Monday, December 3, 2007

HAK MILIK DAN KETIMPANGAN SOSIAL

HAK MILIK DAN KETIMPANGAN SOSIAL (1/8)
Telaah Sejarah dan Kerasulan

Oleh Masdar F. Mas'udi

Secara sederhana bisa dikatakan bahwa gejala ketimpangan
sosial itu bermula dari adanya lembaga pemilikan, atau hak
milik. Yakni suatu klaim dari seseorang atas suatu benda atau
bernilai benda yang tidak bisa diganggu gugat begitu saja oleh
klaim yang sama dari orang lain. Tanpa adanya pemilikan,
ketimpangan sosial tidak relevan muncul dalam kenyataan, juga
dalam perbincangan. Akan tetapi, untuk memproyeksikan suatu
kehidupan masyarakat manusia dimana klaim pemilikan tidak lagi
ada, semakin nyata sebagai utopi yang membawa petaka.
Komunisme, sebuah idiologi modern berkekuatan dunia, secara
sistematik dan penuh kekerasan telah berusaha mendiskreditkan
lembaga pemilikan itu. Namun apa yang terjadi di ujung kisah
petualangan mereka adalah arus balik yang tidak bisa dibendung
untuk menegakkan kembali apa yang sebelumnya telah mereka
nistakan.

Di lain pihak, dalam kapasitasnya sebagai ajaran kerohanian,
Islam justru mengakui dengan tegas keabsahan hak milik pada
orang per orang. Bahkan menobatkannya sebagai hak yang banyak
sedikitnya berbau sakral. Terhadap siapa saja yang secara
tidak sah merampas hak milik orang lain, Islam mengancamnya
dengan hukuman yang begitu berat, potong tangan. Wa 'l-sariq-u
wa 'l-sariqat-u fa aqtha'u aidaya huma jaza-an bima kasaba
nakal-an min al-Lah, wa 'l-Lah-u 'aziz-un hakim (Pencuri
lelaki maupun perempuan, potong saja tangan mereka sebagai
pembalasan atas apa yang mereka perbuat dan sebagai siksaan
dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana) (QS.
al-Maidah: 38). Juga hadits Rasulullah yang mengatakan, kalau
umat terdahulu rusak itulah karena apabila pelanggaran hak
milik seseorang dilakukan oleh kalangan terhormat mereka
membiarkannya begitu saja. Tapi apabila pelanggaran - itu
dilakukan oleh rakyat jelata, dengan serta merta mereka
menegakkan sanksi sekeras-kerasnya. Demi Allah, sekiranya
Fathimah, anak Muhammad, (Rasul sendiri, pen.) melanggar hak
milik orang lain, pasti akan saya potong juga tangannya. [1]

Tulisan ini merupakan usaha untuk mencoba memperjelas - insya
Allah - bagaimana Islam menjaga keseimbangan antara
kepentingan melindungi hak milik di satu pihak dan idealisme
untuk menghindari ketimpangan sosial, atau dalam bahasa
positifnya menegakkan keadilan sosial -suatu perseimbangan
yang pasti sangat rumit dan sekaligus labil. Sebab, kebanyakan
masyarakat telah gagal untuk, dalam rentang waktu relatif
lama, berdiri tegak memperjuangkan sosok keadilan. Kalau tidak
terpelanting ke kiri, mereka tergelincir ke kanan. Ironisnya,
yang terpelanting ke kiri maupun yang tergelincir ke kanan,
cenderung saling menuding dan bermusuhan. Sementara, nasib
keduanya sebenarnya tidak beda.

KETIMPANGAN ERA TRADISIONAL

Kalangan ilmuwan sosial [2] umumnya percaya bahwa pada
tahap-tahap awal perkembangan masyarakat manusia, dimana
kehidupan mereka bergantung pada kemampuan berburu hewan dan
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain,
persoalan hak milik belumlah ada, karena beberapa alasan.
Sebab, pertama, apa yang jadi kebutuhan manusia pada saat itu
masih terbatas sekedar untuk mempertahankan hidup secara
fisik. Yakni, kebutuhan makan, sandang dan papan. Itu pun
dalam ukuran yang benar-benar primitif. Untuk masalah pangan
asal bisa menahan rasa lapar; sandang asal bisa menutup
bagian-bagian tertentu dari anggota badan; dan papan asal bisa
sebagai tempat berlindung dari gangguan satwa liar. Pada tahap
yang lebih awal lagi, kebutuhan fisikal itu boleh jadi
terbatas hanya pada pangan.

Kedua, sementara bobot kebutuhannya masih sangat sederhana,
populasi manusia juga masih sangat terbatas. Dibanding dengan
luasnya planet bumi yang menjadi sumber penghidupannya, jumlah
mereka samasekali belum punya arti apa-apa. Setiap orang,
ketika itu, yakin apa yang jadi kebutuhannya, dapat terpenuhi
hanya dengan kerja tangan yang sederhana Ketiga, ikut
memperkuat kedua faktor tersebut di atas, yaitu masyarakat
manusia masih terasa ibarat satu keluarga (commune) yang
saling topang dan saling melindungi satu sama lain. Kalaupun,
sesudah melewati periode waktu yang sangat lama, persoalan hak
milik mulai muncul dalam kesadaran, maka hal itu lebih sebagai
klaim bersama atas barang (umumnya: bahan makanan) yang
dihasilkan oleh kerja bersama. Artinya, kalau saja muncul
persoalan hak milik, hal itu terjadi bukan sebagai klaim
perorangan, melainkan lebih sebagai klaim kelompoh vis a vis
kelompok yang lain. Tahap ini bisa disebut tahap komunalisme.

Persoalan hak milik mulai dihayati sebagai kepentingan
perorangan (individual) terjadi ketika masyarakat manusia
mulai cenderung menetap untuk membangun kehidupan di wilayah
atau lokasi tertentu. Pada tahap ini, penghidupan sudah mulai
bergeser ke olah pertanian. Dibanding dengan berburu, olah
pertanian tidak cukup hanya dengan modal tenaga fisik.
Perhitungan mengenai peredaran musim, sedikit banyak sudah
mulai dilibatkan. Seperti diketahui, pola penghidupan olah
tani ini lahir disebabkan oleh (atau lebih amannya,
berbarengan dengan) semakin terbatasnya lahan perburuan. Pada
tahap ini, meskipun pola komunal masih kawedar, akan tetapi
fungsinya untuk menjadi acuan bersama, dimana setiap orang
saling menopang dan melindungi, sudah tidak lagi sekuat pada
tahap sebelumnya. Dengan memilih tempat atau lokasi tertentu
untuk ajang penghidupan, secara perlahan masyarakat manusia
sudah mulai berhadapan dengan sumber alam yang terbatas, yakni
tanah pertanian seluas yang mereka klaim sebagai wilayah
garapannya. Pada mulanya ketika jumlah anggota dari satu
kelompok yang memilih tempat tertentu untuk penghidupannya
masih sedikit, kepentingan perorangan masih samar-samar. Akan
tetapi lama kelamaan, ketika jumlah anggota rombongan kelompok
makin banyak dan persediaan lahan penghidupan (tanah
pertanian) semakin terasa keterbatasannya, kepentingan yang
lebih sempit dari level kelompok mulai menyeruak ke permukaan.
Pada tahap ini kohesi kelompok yang utuh dan intern sedikit
demi sedikit mulai mengendor. Aliansi keluarga yang
terdiri-dari suami, istri dan anak sebagai intinya, mulai
menyatakan diri dengan segala kepentingannya yang cenderung
eksklusif.

Syahdan, persaingan lunak pun mulai menyeruak antara satu unit
keluarga dengan unit keluarga yang lain. Siapa diantara mereka
yang memiliki anggota lebih banyak, bekerja lebih giat, dan
atau berwatak lebih nekat, dengan sendirinya memiliki
kesempatan mengatasi pihak lain dalam memperluas tanah
pertanian dan sekaligus perolehan hasil-hasilnya. Sebaliknya
unit keluarga yang anggotanya sedikit, kurang sungguh-sungguh
dalam bekerja, dan atau cenderung menerima seadanya, sangat
boleh jadi hanya akan mendapatkan perolehan hasil yang
sedikit. Dan jika keluarga tersebut terakhir tidak berhasil
mengubah pandangan dan sikapnya, kekalahannya oleh keluarga
yang tersebut pertama menjadi semakin nyata. Tidak bisa
dihindari bahwa lambat atau cepat keluarga tersebut terakhir
yang lemah itu akan dipaksa oleh keadaan untuk melepaskan apa
yang ada di tangannya, atau bahkan dirinya sendiri sebagai
budak, kepada pihak tersebut pertama yang kuat sekedar untuk
menutup kebutuhan dasarnya. Di sini, kaidah "manusia (yang
kuat) menjadi serigala atas manusia yang lemah" seperti
dirumuskan Hobbes, mulai berperan sebagai tata kehidupan yang
dominan. Pada tahap ini (sebut: tahap feodalisme) apa yang
kita sinyalir dengan "ketimpangan sosial" benar-benar telah
menjadi kenyataan. Sebagian orang membubung ke atas dengan
kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru
melorot ke bawah dengan kemelaratan yang dideritanya.
Ketimpangan itu pada mulanya terjadi di bidang ekonomi, di
bidang pemenuhan kebutuhan materi. Akan tetapi tidak bisa
dipungkiri, dari ketimpangan ekonomi ini, segera menyusul
ketimpangan di bidang kehidupan yang lain-lainnya: politik,
budaya, dan bahkan agama. [3]

Pada tahap awal, ketimpangan ekonomi terlihat pada pola
pemilikan tanah. Karena, ketika itu, tanahlah satu-satunya
bentuk aset kekayaan dan juga modal. Pihak keluarga yang
muncul sebagai pemenang dengan sendirinya menguasai tanah yang
luasnya jauh melebihi kadar yang mereka perlukan. Sementara
yang kalah adalah mereka yang memiliki lebih sempit dari yang
diperlukan, atau bahkan tidak punya samasekali. Di antara
keduanya adalah pihak yang tidak kalah tidak menang, yaitu
mereka yang memiliki bagian tanah yang kurang lebih sepadan
dengan apa yang jadi kebutuhannya, atau lebih sedikit.

Memang, sejauh masih bertumpu pada satu obyek pemilikan, yaitu
tanah, kemungkinan akumulasi kekayaan masih relatif terbatas.
Yakni, sejauh persediaan tanah masih ada yang diperebutkan dan
pihak keluarga yang menguasainya pun merasa mampu mengurusnya,
langsung maupun melalui tangan orang lain yang ada dalam
kontrolnya. Ini berarti, kesenjangan sosial antara orang yang
paling kaya di satu pihak dan yang paling miskin di pihak
lain, pada masa itu relatif masih bisa diukur dengan skala
lokal. Orang yang kaya adalah mereka yang kaya di antara
penduduk di desanya. Dan cakupan kekayaannya pun umumnya
terbatas pada penguasaan tanah yang ada di wilayah desanya itu
saja. Akan tetapi, pola akumulasi kekayaan dan bataas
lokalitasnya yang sederhana ini kemudian jebol dengan
diketemukannya logam kuning yang diberi harga tinggi, yaitu
emas. Dengan emas, nafsu menghimpun kekayaan dapat dipenuhi
dengan cara yang ringkas dan tidak kentara. Kekayaan dalam
wujud tanah puluhan hektar, kini dapat disimpan hanya dalam
bentuk butiran/lempengan kecil yang bisa disimpan di bawah
bantal atau di dalam tanah.

Dengan demikian, kehadiran emas jelas telah memberikan
kemungkinan bagi adanya kesenjangan sosial yang jauh lebih
melebar, dan dalam kasus-kasus tertentu, lebih tidak bermoral.
Orang-orang miskin yang tinggal di seputar tuan tanah betapa
pun sengsaranya, masih terbuka kesempatan bagi mereka untuk
mencari penghidupan dengan, misalnya, bekerja sebagai buruh
tani di tanah milik tuan tanah tadi. Dengan berburuh tani,
mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, terutama
pangan, meski dalam ukuran yang pas-pasan. Sebaliknya, ketika
kekayaan dihimpun dalam lempengan emas, fungsi sosialnya
benar-benar telah ditiadakan.

KETIMPANGAN ERA MODERN

Apabila dengan kehadiran logam berharga berupa emas,
ketimpangan sosial dalam masyarakat feodalisme-tradisional
telah dikukuhkan, dalam masyarakat modern kapitalis,
ketimpangan itu lebih diperdalam lagi dengan dua hal. Yakni,
dengan dicanangkannya sistem ekonomi uang di satu pihak, dan
ditegakkannya lembaga perbankan dengan sistem ribanya di lain
pihak. Sebelum adanya lembaga bank, orang kaya yang berhasil
menyimpan sejumlah lempengan/perhiasan emas dalam rumah boleh
merasa puas untuk tidak menambah simpanan lagi, karena
repotnya memelihara dan menjaganya. Kini, dengan kehadiran
lembaga bank, kerepotan itu telah diatasi. Dalam bank, orang
kaya bisa dengan aman menyimpan emasnya, atau barang berharga
lainnya, sebanyak mungkin. Dan lebih dari sekedar tempat
menyimpan emas, bank menyediakan diri sebagai tempat menyimpan
uang dan sekaligus melipatgandakannya. Hampir semua orang kini
mengatakan bahwa sistem perbankan merupakan kebutuhan zaman
yang harus diterima karena fungsi sosialnya. Dengan "suntikan
darah"-nya berupa mata uang sebagai modal usaha, berbagai
kegiatan ekonomi bisa digerakkan dan darinya lapangan kerja
bisa disediakan. Melihat fungsi sosial ini, masyarakat pun
tersugesti untuk menerima kehadiran lembaga itu seutuhnya.
Hari demi hari, di hampir semua negeri, orang berebut
kesempatan untuk mendirikannya. Mulai dari pusat kota sampai
di tempat-tempat terpencil di desa, kini bisa ditemukan
jaringan-jaringannya.
Pengakuan atas keabsahan lembaga itu, pada mulanya diberikan
oleh kalangan awam dan pengusaha. Yang tersebut pertama
memberikan pengakuan, atau lebih tepatnya pembiaran, karena
merasa tidak punya urusan apa pun dengannya. Sedang pihak
tersebut kedua, pengusaha, memberikan pengakuan karena merasa
ada yang bisa dipetik dari padanya. Sebagai pengusaha, mereka
menemukan lembaga perbankan mampu menyediakan apa yang jadi
kebutuhan vitalnya, modal. Bahwa kemudian mereka terpaksa
memeras diri sendiri dan orang lain untuk dapat membayar
kembali dengan ribanya, adalah soal belakang.

Ikut tersugesti melihat lembaga bank dengan ribanya sebagai
satu-satunya pilihan untuk menggerakkan roda ekonomi
masyarakat, kalangan agama pun akhirnya ikut memberikan
pengakuannya. Suatu pengakuan (legitimasi) yang sebenarnya
tidak terlalu dipusingkan oleh lembaga perbankan sendiri
sebagai pembawa apinya. Karena, tanpa pengakuan mereka,
keberadaan lembaga riba ini sudah cukup mapan. Pengakuan itu,
tak pelak lagi, lebih merupakan kebutuhan dari kalangan agama
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. [4]

Pihak agama yang dimaksud di sini tidak lain adalah agama
Islam yang selama ini selalu menyatakan penolakannya, bahkan
kutukannya, terhadap segala macam praktek pembungaan uang.
Mengacu pada formalisme ajaran, sebagai ulama dan pemuka agama
Islam berpendapat bahwa bunga yang dikenakan lembaga perbankan
konvensional tidaklah mengapa. Dengan trik-trik hilah fiqhiyah
beberapa di antara mereka mengatakan bahwa secara formal bunga
bank masih bisa diselamatkan dari cap riba. Sementara beberapa
yang lain, dalam hati kecilnya, mengakui bunga bank itu riba.
Namun, karena tidak ada jalan lain untuk mengelak, mereka pun
berfatwa, "bunga bank memang riba, tapi riba yang bisa
dibenarkan. Karena, katanya tidak berlipat ganda." [5]

Sudah barang tentu, keberanian mereka berpendapat seperti itu
harus dihormati. Akan tetapi, pada saat yang sama, orang pun
boleh menyatakan bahwa dengan sistem bunganya, fungsi sosial
yang dimainkan oleh bank adalah fungsi sosial yang mungkar
(negatif). Bunga yang dikenakan oleh lembaga perbankan adalah
bagian paling inti dari sistem perekonomian kapitalis yang
sangat dikutuk Islam justru karena wataknya yang eksploitatif.
Dengan adanya sistem bunga tersebut, yang dalam Islam dikenal
dengan sebutan riba nasi'ah, kita tahu bahwa hanya para
pengusaha kuat saja dapat menikmati jasa permodalan bank
dengan leluasa. Berbeda dengan pengusaha kecil yang segera
akan hangus oleh panasnya bunga yang dipikulnya, pengusaha
kuat bisa bersiasat agar panasnya api itu tidak dipikul
sendiri. Pengusaha kuat, dengan jaringan dan perangkat
manajemennya, mampu membagi atau bahkan mengalihkan sama
sekali panasnya api riba ke tangan masyarakat luas melalui
sistem riba fadl maupun riba yad yang inheren dalam bangunan
perekonomian kapitalistis itu sendiri. [6]

Sebagaimana diketahui, dalam pemikiran muamalat Islam, riba
yang terkutuk itu ada tiga macam. Pertama, riba nasi'ah, yaitu
kelebihan (interest) yang diperoleh seseorang atas uang atau
kapital yang dipinjamkannya kepada orang lain. Kedua, riba
fadl adalah keuntungan yang diperoleh dari pertukaran (jual
beli) jasa maupun barang, secara tidak seimbang. Sedang yang
ketiga, riba yad, adalah keuntungan yang diperoleh dari
pertukaran jasa atau barang dengan cara mengulur waktu
pembayaran. Jika Islam melancarkan kutukannya yang pertama
kali adalah kepada riba nasi'ah, hal itu bukan karena riba
yang lain kurang eksploitatif. Tapi, karena riba nasi'ah
adalah penyulut dan pembuka jalan bagi munculnya riba-riba
yang lain. Dan dalam ketiga macam riba itu, yang selalu
diuntungkan adalah orang-orang yang lebih kuat, sedang
korbannya adalah mereka yang lemah. Dengan keperkasaan modal
dan manajemennya, pengusaha kuat yang menerima suntikan dana
bank mampu melancarkan jurus-jurusnya agar usaha yang dikelola
bisa mendatangkan untung (surplus value) berlipat ganda;
sebagian untuk dibayarkan kembali pada bank bersama modal, dan
sebagian yang lain untuk dirinya sendiri. Semuanya itu atas
resiko yang dibebankan kepada masyarakat yang masuk dalam
jaring-jaring usahanya.

Resiko pertama, akibat ulah pengusaha yang harus mendapatkan
untung sebanyak-banyaknya, ditanggung oleh masyarakat yang
menjadi kaki tangan usahanya, yakni kaum buruh atau tenaga
kerja. Sedikit ada guncangan, jumlah mereka bisa dikurangi.
Dalam iklim usaha seperti ini, salah satu ukuran manajemen
usaha yang baik, katanya, adalah yang mampu menekan jumlah
tenaga kerja sesedikit mungkin tapi dengan kesetiaan dan
keterampilan kerja yang setinggi mungkin. Tenaga kerja yang
sedikit kurang ahli atau kurang setia, harus segera dicarikan
penggantinya, kalau perlu dengan mesin robot atau sejenisnya.
Maka, dalam sistem ekonomi yang berazaskan riba, selain
pengangguran masal selalu menyertainya, secara politis posisi
kaum buruh cenderung diperlemah. Khawatir dipecat, kemudian
tidak dapat menghidupi diri dan keluarganya, mereka di-fait
accompli untuk menerima nasib sebagaimana adanya. Tapi
penekanan jumlah tenaga kerja saja belum cukup menjamin
keuntungan yang berlipat ganda. Atas nama efisiensi, jam kerja
juga harus dicanangkan sepanjang-panjangnya. Mulai pagi buta
sampai malam, orang harus memeras pikiran dan tenaga,
menghitung angka dan melayani mesin, untuk memenuhi ambisi
majikannya.

Di atas pundak masyarakat luas, resiko yang harus ditanggung
dalam sistem ekonomi riba di abad modern ini, tidak kalah
beratnya. Didesak oleh panasnya riba yang menyertai modal
usahanya, para pengusaha bersiasat keras untuk, di satu pihak,
menekan harga bahan baku yang umumnya dibeli dari masyarakat
dengan harga yang serendah-rendahnya, sedang di lain pihak,
harga komoditi yang mereka produksi dijualnya dengan harga
yang setinggi-tingginya. Sejauh produk yang mereka hasilkan
hanya mengena kalangan atas yang terbatas, mungkin tidak
mengapa. Tapi jika komoditas itu menyangkut kebutuhan
masyarakat luas dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan,
sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan informasi) tentu
akan sangat besar akibatnya. Sementara itu, masyarakat yang
terpepet dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, adalah masyarakat
yang lemah untuk tetap setia memenuhi keharusan-keharusan
moral dan etikanya.

Tapi, dampak negatif dari ekonomi riba, bagaimanapun tidak
berhenti sampai di situ. Pengusaha yang dibakar oleh panasnya
riba, jika ada kesempatan juga dapat membagi bebannya kepada
siapa saja. Beberapa pos pengeluaran seperti pajak yang harus
dibayarkan kepada negara, biaya penanggulangan dampak
industri, kewajiban menjaga kelestarian sumber daya alam dan
sebagainya, tidak mustahil akan ikut jadi permainan mereka.
Kalau perlu dengan memberi suap (risywah) kepada pihak-pihak
yang berwenang, yaitu aparat birokrasi atau penguasa.

Oleh sebab itu, jika orang berbicara tentang keuntungan besar
yang diberikan lembaga bank dengan sistem ribanya, maka
keuntungan itu pada hakikatnya hanya keuntungan materi yang
dinikmati oleh kalangan yang sangat terbatas saja. Pertama dan
terutama adalah para bankir yang memiliki dan mengendalikan
bank. Kemudian kedua, di bawahnya, kalangan pengusaha kuat
yang mampu memanfaatkan fasilitas modal dari bank. Lalu ketiga
para nasabah kakap yang sengaja membungakan uangnya agar bisa
hidup enak tanpa usaha. Dan keempat, terakhir, para nasabah
sedang dan kecil yang mendepositokan uangnya sekedar untuk
keamanan atau gengsi. Yang tidak boleh dilupakan, dari keempat
orang yang merasakan keuntungan lembaga bank dengan ribanya,
jika ditelusuri lebih jeli lagi, akan ditemukan fakta bahwa
seringkali pihak tersebut pertama, kedua dan ketiga, orangnya
adalah itu-itu juga. Sebagai bankir, sekaligus ia adalah
pengusaha besar dan pendeposito kaliber. Orang-orang seperti
ini jumlahnya sangat sedikit. Tapi jaringan permodalannya
sedemikian rupa, ibarat gurita raksasa yang selalu siap
menghisap darah masyarakat luas sebagai pangsanya. Itulah kaum
konglomerat, "anak sah" dari sistem perekonomian kapitalis
modern dengan lembaga ribanya.

Bagaimana dengan masyarakat luas yang berekonomi lemah dan
makan pun tidak menentu, lembaga bank tidak punya urusan
dengan mereka. Lembaga perbankan hanya berkepentingan dengan
orang-orang kaya kelas atas, atau mereka yang ada di kelas
menengah. Sistem perekonomian yang demikian sudah barang tentu
tidak layak memperoleh pembenaran dari agama, justru karena
misinya yang secara mendasar bertentangan dengan idealisme
sosial agama itu sendiri. Yakni, bahwa "kekayaan di bumi ini
seharusnya tidak dimonopoli kalangan tertentu saja." (QS.
al-Hasyr: 7).

AGAMAWAN SEBAGAI TERGUGAT

Rasanya memang tidak mungkin umat Islam bisa bersepakat secara
eksplisit mengenai perlunya setiap orang menumpuk kekayaan
sebanyak-banyaknya, seperti yang dikritik Weber di balik teori
Etika Protestannya. Akan tetapi, hal itu bukan berarti umat
Islam membenci kekayaan duniawi dan tidak mau mencarinya. Di
timur maupun di barat, umumnya umat Islam memandang kekayaan
materi yang melimpah di tangan seseorang sebagai sesuatu yang
tidak perlu dicurigai. Sebagian bahkan memandang kekayaan
materi sebagai salah satu tanda perkenan Tuhan kepada manusia
yang memilikinya. Pandangan yang apresiatif terhadap kekayaan
materi ini terkadang, malah dilegitimasikan dengan sunnah
Nabi. Sekiranya Islam membenci kekayaan materi, tentulah
Muhammad tidak akan menikahi janda yang kaya raya seperti
Khadijah. Lebih jauh lagi, dari sunnah itu mereka
berkesimpulan tentang pentingnya kerjasama antara tokoh
keagamaan di satu pihak dengan kalangan hartawan (aghniya') di
pihak lain. Sejajar dengan kategori aghniya' ini adalah para
elite masyarakat, termasuk di dalamnya, elite politik dan
penguasa.
Apakah kesimpulan yang demikian itu jujur, tidak akan dibahas
di sini. Yang jelas, pola persekutuan antara tokoh keagamaan
di satu pihak dengan kalangan kaya dan penguasa di lain pihak
merupakan fenomena sosial yang umum terjadi di kalangan umat
agama mana saja. Pada abad pertengahan di Eropa, persekutuan,
bahkan kemanunggalan, antara Gereja dengan kalangan tuan tanah
dan elite penguasanya merupakan fakta sejarah yang sangat
kesohor kisahnya. Sebagaimana di kalangan umat Kristiani dan
umat agama lain, hal itu masih berlangsung sampai sekarang. Di
kalangan umat Islam pun demikian. Sampai dengan waktu belum
lama ini, para pelajar Islam sebagai calon-calon pemimpin
agama, baik yang dididik di perguruan modern maupun di
perguruan tradisional, obsesinya yang pertama adalah bagaimana
bisa menjalin persekutuan dengan kalangan berharta dan
penguasa. Kalau perlu, persekutuan itu bisa dikukuhkan dalam
bentuk ikatan perkawinan, seperti demikian dalihnya Nabi
sendiri telah mencontohkannya. Dan sampai batas tertentu,
keluarga kaya pun cenderung menyimpan harapan agar anak atau
keluarga dekatnya bisa dijodohkan dengan seorang lelaki yang
bakal tumbuh sebagai pemuka agama yang dianutnya.

Dari sudut formal keagamaan, persekutuan tokoh keagamaan
dengan kalangan hartawan, tidaklah mengapa. Tapi pengalaman
menunjukkan bahwa persekutuan serupa, cenderung menumpulkan
kepekaan pihak agama sendiri terhadap fenomena ketimpangan
sosial yang terjadi antara golongan kaya dan golongan yang
tidak punya. Yang demikian ini nampak jelas pada sikap
ambivalensi masyarakat beragama, tak terkecuali Islam, bahkan
yang hidup di lingkungan tradisional atau semi tradisional.
Untuk yang tersebut terakhir ini, umumnya mereka menjadikan
kitab-kitab sufistik, yang cenderung mencela kekayaan materi
(duniawi), sebagai rujukan tingkah laku lahir maupun batinnya.
[7] Akan tetapi pada saat yang sama, mereka tidak merasa
risih, bahkan berbangga, dengan tingkat kehidupan materi yang
melimpah, jauh di atas rata-rata masyarakat sekitarnya.

Memang, buat mereka selaku penguasa ajaran, tidak ada
kesulitan untuk mencari kontra pembenaran, baik dari sudut
pandangan syari'at maupun hakikat. Dari sudut syari'at,
misalnya, mereka dapat mengatakan bahwa sebaik-baik harta
adalah yang ada di tangan sabda Rasulullah. Misalnya hadits
yang mengatakan bahwa sebaik-baik harta adalah yang ada di
tangan orang salih. Sementara, di mata sendiri maupun di mata
umatnya, orang yang paling berhak disebut dengan predikat
kesalihan, tentulah para tokoh keagamaan itu sendiri.

Oleh sebab itu tidak mengherankan jika di kalangan umat
berkembang anggapan bahwa kekayaan materi di tangan para tokoh
keagamaan secara substansial berbeda dengan yang ada di tangan
pihak lainnya. Jika kekayaan pada pihak tersebut terakhir ini
merupakan cobaan dan fitnah, maka kekayaan di tangan pihak
tersebut pertama adalah anugrah dan rahmat. Itulah mengapa,
tidak seorang dari kalangan umat pernah memperlihatkan sikap
kritisnya terhadap kehidupan pemimpin keagamaan yang kaya, dan
pergaulannya pun selalu dengan orang-orang kaya, pada saat
umatnya sendiri hidupnya penuh sengsara. Sebuah ayat dalam
al-Qur'an tidak jarang dikutip sebagai pembenar atas kenyataan
itu, "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya akan
diberikan kepadanya jalan keluar (dari setiap kesulitan) dan
dilimpahkan kepadanya rezeki yang di luar perhitungan" (QS.
al-Thalaq: 3). Dalam konteks ini, kata-kata rezeki tidak
mereka tafsiri lain, kecuali anugrah kekayaan materi dalam
jumlah yang berlebih.

Sesungguhnyalah, persekutuan tokoh keagamaan dengan kalangan
kaya tidak bisa dinilai buruk dalam dirinya. Agama,
bagaimanapun, merupakan rahmat ketuhanan untuk segenap manusia
tak peduli miskin maupun kaya. Maka pertanyaannya bukan apakah
persekutuan antara tokoh keagamaan dengan kalangan kaya itu
boleh atau tidak, melainkan untuk keuntungan siapa sebenarnya
persekutuan itu harus dibina. Dalam pada itu, yang paling
diuntungkan dari persekutuan mereka tampaknya bukan yang
paling berhak menerimanya, yakni orang-orang kecil, lemah dan
tak berdaya. Keuntungan itu, sadar atau tidak, lebih banyak
diperuntukkan buat kepentingan para tokoh keagamaan sendiri
dan, tentu saja, sekutunya - orang-orang kaya itu tadi.
Bagaimana dengan kalangan masyarakat (umat) yang lemah,
agaknya tidak banyak yang dapat mereka harapkan. Sejak semula,
persekutuan tokoh keagamaan dengan kaum hartawan rupanya
memang bukan dimaksud untuk memecahkan derita mereka. Dan,
bisa dipastikan, sebagai umat yang menerima peta kebenaran dan
keutamaan hidup dari para tokoh keagamaannya, kalangan
masyarakat lemah sendiri tidak pernah punya harapan seperti
itu. Agama, demikian keyakinan umat sesuai piwulang para
ulamanya tidak ada urusan apa pun dengan kemiskinan dan
ketimpangan sosial yang diderita umatnya. [8]

BELAJAR DARI PENGALAMAN

Namun demikian, sejak persoalan kemiskinan dan ketimpangan
sosial mulai memasuki sejarah pergumulan masyarakat manusia,
bukan tidak pernah ada upaya untuk mengatasinya. Banyak cara
dan upaya telah dicoba yang secara garis besarnya berkisar
pada tiga pendekatan. Sebagai pengalaman sejarah, kita patut
menyimaknya dengan apresiasi dan sekaligus kritis agar bisa
ditemukan hikmat dan pelajaran daripadanya. Ketiga pendekatan
yang dimaksud adalah: pendekatan pasivisme-religius,
pendekatan sekularisme-kapitalis, dan materialisme-komunis.

Berangkat dari paradigma fatalistis yang mengatakan bahwa
segala sesuatu telah ditentukan langsung oleh Tuhan, penganut
pendekatan pertama, pasivisme-religius, pada dasarnya tidak
begitu peduli dengan soal kemiskinan ataupun ketimpangan
sosial. Ada atau tidak adanya kemiskinan dan ketimpangan
sosial bukanlah urusan manusia, tapi sepenuhnya urusan Tuhan.
Pandangan sosial seperti ini dapat ditemukan dalam tradisi
teologi umat mana saja, termasuk di dalamnya umat Islam. Di
kalangan muslim, pandangan ini dicarikan pembenarannya, antara
lain, dari ayat al-Qur'an yang dipahami secara terpotong,
seperti berikut, "Nahnu qasamn-a baina-hum ma'isyata-hum fi
'l-hayat-i 'l-dunya wa rafa'na ba'dla-hum fauqa ba'dl-in
darajat - Kamilah yang menentukan penghidupan mereka, dan Kami
tinggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat" (QS. al-Zukhruf: 32). Juga dalam ayat lain yang
dikatakan, "Wa 'l-Lah-u fadldlala ba'dlakum 'ala ba'dl-in
firriqi - Tuhan telah melebihkan rezeki sebagian kamu atas
sebagian yang lain" (QS. al-Nahl: 71). Kaya (dengan pemilikan
yang banyak) atau miskin (pemilikan yang sedikit), adalah
wujud dari kehendak Tuhan. Meskipun mengacu pada ayat suci,
pandangan ini mengandung kelemahan yang mendasar. Lahir dari
pemahaman yang kesalahan karena mengambil pesan secara
sepotong. Pandangan tersebut sekaligus mengandung pengingkaran
yang sewenang-wenang terhadap idealisme al-Qur'an agar manusia
selalu aktif mengupayakan keadilan dalam kehidupan sosialnya.
Orang-orang yang bertanggung jawab atas berkembangnya paham
pasivisme-keagamaan ini tidak pernah mau memahami struktur
ayat-ayat dalam al-Qur'an; mana bagian yang berbicara tentang
das sein (realitas yang ada, selalu fakta) dan mana yang
berbicara perihal das sollen (realitas ideal sebagai
cita-cita). Bagian ayat kategori pertama berfungsi membeberkan
realitas yang menjadi tantangan ikhtiyar kekhalifatan manusia.
Sementara, bagian ayat kategori kedua berfungsi untuk
menegaskan tujuan, ke mana seharusnya ikhtiyar manusia itu
ditambatkan. Pemahaman ajaran secara doktriner, seperti yang
ditebarkan di kalangan umat selama ini, cenderung meletakkan
semua ayat sebagai acuan tentang "das sollen", apa yang
seharusnya ada.

Karena apa yang senyatanya ada (realitis kini) dipahami
sebagai yang seharusnya ada, maka yang terjadi adalah
kemandegan sejarah. Prinsip aktivisme yang ditekankan oleh
al-Qur'an kemudian ditukar balik dengan prinsip pasivisme.
Akibatnya ayat-ayat al-Qur'an yang mendesakkan ikhtiyar
mengubah nasib dan memperbaiki kehidupan dilumpuhkan
fungsinya. Seperti desakan ikhtiyar dalam surat al-Ma'un,
"Ara'ait-a 'l-ladziy yukadzdzib-u bi 'l-din, fadzalika
'l-lazdiy yadu'u 'l-yatim wa la yakhudldlu 'ala tha'ami
'l-miskin -Tahukah kamu siapakah orang yang mendustakan agama?
Dialah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mau
mengusahakan secara serius persoalan makan (kebutuhan dasar)
bagi orang-orang miskin."

Semua orang Islam, tokoh maupun awam, mengenal baik ayat-ayat
ini. Dalam setiap waktu hampir selalu dibaca. Akan tetapi,
sepanjang sejarahnya yang lebih dari sepuluh abad, ternyata
belum juga berhasil menggerakkan umat Islam merumuskan konsep
yang tangguh untuk mengatasi derita kemiskinan dan ketimpangan
sosial yang diprihatinkannya.

Seperti diungkapkan oleh bagian ayat QS. al-Zukhruf: 32 dan
QS. al-Nahl: 71 tersebut di atas, dalam kehidupan nyata memang
selalu saja ada perbedaan antara penghidupan seseorang satu
dengan yang lain. Di samping ada lapisan masyarakat yang
berpenghidupan sebagai petani atau banpol, ada juga yang
berpenghidupan sebagai direktur, pengusaha atau jenderal.
Dengan bakat serta keterampilan yang berbeda-beda penghasilan
seseorang dan derajat sosialnya cenderung tidak sama.
Mengemukakan adanya pelapisan sosial, karena perbedaan peran
sosial, adalah fungsi obyektivitas al-Qur'an. Obyektivitas
adalah prinsip keilmuan untuk melihat realitas sebagaimana
adanya. Tapi obyektivitas keilmuan bukanlah segalanya. Merasa
puas dan kemudian berhenti hanya pada obyektivitas keilmuan
adalah kedhaliman yang nyata. Obyektivitas keilmuan hanya akan
punya, makna jika diikuti dengan segera oleh subyektivitas
keagamaan (religious consciousness), yang tidak lain adalah
pemihakan untuk melakukan perubahan.

Demikianlah, pemaparan al-Qur'an atas fakta obyektif berupa
perbedaan peran dan kemudian derajat sosial dalam masyarakat
manusia segera disusuli, pada ayat yang sama, dengan desakan
agar hal itu harus diwaspadai dengan sikap kritis jangan
sampai berdampak pada terbentuknya hubungan eksploitatif oleh
mereka yang di atas terhadap saudaranya yang ada di bawah.
Jika hubungan eksploitatif itu terjadi - dan nyatanya memang
sering terjadi hendaklah orang yang membaca QS. al-Qur'an
berusaha mentransformasikannya pada pola hubungan saling
melayani (sebagaimana ditegaskan oleh bagian akhir dari QS.
al-Zukhruf: 32), di mana yang kuat bisa dipaksa, kalau tidak
mau secara sukarela, mengembalikan kelebihan yang diperoleh
bagi kepentingan orang lain yang kekurangan dan lemah (seperti
yang ditegaskan oleh bagian akhir dari QS. al-Nahl: 71).
Memang harus tetap diakui, pendekatan pasivisme keagamaan ini
bukan tidak punya keprihatinan atas kemiskinan sebagai derita
kehidupan. Akan tetapi, sekali lagi karena bagi mereka
kemiskinan terjadi karena takdir Tuhan, dan oleh sebab itu
harus diterima dengan segala kepasipan, maka apa yang mereka
lakukan terhadap persoalan itu cukup sederhana: Beri
orang-orang miskin santunan; berupa makanan, pakaian, uang
atau lainnya. Suatu treatment yang benar-benar bersifat
formalistis dan karitatif; semata-mata menuruti perintah
ajaran untuk meringankan beban orang miskin. Tidak pernah jadi
pemikiran mereka, apakah dengan santunan itu si miskin bisa
mengentaskan diri dari derita kemiskinannya. Bagi mereka,
itulah urusan Tuhan: Jika dikehendaki, seketika ia bisa kaya
raya. Tapi jika tidak, usaha apa pun yang dilakukan manusia,
kemiskinan tetap menimpanya.

Menyusul pendekatan pasivisme-religious adalah pendekatan
sekularisme-kapitalis. Apabila pendekatan pertama mengatakan
kemiskinan merupakan urusan Tuhan, pendekatan kedua
mengatakan, seperti halnya persoalan hidup lainnya, kemiskinan
pun merupakan persoalan manusia. Kalau mau dan tahu jalannya,
manusia bisa mengatasinya, dengan kekuatan sendiri. Tuhan
tidak punya urusan dengan soal-soal seperti ini. Hanya, yang
menjadi persoalan mereka, apakah memang perlu kemiskinan itu
diatasi? Bertolak dari pendirian segala sesuatu kemiliki
kegunaan (fungsi)-nya sendiri bagi tertib kehidupan,
pendekatan kedua berpendapat, kemiskinan tidak boleh
ditiadakan. Membiarkan kemiskinan yang 'keterlaluan' memang
tidak bijaksana, akan tetapi melenyapkannya juga bisa
berbahaya. Oleh sebab itu yang penting bukan mengatasi
kemiskinan, melainkan mengendalikannya agar tidak sampai
merusak tatanan. [9]

Mengemban bias kalangan kaya, penganut paham ini memandang
kemiskinan sepenuhnya terjadi atas kesalahan atau kekurangan
yang ada pada diri orang-orang miskin itu sendiri. Yaitu,
karena mereka tidak memiliki sifat-sifat pribadi yang lazim
dimiliki oleh teman-temannya yang kaya. Misalnya: keuletan
mencari duit, gemar menabung, jeli melihat kesempatan usaha,
keterampilan berwiraswasta, dan sebagainya. Oleh sebab itu,
satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib si miskin, jika
dianggap perlu, adalah pendidikan sebagai upaya pengembangan
sumberdaya untuk menanamkan sifat-sifat tersebut pada diri
pribadi orang-orang miskin. Kemiskinan adalah suatu fenomena
yang berskala perorangan, dan karena itu harus didekati juga
dalam skala perorangan. Realitas sosio-struktural, di mana
orang-orang kaya dan kalangan mapan lainnya menyandarkan
kepentingannya, tidak ada sangkut paut apa pun dengan masalah
kemiskinan.

Sementara itu mempersiapkan orang miskin menjadi berpotensi
kaya -dengan strategi pendidikan- memerlukan modal yang tidak
sedikit. Untuk pendidikan perlu banyak sarana dan prasarana
yang tidak murah. Sesudah pendidikan modal usaha juga harus
disediakan. Artinya, bahwa program memecahkan kemiskinan, pada
ujungnya bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh masyarakat
miskin itu sendiri, tapi oleh orang-orang kaya juga. Dengan
demikian, usaha mengatasi kemiskinan, menurut teori ini, akan
selalu ditunggangi oleh kepentingan pihak kaya dalam
mempertahankan kekayaannya di satu pihak dan melanggengkan
ketergantungan si miskin kepada mereka di lain pihak. Apa yang
dilakukan negara-negara kapitalis terkemuka kepada
negara-negara dunia ketiga belakangan ini memperlihatkan
dengan jelas skenario tadi.

Meski begitu, paradigma sekular-kapitalisme ini bukan tidak
punya daya tarik. Buat banyak orang yang gampang silau dengan
kekayaan dan (karena itu) kurang mau berpikir sedikit lebih
kritis, daya tarik itu terletak pada tercapainya tingkat
kemakmuran material dalam masyarakat yang sejak lama
menerapkan konsep kapitalisme secara seksama. Misalnya
Amerika, Jepang dan beberapa negara di Eropa Barat. Seperti
diketahui, tingkat pendapatan per kapita di negara-negara ini
memang yang tertinggi di antara semua negara lainnya. Akan
tetapi apabila kita lihat lebih teliti dan dalam perspektif
sosial yang lebih luas, akan segera terasa bahwa paradigma
sekular-kapitalisme ini tetap merupakan musuh keadilan yang
wajib diperangi, karena beberapa bukti. Pertama, di lingkup
masyarakat yang menerapkan konsep itu sendiri, ketimpangan
sosial antara golongan kaya dan yang miskin cenderung semakin
tajam. [10] Bahkan lebih tajam dibanding yang terjadi di
kalangan masyarakat lain yang tidak menerapkannya. Kedua,
apabila jumlah orang miskin di lingkungan masyarakat kapitalis
yang kaya raya bisa diperkecil, hal itu sebenarnya terjadi
atas biaya kemiskinan masyarakat bangsa-bangsa lain yang masuk
dalam jaringan dan perangkapnya. [11] Proses globalisasi
ekonomi yang kini tengah terjadi, pada hakikatnya adalah
momentum besar bagi kekuatan kapitalis untuk memperluas
jaringan dan perangkapnya tadi.

Tidak kalah mendasar dari keberatan-keberatan tadi adalah yang
berkaitan dengan pandangan kemanusiaan dari teori
sekular-kapitalisme itu sendiri. Dengan menjunjung tinggi
kebebasan individu untuk meraih kebahagiaan
setinggi-tingginya, kedengarannya paradigma kapitalisme sangat
manusiawi dan sejalan dengan misi universal agama-agama. Akan
tetapi, karena apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dalam
slogan itu, sesuai iman sekularitisnya, adalah kebahagiaan
duniawi, maka yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat
penganut paham ini adalah jaminan bahwa dukungan bagi setiap
orang untuk mengumbar nafsu ketamakan dan kerakusannya; suatu
masyarakat yang dalam al-Qur'an dilukiskan sebagai "masyarakat
yang selalu berdaya upaya untuk menghimpun kekayaan
sebanyak-banyaknya karena mengira kekayaan itulah yang bakal
menjamin kelangsungan hidupnya" (QS al-Lumazah: 2-3). Dan
untuk itu dukungan bukan saja diberikan oleh sistem politik
dan ekonomi, tetapi juga oleh sistem budaya, keilmuan, dan
juga agama.

Sementara itu, semua orang tahu bahwa obyek ketamakan dan
kerakusan kapitalistik ini adalah sumberdaya alam yang
terbatas persediaannya; sumberdaya alam yang tidak bakal
memuaskan hawa nafsu setiap orang yang memujanya. Oleh sebab
itu dari masyarakat penganut paham sekular-kapitalistis ini
akan selalu disaksikan - dan semua kita kini telah menyaksikan
- sikap dan tingkah laku keras kepala mereka dalam meriskir
dua hal yang sangat berbahaya, bukan saja bagi moralitas
keadilan tapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia itu
sendiri secara keseluruhan. Yakni, pertama adalah derita
kesengsaraan orang-orang yang kalah dan terlempar dalam
menghadapi kerakusan mereka; dan kedua eksploitasi gila-gilaan
atas kekayaan alam yang dapat mengancam daya tahan dan
keselamatannya. [l2]

Memang, kepada kita sering dipertontonkan sikap iba mereka
melihat bumi yang terus diperkosa dan melihat orang-orang
kalah yang semakin tak berdaya. Berbagai aksi karitas untuk
melindungi kekayaan alam berupa flora maupun fauna di satu
pihak, dan berbagai uluran tangan kedermawanan untuk
negara-negara miskin yang menderita kelaparan atau musibah
bencana alam di pihak lain, memperlihatkan dengan mencolok
sikap iba dari mereka. Akan tetapi, sangat boleh jadi semuanya
itu hanya tipu muslihat untuk menina-bobokkan orang-orang yang
tidak waspada. Buktinya, begitu mereka didesak untuk mengubah
tata kehidupan (ekonomi dan politik, terutama), dengan mana
kelestarian bumi manusia dan orang-orang yang kalah (umumnya
di dunia ketiga) bisa dilindungi secara struktural, tanpa
pikir panjang hati dan mulut mereka segera menyatakan
penolakannya. Jalan buntu yang terjadi dalam berbagai
perundingan Utara-Selatan dan perundingan global lainnya
mengenai kedua hal tersebut merupakan bukti nyata atas sikap
dasar penganut paradigma sekular-kapitalisme ini.

Selanjutnya yang ketiga adalah pendekatan
materialisme-komunis. Sebagai antitesis terhadap pendekatan
pertama dan kedua, pendirian dasar dari pendekatan ketiga ini
adalah bahwa kemiskinan bisa diatasi, dan harus diatasi, bukan
oleh Tuhan atau oleh belas kasih orang kaya, melainkan oleh
orang-orang miskin itu sendiri. Terhadap kedua pendekatan
tersebut pertama, pendekatan ketiga menuduh mereka sebagai
sama-sama telah meninabobokkan golongan miskin untuk menuntut
hak-haknya yang terampas dari tangan golongan kaya. Bedanya,
pendekatan pertama (pasivisme-religius), meninabobokkan kaum
miskin, dengan janji-janji sorganya. Pendekatan kedua
(sekular-kapitalisme), menina-bobokkan orang miskin dengan
trik-trik karitas gaya sinterklasnya.

Pada level individual pendekatan ketiga diaktualisasikan,
antara lain, melalui aksi ala Robin Hood dengan mengambil
kembali hak-hak material miskin dari tangan orang-orang kaya
secara paksa. Dalam Islam, sejauh aksi sepihak itu dilakukan
sebagai penyelesaian darurat oleh orang yang benar-benar
terpepet, secara relatif bisa dipahami. "Al-darurat-u tubih-u
'l-mahdhurat - Keterpepetan yang sangat dapat membolehkan yang
semula dilarang"; dan "al-masyaqqat-u tajlib-u 'l-taisir -
Kesengsaraan bisa membuka keringanan".

Pernah suatu ketika, beberapa budak milik Hathib bin Abi
Balta'ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan
menyembelihnya. Menerima pengaduan, Umar bin Khattab r.a.
tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu
bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa
sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpepet untuk
mengisi perut karena ditelantarkan oleh majikannya. Umar yang
khalifat benar-benar marah. Hathib segera dipanggil dan
dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya.
Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala
tuntutan. [13]

Pada level kolektif, penclekatan ketiga yang komunistis ini
diaktualisir secara besar-besaran dan penuh kedengkian melalui
perjuangan politik berskala massif. Di Indonesia, hal itu
pernah terjadi, ketika awal tahun, 60-an sejumlah petani yang
tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI) secara sepihak
mengkapling tanah ladang atau sawah milik orang-orang kaya di
desanya. Memang, diantara semua sistem sosial modern yang ada,
komunisme patut memperoleh pujian sebagai yang paling lantang
menyuarakan kepentingan orang-orang yang tidak punya. Dan
kalau kita mau jujur, pesan moral setiap agama ketuhanan
memang begitu adanya atau bahkan lebih. Akan tetapi karena
cacat mendasar pada akidah (filosofi) maupun syari'ah
(kerangka institusional)-nya, komunisme pun gagal dan patut
digagalkan. Cacat akidah, terletak pada pandangannya terhadap
hakikat manusia sebagai tidak lebih dari fenomena material
belaka. Suatu pandangan kemanusiaan yang menurut kisah
kejadian diintrodusir pertama kali oleh tokoh antagonis yang
bernama Iblis. Dalam percakapannya dengan Tuhan, Iblis pernah
menyatakan pandangannya tentang manusia sebagai makhluk yang
tercipta hanya dari tanah liat. [14] Hakikat manusia sebagai
ruh yang memiliki persambungan transendental dengan Tuhan,
diingkarinya. Karuan saja, konsepsi keadilan manusiawi yang
ditawarkan oleh pandangan kemanusiaan madzhab ini menjadi
begitu naif. Konsep keadilan yang sebenarnya sangat sublim,
diredusir sedemikian rupa menjadi hanya terbatas pada aspek
ekonomi dengan pengertian kesamarataan hak-hak materi. Mereka
mengira bahwa hanya dengan terpenuhinya kebutuhan materi,
sempurna sudah semua cita-cita hidup manusia.

Pada level syari'at (pelembagaan)-nya, kenaifan mereka lebih
kentara lagi. Meskipun selalu berangkat dari klaim kepentingan
rakyat kecil, kaum proletar, akan tetapi apa yang diperbuat
oleh komunisme sebagai sistem sosial dan politik tidak lain
adalah pemancangan secara paksa dominasi segelintir orang yang
berkuasa atas mayoritas rakyat yang tidak berdaya - atau
sengaja dibikin tidak berdaya. Atas nama kepentingan kaum
miskin, elite penguasa mengklaim kewenangan yang haram
dibantah. Akibatnya, harga kemanusiaan (human dignity) sebagai
makhluk moral dan spiritual dinistakannya samasekali.
Kebebasan berpikir dan berkeyakinan, sebagai prasyarat mutlak
bagi aktualisasi hakikat kemanusiaan yang ruhani, dianggap
absurd. Maka, meskipun kesenjangan ekonomi di negara komunis
relatif lebih terjembatani, dibanding di negeri-negeri lain
yang menganut pendekatan pasivisme-religius dan
sekular-kapitalisme, akan tetapi kesenjangan di bidang
non-ekonomi, sangatlah lebar. Di sana hanya segelintir orang
memiliki kebebasan berbicara dan berpendapat, sementara
mayoritas yang sangat besar hampir-hampir tidak mengenalnya
samasekali.

KEKAYAAN MATERI: SISI PANDANGAN ISLAM

Berpijak pada kodratnya sebagai ajaran keruhanian,
berkali-kali Islam menegaskan bahwa realitas kebendaan,
bagaimanapun, merupakan realitas yang terendah, dan kesadaran
kebendaan juga kesadaran yang terendah. Kata-kata al-dunya,
yang digunakan al-Qur'an untuk menunjuk realitas kebendaan itu
sendiri, secara harfiyah artinya adalah rendah. Namun
demikian, dunia kebendaan yang rendah itu bukan tidak punya
fungsi dalam keseluruhan misinya. Justru dalam pergumulan
dengan dan dalam hal-hal material kebendaan itulah manusia
ditempa (diuji al-Qur'an) oleh Tuhan apakah ia berhasil
memenuhi perannya sebagai khalifah di muka bumi. Maka,
dibanding ajaran keruhanian lainnya, dalam hal kebendaan ini,
Islam begitu terbuka. Sikap berpantang terhadap hal-hal
duniawi tidak pernah memperoleh rekomendasi yang
menggembirakan dari ajaran Islam. Apalagi jika sampai membawa
risiko penyiksaan terhadap diri sendiri. [15]
Mengklaim dirinya sebagai agama fitrah, Islam mencoba
meletakkan kekayaan materi pada proporsinya. Bergumul dengan
hal-hal duniawi, bagaimanapun tidak mungkin dihindari oleh
manusia sebagai makhluk yang berdarah daging. Tapi, karena
hakikat manusia itu bukanlah pada daging dan darahnya,
melainkan pada ruhaninya, maka janganlah manusia memandang
materi belaka sebagai tujuan hidupnya. Mencari keduniaan dan
menguasai (memiliki)-nya semata-mata untuk keduniaan,
dikecamnya sebagai kebodohan yang nyata. Ayat-ayat al-Qur'an,
terutama yang dicanangkan pada periode peletakan dasar
keimanan (ayat Makiyah), begitu jelas kutukannya terhadap
pandangan sekularisme dan materialisme yang mempertuhankan
benda, "Berlomba untuk menumpuk kekayaan telah membuat kalian
lupa (akan hakikat hidup), sampai kalian masuk ke liang kubur"
(QS al-Takatsur:1,2). "Celakalah setiap orang yang suka
mengumpat dan mencaci; yang menghimpun materi dan
menghitung-hitungnya. Dikiranya kekayaan itulah yang akan
mengekalkan hidupnya" (QS al-Humazah: 1,2,3). "Wa ma
'l-hayat-u 'l-dunnya illa mata'-u 'l-ghurur - Kehidupan
duniawi itu semata kesenangan yang menipu" (QS. Ali 'Imran:
185).

Oleh sebab itu, dengan keterbukaannya terhadap aspirasi
kebendaan, al-Qur'an tidak pernah satu kali menggesa manusia
untuk memiliki dan menumpuk kekayaan materi
sebanyak-banyaknya. Boleh jadi alasannya sederhana: tanpa
digesa dengan ayat suci pun manusia sudah bergegas mencari dan
menumpuknya atas dorongan nafsunya sendiri. Maka, yang sering
dipesankan al-Qur'an justru agar manusia selalu bersikap
kritis dan waspada terhadap godaan materi. Materi itu perlu
dan boleh dicari. Tapi bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai
sarana untuk mengaktualisasikan hakikat dirinya yang ruhani.

Untuk itu Tuhan menyatakan, apa yang Dia ciptakan di bumi ini,
yang kesemuanya bersifat material duniawi, adalah untuk
memenuhi keperluan umat manusia, seluruhnya. "Huwa 'l-ladzi
khalaqa lakum ma fi 'l-ardli jami'an - Dialah yang menciptakan
apa-apa yang ada di bumi untuk kalian semuanya" (QS.
al-Baqarah: 29). Ayat seperti ini, yang dinyatakan tidak hanya
sekali, jelas membenarkan manusia untuk bergumul dengan materi
dan memilikinya. Akan tetapi, bersama dengan pembenaran itu,
ada dua prinsip yang kebanyakan orang justru cenderung
melupakannya. Pertama, tersedianya materi adalah untuk
dikuasai oleh manusia sebagai sarana bagi aktualisasi hakikat
dirinya yang ruhani. Jangan sampai dibalik, hakikat diri yang
ruhani justru dikorbankan bagi khayalan-khayalannya yang
bersifat materi. Prinsip kedua, pemanfaatan sarana materi yang
tersedia di bumi Tuhan ini bukan monopoli satu golongan, tapi
hak bagi manusia seluruhnya. Apa pun kedudukannya, dimana pun
tinggalnya, dan kapan pun angkatan generasionalnya, setiap
manusia berhak mengambil manfaat dari kekayaan di bumi ini.

Dari prinsip pertama tersebut, dapat ditarik suatu kaidah
bahwa apa yang menjadi hak suci setiap orang, yang secara
legal-formal maupun moral-spiritual tak dapat diganggu gugat
dari kekayaan materi yang diambil dari bumi Tuhan, adalah apa
yang menjadi bagiannya, dalam arti yang menjadi kebutuhan bagi
kelangsungan dan perkembangan dirinya secara fisikal maupun
mental. Tidak seorang, dengan dalih kepentingan negara
sekalipun, boleh merampas hak suci itu. [16] Bahkan terhadap
pribadi yang bersangkutan, al-Qur'an mengingatkan untuk tidak
meremehkannya. "... Jangan kamu abaikan apa yang jadi bagian
dirimu dari anugerah materi itu." Peringatan tentang hak-hak
material setiap manusia ini dinyatakan menyusul seruan
al-Qur'an agar setiap fasilitas material hendaknya selalu
ditasarufkan untuk meraih capaian-capaian spiritual ukhrawi.
"Wa abtaghi fi ma ataka 'l-Lah-u 'l-dar-a 'l-akhirah -
Seharusnya kamu mencari negeri akhirat (keluhuran spiritual)
dari apa saja yang Allah anugerahkan kepadamu (QS. al-Qashash:
77).

Bagian atau kebutuhan material manusia sebagai makhluk fisikal
yang pemenuhannya merupakan hak suci setiap orang meliputi:
pangan, sandang, papan, pengobatan dan keseimbangan
lingkungan. Sedang kebutuhan manusia secara mental spiritual,
suatu kebutuhan yang sebenarnya tidak secara mutlak bersifat
kebendaan, adalah pendidikan, informasi, kebebasan
berkeyakinan dan menyatakan diri. [17] Dalam khasanah
pemikiran umat Islam, kedua jenis kebutuhan tersebut, secara
hirarkis, dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, kebutuhan
dlaruri, atau elementer, yaitu suatu kebutuhan yang jika tidak
terpenuhi, dapat mengakibatkan kebinasaan eksistensi manusia
yang bersangkutan secara fisik maupun mental. Kedua, kebutuhan
haji, komplementer, yaitu suatu kebutuhan yang jika tidak
terpenuhi tidak sampai mengancam eksistensi akan tetapi dapat
mendatangkan kesulitan dalam perkembangannya. Ketiga,
kebutuhan takmili, suplementer, yaitu kebutuhan yang jika
tidak terpenuhi tidak mendatangkan kesulitan, apalagi
kebinasaan, akan tetapi kurang memberikan kemudahan dan
kelengkapan. Di atas kebutuhan takmili, yang ada adalah
keinginan. Berbeda dengan kebutuhan (needs/hawaij) yang
bersumber pada kesadaran manusia untuk mengaktualisasikan
hakikat dirinya yang spiritual dan transendental, keinginan
(wants/syahawat) pijakannya adalah nafsu manusia semata-mata
sebagai makhluk kebendaan dan kekinian. Pada tingkat yang awal
keinginan ini terkait dengan nafsu berhias (tazyn), menyusul
kemudian nafsu kemewahan (israf) dan terakhir nafsu
penghamburan (tabdzir).

Secara formal eksoterik (syari'at), Islam tidak pernah
melarang dengan menghukum haram pemilikan dan pengkonsumsian
materi oleh seseorang di luar tiga tingkat kebutuhan tersebut
di atas. Mungkin karena larangan seperti itu tidak praktis dan
susah kontrolnya. Akan tetapi dari sudut moral spiritual yang
esoterik (hakikat), pesan Islam agar manusia mengambil jarak
daripadanya sangatlah jelas. Yang disebut orang-orang suci,
dalam pandangannya adalah mereka yang mampu menangkap pesan
pengambilan jarak tadi dan menahan diri untuk tidak sampai
terseret ke tingkat tazyin, apalagi israf dan tabdzir. Mereka
sadar, kekayaan materi/duniawi yang tidak ditaklukkan untuk
membangun kehidupan akhirat dengan mentasarufkannya bagi
kemaslahatan sesama dapat menjauhkan jati dirinya yang
spiritual dari tujuannya semula, yakni Tuhan. [18]

Sementara itu, realitas spiritual yang batiniah tidak bisa
dianggap terpisah dengan realitas sosial yang lahiriah.
Pemilikan materi dan pengkonsumsiannya oleh sementara orang di
atas kebutuhan takmili-nya, bukan saja dapat membahayakan
perjalanan spiritual yang bersangkutan menuju Tuhan. Akan
tetapi pada saat yang sama bisa berarti penjegalan terhadap
orang lain untuk memperoleh apa yang menjadi hak-haknya. Oleh
sebab itu, apabila sering dikatakan bahwa kefakiran sangat
berbahaya karena bisa menyebabkan kekufuran, kekayaan yang
berkelimpahan tentunya jauh lebih berbahaya. Ia tidak saja
menyebabkan pada pribadi yang bersangkutan, tapi sekaligus
kekufuran pada pribadi-pribadi lain yang menjadi korbannya.
[19]

SKENARIO MASA DEPAN

Dalam al-Qur'an ada pernyataan yang cukup menantang, khususnya
bagi para konseptor pembangunan. "Wa ma min dabbat-in fi
'l-ardli illa 'ala 'l-Lah-i rizqu-ha -Tidak ada makhluk melata
di atas bumi kecuali telah disediakan Tuhan rezekinya." Memang
tidak semua orang mau membuka hatinya untuk menerima firman
Tuhan ini. Akan tetapi, untuk menolak kebenarannya begitu saja
agaknya juga tidak gampang. Karena, data statistik yang paling
teliti sekalipun selalu saja menunjukkan bahwa kekayaan alam
yang disediakan Tuhan di bumi ini sebenarnya sangat mencukupi
untuk sekedar memenuhi kebutuhan (bedakan dengan: keinginan)
makhluk hidup yang melata di atasnya, tidak terkecuali umat
manusia. Lebih-lebih dengan senjata ilmu dan teknologinya,
umat manusia kini mampu mengeksplorasi kekayaan alam yang
tersimpan di perut bumi yang paling dalam sekalipun. Oleh
sebab itu apabila dalam kenyataannya banyak orang yang tidak
mampu memenuhi kebutuhan dlaruri-nya, apalagi yang takmili
atau tahsini, itulah bukan karena persoalan supply yang
terbatas melainkan lebih karena distribusi yang terampas.

Keterampasan ini memang tidak terjadi secara individual,
langsung dari tangan orang-orang yang berhak. Akan tetapi,
melalui tatanan sosial yang timpang dimana yang kaya bisa
terus memperbesar kekayaannya, sementara yang miskin semakin
tenggelam dalam kemiskinannya. Oleh sebab itu, untuk
mengembalikan hak-hak orang-orang yang terampas, yang perlu
dilakukan adalah aksi sosial dengan membenahi kembali struktur
dan sistem perekonomian masyarakat bersangkutan dimana neraca
kekuatan antara yang kaya dan yang miskin bisa diatur kembali
secara seimbang. Memang, apabila pendekatan kolektif untuk
memecahkan ketimpangan sosial ini sengaja tidak dilakukan,
atau dilakukan dengan main-main, maka desakan bagi meletusnya
tindakan anarkis yang melawan hukum lalu menjadi sulit
dihalang-halangi. Mengharapkan orang terus bersabar menahan
lapar sementara dirinya sendiri bergelimang dengan segala
kemewahan, tentu sangat tidak bermoral. "Demi Allah, tidak
beriman, demi Allah, tidak beriman orang yang tidur dengan
perut kenyang, sementara dia tahu tetangganya menangis karena
kelaparan", kata Nabi tandas. [20]

Sementara itu, karena masalah kemiskinan dan ketimpangan
sosial pada dasarnya terjadi akibat tatanan sosial yang buruk,
sudah barang tentu negaralah instrumen yang harus digunakan
untuk mengatasinya. Yang dimaksud dengan negara adalah
persekutuan kolektif yang mencakup kalangan masyarakat kaya
dan masyarakat miskin secara bersama-sama. Negara yang hanya
merupakan persekutuan orang-orang kaya bisa menjadi drakula
keserakahan. Sebaliknya negara yang hanya merupakan
persekutuan orang-orang melarat cenderung menjadi monster
kedengkian. Hanya dengan komitmen kedua belah pihak negara
bisa berfungsi sebagai arena pergumulan untuk menemukan
sintesa keadilan antara kedua kelompok masyarakat tadi.
Melalui negara, orang-orang kaya dapat membayar kewajibannya
untuk menegakkan keadilan atas pundak saudara-saudaranya yang
kaya. Dalam pandangan Islam, menegakkan negara untuk tujuan
keadilan, hukumnya wajib; bukan saja dari sudut nalar, tapi
sekaligus moral. [21]

Dalam pada itu, sejauh persoalan yang ingin dipecahkan adalah
1) kemiskinan pada orang-orang selama ini kehilangan hak-hak
dasarnya, terutama hak atas kebendaan, dan 2) ketimpangan
sosial yang menganga lebar antara golongan kaya dan yang tidak
punya, maka yang mutlak harus dilakukan oleh negara sebenarnya
cukup jelas dan sederhana. Dengan tetap mengakui keabsahan hak
perorangan atas benda yang jadi kebutuhan hidupnya sebagai
basis bagi hak-hak dasar kemanusiaan lainnya, [22] maka untuk
persoalan pertama solusinya adalah dengan merekayasa suatu
kontrak sosial, dengan golongan yang bisa diikat komitmennya
untuk secara irreguler menginfakkan sebagian dari rezeki yang
dikuasainya bagi kepentingan pihak lain yang tidak punya.
Sedang untuk persoalan kedua, bagaimana kesenjangan sosial
bisa dipersempit, solusinya tentulah dengan memberikan
kekuatan kepada yang lemah tadi - setelah dipenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasarnya melalui langkah pertama - untuk
dapat mengembangkan sendiri penghidupannya.
Secara formal, solusi pertama sebenarnya sudah dimulai di
hampir setiap negeri dengan sistem pajak (tax)-nya, bahkan
pajak progresif. Hanya saja, fungsi pajak sebagai penjamin
keadilan, terutama bagi yang lemah, masih harus
ditransformasikan dengan sekuat tenaga. Terikat oleh persepsi
jahiliyahnya mengenai pajak, masyarakat di mana-mana masih
menganggap pajak sebagai hutang rakyat terhadap negara dan
untuk negara. Karuan saja yang terjadi adalah bahwa prioritas
utama dan terutama dari pengalokasian (pentasarufan) uang
pajak adalah untuk memperkuat eksistensi dan wibawa negara,
bahkan sering dengan korban rakyat sendiri. Atau jika korban
itu tak lagi dimungkinkan dari kalangan rakyat sendiri,
dicarinya dari rakyat bangsa negeri-negeri lain. [23]

Bahwa negara (state) perlu diperkuat, memang ada gunanya. Akan
tetapi negara yang perlu diperkuat itu adalah negara yang
berikrar untuk menjadi pelayan ('amil) bagi kepentingan
rakyat; bukan negara yang justru merasa bangga ketika bisa
nyatroni dan menggagahi rakyat. Negara yang boleh diperkuat
adalah negara yang menyadari sepenuhnya bahwa uang pajak yang
ada ditangannya adalah amanat Tuhan yang harus dipergunakan
bagi keadilan dan kesejahteraan bersama, yang dimulai justru
dari lapisannya yang paling tidak berdaya. Sistem perpajakan
sebagai soko guru lembaga negara masih harus ditransformasikan
sedemikian rupa, sehingga penggunaannya sejalan dengan wasiat
Tuhan penguasa segala penguasa. "Sungguh, sedekah (upeti/
pajak) itu milik orang-orang fakir, orang-orang miskin, untuk
keperluan negara sendiri sebagai pelaksana, milik orang-orang
yang perlu disadarkan hatinya, milik orang-orang yang
tertindas? Orang-orang yang tertindih hutang, untuk
kesejahteraan bersama, dan juga untuk anak jalanan. Itulah
ketentuan Allah, dan Allah sungguh maha mengetahui lagi maha
bijaksana" (QS. al-Taubat: 60).

Sedangkan untuk persoalan kedua, bagaimana golongan lemah
dapat mengembangkan usahanya sendiri, strategi pemecahannya
tentulah dengan mendekatkan kembali sumber-sumber permodalan
kepada mereka - tanpa mengabaikan faktor pendidikan yang
membebaskan. Bila ini dilakukan, ketergantungan golongan lemah
kepada negara (baca: dana pajak), yang mereka sendiri
sebenarnya tidak menyukainya, pada akhirnya bisa dikurangi.
Strategi mendekatkan sumber-sumber permodalan kepada golongan
kapitalisme dalam pranata riba. Pertama-tama riba (nasi'ah)
harus dibuang dari sistem permodalan, baik yang diterapkan
oleh lembaga bank maupun lembaga sejenis lainnya.

Yang dimaksud dengan "riba" di sini tidaklah mencakup seluruh
apa yang umumnya disebut sebagai bunga pinjaman, seperti
banyak orang mengira. Karena apabila seseorang meminjam uang
rupiah satu juta selama setahun, padahal dalam satu tahun itu
telah terjadi penurunan nilai (inflasi) atas rupiah sebesar 9
persen, maka pembayaran kembali 1 juta rupiah plus 9 persennya
tentulah pengembalian yang seutuhnya. Tidak dikurangi dan
tidak dilebihi. Maka, seperti dikatakan dalam surat al-Baqarah
279, riba yang dimaksudkan untuk "uang" adalah pembayaran
pinjaman yang dipersyaratkan melebihi nilai nominal (ra's-u
'l-mal)-nya. Dalam bahasa ekonominya, riba adalah bunga
pinjaman yang melebihi rate inflasinya. [24]

Dengan dihapusnya unsur riba - dalam pengertian tersebut di
atas - tidak perlu ada pihak yang dirugikan, kalau tidak malah
diuntungkan. Pihak debitur, yang umumnya pengusaha, akan
dikurangi tekanan mental dan fisiknya, karena beban mental
untuk mengejar keuntungan (surplus value) berlipat ganda bisa
diturunkan. Dan jika ini terjadi, masyarakat luas juga akan
merasakan sawab-nya: di satu pihak, harga jual barang yang
diproduksi para pengusaha bisa diturunkan, dan di lain pihak
harga jual bahan baku yang dihasilkan oleh kerja keras
masyarakat, juga bisa diperbaiki. Juga dalam sistem ekonomi
bebas riba, seleksi lapangan kerja bisa dikendorkan.
Sektor-sektor industri dan kegiatan-kegiatan ekonomi lain yang
bersifat padat karya kembali dimungkinkan. Sehingga yang bisa
ditampung dalam dunia usaha tidak lagi terbatas hanya
orang-orang yang sangat ahli dan berpendidikan tinggi.
Orang-orang yang kurang ahli dengan pendidikan menengah,
bahkan rendah pun, tidak perlu terlalu risau karena langkanya
lowongan kerja. Tingginya angka kesempatan kerja yang berarti
rendahnya angka pengangguran, apalagi dengan kemungkinan upah
yang lebih baik (lagi-lagi karena perusahaan tidak dibebani
riba) pada gilirannya akan memperkuat daya beli masyarakat.
Dan daya beli masyarakat yang kuat, di mana-mana, adalah
landasan mutlak bagi jalannya perekonomian itu sendiri, secara
berkesinambungan.

Tidak kalah penting dari keuntungan masyarakat luas dengan
hilangnya riba adalah dipulihkannya akses golongan masyarakat
lemah terhadap modal. Tidak seperti sekarang, akses itu hanya
dinikmati oleh golongan yang kuat saja, minimal menengah. Ini
berarti kesempatan bagi golongan ekonomi lemah untuk ikut
memiliki alat produksi dan atau menjalankan sendiri usahanya
kembali dibuka. Atau, jika usaha sendiri tidak dimungkinkan,
misalnya karena alasan keahlian atau minat, mereka bisa
menawarkan tenaganya kepada orang lain tanpa harus menjadi
korban eksploitasi oleh perusahaan yang mempekerjakannya.

Juga lembaga permodalan bank itu sendiri, tidak perlu harus
merugi. Memang, dalam sistem ekonomi non-riba ini bank tidak
berhak mengeruk untung, tapi harus bisa berkembang sebagai
lembaga sosial atau "bait-u 'l-mal" atas tanggungan masyarakat
seluruhnya, baik sebagai penyimpan maupun peminjam. Karena,
keberadaannya memang merupakan kepentingan bagi semua. [25]
Yang punya duit berkepentingan dengan bank non-riba atau
"bait-u 'l-mal" karena dengan jasanya ia bisa menyimpan
duitnya dengan jaminan inflasi dan sekaligus pengamanan dari
kemungkinan pencuri. Bahkan, jika yang bersangkutan, sebagai
deposan, adalah orang yang terpanggil oleh anjuran al-Qur'an,
maka keuntungan lain yang tidak kalah besarnya adalah bahwa
dengan lembaga bank tersebut, di satu pihak, mereka dapat
mentasaruf-kan (meminjamkan) uangnya kepada orang lain secara
terjamin, dan di pihak lain, dapat terhindar dari ancaman
Tuhan atas orang-orang yang gemar menyimpan kekayaan, dengan
memutuskan fungsi sosialnya.

Dalam surat al-Taubat yang dikenal sangat keras kutukannya
terhadap kekufuran, Tuhan berfirman, yang artinya, "Dan
orang-orang yang gemar menyimpan emas perak dan tidak
mendayagunakannya untuk kebaikan, berikan kepada mereka kabar
gembira perihal siksa yang amat pedih: pada hari dipanaskan
emas dan perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (seraya
dikatakan) kepada mereka: inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang apa yang
kamu simpan itu" (QS. al-Taubat: 34,35).

Dalam konteks sekarang, di mana penyimpanan kekayaan untuk
diri sendiri tidak lagi hanya dalam bentuk emas atau perak,
tapi juga dalam bentuk uang, ayat tersebut menunjuk dengan
jelas akan haramnya menyimpan duit di bawah bantal seperti
yang telah mentradisi di masyarakat. Tradisi seperti itu bukan
saja bodoh dilihat dari kacamata ekonomi, karena membiarkan
uang digerogoti inflasi dan dengan mudah dapat tercuri, tapi
juga bodoh secara moral karena memutuskan fungsi sosial dari
kekayaan yang notabene adalah amanat Tuhan untuk kemaslahatan
semua orang. Dengan bantuan bank sebagai bait-u 'l-mal, setiap
orang dapat menyimpan uangnya sekaligus mengfungsikannya
(secara positif) bagi kepentingan sosial.

Sementara itu, kepentingan orang-orang yang memerlukan duit
terhadap keberadaan lembaga bank non-riba adalah jelas. Dengan
lembaga itu, mereka dapat memenuhi keperluannya tanpa
kemungkinan diperas dan memeras. Memang perlu ada pembatasan,
bahwa yang berhak memperoleh uluran tangan lembaga bank sosial
ini adalah mereka yang hendak menggunakan dana itu untuk
tujuan-tujuan produktif yang berdampak positif bagi kehidupan
masyarakat banyak, atau untuk kepentingan konsumtif yang
non-kemewahan.

Memang, dengan hilangnya riba, golongan punya yang
kapitalistik akan kurang berminat mendepositokan uangnya di
bank, tapi lebih suka menggunakannya untuk membeayai usaha
sendiri. Kalau kekhawatiran ini benar, tentunya hal itu hanya
bisa terjadi pada sebagian orang saja. Orang yang tidak punya
waktu untuk membuka usaha, atau merasa kurang mampu
menjalankan usaha, tidak akan ikut-ikutan terbawa arus itu.
Dan kalau saja kaum kapitalis itu merasa terdesak untuk
menginvetasikan uangnya, itulah lebih bermaslahat bagi dirinya
dan masyarakatnya. Semakin tinggi dan meluas kegiatan usaha
suatu masyarakat, akan semakin tinggi pula daya tahan
ekonominya. Dan dalam masyarakat modern yang daya tahan
ekonominya tinggi, keberadaan lembaga bank, sekalipun tanpa
riba, tetap kokoh adanya.
PENUTUP

Sebagai penanggung jawab utama kesejahteraan umum dan keadilan
sosial, negara memiliki kewenangan dan kemampuan yang memadai
untuk melaksanakan dua solusi tersebut di atas. Tidak ada
hambatan maupun rintangan yang dapat menghalanginya. Kecuali
satu, kesadaran. Dan kesadaran di sini tidak cukup hanya dari
pihak pelaksana kebijakan negara. Apalagi yang masih terbatas
pada lapisan verbal belaka. Kesadaran yang mendalam dan merata
di hati segenap rakyat - terutama yang ada di lapis bawah -
merupakan kunci yang sangat menentukan tumbuhnya kesadaran
yang lebih kuat di tingkat para pengambil kebijakan negara dan
juga pelaksananya, yang kemudian diaktualisasikan dalam
tindakan nyata dengan merubah tatanan yang selama ini
merintangi tujuan bersama, keadilan sosial. "Sungguh Allah
tidak akan merubah nasib suatu masyarakat sampai masyarakat
itu sendiri merubah tatanan yang mendominasi perikehidupan
mereka" (QS. al-Ra'd: 11).

CATATAN

1) Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyiah r.a.

2) Dalam karya-karya antropologi sosial, pemaparan
evolusi pemilikan ini ditemukan lebih rinci. Meski tidak
semua kupasan tentang hal itu bersikap kritis terhadap
masalah ketimpangan sosial, akan tetapi secara obyektif
para ilmuwan tidak bisa melepaskan faktor pertumbuhan
pola pemilikan di satu pihak dengan pelapisan sosial di
pihak lain. Lihat misalnya: Carol R. Ember & Marvin
Ember, Anthropology, New York, 1986, 130-269. Penganut
analisa Marxis biasanya melihat sejarah pemilikan ini
dalam kaitan dengan tahap pertumbuhan sosial yang lima:
tahap comunalisme primitif, tahap perbudakan, tahap
feodalisme, tahap kapitalisme dan terakhir sebagai
puncaknya adalah tahap sosialisme.

3) Dalam banyak kasus, sistem politik, budaya dan agama
merupakan hasil kerja para elite ekonomi untuk
mempertahankan dominasinya. Tentu, agama yang dimaksud
di sini bukanlah agama (ilahiyat) yang tumbuh dari
penghayatan spiritual orang-orang suci, melainkan agama
(syaitaniyat) yang tumbuh dari sela-sela kepentingan
manusia untuk memenuhi kepentingan duniawi. Berbeda
dengan agama tersebut pertama yang bersifat kritis
terhadap ketimpangan (sosial, ekonomi, politik maupun
budaya) yang ada, agama tersebut kedua berwatak
oportunis dan selalu cenderung melegitimasikan realitas
ketimpangan tadi. Alasannya sederhana, yaitu karena
tokohnya memang sekomplot dengan, atau bahkan, kalangan
elite yang mengendalikan realitas itu sendiri. Tokoh
agama yang kritis adalah Musa, Isa dan tentu saja
Muhammad, Abu Bakar, Umar dan beberapa nama lainnya.
Sedangkan tokoh agama yang hanya mengamini tatanan yang
ada, adalah segenap tokoh agama dan pejabatnya yang
selalu bau membau dengan kekuasaan Fir'auni, seperti
disinyalir dalam ayat sebagai berikut, "... Sebagian
besar dari para pemuka dan pejabat agama benar-benar
telah memakan harta masyarakat dengan cara-cara yang
batal (tidak dapat dibenarkan secara moral..." (QS.
al-Taubat: 3.5).

4) Alasan yang umum dikemukakan adalah daruratnya
keadaan. Mana mungkin sekarang ini orang bisa hidup
dengan mekanisme riba, demikian kata mereka. Bahwa
sekarang ini hampir tidak ada masyarakat yang bisa
menghindari jasa perbankan, memang ada benarnya. Tapi,
betapapun lengketnya antara bank dan riba, keduanya
tetap merupakan hal yang berbeda dan tidak mustahil bisa
dipisahkan. Yang patut disayangkan dari sementara
kalangan agamawan adalah sedemikian rnerajalela, memang
merupakan fakta yang menyedihkan. Akan tetapi sikap
menerima kemungkaran secara lahir-batin tentulah lebih
buruk dibanding menerima secara lahir (karena
keterpaksaan) sementara batinnya tetap teguh untuk
menolaknya. Karena dalam sikap yang demikian ini,
idealisme (iman) untuk merubah keadaan berarti masih
ada. Peringkat tertinggi seperti ditegaskan dalam hadits
Nabi, memang apabila idealisme untuk merubah keadaan
bisa diujudkan dengan nyata. Di bawahnya, idealisme
hanya bisa disuarakan dengan kata-kata. Dan di bawahnya
lagi, apabila idealisme itu hanya bisa dipertahankan
dalam hati. Inilah peringkat terendah dari iman Wa
dzalika adl'aful iman, kata Nabi. Tidak ada lagi
peringkat di bawahnya.

5) Tokoh Islam yang berpendapat bunga bank konvensional
masih belum mencapai tingkat keharaman karena belum
berlipat ganda antara lain: Ustadz A. Hassan, Saffruddin
Prawiranegara, M. Dawam Rahardjo SE dan Syaikhulhadi
Permono. Pendapat ini menurut hemat saya lemah, karena
beberapa alasan.

Pertama yang bersangkutan tidak pernah berhasil
menawarkan ukuran bahwa suatu tingkat suku bunga
sudah/belum berlipat ganda. Apabila tingkat suku bunga
bank konvensional yang berlaku sekarang ini (: 20-30%)
dibilang belum berlipat ganda. Apabila tingkat suku
bunga bank uangnya hanya 1 sampai 3 tahun memang belum
berganda. Tetapi lebih dari 3 tahun, apalagi
menjadikannya sebagai andalan penghidupan untuk
selamanya, pelipatgandaan itu jelas terjadi. Karena
dengan tingkat suku bunga tersebut di atas, setiap tiga
sampai lima tahun bunga sudah mencapai 100% dari jumlah
uang yang didepositokan.

Kedua, melandaskan "keharaman riba semata-mata karena
faktor berlipat gand" atas ayat 130 Ali 'Imran,
samasekali tidak kena. Dengan mensitir kaidah Ushul
Fiqh, Dr. Syaikhulhadi mengatakan bahwa dari 10 ayat
dalam al-Qur'an yang mengharamkan riba, hanya satu yang
secara fiqh, bisa dipegangi. Yakni ayat Ali 'lmran tadi.
Karena, berbeda dengan 9 ayat lainnya yang katanya,
sekedar melarang riba; ayat yang satu ini sudah
memberikan catatan (qayid), yaitu "riba yang berlipat
ganda". Keberatan saya, lalu apa makna 9 ayat lainnya
yang tentu tidak main-main dalam menyatakan kutukannya
kepada riba: haruskah ayat-ayat itu dilumpuhkan begitu
saja oleh satu ayat, hanya karena yang terakhir ini
sudah bicara dengan qayid.

Ketiga, kalau hujjah tersebut di atas tetap
dipertahankan, maka yang tidak bisa mereka bantah adalah
sejarah urutan turunnya ayat-ayat tentang riba. Ayat 130
Ali 'Imran ini, ternyata bukan ayat riba terakhir.
Sesudah itu, masih ada ayat riba yang lain -dan
sekaligus yang terakhir - yang menegaskan keharaman riba
dalam kemutlakkannya, yaitu ayat 278-280 al-Baqarah yang
isinya begitu keras. Ini berarti, keharaman riba di mata
al-Qur'an adalah mutlak. Tidak terpengaruh oleh apakah
itu berlipat ganda atau tidak. Asal itu riba, haramlah
hukumnya.

6) Dengan kata lain, pendapat yang mengatakan bahwa
bunga bank sejauh untuk kegiatan usaha tidak punya
dampak pemerasan, berlawanan dengan kenyataan. Justru
untuk kegiatan usaha (produktif), beban bunga pinjaman
(riba) lebih besar madaratnya ketimbang yang bersifat
konsumtif. Karena, bunga atas pinjaman konsumtif korban
pemerasannya terbatas pada pihak debitur, bunga pinjaman
produktif korban pemerasannya mencakup si debitur, dan
sekaligus masyarakat luas yang terlibat jaringan
usahanya. Memang, korban tersebut pertama lebih jelas
sosoknya, sedang korban dari tersebut terakhir,
samar-samar. Tapi dengan perangkat analisis sosial yang
kritis, kesamarannya itu seharusnya bisa diperjelas.

7) Kitab-kitab sufistik yang di kalangan masyarakat
Islam Indonesia banyak beredar di pesantren hampir
selalu mengemukakan bab tersendiri yang mengupas perihal
rendahnya selera kebendaan di satu pihak, dan anjuran
agar orang mencurigainya di lain pihak. Uraian tentang
fadlilat-u 'l-faqr (keutamaan hidup fakir), qana'ah
(nrimo dengan apa adanya), zuhd (mengambil jarak dengan
hal-hal duniawi yang tidak benar benar diperlukan) dan
semisalnya, selalu dapat kita baca dengan argumentasi
sungguh-.sungguh. Lihat, misalnya: kitab Hikam, oleh
Ibnu 'Athaillah; kitab Kifayat-u 'l-Atqiya wa Minhaj-u
'l-Ashfiya, oleh Muhammad Syatha ad-Dimyathiy, sampai
dengan karya-karya besarnya seperti Ihya 'Ulum-i 'l-Din,
oleh al Ghazali.

8) Bukti mutakhir betapa terpisahnya agama dengan
aspirasi masyarakat untuk mewujudkan keadilan, antara
lain tampak dari aksi-aksi penggusuran bahkan perampasan
tanah lahan penghidupan petani kecil belakangan ini di
pelbagai pelosok tanah air. Di Jawa Timur (di
Blambangan, Sumenep, dan Batu, Malang); di Jawa Tengah
(Kedungombo, Nusukan, dan Maos, Cilacap); di Jawa Barat
(kasus Rarahan, Cimacan, dan Tangerang); di Lampung
(kasus Gunung Balak, dan Pulau Panggung). Yang harus
dicatat adalah ironi berikut: 1) Tidak satu organisasi
sosial keagamaan, telah benar-henar peduli dengan nasib
rakyat yang tergusur itu; 2) Pihak rakyat yang
bersangkutan sendiri seperti memaklumi bahwa
kesewenang-wenangan yang menimpa mereka memang tidak ada
sangkut paut apa pun dengan fungsi dan tanggung jawab
kepemimpinan tokoh-tokoh agama.

9) Berangkat dari positivisme A. Comte, pandangan sosial
yang status quois ini belakangan semakin diperkokoh
dengan munculnya Talcot Parson, seorang sarjana Amerika
yang merumuskan madzhab fungsionalisme dalam ilmu-ilmu
sosial. Menurut madzhab ini, tugas ilmuwan tidak lain
adalah mempelajari dan mengurangi kenyataan-kenyataan
sebagaimana adanya, secara obyektif, kuantitatif, dan
jauh dari bersikap kritis apalagi provokatif untuk
perubahan. Jargon yang paling populer di kalangan mereka
adalah bahwa ilmu dan ilmuwan mesti bersikap netral,
dingin, dan bebas dari segala pemihakan. Sadar bahwa
dengan klaim kenetralannya para penganut madzhab
positivis fungsionalis ini justru mematok diri mereka
sendiri sebagai budak status quo, maka muncullah
paradigma 'baru' sebagai counternya. Yaitu paradigma
kritis. Berlawanan dengan penganut paradigma
positivisme-fungsionalis, penganut paradigma kritis
menandaskan bahwa tugas ilmu dan ilmuwan samasekali
tidak cukup hanya menjelaskan dan mengurai kenyataan
secara dingin sebagaimana adanya. Ilmu dan ilmuwan tidak
bisa tidak mesti bersikap kritis terhadap realitas yang
ada, dan sekaligus menegaskan komitmennya terhadap
perlunya pemihakan.

10) Menurut US Sensus Bureau 1983, pada tahun 1982, 5%
penduduk terkaya di Amerika menerima 16%, dari seluruh
pendapatan dalam bentuk uang (money income), 20%
penduduk terkaya menguasai 43% uang pemasukan. Sementara
itu 60% penduduk hanya menerima 33%-nya, 20% penduduk
termiskin hanya menerima 4,7%; dan setiap 1 dari 7 orang
penduduk Amerika hidup di bawah garis kemiskinan.
Dikutip dari: Allan G. Johnson, Human Arrangements, HBJ,
1986, hal. 328-330. Dan semakin kemari, ketimpangan ini
bukannya cenderung mengendor, tapi justru menajam.

11) Ini dapat dilihat dari arus balik uang dari
negara-negara Dunia Ketiga ke negara-negara maju
kapitalis yang jumlahnya jauh lebih besar ketimbang yang
diterimakan sebelumnya, sebagai hutang. Tahun 1985,
negara-negara Dunia Ketiga telah membayar kembali hutang
dan bunganya sebanyak US $ 30 milyar lebih besar dari
yang mereka terima pada tahun yang .sama. Tahun
berikutnya, 1986, Dunia Ketiga menerima suntikan dana
(hutang) dari negara-negara kaya di Dunia Pertama
sebesar US $ 14 milyar, sementara yang harus dibayarkan
pada tahun itu juga sebagai cicilan hutang dan bunganya
adalah US $ 45 milyar. Dihitung selama 4 tahun
1982-1985, selisih antara uang yang diterima oleh
negara-negara Dunia Ketiga dan yang harus dikembalikan
kepada Dunia Pertama mencapai jumlah US$ 160 milyar
(Dikutip dari Ted Train, Developed to Death, Green
Print, London, 1989, hal. 102). Pemerasan yang
benar-benar fantastik. Belum terhitung andil Dunia
Ketiga berupa pasok bahan baku, energi dan tenaga kerja
yang murah dan last but not least pangsa pasar yang
dinikmati oleh negara-negara industri kapitalis, baik
langsung maupun melalui gurita MNC-nya yang beroperasi
di tahun 60-an banyak dilakukan oleh negara Dunia Ketiga
atas dukungan keuangan Dunia Pertama, justru
memperlihatkan hasil yang sebaliknya: yakni ketimpangan
yang semakin merajalela. Diperkirakan, 200 tahun yang
lalu pendapatan rata-rata masyarakat negara kaya hanya
1:5 dengan pendapatan rata-rata masyarakat negara
miskin. Pada tahun 1960 perbandingan itu sudah mencapai
1:20, dan tahun 1980 perbandingan melonjak mencapai 1:46
(Ibid, hal 14).
12) Paul Johnson, sejarawan Inggris yang menulis Modern
Time; A History from 1920 to the 1980s dengan gigih
mencoba meyakinkan kita semua bahwa kapitalisme pun bisa
menjadi kekuatan moral. Katanya, orang bisa saja beriman
dan menjadi kapitalis sekaligus. Tapi, anehnya, pada
saat yang sama, ia pun menegaskan bahwa tenaga dinamis
paling utama dari kapitalisme tetaplah yang namanya
ketamakan, nafsu mengumpul kekayaan materi
sebanyak-banyaknya. (Lihat Kapitalisme sebagai Kekuatan
Moral, dalam Titian, United States Information Service,
No. 3/1990).

13) Dr. Abdulmun'im an-Namry, Al-Ijtihad, Kairo, 1987,
hal. 98. Sahabat Ali, khalifat Rasul IV, dikutip sebagai
mengatakan: 'Ajibtu liman la yajidu 'l-quta fi baitih,
kaifa la yakh ruj 'ala 'l-nas-i syahir-an saifah - Saya
heran kepada orang yang tidak punya sesuatu untuk
diutamakan tapi tidak mau keluar menggertak orang-orang
(yang punya kelebihan) sambil menghunuskan pedangnya."
Dalam suatu riwayat Nabi pernah mengatakan: Barang siapa
punya harta lebih hendaklah mengembalikannya kepada
orang lain yang tuna rumah; barang siapa yang memiliki
kendaraan lebih hendaklah mengembalikannya kepada orang
lain yang tidak punya kendaraan (Dikutip dari
al-'Uqubat-u 'l-Syar'tiyyah oleh DR. Sadek al-Mardi,
1983).

14) Dialog Iblis dengan Tuhan ini dapat dibaca, antara
lain, dalam surat Shad ayat 71 s/d 85. Dialog itu
berakhir keputusan Tuhan untuk menggiring Iblis dan
segenap pengikutnya ke dalam neraka jahanam, nanti. Yang
menarik, bahwa murka Tuhan kepada Iblis menjadi begitu
memuncak bukan setelah Iblis menyatakan penolakannya
untuk sujud kepada Adam, sebagaimana Dia perintahkan,
melainkan justru setelah Iblis menyatakan pandangannya
tentan g manusia yang materialistis itu. Perhatikan
dialog berikut:

- Apa yang menyebabkan kamu tidak bersujud kepada Adam,
makhluk yang Aku ciptakan dengan tanganKu sendiri,
tanya Tuhan. Apakah kamu menyombongkan diri, atau merasa
lebih tinggi?

+ Aku lebih baik daripada Adam, jawab Iblis. Engkau
ciptakan aku dari api, sedang Engkau ciptakan Adam dari
tanah.

Mendengar jawaban Iblis itu, Tuhan segera berfirman:
Keluarlah kamu, dari sorga ini, sebagai makhluk
terkutuk.

15) Dalam surat al-Baqarah ayat 196 Allah berfirman:
"anfiqu fi sabil-i 'l-Lah-i wala tulqu bi-aidikum ila
'l-tahlukah, wa ahsinu, inna 'l-Lah-a yuhibb-u
'l-muhsinin - Dermakanlah hartamu di jalan Allah, tapi
jangan sengsarakan dirimu (dengan berpantang materi yang
menjadi haknya, seperti makan, minum dan sebagainya).
Tegakkanlah kebajikan (untuk dirimu sendiri dan orang
lain). Sungguh Allah sangat mencintai orang-orang yang
berbuat kebajikan.

16) Selama ini orang cenderung mempertentangkan secara
dikotomis antara kepentingan pribadi dan kepentingan
umum. Sebagian orang berpendapat bahwa kepentingan
pribadi berada di atas kepentingan umum; sementara
sebagian yang lain berpendapat sebaliknya, kepentingan
umum berada di atas kepentingan pribadi. Dikotomi yang
simplistis ini sangat tidak memadai. Menurut hemat saya,
sejauh kepentingan pribadi itu bersifat dasariyah,
menyangkut apa yang disepakati sebagai hak asasi,
kepentingan umum berada di bawahnya. Bahkan secara
moral, keabsahan lembaga kepentingan umum (termasuk
negara) justru ditentukan oleh sejauh mana ia dapat
melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar
individu yang jadi pendukunguya. Baru untuk kepentingan
individu yang bukan dasariyah, yang tidak menyangkut
kelangsungan eksistensi dan pertumbuhannya secara wajar
baik fisikal maupun mental, kepentingan umum boleh
diletakkan di atas kepentingan pribadi tadi.

Dengan prinsip ini, aksi penggusuran tanah atau rumah
rakyat yang sering terjadi dalam era pembangunan,
diletakkan pada proporsinya. Jika yang menggusur itu
orang/pihak lain yang tidak punya klaim kemaslahatan
umum, secara mutlak pemilik berhak untuk menolaknya.
Sekalipun kepadanya dijanjikan ganti rugi yang
sebesar-besarnya. Akan tetapi jika melakukan penggusuran
itu pemerintah atas nama kepentingan umum, yang bisa
dibuktikan kebenarannya dan tidak ada jalan lain yang
tersedia, maka seyogyanyalah kepentingan umum yang
dimenangkan. Dengan syarat, hak si tergusur untuk
memperoleh ganti rugi, minimal sepadan dengan nilai
(ekonomis dan sosio-psikologis) diri, milik yang
tergusur, dijamin sekuat-kuatnya. Tanpa jaminan ganti
rugi yang demikian, negara sekalipun, tidak berhak
memaksakan kehendaknya.

17) Di kalangan pemikir muslim lebih dari 10 abad yang
lalu, hak-hak dasar manusia dirumuskan ke dalam lima
hal: i) hak untuk hidup, ii) hak berkeyakinan, iii) hak
berpikir berpendapat, iv) hak pemilikan materi, v) hak
berketurunan. Imam al-Ghazali menambahkan satu lagi, hak
untuk tidak dirusak kehormatannya. Baca: Syathibiy,
al-Muwafaqat, Mesir, juz I, hal. 14; Dr. Sa'id Ramadhan,
Dlawabithul Mashlahah, Damaskus, hal. 199.

18) Dalam surat al-An'am ayat 70 Allah berfirman, yang
artinya: "Tinggalkanlah orang-orang yang mempermainkan
agama dan tertipu oleh kehidupan dunia." Kata-kata dunya
disebut lebih dari 100 kali dalam Al-Qur'an, hampir
kesemuanya dalam kontek mengecam, minimal melecehkan,
orang yang menganggap kenikmatan dan prestasi duniawi
sebagai kenikmatan dan prestasi sejati. Dan semakna
dengan kata-kata dunya, kata-kata mal atau amwal
terdapat dalam al-Qur'an sekitar 78 kali. Hanya dengan
kata-kata mal/amwal, al-Qur'an lebih banyak memberikan
peringatan (warning) di satu pihak dan dorongan kekayaan
di lain pihak. Peringatan agar manusia tidak sampai
tertipu dengan memandang kekayaan materi di akhirat.
Caranya, seperti ditunjukkan Tuhan dalam surat as-Shaff,
10, 11: "Wahai orang-orang yang beriman, maukah Aku
tunjukkan kamu suatu perdagangan yang dapat
menyelamatkan dirimu dari siksaan nan pedih? Berimanlah
kepada Allah, utusan-Nya, dan berjuanglah di Jalan
Kebaikan dengan harta dan potensi pribadimu. Itulah yang
lebih baik bagimu, sekiranya engkau tahu." Perihal harta
yang ditaklukkan untuk jalan kebaikan karena Allah,
dinyatakan dalam al-Baqarah, ayat 261, "... ibarat
sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, di dalam
setiap tangkai terdapat seratus biji. Allah menggandakan
pahala bagi siapa saja yang menghendaki. Dan Allah maha
luas (karunia-Nya) lagi maha tahu."

19) Perlu dipertanyakan motivasi orang-orang yang
mempopulerkan hadits dla'if yang berbunyi, "Kada
'l-faqru an yakuna kufra- Nyaris kefakiran itu menjelma
menjadi kekufuran." Bahwa kefakiran itu perlu diatasi,
karena akibatnya pada mentalitas yang buruk, memang
benar. Tapi bukan kemudian lari pada pola kehidupan yang
rakus dan penuh kemewahan. Kecurigaan saya, pandangan
yang bias kekayaan ini sengaja dipompakan secara timpang
oleh kalangan muslim kapitalis dan borjuis untuk
menjustifikasi nafsu duniawiyahnya karena silau dengan
kehidupan masyarakat Barat, idola mereka, yang
berkelimpahan. Dalam pandangan Islam, tingkat kehidupan
(ekonomi) yang digarisbawahi memang bukan kefakiran yang
serba kekurangan, tapi samasekali juga bukan kekayaan
yang serba berkelimpahan. Yang digarisbawahi itu
kesahajaan antara keduanya.

20) Dalam konteks kehidupan umat manusia yang semakin
menjadi satu keluarga, di mana planet bumi sudah bisa
dijelajah dalam tempo 24 jam dan apa yang terjadi di
pelosok bumi Barat dapat diketahui oleh manusia di
pelosok bumi Timur pada hari yang sama, maka term
"tetangga" yang dipakai Nabi dalam hadits ini tentunya
ikut mengalami perubahan. Tidak lagi semata mata
terbatas pada orang atau keluarga yang tinggal di
samping kita.

21) Di sini saya ingin keluar dari perdebatan antara
Muktazilah yang mengatakan bahwa keberadaan negara
(imamah) keadilan sebagai wajib menurut akal ('aql) di
satu pihak, dan Ahl al-Sunnah yang mengatakan keberadaan
negara (imamah) keadilan sebagai wajib menurut ajaran
agama (syar'iy), di pihak lain. Kalau saja masing-masing
kubu mau memperjelas lebih dahulu bahwa yang dimaksud
dengan pertimbangan akal adalah "logika", penalaran
sehat, dan syara' adalah kemestian moral, niscaya debat
mereka tidak perlu berkepanjangan. Dalam pengertian
seperti itu, pendirian Ahl al-Sunnah lebih bisa
dipertanggungjawabkan. Karena, jelas, apa yang
dibenarkan oleh nalar, logika, memang belum tentu
dibenarkan oleh pertimbangan moral. Tapi apa yang
dibenarkan oleh pertimbangan moral (akal budi), mesti
dibenarkan, sekurangnya tidak dibantah, oleh nalar (akal
pikiran). Dengan nalar, kita mengatakan 2x2 = 4.
Sementara, moralitas kita tidak punya kepentingan untuk
meng-iya-kan atau men-tidak-kannya. Tapi, apabila
moralitas kita mengatakan keberadaan negara (imamah)
merupakan prasyarat bagi tegaknya keadilan, dan keadilan
tentu pertama-tama merupakan tema moral, maka sebenarnya
nalar pun demikian. Pembenaran moral (di sinilah
substansi agama berbicara) memang lebih sublim dari
sekedar pembenaran logika atau nalar.

22) Lihat catatan kaki nomor 17

23) Apa yang diperlihatkan oleh negara-negara
kapitalis-imperialis seperti Amerika Serikat, Inggris,
dan Perancis, merupakan contoh yang baik. Sejak tahun
1945, sesudah membumi-hanguskan Hiroshima dan Nagasaki
dan membunuh jutaan manusia yang tak berdosa, AS
tercatat telah melakukan intervensi militer, secara
terbuka atau di balik tirai, sekali dalam setiap 18
bulan. Intervensi itu antara lain ke Iran (1963),
Guatemala (1954), Libanon (1958), Thailand (1959), Cuba
(1961), British Guinana (1963), Vietnam Selatan (sejak
1964), Brazil (1964), Dominika (1965), Cambodia (1968),
Laos (1968), Chile (1973), Jamaica (1975), Iran (1980),
Panama, Grenada, Guatemala (1988/1989). Intervensi yang
dilakukan Inggris: Malaysia (1948), Egypt (1955), Aden
(1963), Brunei (1966-1978). Intervensi Perancis: Indo
Cina (1964), Aljazair (1956), dan Senegal, Pantai
Gading, Mauritania, Afrika Tengah, Chad dan Zaire, mulai
penjajahan dunia sampai dengan era kemerdekaannya. Dan
sekarang, 1991, ketiga negara imperialis dunia ini,
dengan memperalat lembaga PBB, berkomplot untuk
melumpuhkan kekuatan bangsa dan rakyat negara-negara di
Timur Tengah, dengan sasaran yang jelas: taklukkan
rakyatnya dan keruk kekayaan alamnya. (Ted Trainer,
ibid, hal. 153).

Memang, dengan konstitusinya yang sarat jargon
kemanusiaan, negara-negara imperialis telah bersikap
hormat pada rakyatnya sendiri. Tapi, terhadap rakyat
bangsa di negeri-negeri lain, sikap mereka tetap
jahiliah adanya. Dengan Amerika sebagai komandannya,
mereka harus tetap yang terkuat. Kalau perlu, bom atom
dan senjata nuklir pun bisa digelarkan untuk melindungi
dominasinya.

24) Dan sebenarnya bunga pinjaman yang hanya sebatas
laju inflasi bukan bunga namanya Karena hal itu sekedar
dimaksud agar yang memberi pinjaman tidak dirugikan
orang dan juga tidak merugikan orang, sesuai ayat: Ya
ayyuha 'l-ladziina amanu ittaqu 'l-Laha wa dzaru ma
baqiya min al-riba in kun-tum mu'min-in. Fa in-lam
taf'alu fa-dzanu bi harbin min al-Lahi wa rusulih. Wa in
tub-tum fa la-kum ru'usu amwalikum, la tadhlimuna wa la
tudhlamun - Wahai orang-orang yang beriman, takwalah
kamu kepada Tuhanmu dan tinggalkanlah segala sisa riba
(yang belum sempat dipungut), apabila kamu benar
beriman. Jika kamu tetap memungutnya, Allah dan
rasul-Nya menyatakan perang kepadamu. Tapi jika kamu mau
bertobat, hakmu untuk memperoleh kembali hartamu secara
utuh, dijamin. Dengan begitu, kamu tidak berbuat dzalim
kepada orang lain, juga tidak didzalimi oleh orang lain.

25) Beban yang harus ditanggung oleh masyarakat nasabah
bank, bisa disamaratakan atau dibedakan antara nasabah
kreditur dengan debitur. Misalnya, jika rata-rata bank
seperti yang berjalan sekarang ini memerlukan kira-kira
6% untuk beaya operasionalnya, maka atas debitur bisa 3%
sedang kreditur 2%; atau menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan mengacu pada
tingkat inflasi rupiah tahun 1990 yang mencapai angka
9%, maka disamping debitur wajib mengembalikan
pinjamamnya plus 'bunga' (baca: "anti inflasi") sehesar
9%, juga dikenai pungutan beaya operasional bank 3%.
Sementara itu, pihak kreditur (yang menitipkan uang di
bank), di samping berhak menerima kembali jumlah rupiah
yang disimpannya plus 9% "bunga" (baca: "anti inflasi")
yang diterimanya selama setahun, juga dikenai beaya
operasional bank sebesar 2%.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: