Tuesday, December 4, 2007

POLITIK

POLITIK

Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau
Latin politicos atau politõcus yang berarti relating to
citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai
"segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan
sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara
lain." Juga dalam arti "kebijakan, cara bertindak (dalam
menghadapi atau menangani satu masalah)."

Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya
diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar
kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi,
mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang
sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau
rusak.

Dalam Al-Quran tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar
kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Quran tidak
menguraikan soal politik.

Sekian banyak ulama Al-Quran yang menyusun karya ilmiah dalam
bidang politik dengan menggunakan Al-Quran dan sunnah Nabi
sebagai rujukan. Bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai
salah satu karya ilmiahnya dengan As-siyasah Asy-Syar'iyah
(Politik Keagamaan).

Uraian Al-Quran tentang politik secara sepintas dapat
ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada
mulanya berarti "menghalangi atau melarang dalam rangka
perbaikan". Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah
yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan
asal makna kata sasa-yasusu-sais siyasat, yang berarti
mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.

Hukm dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata
"hukum" dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan
antara lain berarti "putusan". Dalam bahasa Arab kata ini
berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai makna,
bukan hanya bisa digunakan dalam arti "pelaku hukum" atau
diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti
perbuatan dan sifat. Sebagai "perbuatan" kata hukm berarti
membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang
menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika
dipahami sebagai "membuat atau menjalankan keputusan", maka
tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu, baru dapat
tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum
tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.

Kata siyasat sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan
politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat.

Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata
hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai
kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga
mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat. Pengertian
ini sejalan dengan makna kedua yang dikemukakan Kamus Besar
Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di
atas.

Dalam Al-Quran ditemukan dua puluh kali kata hikmah,
kesemuanya dalam konteks pujian. Salah satu di antaranya
adalah surat Al-Baqarah (2): 269:

Siapa yang dianugerahi hikmah, maka dia telah
dianugerahi kebajikan yang banyak.

WAWASAN POLITIK DALAM AL-QURAN

Dalam Al-Quran ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara
tentang hukm (Arab). Pengamatan sepintas, boleh jadi
mengantarkan orang yang berkata, bahwa ada ayat Al-Quran yang
secara tegas mengkhususkannya hanya kepada dan bersumber dari
Allah yakni ayat yang menyatakan,

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Al-An'am
[6]: 57)

Kelompok Khawarij yang tidak menyetujui kebiiaksanaan Khalifah
keempat Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat slogan yang
bunyinya sama dengan redaksi penggalan ayat tersebut, tetapi
ditanggapi oleh Ali r.a. dengan berkata,

Kalimat yang benar, tetapi yang dimaksudkan adalah
batil.

Memang ada empat ayat Al-Quran yang menggunakan redaksi
tersebut, tetapi ada dua hal yang harus digarisbawahi dalam
hubungan ini.

Pertama, keempat ayat yang menggunakan redaksi tersebut
dikemukakan dalam konteks tertentu. Perhatikan ayat-ayat
berikut:

Katakanlah, "Sesungguhnya aku dilarang menyembah
apa-apa yang kamu sembah selain Allah". Katakanlah,
"Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh
tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah
(pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat
petunjuk". Katakanlah, "Sesungguhnya aku berada di
atas bukti yang nyata (Al-Quran). Bukanlah wewenangku
untuk menurunkan azab yang kamu tuntut disegerakan
kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah.
Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
Keputusan yang baik" (QS Al-An'am [6]: 56-57).

Ayat ini seperti terbaca berbicara dalam konteks ibadah serta
keputusan menjatuhkan sanksi hukum yang berkaitan dengan
wewenang Allah.

Dalam surat Yusuf (12): 40, dan 67 redaksi serupa juga
ditemukan Ayat 40 berbicara dalam konteks mengesakan Allah
dalam ibadah:

Menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.

Sedangkan ayat 67 berbicara tentang kewajiban berusaha dan
keterlibatan takdir Allah.

Wahai anak-anakku, jangan masuk dalam satu pintu
gerbang, tetapi masuklah dan pintu gerbang yang
berlain-lainan. Namun demikian aku tidak dapat
melepaskan kamu barang sedikit pun dari takdir Allah.
Keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah
Kepada-Nya aku berserah diri dan hendaklah kepada-Nya
saja orang-orang yang bertawakal berserah diri.

Ayat keempat dan terakhir menggunakan redaksi yang sedikit
berbeda, yang terdapat dalam surat Al-An'am (6): 62,

Kemudian (setelah kematian) mereka dikembalikan
kepada (putusan,) A11ah, Penguasa mereka yang
sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari
itu) hanya milik-Nya saja. Dialah pembuat perhitungan
yang paling cepat.

Sebagaimana terbaca, ayat ini berbicara tentang ketetapan
hukum yang sepenuhnya berada di tangan Allah sendiri pada hari
kiamat.

Di sisi lain, ditemukan sekian banyak ayat yang menisbahkan
hukum kepada manusia, baik dalam kedudukannya sebagai nabi
maupun manusia biasa. Perhatikan firman Allah dalam Surat
Al-Baqarah (2): 213 yang berbicara tentang diutusnya para
nabi, dan diturunkannya kitab suci kepada mereka dengan tujuan
--menurut redaksi Al-Quran:

Agar masing-masing Nabi memberi putusan tentang
perselisihan antar manusia.

Di samping perintah kepada Nabi-nabi, ada juga perintah yang
ditujukan kepada seluruh manusia yang berbunyi:

Dan apabita kamu berhukum (menjatuhkan putusan) di
antara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan
adil (QS Al-Nisa' [4]: 58).

Kedua, kalaupun ayat-ayat yang berbicara tentang kekhususan
Allah dalam menetapkan hukum atau kebijaksanaan, dipahami
terlepas dari konteksnya, maka kekhususan tersebut bersifat
relatif, atau apa yang diistilahkan oleh ulama-ulama Al-Quran
dengan hashr idhafi. Dengan memperhatikan keseluruhan
ayat-ayat yang berbicara tentang pengembalian keputusan, dapat
disimpulkan bahwa Allah telah memberi wewenang kepada manusia
untuk menetapkan kebijaksanaan atas dasar pelimpahan dari
Allah Swt., dan karena itu manusia yang baik adalah yang
memperhatikan kehendak pemberi wewenang itu.

KEKUASAAN POLITIK

Allah Swt. adalah pemilik segala sesuatu,

Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta
apa yang terdapat antara keduanya (QS Al-Ma-idah [5]:
18).

Demikian satu dan sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara
tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu.

Benar, kita juga membaca,

Pemilik hari kebangkitan (QS Al-Fatihah [1]: 4).

Ayat ini boleh jadi mengantar seseorang untuk menduga bahwa
Dia bukan pemilik hari-hari duniawi, namun ini tidaklah benar.
Ayat Al-Fatihah ini, menekankan bahwa kepemilikannya
menyangkut hari kemudian adalah mutlak serta amat nyata,
sehingga --ketika itu-- jangankan bertindak, berbicara pun
hanya berbisik:

Dan rendahkanlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha
pemurah sehingga kamu tidak mendengar kecuali bisikan
(QS Thaha [20]: 108).

Itu pun harus dengan seizin-Nya, jangankan manusia, malaikat
pun demikian, seperti firman-Nya dalam surat Al-Naba' (78):
38.

Mereka tidak bercakap kecuali seizin Tuhan Yang Maha
Pemurah dan perkataan mereka benar (QS Al-Naba' [78]:
38).

Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian
kekuasaan-Nya kepada makhluk, juga karena kekuasaan tersebut
tidak sejenis di hari kemudian. Bukankah masih ada manusia di
dunia ini yang tidak mengakui kekuasaan Allah dalam
perwujudan-Nya?

Dalam konteks kekuasaan politik, Al-Quran memerintahkan Nabi
Muhammad Saw. untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut:

Katakanlah, "Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, engkau
anugerahkan kekuasaan bagi siapa yang Engkau
kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang
Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau
kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau
kehendaki, dalam tangan-Mu segala kebaikkan,
sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu."
(QS Ali Imran [3]: 26).

Dalam konteks ini, Rasul Saw. setiap habis shalat membaca doa,
yang hingga kini masih populer di kalangan umat Islam:

Namun demikian, seperti tersurat dalam ayat di atas, Allah
Swt. menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di
antara mereka ada yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan
baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan politik dan
ada pula yang gagal.

Paling tidak, dari dua istilah Al-Quran kita dapat menjumpai
uraian tentang kekuasaan politik, serta tugas yang dibebankan
Allah kepada manusia. Kedua istilah tersebut adalah istikhlaf
dan isti'mar.

a. Istikhlaf

Dalam surat Al-Baqarah (52): 30 dinyatakan

Sesungguhnya Aku (Allah) akan mengangkat di bumi
khalifah.

Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dalam Al-Quran
sebanyak dua kali, yakni ayat di atas, dan surat Shad (38):
26:

Wahai Daud Kami telah menjadikan engkau khalifah di
bumi.

Bentuk jamak dari kata tersebut ada dua macam khulafa' dan
khalaif. Masing-masing mempunyai makna sesuai dengan
konteksnya.

Seperti terbaca di atas, ayat-ayat yang berbicara tentang
pengangkatan khalifah dalam Al-Quran ditujukan kepada Nabi
Adam dan Nabi Daud. Khalifah pertama adalah manusia pertama
(Adam) dan ketika itu belum ada masyarakat manusia, berbeda
dengan keadaan pada masa Nabi Daud. Beliau menjadi khalifah
setelah berhasil membunuh Jalut. Al-Quran dalam hal ini
menginformasikan bahwa,

Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan
atas kerajaan, dan hikmah serta mengajarkan apa yang
dikehendaki-Nya (QS Al-Baqarah [2]: 251].

Ayat ini menunjukkan bahwa Daud memperoleh kekuasann tertentu
dalam mengelola satu wilayah, dan dengan demikian kata
khalifah pada ayat yang membicarakan pengangkatan Daud adalah
kekhalifahan dalam arti kekuasaan mengelola wilayah atau
dengan kata lain kekuasaan politik. Hal ini didukung pula oleh
surat Al-Baqarah (2): 251 di atas yang menjelaskan bahwa Nabi
Daud a.s. dianugerahi hikmah yang maknanya telah dijelaskan
sebelum ini.

Kekhalifahan dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari
ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak khulafa'. Perhatikan
konteks ayat-ayat surat Al-A'raf (7): 69 dan 74, serta Al-Naml
(27): 62.

Menarik juga untuk dibandingkan bahwa ketika Allah menguraikan
pengangkatan Adam sebagai khalifah, digunakan bentuk tunggal
dalam menunjuk pengangkatan itu,

Sesungguhnya Aku akan mengangkat di bumi khalifah (QS
Al-Baqarah [2]: 30).

Sedangkan ketika berbicara tentang pengangkatan Daud sebagai
khalifah digunakannya bentuk plural (jamak),

Sesungguhnya Kami telah mengangkat engkau khalifah.

Pengggunaan bentuk tunggal pada Adam cukup beralasan karena
ketika itu memang belum ada masyarakat manusia, apalagi ia
baru dalam bentuk ide. Perhatikan redaksinya yang menyatakan,
"Aku akan". Sedangkan pada Daud, digunakan bentuk jamak serta
past tense (kata kerja masa lampau), "Kami telah" untuk
mengisyaratkan adanya keterlibatan selain dari Tuhan (dalam
hal ini restu masyarakatnya) dalam pengangkatan tersebut. Di
sisi lain dapat dikatakan bahwa mengangkat seseorang sebagai
khalifah boleh-boleh saja dilakukan oleh satu oknum, selama
itu masih dalam bentuk ide. Tetapi kalau akan diwujudkan di
alam nyata maka hendaknya ia dilakukan oieh orang banyak atau
masyarakat.
Ayat Sesungguhnya Aku akan mengangkat khalifah di bumi (QS
Al-Baqarah 12]: 31) menginformasikan juga unsur-unsur
kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur
tersebut adalah (1) bumi atau wilayah, (2) khalifah (yang
diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta (3) hubungan
antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya
dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt.).

Kekhalifahan itu baru dinilai baik apabila sang khalifah
memperhatikan hubungan-hubungan tersebut.

b. Isti'mar

Kata isti'mar dalam bahasa Arab modern diartikan penjajahan;
ista'mara adalah menjajah. Makna ini tidak dikenal dalam
bahasa Al-Quran, dan memang ia merupakan penamaan yang tidak
sejalan dengan kaidah bahasa Arab dan akar katanya.

Dalam surat Hud (11): 61 Allah berfirman:

Dia Allah yang menciptakan kamu dari bumi dan
menugaskan kamu memakmurkannya.

Kata isti'mara pada ayat di atas terdiri dari huruf sin dan
ta' yang dapat berarti meminta seperti dalam kata istighfara,
yang berarti meminta maghfirah (ampunan). Dapat juga kedua
huruf tersebut berarti "menjadikan" seperti pada kata hajar
yang berarti "batu" bila digandengkan dengan sin dan ta'
sehingga terbaca istahjara yang maknanya adalah menjadi batu.

Kata 'amara dapat diartikan dengan dua makna sesuai dengan
objek dan konteks uraian ayat. Surat Al-Tawbah (9): 17 dan 18
yang menggunakan kata kerja masa kini ya'muru, dan ya'muru
dalam konteks uraian tentang masjid diartikan memakmurkan
masjid dengan jalan membangun, memelihara, memugar,
membersihkan, shalat, atau i'tikaf di dalamnya. Sedangkan
surat Al-Rum (30): 9 yang mengulangi dua kali kata kerja masa
lampau 'amaru berbicara tentang bumi, diartikan sebagai
membangun bangunan, serta mengelolanya untuk memperoleh
manfaatnya.

Jika demikian, kata ista'marakum dapat berarti "menjadikan
kamu" atau "meminta/menugaskan kamu" mengolah bumi guna
memperoleh manfaatnya. Dari satu sisi, penugasan tersebut
dapat merupakan pelimpahan kekuasaan politik; di sisi lain
karena yang menjadikan dan yang menugaskan itu adalah Allah
Swt., maka para petugas dalam menjalankan tugasnya harus
memperhatikan kehendak yang menugaskannya.

PRINSIP-PRINSIP KEKUASAAN POLITIK

Seperti terlihat di atas, kekuasaan politik dianugerahkan oleh
Allah Swt. kepada manusia. Penganugerahan ini dilakukan
melalui satu ikatan perjanjian. Ikatan ini terjalin antara
sang penguasa dengan Allah Swt. di satu pihak dan dengan
masyarakatnya di pihak lain. Perjanjian dengan Allah dinamai
oleh-Nya dalam Al-Quran dengan 'ahd.

Dalam surat Al-Baqarah (2): 124 Nabi Ibrahim a.s. yang
diangkat Tuhan menjadi imam bermohon kepada-Nya agar imamah
(kepemimpinan) itu diperoleh pula oleh anak cucunya. Kemudian
Allah menjawab:

Perjanjianku tidak akan diperoleh oleh orang-orang
zalim.

Adapun perjanjian dengan anggota masyarakat, maka ia dinamai
bai'at. Hal ini telah penulis isyaratkan sebelum ini ketika
menjelaskan sebab penggunaan kata Kami dalam pengangkatan Nabi
Daud a.s. sebagai khalifah, dan diisyaratkan juga oleh
Al-Quran terhadap Nabi Muhammad Saw. yang kepada beliau datang
wanita-wanita untuk berbaiat.

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan
beriman untuk mengadakan bai'at (janji setia) bahwa
mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan
Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak
akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta
yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka
(mengadakan pengakuan palsu tentang hubungan seksual
dan akibat-akibatnya), dan tidak akan mendurhakaimu
dalam urusan ma'ruf, maka terimalah bai'at mereka dan
mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS Al-Mumtahanah (60): 12).

Perjanjian ini --baik antara sang penguasa dengan masyarakat
maupun antara dia dengan Yang Mahakuasa-- merupakan amanat
yang harus ditunaikan. Dari sini, tidak heran jika perintah
taat kepada penguasa (ulil amr) didahului oleh perintah
menunaikan amanah. Perhatikan firman Allah berikut:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan
amanat kepada yang berhak menenrimanya dan
(memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah,
taatilah Rasul, dan ulil amr di antara kamu. Kemudian
jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih
baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 58-59).

Kedua ayat di atas dinilai oleh para ulama sebagai
prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang
kekuasaan atau pemerintahan. Bahkan Rasyid Ridha, seorang
pakar tafsir, berpendapat bahwa, "Seandainya tidak ada ayat
lain yang berbicara tentang hal permerintahan, maka ayat itu
telah amat memadai."

Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di
antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini
bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum Muslim
saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk.
Ayat-ayat Al-Quran yang menyangkut hal ini amat banyak, salah
satu di antaranya berupa teguran kepada Nabi Saw. yang hampir
saja menyalahkan seorang Yahudi karena terpengaruh oleh
pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam konteks inilah turun
firman Allah:

Dan janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang
tidak bersalah karena (membela) orang-orang yang
khianat (QS Al-Nisa' [4]: 105).

Nabi Saw. dalam sekian banyak hadisnya memperingatkan hal
tersebut, antara 1ain sabdanya,

(Berhati-hatilah) Doa orang yang teraniaya diterima
Allah, walaupun ia durhaka, (karena) kedurhakaannya
dipertanggunjawabkan oleh dirinya sendiri (HR Ahmad
dan Al-Bazzar melalui Abu Hurairah).

Berdampingan dengan amanat yang dibebankan kepada para
penguasa, ditekankan kewajiban taat masyarakat terhadap
mereka.

Perlu diperhatikan bahwa redaksi ayat di atas menggandengkan
kata "taat" kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu
pada ulil amr.

Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil
amr antara kamu (QS Al-Nisa' [4]: 59).

Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amr untuk memberi
isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri
tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah
dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan
nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan
untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang
sangat populer yaitu,

Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang
makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah).

Tetapi di sisi lain, apabila perintah ulu amr tidak
mengakibatkan kemaksiatan, maka ia wajib ditaati, walaupun
perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah.

Seorang Muslim wajib memperkenankan dan taut
menyangkut apa saja (yang diperintahkan ulul amr),
suka atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan
berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh
memperkenankan, tidak juga taat (Diriwayathan oleh
Bukhari Muslim, dan lain-lain melalui Ibnu Umar).

Taat dalam bahasa Al-Quran berarti "tunduk" menerima secara
tulus dan menemani. Ini berarti ketaatan dimaksud bukan
sekadar melaksanakan apa yang diperintahkan tetapi harus ikut
berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan penguasa
politik guna mendukung usaha-usahanya.

Dalam konteks ini, Nabi Saw. bersabda:

Agama adalah nasihat.

Dan ketika para sahabat bertanya, "Untuk siapa?" Nabi Saw.
menjawab antara lain,

Untuk para pemimpin kaum Muslim dan khalayak ramai mereka (HR
Muslim melalui sahabat Nabi Abu Ruqayyah Tamim bin Aus
Addari).

"Nasihat" yang dimaksud Nabi di sini adalah dukungan positif
kepada mereka termasuk kontrol sosial demi suksesnya
tugas-tugas yang mereka emban.

Ayat Al-Nisa' yang dikutip di atas menurut pakar tafsir
Al-Maraghi. menjelaskan prinsip-prinsip ajaran agama dalam
bidang pemerintahan serta sumber-sumbernya, yaitu:

1. Al-Quran Al-Karim yang ditunjuk oleh perintah agar
taat kepada Allah.

2. Sunnah Rasul Saw. yang ditunjuk oleh kewajiban
taat kepada Rasul.

3. Konsensus ulul amr, yakni mereka yang diberi
kepercayaan oleh umat seperti para ulama, cerdik
cendekia, pemimpin militer, penguasa, petani,
industriawan, buruh, wartawan, dan sebagainya. Mereka
itulah ulul amr.

4. Mengembalikan persoalan yang diperselisihkan
kepada kaidah-kaidah umum yang terdapat dalam
Al-Quran dan Sunnah.

TUGAS-TUGAS PARA PENGUASA

Mereka yang mendapat anugerah "menguasai wilayah" diberi
berbagai tugas, yang antara lain diuraikan oleh surat Al-Hajj
(22): 41:

Orang-orang yang jika Kami kukuhkan kedudukan mereka
di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan
zakat, memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah
yang munkar, dan kepada Allah kesudahan segala urusan
(QS Al-Hajj [22]: 41).

"Mendirikan shalat" adalah lambang hubungan baik dengan Allah,
sedang "menunaikan zakat" adalah lambang perhatian yang
ditujukan kepada masyarakat lemah. "Amr ma'ruf" mencakup
segala macam kebajikan, adat istiadat, dan budaya yang sejalan
dengan nilai-nilai agama, sedang nahi 'an al-munkar adalah
lawan dari amr ma'ruf

Dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya, para penguasa
dituntut untuk selalu melakukan musyawarah, yakni "bertukar
pikiran dengan siapa yang dianggap tepat guna mencapai yang
terbaik untuk semua."

Mereka juga dituntut untuk memanfaatkan semua potensi yang
dapat dimanfaatkan guna mencapai hasil maksimal yang
diharapkan. Dalam konteks ini, terjadi diskusi di kalangan
ulama, berkaitan dengan keterlibatan non-Muslim dalam
pemerintahan. Diskusi ini muncul baik ketika menafsirkan kata
minkum (dari golongan kamu orang-orang Mukmin) pada surat
Al-Nisa (4): 58 yang berbicara tentang ulil amr maupun dalam
ayat-ayat lain yang secara tekstual melarang mengangkat
orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya' (yang biasa
diterjemahkan pemimpin-pemimpin). Misalnya firman Allah:

Ayat ini diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama dalam
Al-Quran dan Terjemahnya sebagai berikut:

Hai orang-orang Mukmin, janganlah kamu mengangkat
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin
bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
yang mengambil mereka sebagai pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim (QS Al-Ma-idah [5]: 51).

Pakar tafsir kenamaan Muhammad Rasyid Ridha, sambil menunjuk
kepada kenyataan sejarah masa khalifah Umar r.a. dan
dinasti-dinasti Umawiyah dan Abbasiah, memahami ayat ini dan
ayat-ayat semacamnya secara kontekstual. Pakar ini merujuk
kepada firman Allah dalam surat Ali 'Imran ayat 118 dan
menjadikannya sebagai sebab larangan tersebut. Ayat dimaksud
adalah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil
menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar
golonganmu (non-Muslim, karena) mereka selalu
menimbulkan kesulitan bagi kamu, mereka menginginkan
yang menyusahkan kamu. Telah nampak dan ucapan mereka
kebencian, sedang apa yang disembunyikan oleh dada
mereka lebih besar. Sungguh Kami telah jelaskan
kepada kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu
memahaminya (QS Ali 'Imran [3]: 1l8).

Ayat di atas? tulis Rasyid Ridha, mengandung larangan dan
penyebabnya, jadi larangan tersebut adalah larangan bersyarat,
sehingga yang dilarang untuk diangkat menjadi pemimpin, atau
teman kepercayaan adalah: mereka yang selalu menyusahkan dan
menginginkan kesulitan bagi kaum Muslim, serta yang telah
nampak dari ucapan mereka kebencian.

Allah Swt. --tulis Rasyid Ridha-- yang menurunkan ayat-ayat
ini mengetahui perubahan-perubahan sikap pro atau kontra yang
dapat terjadi bagi bangsa-bangsa dan pemeluk-pemeluk agama
seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang Yahudi yang
pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang Mukmin, namun
berbalik membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan
seperti di Andalusia atau seperti halnya orang-orang Mesir
yang membantu kaum Muslim melawan Romawi.

Dari sini terlihat bahwa Al-Quran tidak menjadikan perbedaan
agama sebagaõ alasan untuk tidak menjalin kerja sama apalagi
mengambil sikap tidak bersahabat. Al-Quran memerintahkan agar
setiap umat berpacu dalam kebajikan seperti yang ditegaskan
dalam surat Al-Baqarah (2): 148:

Tiap-tiap umat ada kiblat (arah)-nya masing-masing,
maka berpaculah dalam kebajikan-kebajikan. Di mana
pun kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu
sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu.

Bahkan Al-Quran sama sekali tidak melarang kaum Muslim untuk
berbuat baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapa
pun, selama mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau
mengusir kaum Muslim dan kampung halaman mereka (QS
Al-Mumtahanah [60]: 8).

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku
adil/memberi sebagian hartamu, kepada orang-orang
yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yqng berlaku adil (QS
Al-Mumtahanah [60]: 8).

Demikian sekilas tentang prinsip-prinsip dasar wawasan
Al-Quran tentang politik. Rincian dan setiap kebijaksanaan
politik tidak boleh bertentangan dengan prõnsip di atas.[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

No comments: