Monday, December 3, 2007

KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN

KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN
Dr. M. Quraish Shihab, M.A

Judul bahasan ini mendahulukan kata keadilan daripada
kesejahteraan. Memang, terjadi silang pendapat mengenai apa
yang harus didahulukan, apakah kesejahteraan atau keadilan?
Dari sekian ayat ditemukan isyarat perlunya mendahulukan
keadilan. Perhatikan misalnya surat Al-Ma-idah (5): 8,

Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada
takwa.

Lalu hubungkanlah dengan firman-Nya:

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi. (Tetapi) mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya (QS Al-A'raf [7]: 96)

Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, "Mohonlah ampun
kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat
kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungai-sungai (QS Nuh [71]:
10-12).

Dari rangkaian ayat di atas terlihat bahwa keadilan akan
mengantarkan kepada ketakwaan, dan ketakwaan menghasilkan
kesejahteraan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka
pembahasan pertama tulisan ini adalah tentang keadilan.

MAKNA KEADILAN

Keadilan adalah kata jadian dari kata "adil" yang terambil
dari bahasa Arab " 'adl". Kamus-kamus bahasa Arab
menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti "sama".
Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
"adil" diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2)
berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak
sewenang-wenang.

"Persamaan" yang merupakan makna asal kata "adil" itulah yang
menjadikan pelakunya "tidak berpihak", dan pada dasarnya pula
seorang yang adil "berpihak kepada yang benar" karena baik
yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh
haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu "yang patut"
lagi "tidak sewenang-wenang".

Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan
kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan
kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi
antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti "sama", memberi kesan
adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak,
tidak akan terjadi "persamaan".

Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang wajar dan patut). Ini
tidak harus mengantarkan adanya "persamaan". Bukankah bagian
dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth
lebih umum daripada kata 'adl, dan karena itu pula ketika
Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap
dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya.
Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Nisa' (4): 135,

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah,
walaupun terhadap dirimu sendiri...

Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh
karena itu, mizan, adalah "alat untuk menimbang". Namun dapat
pula berarti "keadilan", karena bahasa seringkali menyebut
"alat" untuk makna "hasil penggunaan alat itu".

KEADILAN DALAM AL-QURAN

Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat
beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap
pihak yang berselisih, melainkan Al-Quran juga menuntut
keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis,
atau bersikap batin.

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil walaupun terhadap kerabat...! (QS Al-An'am [6]:
152).

Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang
menulis dengan adil (QS Al-Baqarah [2]: 282).

Kehadiran para Rasul ditegaskan Al-Quran bertujuan untuk
menegakkan sistem kemanusiaan yang adil.

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan
membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia dapat melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]:
25).

Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai "perjanjian Ilahi"
yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan
menegakkan keadilan.

Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
(hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia." Dia
(Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga
keturunan-keturunanku "Allah berfirman, "Perjanjian-Ku
ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim"
(QS Al-Baqarah [2]: 124).

Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat di
atas bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak
atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk
menegakkan keadilan.

Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas
dasar keadilan:

Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan
(neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman [55]: 7)

Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang
keadilan, dari tauhid sampai keyakinan mengenai hari
kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan
dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi
terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan
masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan
ukhrawi.

RAGAM MAKNA KEADILAN

Ketiga kata -qisth, 'adl, dan mizan- pada berbagai bentuknya
digunakan oleh Al-Quran dalam konteks perintah kepada manusia
untuk berlaku adil.

Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan
al-qisth (keadilan)" (QS Al-A'raf [7]: 29)

Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan
berbuat ihsan (kebajikan) (QS Al-Nahl [16]: 90)

Dan langit ditinggikan-Nya dan Dia meletakkan neraca
(keadilan) agar kamu tidak melampaui batas tentang
neraca itu (QS Al-Rahman [55]: 7-8).

Ketika Al-Quran menunjuk Zat Allah yang memiliki sifat adil,
kata yang digunakanNya hanya Al-qisth (QS Ali 'Imran [31: 18).

Kata 'adl yang dalam berbagai bentuk terulang dua puluh
delapan kali dalam Al-Quran, tidak satu pun yang dinisbatkan
kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, seperti
dikemukakan di atas, beragam aspek dan objek keadilan telah
dibicarakan oleh Al-Quran; pelakunya pun demikian. Keragaman
tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.

Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh
para pakar agama.

Pertama, adil dalam arti "sama"

Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang Anda maksud
adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan
seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam
surat Al-Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa,

Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia,
maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...

Kata "adil" dalam ayat ini -bila diartikan "sama"- hanya
mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses
pengambilan keputusan.

Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak
yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal
tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel
penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan
memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam
proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud
mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari
keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud
nyata kezaliman.

Al-Quran mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada
Nabi Daud a.s. untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki
sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan orang
kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak
mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus.
Nabi Daud tidak memutuskan perkara ini dengan membagi
kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan
menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu
telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (QS Shad [38]:
23).

Kedua, adil dalam arti "seimbang"

Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya
terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu,
selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan
dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya.

Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat
durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan
mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang)
(QS Al-Infithar [82]: 6-7).

Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau
berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti
tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan).

Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama
ekosistemnya. Al-Quran menyatakan bahwa,

(Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha
Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah
berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak
seimbang? (QS Al-Mulk [67]: 3)

Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian
(keproporsionalan), bukan lawan kata "kezaliman". Perlu
dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar
dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja
satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan
besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.

Petunjuk-petunjuk Al-Quran yang membedakan satu dengan yang
lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak
waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang
keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan
persamaan.

Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa
Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan
mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu
tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya
mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi.

Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan yang
amat teliti (QS Al-Rahman [55]: 5).

Sesungguhuga Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukurannya (QS Al-Qamar [54]: 49)

Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya"

Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan
sesuatu pada tempatnya" atau "memberi pihak lain haknya
melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman",
dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan
demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri
adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika
menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang
sastrawan yang arif.

Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi

Adil di sini berarti "memelihara kewajaran atas berlanjutnya
eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan
rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu."

Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada
dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. KeadilanNya
mengandung konsekuensi bahwa rahmat A h Swt. tidak tertahan
untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Sering dinyatakan bahwa ketika A mengambil hak dari B, maka
pada saat itu juga B mengambil hak dari A. Kaidah ini tidak
berlaku untuk Allah Swt., karena Dia memiliki hak atas semua
yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di
sisi-Nya.

Dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan firman-Nya
yang menunjukkan Allah Swt. sebagai qaiman bilqisth (yang
menegakkan keadilan) (QS Ali 'Imram [3]: 18), atau ayat lain
yang mengandung arti keadilan-Nya seperti:

Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambaNya
(QS Fushshilat [41]: 46).

KEADILAN MENCAKUP SEMUA HAL

Seperti dikemukakan di atas, Allah menciptakan dan mengelola
alam raya ini dengan keadilan, dan menuntut agar keadilan
mencakup semua aspek kehidupan. Akidah, syariat atau hukum,
akhlak, bahkan cinta dan benci.

Dan Kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil di antara
wanita-wanita (istri-istrimu dalam hal cinta),
walaupun kamu berusaha keras ingin berbuat demikian.
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), dan membiarkan yang lain
terkatung-katung (QS Al-Nisa' [4]: 129).

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu.
Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau
miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (QS
Al-Nisa' [14]: 135)

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil (QS
Al-Ma-idah [5]: 8)

Kebencian tidak pernah dapat dijadikan alasan untuk
mengorbankan keadilan, walaupun kebencian itu tertuju kepada
kaum non-Muslim, atau didorong oleh upaya memperoleh ridhaNya.
Itu sebabnya Rasul Saw. mewanti-wanti agar,

Berhati-hatilah terhadap doa (orang) yang teraninya,
walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara
doanya dengan Tuhan.

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
"tuqsithu" (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir)
yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak
mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain
untuk mengusir kamu... (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
Ibnu 'Arabi, pakar tafsir dan hukum Islam bermazhab Maliki,
tidak sependapat dengan mereka yang memahami kata taqshithu
pada firman Allah di atas dalam arti berlaku adil. "Berlaku
adil", tulisnya, "adalah wajib terhadap orang-orang kafir
(baik yang memerangi maupun yang tidak)." Kata taqsithu di
sini menurutnya adalah "memberi bagian dari harta guna
menjalin hubungan baik".

Keadilan harus ditegakkan di mana pun, kapan pun, dan terhadap
siapa pun. Bahkan, jika perlu dengan tindakan tegas. Salah
satu ayat Al-Quran menggandengkan "timbangan" (alat ukur yang
adil) dengan "besi" yang antara lain digunakan sebagai
senjata. Ini untuk memberi isyarat bahwa kekerasan adalah
salah satu cara untuk menegakkan keadilan.

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan Al-Mizan (neraca
keadilan), dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia (supaya besi itu digunakan). Allah mengetahui
siapa yang menolong (memperguangkan nilai-nilai)
agama-Nya dan membantu rasul-rasul-Nya, walaupun Allah
gaib dari pandangan mata mereka [QS Al-Hadid [57]:
25).

Apabila dua kelompok Mukmin berselisih, lakukanlah
ishlah (perdamaian) di antara keduanya. Bila salah
satu dari kedua kelompok itu membangkang, maka perangi
(ambil tindakan tegas terhadap) yang membangkang,
sehingga ia menerima ketetapan Allah (QS Al-Hujurat
[49]: 9)

Lanjutan ayat ini perlu mendapat perhatian, yakni:

Apabila ia (kelompok yang membangkang itu) telah
kembali (taat) maka lakukanlah perdamaian dengan adil.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil (QS Al-Hujurat [49]: 9)

Sungguh tepat menggandengkan perintah mendamaikan pada
lanjutan ayat ini dengan "keharusan berlaku adil". Karena
walaupun keadilan dituntut dalam setiap sikap sejak awal
proses perdamaian, tetapi sikap itu lebih dibutuhkan untuk
para juru damai setelah mereka terlibat menindak tegas
kelompok pembangkang. Ini karena besar kemungkinan mereka pun
mengalami kerugian, harta, jiwa, atau paling tidak harga diri
akibat ulah para pembangkang. Kerugian tersebut dapat
mendorongnya untuk berlaku tidak adil, karena itu ayat ini
menekankan terhadap mereka kewajiban berlaku adil.

Begitu luas pesan keadilan Al-Quran, sehingga seseorang yang
merasa sempit dari keadilan, pasti akan merasakan bahwa
ketidakadilan jauh lebih sempit.

KEADILAN ILAHI

Pembicaraan tentang keadilan Ilahi bukanlah sesuatu yang baru.
Persoalan ini hadir sejak manusia mengenal baik dan buruk
Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa ada kejahatan, ada
penyakit dan kemiskinan, bahkan mengapa Tuhan menganugerahkan
si A segala kenikmatan, dan menjadikan si B tenggelam ke dalam
bencana? Kesemua pertanyaan itu dapat menjadi wajar.

Tetapi tidak mudah memahami -apalagi menjelaskan- persoalan
ini jika dikaitkan dengan keadilan Ilahi. Ia merupakan salah
satu hal yang amat muskil, khususnya bila ingin memuaskan
semua nalar. Itu sebabnya yang merasakan Kemahabesaran dan
Kemahabijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata, "Ada hikmah di
balik setiap peristiwa, baik yang dinilai sebagai
ketidakadilan (kejahatan) maupun sebaliknya." Jawaban semacam
ini jelas tidak memuaskan nalar.

Pada masyarakat primitif terdapat keyakinan adanya dua Tuhan:
Tuhan Cahaya (Kebaikan) dan Tuhan Kegelapan. Keyakinan seperti
ini -yang sekaligus merupakan jawaban- ditolak oleh penganut
monoteisme. Al-Quran secara tegas menolak dualisme, baik pada
penciptaan, penguasaan, maupun pengaturan alam raya.

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi, dan yang menjadikan kegelapan dan cahaya (QS
Al-An'am [6]: 1)

Sebagian pakar agama termasuk agama Islam menyelesaikan
persoalan ini dengan menyatakan bahwa yang dinamakan kejahatan
atau keburukan sebenarnya tidak ada, atau paling tidak hanya
terdapat pada nalar manusia yang memandang secara parsial.
Bukankah Allah menegaskan dalam Al-Quran bahwa,

Dialah yang membuat segala sesuatu dengan
sebaik-baiknya (QS Al-Ahzab [32]: 7).

Kalau demikian, segala sesuatu diciptakan oleh Allah, dan
segala sesuatu yang bersumber dari Allah pasti baik. Keburukan
adalah akibat dari keterbatasan pandangan. Segala sesuatu
sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya
demikian.

Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia baik
bagimu, dan bolehjadi engkau menyenangi sesuatu
padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu
tidak mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 216).

Nalar tidak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika
seseorang memandang sesuatu secara mikro, hal itu dinilainya
buruk dan jahat, tetapi jika dipandang secara makro dan
menyeluruh, justru hal itu merupakan unsur keindahan dan
kebaikan. Bukankah jika pandangan hanya ditujukan kepada tahi
lalat di wajah seorang wanita akan terlihat buruk? Tetapi,
bila wajah dipandang secara menyeluruh, tahi lalat tadi justru
menjadi unsur utama kecantikannya! Bukankah jika Anda hanya
melihat kaki seseorang dipotong, Anda akan menilainya kejam,
tetapi bila Anda mengetahui bahwa sang dokterlah yang
mengamputasi pasiennya, Anda justru akan berterima kasih dan
memujinya? Karena itu, jangan memandang kebijaksanaan Allah
secara mikro. Kalaupun Anda tidak mampu memandangnya secara
makro, yakinilah bahwa ada hikmah di balik semua itu.

Boleh jadi nalar Anda belum puas. Sekali lagi, mengapa ada
kejahatan, ada setan yang diciptakan-Nya untuk menggoda, atau
ada nasib baik dan nasib buruk yang dialami manusia?

Al-Quran menyatakan bahwa jenis manusia adalah satu kesatuan,

"Manusia itu adalah untuk umat yang satu" (QS
Al-Baqarah [2]: 213)

Bahkan seluruh jagat raya merupakan satu kesatuan.

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan adalah umat (satu kesatuan) seperti kamu
juga. Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab
(pengetahuan Tuhan). Kemudian kepada Tuhanmulah mereka
dihimpunkan (QS Al-An'am [6]: 38).

Jika demikian, pribadi demi pribadi secara sadar atau tidak,
bekerja sama dan saling menopang demi kebahagiaan bersama, dan
untuk itu ada di antara mereka yang menjadi "korban" demi
kebahagiaan makhluk secara keseluruhan. Pengorbanan itu
merupakan syarat kesempurnaan jenis makhluk, termasuk manusia.
Korban (yang mengalami "keburukan") harus ada, demi mewujudnya
kebaikan dan keindahan. Bagaimana mungkin manusia mengetahui
arti berani, jika tidak ada bahaya? Bagaimana mereka
mengetahui nikmatnya sehat, bila tidak merasakan sakit? Apa
artinya kesabaran jika tidak ada malapetaka? Nah, siapakah
yang harus mengalami semua itu? Jika bukan makhluk juga?

Apabila penderitaan itu terjadi karena kesalahan, maka
setimpallah akibat dengan ulahnya. Sedangkan apabila tidak
bersalah, maka pengorbanan manusia akan beroleh ganjaran di
sisi Allah, yakni pengampunan dosa dan ketinggian derajat di
akhirat sana (QS Al-Baqarah [2]: 155-157).

Patut dicatat bahwa Allah memberikan potensi kepada manusia
untuk mampu memikul kesedihan dan melupakannya, begitu kata
pakar psikologi dan begitu juga isyarat Al-Quran.

Tidak satu petaka pun yang menimpa seseorang kecuali
dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada
Allah, niscaya Dia (Allah) akan memberi petunjuk
kepada hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu (QS Al-Taghabun [64]: 11).

Manusia harus bekerja sama memikul bencana untuk mencapai dan
memahami tujuan keberadaannya.

Anda boleh bertanya, "Mengapa kerja sama itu harus ada?
Bukankah Allah Mahamutlak kesempurnaan dan kekuasaanNya,
sehingga Dia kuasa menciptakan alam tanpa kekurangan atau pun
tanpa kerja sama?"

Benar! Allah Mahamutlak kesempurnaan-Nya, karena

Bagi Allahlah segala sifat yang terpuji (QS Al-A'raf
[7]: 180).

Dia Mahakuasa, tiada sedikit pun kekurangan-Nya. Apakah nalar
Anda menuntut agar Dia menciptakan suatu ciptaan yang memiliki
kesempurnaan mutlak seperti kesempurnaan-Nya? Jika itu yang
diinginkan, akan terdapat dua Tuhan, dan ini mustahil. Bukan
saja dari segi redaksional kata "mutlak" (kemutlakan
mengandung arti kesendirian), melainkan juga mustahil dari
sisi keyakinan "keesaan-Nya", serta bertentangan pula dengan
firman-Nya,

Tiada yang serupa dengan-Nya satu pun (QS [42]: 11).

Yakni, jangankan yang sama dengan-Nya, yang serupa dengan
serupa-Nya pun tiada.

Adalah logis bahwa Pencipta harus berbeda dengan yang
diciptakan. Yang diciptakan kurang sempurna dibandingkan sang
pencipta. Kekurangan dan ketidaksempurnaan itu mencakup apa
yang dinamai atau diduga sebagai keburukan. Jangan lupa bahwa
yang dinamakan dan dikeluhkan manusia itu tidak mencakup
seluruh alam sebagai suatu unit dan serentak, melainkan hanya
diderita oleh sebagian unsur-unsurnya. Bahkan sering kejahatan
yang diderita seseorang dapat menjadi nikmat bagi dirinya
sendiri di masa datang, atau merupakan nikmat bagi yang lain.
Harus diingat juga bahwa terdapat banyak makhluk Allah dan
sebagian besar tidak diketahui manusia, sebab seperti
firman-Nya,

Dia menciptakan (makhluk) yang tidak kamu ketahui (QS
Al-Nahl [16]: 8).

Konon pengetahuan manusia baru dapat menjangkau sekitar 3%
dari seluruh alam raya ini.

Apakah nalar manusia menginginkan agar Tuhan tidak menciptakan
manusia sama sekali? Jangan berkeinginan seperti itu, karena
ini bertentangan dengan makna kekuasaan-Nya. Bukankah wujud
dan kekuasaan-Nya tidak dapat tercermin kecuali melalui
ciptaan-Nya?

Boleh jadi Anda berkata bahwa yang dikemukakan di atas ini
adalah tinjauan kekuasaan dan kodrat Ilahi, bukan dari sudut
pandang rahmat dan nikmat-Nya. Bukankah dari sudut tinjauan
ini, "tidak menciptakan sama sekali justru jauh lebih baik
daripada menciptakan sesuatu yang disertai dengan kepedihan
dan kejahatan?"

Barangkali demikian. Tetapi, mungkin juga pernyataan "mencipta
dan memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, tidak
mencegah kelanjutan eksistensi, dan memperoleh rahmat sewaktu
terdapat kemungkinan eksis atau potensi untuk mencapai
kesempurnaan" (seperti makna keadilan Ilahi yang dikemukakan
sebelum ini), jauh lebih baik.

Jika seperti itu adanya, persoalan keadilan Ilahi bukan
problem nalar, melainkan problem rasa, sebagai akibat dari
keinginan manusia untuk selalu mendapatkan yang terbaik untuk
diri, keluarga, atau jenisnya saja, hingga melupakan pihak
lain. Jika problemnya demikian, yang mampu menanggulanginya
adalah rasa juga. Di sinilah agama dan keyakinan berperan amat
besar.

KEADILAN SOSIAL

Al-Quran menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan
bermasyarakat adalah keadilan. Tidak lebih dan tidak kurang.
Berbuat baik melebihi keadilan --seperti memaafkan yang
bersalah atau memberi bantuan kepada yang malas-- akan dapat
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Memang Al-Quran memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan
seperti bunyi firman-Nya, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan" (QS Al-Nahl 116]: 90),
karena ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi
keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih
utama daripada kedermawanan atau ihsan.

Ihsan adalah memperlakukan pihak lain lebih baik dari
perlakuannya, atau memperlakukan yang bersalah dengan
perlakuan yang baik. Ihsan dan kedermawanan merupakan hal-hal
yang baik pada tingkat antar individu, tetapi dapat berbahaya
jika dilakukan pada tingkat masyarakat.

Imam Ali r.a. bersabda, "Adil adalah menempatkan sesuatu pada
tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan
pada tempatnya." Jika hal ini menjadi sendi kehidupan
bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan menjadi seimbang.
Itulah sebabnya, mengapa Nabi Saw. menolak memberikan maaf
kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau
pemilik harta telah memaafkannya.

Shafwan bin Umayyah dicuri pakaiannya oleh seseorang. Dia
menangkap pencurinya dan membawanya kepada Nabi Saw. Beliau
memerintahkan memotong tangan pencuri, tetapi Shafwan
memaafkan, maka Nabi Saw. bersabda.

"Seharusnya ini (pemanfaan) sebelum engkau membawanya
kepadaku" (Diriwayatkan oleh Ahmad At-Tirmidzi dan
An-Nasa'i).

Hidup adalah perjuangan. Yang baik dan bermanfaat akan
bertahan, sedang yang buruk akhirnya hancur. Demikian
ketetapan Ilahi.

Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak
ada harganya, sedangkan yang memben manfaat bagi
manusia itulah yang tetap bertahan di bumi.
Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (QS
Al-Raid [13]: 17).

Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan
kemampuan para rasul pun demikian (QS Al-Baqarah [2]: 253).
Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh
mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya, perbedaan itu harus
mengantarkan kepada kerja sama yang menguntungkan semua pihak.
Demikian kandungan makna firman-Nya pada surat Al-Hujurat
(49): 13.

Dalam surat Az-Zukhruf (43): 32 tujuan perbedaan itu
dinyatakan:

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami
telah menentukan di antara mereka (melalui
sunnatullah) penghidupan mereka di dunia, dan Kami
telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beaberapa tingkatan, agar mereka dapat saling
menggunakan (memanfaatkan kelebihan dan kekurangan
masing-masing) rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.

Setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairat
(berlomba-lombalah di dalam kebajikan) (QS Al-Baqarah [2]:
148). Setiap perlombaan menjanjikan "hadiah". Di sini
hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang
berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba
dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi,
tidak adil juga bila setelah berlomba dengan prestasi yang
berbeda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama
menolak hal ini.

Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (tidak
berjuang) kecuali yang uzur, dengan orang yang
berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka.
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan
harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk
(tidak ikut berjuang karena uzur) satu derajat. Dan
kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan imbalan
baik... (QS Al-Nisa' [4]: 95).

Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui? (QS Al-Zumar [39]: 9).
Keadilan sosial seperti terlihat di atas, bukan mempersamakan
semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam
kesempatan mengukir prestasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan sosial
didefinisikan sebagai "kerja sama untuk mewujudkan masyarakat
yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota
masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk
tumbuh berkembang sesuai kemampuan masing-masing."

Nah, jika di antara mereka ada yang tidak dapat meraih
prestasi atau memenuhi kebutuhan pokoknya, masyarakat yang
berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar
mereka pun dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan sosial
semacam inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial.

Bukankah telah dikemukakan pada awal uraian ini bahwa keadilan
akan mengantarkan kita kepada kesejahteraan? Dengan kata lain,
bukti atau anak sah keadilan sosial adalah kesejahteraan
sosial.

KESEJAHTERAAN SOSIAL

"Sejahtera" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "aman,
sentosa dan makmur; selamat (terlepas) dari segala macam
gangguan, kesukaran dan sebagainya." Dengan demikian
kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang
sejahtera.

Sebagian pakar menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang
didambakan Al-Quran tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam
dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan
tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum
Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih
dahulu ditempatkan di surga.

Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa,
sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta
kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang
mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang
berkesejahteraan.

Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam peringatan
Allah kepada Adam:

Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu
dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akibatnya
engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak
akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan
telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa
dahaga maupun kepanasan (QS Thaha [20]: 117- 119)

Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, den papan yang
diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan
kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya
kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan
sosial.

Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga
hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu
dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada
pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia:

Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga) perkataan
sia-sia; tidak pula (terdengar adanya) dosa, tetapi
ucapan salam dan salam (sikap damai) (QS Al-Waqi'ah
[56]: 25 dan 26).

Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang beriman
(Baca surat Ya Sin [36]: 55-58, dan Al-Thur [52]: 21).

Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewuJudkan
bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan usaha
sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Ilahi.

Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu (hai Adam,
setelah engkau berada di dunia, maka ikutilah). Maka
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tiada
ketakutan menimpa mereka dan tiada pula kesedihan (QS
Al-Baqarah [2]: 38).

Itulah rumusan kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Rumusan ini dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial
yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai
dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman.

Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang sejahtera
adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan,
kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak
keluarga, bahkan lingkungan. Sayyid Quthb mengatakan bahwa:

Sistem kesejahteraan sosial yang diajarkan Islam bukan sekadar
bantuan keuangan --apa pun bentuknya. Bantuan keuangan hanya
merupakan satu dari sekian bentuk bantuan yang dianjurkan
Islam.1

DARI MANAKAH MEMULAINYA?

Kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan
menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri
pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir
masyarakat seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi
Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat
mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang:
Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra', dan
lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar
Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk
keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya
terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan
kesejahteraan sosialnya.

Kesejahteraan sosial dimulai dengan "Islam", yaitu penyerahan
diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Tidak mungkin jiwa akan
merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split
personality):

Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki
oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam
perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik
penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya?
Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).

Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa pilihan
Allah --apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal-- adalah
pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu
Allah memerintahkan kepada manusia berusaha semaksimal
mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya, disertai kesadaran
bahwa:

Tiada satu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak
pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di
dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah
bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap sesuatu yang luput dari kamu,
dan jangan juga terlalu gembira (melampaui batas)
terhadap hal yang diberikannya kepada kamu... (QS
Al-Hadid [57]: 22-23).

Ini dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi,
keluarga, dan masyarakat, sehingga akhirnya tercipta hubungan
yang serasi di antara semua anggota masyarakat, yang salah
satu cerminannya adalah kesediaan mengulurkan tangan sebelum
diminta oleh yang membutuhkan, atau kesediaan berkorban demi
kepentingan orang banyak.

Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka
berikan itu) (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Setiap pribadi bertanggung jawab untuk mensucikan jiwa dan
hartanya, kemudian keluarganya, dengan memberikan perhatian
secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan istrinya, baik
dari segi jasmani maupun ruhani. Tentunya, tanggung jawab ini
mengandung konsekuensi keuangan dan pendidikan.

Dari sini Al-Quran memerintahkan penyisihan sebagian hasil
usaha untuk menghadapi masa depan. Salah satu penggalan ayat
yang diulang-ulang Al-Quran sebagai tanda orang bertakwa
adalah,

Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka,
mereka nafkahkan (QS Al-Baqarah [2]: 3)

Sebagian lain (yang tidak mereka nafkahkan itu), mereka
tabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan rasa
aman menghadapi masa depan, diri, dan keluarga.

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejabteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar (QS Al-Nisa' [4]: 9).

Dari keluarga, kewajiban beralih kepada seluruh anggota
masyarakat, sehingga dikenal adanya kewajiban timbal balik
antara pribadi dan masyarakat, serta masyarakat terhadap
pribadi. Kewajiban tersebut --sebagaimana halnya setiap
kewajiban-- melahirkan hak-hak tertentu yang sifatnya adalah
keserasian dan keseimbangan di antara keduanya. Sekali lagi
kewajiban dan hak tersebut tidak terbatas pada bentuk
penerimaan maupun penyerahan harta benda, tetapi mencakup
seluruh aspek kehidupan.

Siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka
hendaklah ia meluruskannya dengan tangan. Bila tak
mampu maka dengan lidah, dan bila (inipun) ia tak
mampu, maka dengan hati dan inilah selemah-lemahnya
iman (Diriwayatkan oleh Muslim).

Demikian sabda Nabi Saw. yang pada akhirnya melahirkan pesan,
bahwa, paling tidak, seorang Muslim harus merasakan manis atau
pahitnya sesuatu yang terjadi di dalam masyarakatnya, bukan
bersikap tak acuh dan tak peduli. Terdapat puluhan ayat dan
ratusan hadis yang menekankan keterikatan iman dengan rasa
senasib dan sepenanggungan, di antaranya:

Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Mereka
itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi pangan kepada orang miskin (QS
Al-Ma'un [107]: 1-3)

Redaksi ayat di atas bukanlah "tidak memberi makan", melainkan
"tidak menganjurkan memberi pangan". Ini mencerrninkan
kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan memberi, minimal
harus menganjurkan pemberian itu. Jika ini pun tidak
dilakukannya, sesuai ayat di atas ia termasuk orang yang
mendustakan agama dan hari pembalasan.

Setiap orang berkewajiban bekerja. Masyarakat atau mereka yang
berkemampuan harus membantu menciptakan lapangan pekerjaan
untuk setiap anggotanya yang berpotensi. Karena itulah
monopoli dilarang-Nya. Jangankan di dalam bidang ekonomi, pada
tempat duduk pun diperintahkan agar memberi peluang dan
kelapangan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada
kamu, "Berlapang-lapanglah di dalam majelis!", maka
lapangkanlah. Niscaya Allah memberi kelapangan untuk
kamu (QS Al-Mujadilah [58]: 11).

Setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta, dan
kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara
tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau
menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka
buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya.
Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat
menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang
mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan
batin yang didambakan (QS Al-Hujurat [49]: 11-12).

Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang
ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang
datang kepada Nabi Saw. mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw.
tidak memberinya uang tetapi kapak agar digunakan untuk
mengambil dan mengumpulkan kayu.

Di sisi lain, perlu diingat bahwa Al-Quran menegaskan
perkataan yang baik pada saat menolak, serta memaafkan tingkah
laku yang kurang sopan dari si peminta, akan jauh lebih baik
daripada memberi namun dibarengi sikap dan tingkah laku yang
menyakitkan.

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik
daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang
menyakitkan (QS Al-Baqarah [2]: 263).

Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, Al-Quran melarang
beberapa praktek yang dapat mengganggu keserasian hubungan
antar anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS Al-Baqarah
[2]: 275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar
kerelaan (QS Al-Nisa' [4]: 29). Di samping itu, ditetapkan
bahwa pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang
membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun
sedekah (QS Al-Dzariyat [51]: 19).

***

Demikian sekelumit wawasan Al-Quran tentang keadilan dan
kesejahteraan.

Tidak dipungkiri bahwa uraian ini sangat terbatas dibanding
dengan wawasan Al-Quran tentang topik di atas. Namun,
prinsip-prinsip dasar dari wawasan Al-Quran kiranya --melalui
tulisan singkat ini-- telah dapat tercerminkan. []

Catatan kaki:

1 Sayyid Quthb, Dirasat Islamiyah,
Al-Ma'arif, Kairo, 1967, hlm. 63

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

No comments: