnya, sekalipun semula Mustafa Kemal
Ataturk juga berusaha memperoleh legitimasi keagamaan untuk
perjuangan nasionalnya, pada akhirnya Turki modern lebih
didasarkan pada ikatan kebangsaan. Juga di negara-negara Arab,
ikatan keakraban kemudian lebih ditekankan daripada ikatan
ke-Islam-an. Dan sudah wajar bila dalam semua masyarakat itu
timbul persoalan hubungan antara ulama dan umara karena
keduanya merupakan peranan yang berbeda tetapi punya kaitan
dalam legitimasi politik. Dalam situasi serupa itu agama masih
senantiasa diperlukan untuk memberi motivasi religius pada
program-program yang sesungguhnya profan. Demikianlah agama
masih diharapkan menjadi pemberi motivasi untuk pembangunan,
untuk keluarga berencana dan untuk modernisasi itu sendiri.
Sehingga bagaimana pun juga peranan ulama senantiasa masih
cukup besar.

Seperti kita baca dari sejarah klasik Islam, proses itu sudah
mulai sejak berakhirnya masa Khulafa-n 'l-Rasjid-in. Kekuasaan
Islam yang semula bersumbu pada ikatan keagamaan (umat)
pelan-pelan terbawa kembali ke dalam ikatan kesukuan
(qabilah). Hal ini terus terjadi sampai kepada tergesernya
kekuasaan itu dari bangsa Arab sampai kemudian berakhir pada
masa Turki Usmani. Keumatan memang masih menjadi dasar
legitimasi tetapi kekuasaan riil mulai bertumpu kepada ikatan
kesukuan bahkan cabang-cabang keluarga. Dari segi agama
barangkali kita bisa menganggap ini sebagai kemerosotan,
tetapi dari segi sejarah tampaknya hal itu menunjukkan
kemustahilan menegakkan republik keagamaan dalam susunan
masyarakat feodal.

Pada masa kita sekarang jarak antara umara dan ulama
diperbesar oleh banyak faktor yang kompleks. Masyarakat telah
jauh mengalami proses differensiasi dan para ulama seakan-akan
hanya mengkhususkan diri dalam soal-soal keagamaan. Juga
perkembangan ilmu pengetahuan modern menyebabkan perbedaan
bidang antara ilmuwan dan ulama walaupun secara bahasa
sebenarnya kedua kata itu masih searti. Sekalipun demikian
pengaruh ulama pada masyarakat masih tetap besar sehingga
fatwa mereka sedikit banyak masih mempengaruhi legitimasi
pemerintahan. Dengan kalimat yang lebih singkat para ulama ini
bagaimanapun juga masih punya peranan politik. Karena itu
senantiasa ada usaha-usaha untuk merangkul para Ulama; baik
itu dilakukan oleh Partai Politik, atau golongan-golongan lain
yang ingin turut serta dalam pengambilan keputusan politik.
Dan seperti biasa, senantiasa ada ulama yang ingin tetap
merdeka dan ada pula yang memutuskan untuk bergabung dengan
kekuatan politik. Semua ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat
modern sekalipun, agama masih memiliki peranan penting dalam
proses politik.

Pada abad kita sekarang masalah yang menonjol adalah
tolak-tarik antara agama dan kebangsaan sebagai dasar ikatan
kenegaraan. Hal ini muncul, sebagaimana umum diketahui, dari
proses modernisasi yang mulai di Eropa kemudian menyebar
keseluruh dunia. Gejala yang kita kenal adalah jatuhnya
imperium-imperium besar dan munculnya negara-negara kebangsaan
sebagai pengganti. Di dunia Islam mula-mula dasar ikatan
keagamaan dan kebangsaan bersama-sama digunakan sebagai dasar
untuk melawan imperialisme. Patriotisme dinyatakan sebagai
bagian dari iman. Di negara kita pada masa pergerakan nasional
juga muncul perlawanan dengan kombinasi keagamaan dan
kebangsaan. Pada Sarekat Islam misalnya istilah "selam" sama
artinya dengan "Bumiputera". Dengan kata lain menjadi muslim
sama artinya dengan menjadi Pribumi. Tetapi perkembangan
kemudian, terutama pada saat konsolidasi kemerdekaan,
menunjukkan meningkatnya persaingan antara kedua dasar ini
yang akhirnya dimenangkan oleh dasar kebangsaan. Hal ini tidak
saja terjadi di negeri kita tapi juga di negara-negara Islam
lainnya. Di Turki misalnya, sekalipun semula Mustafa Kemal
Ataturk juga berusaha memperoleh legitimasi keagamaan untuk
perjuangan nasionalnya, pada akhirnya Turki modern lebih
didasarkan pada ikatan kebangsaan. Juga di negara-negara Arab,
ikatan keakraban kemudian lebih ditekankan daripada ikatan
ke-Islam-an. Dan sudah wajar bila dalam kesemua masyarakat itu
timbul persoalan hubungan antara ulama dan umara karena
keduanya merupakan peranan yang berbeda tetapi punya kaitan
dalam legitimasi politik. Dalam situasi serupa itu agama masih
senantiasa diperlukan untuk memberi motivasi religius pada
program-program yang sesungguhnya profan. Demikianlah agama
masih diharapkan menjadi pemberi motivasi untuk pembangunan,
untuk keluarga berencana dan untuk modernisasi itu sendiri.
Sehingga bagaimana pun juga peranan ulama senantiasa masih
cukup besar.

Bagi seorang yang beragama mungkin keadaan ini terasa sebagai
suatu dilema yang sulit. Yang terang kondisi ideal sebagaimana
terkandung dalam doktrin asal dan tradisi awal Islam sudah
tidak ada lagi. Hidup dalam kondisi seperti sekarang, maka
menurut hemat saya hubungan ulama dan umara itu bisa
diibaratkan sebagai hubungan antara dua gajah yang sama-sama
besar, dan umat merupakan lapangan di mana dua gajah itu
hidup. Bencana akan terjadi jika dua gajah itu bertarung. Tapi
lapangan itu akan sama porak-porandanya jika dua gajah itu
kawin. Karena itu suasana yang ideal adalah jika kedua gajah
itu merumput bersama-sama tetapi tidak bertempur dan tidak
kawin. Dalam bahasa yang lebih teknis, sebaiknya ulama tetap
berada pada posisinya yang merdeka sebagai pembawa nilai-nilai
agama dan hati nurani masyarakatnya. Sehingga mereka tetap
bisa berperan korektif ketika terjadi sesuatu kesalahan dalam
penggunaan kekuasaan. Demikian juga para Umara sebaiknya
menghormati kedudukan yang merdeka dari para ulama tanpa
berusaha "menggusur" atau "membeli" mereka. Sudah barang tentu
para umara harus senatiasa mendengarkan para ulama apalagi
karena fatwa mereka mempunyai pengaruh yang luas. Dengan
demikian ulama dan umara akan bertindak sebagai pengimbang
satu sama lain. Hanya jika perimbangan itu tetap terjaga dan
serasi maka kesejahteraan umat akan senantiasa terjaga.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: