Monday, December 3, 2007

SKISME DALAM ISLAM SEBUAH TELAAH ULANG

SKISME DALAM ISLAM SEBUAH TELAAH ULANG (1/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat

Ketika matahari Islam sedang naik di sebelah Timur, di Barat
Kristianitas terbelah dua pola: Gereja Romawi dan Gereja
Yunani. Mereka berpisah seperti "a biological species divided
in space and diversified in time." Kristen Yunani berdoa
sambil berdiri, Kristen Romawi sembahyang sambil berlutut.
Pembaptisan di Yunani dilakukan dengan penyelaman, di Romawi
dengan pemercikan. Pernikahan dilarang bagi pastor Romawi,
tetapi diperbolehkan bagi pastor Yunani. "Kiai" Yunani
memelihara janggut, sedangkan rekannya dari Roma mencukurnya.
Pastor Romawi ahli politik, pastor Yunani ahli teologi.
Terakhir, teolog Yunani menolak tambahan filioque pada
syahadat sex patre filioque procedit hasil perumusan Gereja
Romawi. Pada tahun 1043, Michael Cerularius, Patriarch
Konstantinopel, menyebarkan tulisan yang mengkritik keras Paus
di Roma. Sebagai balasan, Paus St. Leo mengekskomunikasikan
Cerularius dan menggelari pengikut-pengikutnya sebagai "an
assembly of heretics, a conventicle of schismatics, a
synagogne of Satan." (Durant, 1950:544).

Peristiwa ini disebut sebagai skisma besar Gereja Timur. Lebih
dari tiga abad kemudian, kardinal-kardinal Perancis berkumpul
di Anagui, mengeluarkan manifesto yang mengatakan pemilihan
Paus Urbanus VI tidak sah. Sebagai gantinya, mereka mengangkat
Robert dari Genewa dengan gelar Clement VII. Dua Paus
bertahta, masing-masing menyebut yang lain sebagai Judas.
Pertentangan keduanya dan pengikutnya sampai kepada tingkat
saling mengkafirkan. Menurut laporan Will Durant (Durant),
1953:362) "Each side claimed the sacraments administered by
priests of the opposite obedience are invalid, and that the
children so baptized, the penitents so shriven, the dying so
anointed, remained in a state of mortal sin, doomed to hell or
limbo if death should supervene."

Peristiwa ini pun disebut sebagai Skisma Besar. Skisma memang
bukan istilah Islam. Sebuah kamus klasik, Encyclopedisch
Woordenbock voor Groot-Nederland (Ter laan, 1937:648)
menjelaskan makna skisme:

Schisma, (Gr.= shedding), de afscheiding van een deel van de
Gr. Katholieke kerk van Rome, 1054; de sheuring in de. R.K.
kerk, 1378-1407, toen er verschillende pausaen tegelijk waren.

Bila skisme adalah istilah Kristiani, mengapa kita tiba-tiba
bicara tentang skisme dalam Islam. Pernahkan Islam mempunyai
Paus dua dan di antara keduanya ada tuduhan saling
mengkafirkan? Bukankah umat Islam adalah "ummatan wahidatan"
(QS. 23:53; 21:92)? Bukanlah mereka seperti bangunan yang
kokoh, yang saling menguatkan satu same lain; atau seperti
tubuh yang satu, sehingga kalau satu anggota sakit,
anggota-anggota lainnya ikut demam dan panas?

Mula-mula saya menganggap istilah skisme dalam Islam sebagai
mengada-ada; sehingga begitu saja mendengarnya, saya segera
berkomentar, "Ah, ada-ada saja!." Tetapi, setelah saya
merenungkan pertanyaan-pertanyaan di atas? terlintas dalam
ingatan saya sebuah hadits, Nabi Muhammad berkata, "Kalian
akan mengikuti tradisi umat sebelum kalian, sesiku demi
sesiku, sehingga bila mereka memasuki gua serigala, kamu pun
akan mengikutinya. Sahabat bertanya, "Ya Rasullah, apakah
mereka itu Yahudi dan Nashara." Nabi menjawab, "Siapa lagi."
[1] Kata skisme tidak mengada-ada. Walaupun skisme berasal
dari dunia kristen, tradisi yang same telah diikuti umat Islam
juga. Ada tiga kesamaan antara skisma Kristiani dengan
perpecahan dalam Islam.

Pertama, Will Durant melukiskan skisme besar tahun 1054, ia
menulis, "...these galling political events, and not the
slight diversities of creed, severed Christendom into East and
West" (Durant, 1950:544). Al-Syahrastani dalam al-Milal wa
al-Nihal menulis, "Tidak pernah darah di tumpahkan dan pedang
dihunus dalam Islam kecuali karena pertikaian masalah imamah
(kepemimpinan)." Secara singkat, baik skisme dalam Kristen
maupun skisme dalam Islam lebih banyak dilandasi pertikaian
kepentingan politik daripada karena pertikaian aqidah.

Kedua, pertikaian politik sering dicarikan legitimasinya
dengan pengembangan teologi yang berlainan. Tidak jarang,
legitimasi ini diperoleh dengan memalsukan sumber-sumber
ajaran agama atau memberikan penatsiran yang diselewengkan.
Pertikaian dalam gereja Katolik, yang semula bersifat politis,
kemudian diperluas ke dalam bidang liturgi dan doktrin: begitu
pula, dalam Islam. Seperti dalam dunia Kristiani, dalam Islam
pun kaum politisi memperbesar perbedaan doktrinal yang kecil
untuk menyuburkan fanatisme --saling mengkafirkan dan saling
membid'ahkan.

Ketiga, di dunia Katolik pernah muncul gerakan konsiliasi
(cinciliar movement) yang dipelopori oleh kaum cendekiawan.
William Occam menentang identifikasi Kristianitas dalam gereja
tertentu. Heinrich von Langenstein, teolog dari Universitas
Paris, menulis buku Concilium Pacis (1381); dan lain-lain.
Dalam Islam, tokoh-tokoh cendekia seperti Syaikh Syaltut (dari
ahl al-Sunnah), Kasyif Githa (dari Syi'ah), dan Jamaluddin
al-Afgani (tidak jelas dari Sunnah atau Syi'ah), menggalakkan
upaya-upaya taqrib. Sayang, seperti dalam dunia Kristiani,
dalam Islam pun umat terbanyak lebih banyak mendengar suara
politisi ketimbang cendekiawan.

Tulisan ini, terus terang saja, ingin mengikuti suara
cendekiawan dan mengesampingkan suara politisi. Jadi, walaupun
membicarakan skisme, tujuan akhirnya adalah menumbuhkan sikap
persatuan --sikap nonskismatik, sikap nonsektarian. Walaupun
--karena sifat ajarannya-- Islam tidak memisahkan aspek
politik dan aspek intelektual, untuk mudahnya saja, di sini
kedua aspek itu dipisahkan. Bagian pertama makalah ini akan
membicarakan skisme politik, dan bagian kedua skisme
intelektual. Pada bagian akhir, makalah ini akan mengajukan
rekomendasi apa yang seharusnya kita lakukan.

Ada beberapa kali terjadi skisme politik besar dalam sejarah
Islam: pemberontakan 'Aisyah terhadap Khalifah Ali bin Abi
Thalib, pertentangan khalifah antara Mu'awiyah dan Ali bin Abi
Thalib setelah perjanjian Shiffin, perlawanan Husayn bin Ali
terhadap Yazid, atau penobatan Abdullah bin Zubair (681-692)
sebagai Khalifah bersamaan dengan masa Khalifah Yazid, atau
penobatan Syarif al-Husain sebagai Khalifah tandingan khalifah
Utsmaniyah, yang baru saja dihapuskan tiga hari sebelumnya.

Di antara semua skisme tersebut, skisme yang tetap berpengaruh
sampai sekarang adalah skisme-skisme yang melahirkan
polarisasi Sunnah - Syi'ah (yaitu tiga skisme yang pertama).
Karena itu, di sini kita akan meneliti perbedaan konsep
politik di antara kedua madzhab besar itu dan melacak
penyebab-penyebabnya.

ANTARA KHALIFAH DAN IMAMAH

Hamid Enayat menyebutkan tiga konsep kunci untuk pandangan
politik Ahl al-Sunnah - yakni Khalifah, ijma' dan bay'ah.
Ketiga konsep kunci untuk pandangan politik Syi'ah - yakni,
imamah, wilayat, dan 'ishmah. Ijma' dan bay'ah diterima juga
dalam Syi'ah walaupun dalam arti yang terbatas. Wilayah dan
'ishmah merupakan karakteristik tak terpisahkan dari imamah.
Karena itu, abstraksi pandangan politik ahl al-Sunnah dapat
disimpulkan hanya pada perbedaan konsep imamah dan khilafah
yang dianut Syi'ah. [2]

Al-Syahrustani membedakan di antara kedua madzhab ini dalam
hal kepemimpinan politik. Ahl al-Sunnah menetapkan pemimpin
melalui kesepakatan (al-ittifaq) dan pemilihan (al-ikhtiyar).
Sementara itu, Syi'ah menetapkan pemimpin lewat keterangan
agama (nash) dan penunjukan (ta'yin). Al-Mawardi dalam
Al-Ahkam al-Sulthaniyah (450 H) dan Abu Ya'la dalam Al-Ahkam
al-Sulthaniyah (458 H) semuanya menulis, "Kepemimpinan
ditetapkan dengan dua cara: pertama, pemilihan Ahl al-Hal wa
al-'Aqd; dan kedua, penunjukan imam sebelumnya" (Perlu dicatat
di sini bahwa penulis-penulis di atas adalah ulama ahl
al-Sunnah, tetapi -anehnya menyebut kepemimpinan dengan
istilah imamah).

Ahl al-Sunnah berpegang pada ketentuan syura sebagai landasan
kepemimpinan dan menunjuk QS. al-Syura 38 dan Ali Imran 164
sebagai dalil. Jadi karena pemimpin adalah hasil syura,
pemimpin tidak perlu ditunjuk oleh nash. Umat boleh memiliki
(ikhtiyar) pemimpin yang disepakatinya (ittifaq) Dalam
kenyataan, Ahl al-Sunnah tidak mempunyai konsepsi yang jelas
tentang ketentuan-ketentuan syura, siapa yang memilih, dan
berapa jumlah orang yang sepakat.

Menurut Al-Mawardi, syura, boleh dilakukan dalam jumlah
terbatas dan ittifaq paling sedikit dilakukan lima orang.
Pengangkatan Abu Bakar dipilih oleh Umar bin Khathab, Abu
'Ubaidah bin al-Jarah, Usaid bin Hudhair, Basyir bin Sa'ad,
dan Salim Mawla Abi Hudzaifah. Begitu pula Umar mempercayakan
Dewan Formatur yang terdiri dari enam orang untuk memilih satu
di antaranya sebagai khalifah. Ini pendapat fuqaha Bashrah.
Menurut fuqaha Kufah, syura cukup tiga orang dan satu di
antara mereka disepakati oleh dua orang yang lain. Bukankah
aqad nikah sah dengan dua saksi dan satu wali? Kata kelompok
yang lain, syura dan ittifaq cukup dilakukan oleh seorang saja
(sic!), seperti ketika 'Abbas mendatangi Ali untuk
membai'atnya. Mawardi dalam bukunya, Al-Ahkam al-Sulthaniyah
6-7; dikutip lagi dari Al-Askari, 1406:147.

Akhirnya, menurut Ahl al-Sunnah, pemimpin bahkan dapat
disahkan tidak lewat ittifaq tetapi lewat al-ghalabah
(kemenangan perang). Empat imam mazhab Ahl al-Sunnah sepakat
bahwa pemimpin sah dengan salah satu di antara empat cara
(al-Yahfufi, 1406: 234-256), yaitu:

(1) sistem syura yang terbatas (seperti pemilihan Abu Bakar)

(2) sistem istikhlaf (penunjukan pengganti seperti yang
dilakukan Abu Bakar terhadap 'Umar

(3) sistem syura dari dewan formatur yang ditunjuk khalifah
sebelumnya (seperti pengangkatan Utsman bin Affan)

(4) sistem al-ghalabah bi al-saif (penaklukan dengan kekuatan
militer seperti yang dilakukan Mu'awiyah)

Syi'ah berpendapat bahwa imamah hanya sah bila ditegaskan
dalam nash. Mereka beryakinan bahwa Rasulullah SA.W. menunjuk
pengganti-pengganti sesudahnya untuk memimpin umat Islam.
"Sejak pertama kali ia mengajak orang pada Islam," kata
Al-Askari (1406:202). "Ia telah memikirkan dan merencanakan
pelanjutnya ... untuk menegakkan masyarakat Islam." Sayyid
Muhammad Husayn Tabatabai (t.t.: 39) menulis:

From the Shi'ite point of view it appears as unlikely that the
leader of a movement, during the first days of his activity,
should introduce to strangers one of his associates as his
successor and deputy, but not introduce him to his completely
loyal and devout aides and friends. Nor does it appear likely
that such a leader should accept someone as his deputy and
successor and introduce him to others as such, but then
throughout his life and religious call deprive his deputy of
his duties as deputy, disregard the respect due to his
position as successor, and refuse to make any distinctions.
Walhasil, menurut Syi'ah, ada nash-nash yang jelas dari
Rasulullah saw. yang menunjukkan Ali sebagai penggantinya dan
sebelas orang imam dari keturunannya. [3]

Karena imam itu ditunjuk oleh nash, maka tentu imam adalah
orang yang terbaik, bahkan terpelihara dari dosa. Ini
melahirkan kontroversi al-fadhil dan al-mafdhul. Al-Hilli
(dalam Al-Hasan, 1396: 27) menulis:

Imam mesti yang paling utama dari rakyatnya. Mazhab Imamiyah
sepakat tentang hal itu. Al-Jumhur (yakni, Ahl al-Sunnah)
membolehkan mendahulukan al-mafdhul di atas al-fadhil. Dengan
begitu mereka menyalahi akal dan nash al-Kitab. Akan
menganggap tidak baik mendahulukan al-mafdhul dan menghinakan
al-fadhil. Al-Qur'an menentang hal itu dengan berkata, "Apakah
orang yang memberi petunjuk kepada yang benar lebih berhak
diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk,
bahkan harus diberi petunjuk. Bagaimana kalian menetapkan
keputusan?."

Karena Syi'ah menetapkan al-fadhil dan Ahl al-Sunnah
membolehkan al-mafdhul sebagai imam, terjadilah kontroversi
berikutnya. Syi'ah melarang dan Ahl al-Sunnah mengharuskan
petaatan pada penguasa yang zalim. Al-Nawawi berkata dalam
Syarh Muslim-nya, "Berkata jumhur ahl al-Sunnah dari kalangan
fuqaha, mahaddtsin, dan mutakallimun bahwa imam tidak boleh di
dimakzulkan karena kefasikan, dan kedzaliman, atau pelanggaran
hak. Ia tidak boleh diturunkan dan tidak boleh orang keluar
menentangnya. Wajib bagi rakyat menasihati dan
memperingatkannya." Sebelum itu ia menulis (Syarh Muslim 12:
229), "Keluar memerangi mereka haram berdasarkan ijma' kaum
muslimin, walaupun mereka fasik dan zalim. Sudah jelas sekali
hadits-hadits yang menunjukkan pengertian yang saya sebut. Ahl
al-Sunnah ijma' bahwa sulthan tidak boleh dimakzulkan karena
kefasikan."

Kontroversi selanjutnya adalah tindakan untuk menjawab
pertanyaan manakah yang lebih utama, penguasa muslim yang
dzalim atau penguasa kafir yang adil. Ahl al-Sunnah memilih
yang pertama, dan Syi'ah mengikuti yang kedua. Syi'ah Jawad
Mughnuyah (1406: 26) berpendapat, "Ketika Syi'ah menegaskan
bahwa khilafah adalah hak ilahi bagi Ali dan keturunannya,
mereka telah bersikap ekstrem dalam toleransinya terhadap
penguasa yang adil. Mereka mengutamakan non-muslim jika ia
adil daripada seorang penguasa Muslim yang dzalim. Ibn Thawus
yang masyhur menegaskan, kafir yang adil lebih baik dari
Muslim yang dzalim.

Kontroversi lain --yang justru sangat esensial-- adalah
hubungan antara kepemimpinan relegius dengan kepemimpinan
politis. Bagi orang Syi'ah, pada kata imamah (yang secara
khusus berarti kepemimpinan ruhaniah) juga terkandung makna
wilayah (secara khusus berarti kepemimpinan politis). Dengan
demikian, ahl al-bayt --di samping memegang hak kepemimpinan
politis-- juga menjadi rujukan dalam masalah-masalah
keagamaan. Orang Syi'ah sering mendefinisikan diri mereka
sebagai madzhab ahl al-bayt. Sementara itu, sejak berakhirnya
Khulafa al-Rasyidun, ahl al-Sunnah memisahkan kedua
kepemimpinan itu. Pada bidang religius, misalnya, orang
mengikuti Imam Malik, dan pada bidang politis, mereka
mengikuti khalifah al-Manshur. Secara politis, ahl al-Sunnah
berpegang pada kaidah yang diberikan Ibn Umar pada waktu ada
pertikaian antara Ali dan para penentangnya, Nahnu ma'aman
ghalab" (Kami bersama orang yang berkuasa).

Dari perbedaan pengangkatan pemimpin (ikhtiyar atau ta'yin),
perbedaan kualifikasi pemimpin (al-fadhil atau al-mafdhul),
perbedaan preferensi penguasa (kafir yang adil atau muslim
yang dzalim), dan perbedaan dalam memandang hubungan kekuasann
politis dengan kekuasaan religius (digabungkan atau
dipisahkan), lahirlah skisme politik besar Islam yang
berlangsung sampai kini.

Mengapa terjadi perbedaan itu, padahal kedua mazhab ini lahir
dari Islam yang sama dan pengikut Nabi saw. yang sama? Ada
beberapa teori yang menjawab pertanyaan ini. Kita hanya akan
mengulas dua teori saja: teori sosioantropologis Bangsa Arab
dan teori pendekatan doktrinal.

TEORI SOSIO-ANTROPOLOGIS BANGSA ARAB.

Teori ini dikemukakan oleh Nicholson (1969), Wellhausen
(1927), Goldziher (1967), dan secara terperinci dijelaskan
kembali oleh Jafri (1967). Tidak mungkin dalam makalah ini,
saya menguraikan teori ini secara lengkap. Secara singkat,
teori ini berpijak pada dua asumsi: (1) Bangsa Arab adalah
bangsa yang terorganisasi atas dasar kesukuan; kesetiaan pada
suku dan ketergantungan kehormatan pada sukunya menjadi sangat
penting; (2) Bangsa Arab yang membentuk umat Islam permulaan
terdiri dari dua subkultur-subkultur Arab Selatan dan
subkultur Arab Tengah-Utara.

Asumsi pertama menunjukkan bahwa status sosial seseorang
sangat ditentukan oleh status marganya. Setiap anggota marga
bangsa dalam menghitung-hitung prestasi nenek moyangnya.
Karena itu, kehormatan seseorang dalam bahasa Arab disebut
hasab (dari akar kata hasiba yang berarti menghitung). Orang
Arab percaya bahwa selain karateristik fisikal, karakteristik
perilaku juga herediter. Menarik untuk dicatat bahwa khalq
(karakteristik fisik) dan khuluq (perilaku) ditulis sama dalam
bahasa Arab.

Perilaku yang menjadi tradisi suatu kabilah, dan menjadi
kebanggaan anggota kabilah, lazim disebut Sunnah. Di antara
sunnah yang paling dihargai adalah mengurus dan memelihara
tempat-tempat suci. Bagi bangsa Arab, khususnya Arab Selatan,
pengurusan rumah suci (bayt) dan kehormatan (hasab) tidak
dapat dipisahkan. Karena itu, sejak zaman jahiliyah orang Arab
tidak mengenal pemisahan antara kepemimpinan temporal dan
kepemimpinan sakral.

Ka'bah adalah rumah suci yang dihormati semua kabilah Arab.
Kabilah yang mendapat tugas secara turun temurun memelihara
Ka'bah disebut sebagai "keluarga al-bayt" atau ahl al-bayt.
Sejak awal, kepemimpinan Arab dipegang oleh keturunan Qushayy.
Dalam pertentangan memperebutkan kedudukan ahl al-bayt, Bani
Hasyim menang dan menyisihkan lawannya dari Bani Abd al-Syams.
Karena itu Bani Hasyim dikenal bangsa Arab sebagai Ahl
al-Bayt. Pada masa Abu Thalib, Bani Abd al-Syams
perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan politik dan bani Hasyim
mulai melemah. Ketika keturunan "Umayyah merasakan ada angin
baru yang menguntungkan mereka, muncullah Muhammad bin
Abdullah bin Abd al-Muthalib. Ia mengembalikan lagi wibawa
kepemimpinan Bani Hasyim sebagai Ahl al-Bayt.

Nabi saw menyadari betul aspek-aspek kultural dari
kepemimpinan ahl al-bayt. Tema ahl al-bayt memiliki "appeal"
yang kuat bagi bangsa Arab. Kepemimpinan ahl al-bayt
menggabungkan dimensi temporal dan sakral sekaligus. Bani
"Umayyah tentu tidak rela dengan "return. of power" dari Bani
Hasyim. Perlawanan terhadap Islam, karena itu, datang paling
banyak dari Bani Umayyah.

Ketika Nabi hijrah ke Madinah, menemoi suku Aws dan Khazraj
yang berasal dari Arab Selatan. Mereka adalah suku Arab yang
memiliki sensitivitas religius yang tinggi. Bila inskripsi
pada monumen di Arab Utara memuja keberanian dan kepahlawanan,
inskripsi pada monumen Arab Selatan menunjukkan perasaan
syukur dan penyerahan diri pada Tuhan. Pada suku-suku Arab
Utara, pemimpin umumnya dipilih berdasarkan usia atau
senioritas; pada Arab Selatan, pemimpin dipilih berdasarkan
kesucian keturunan (hereditary sanctity).

Dari kedua subkultur inilah, berkembang skisme Sunnah-Syi'ah.
Ahl al-Sunnah, sejak Mu'awiyah merebut kekuasaan berupaya
untuk menekan konsepsi kepemimpinan ahl al-bayt. Karena secara
doktrinal, Islam menyuruh menghormatiahl al-bayt (yang
sekarang didefinisikan lebih terbatas lagi sebagai keturunan
Rasulullah saw), penguasa-penguasa yang bukan ahl al-bayt
tidak menafikan kehormatan itu. Yang tidak mereka inginkan
adalah gabungan antara kehormatan religius dengan kehormatan
politik. Inilah, misalnya, argumentasi yang dikemukakan Umar
bin Khathab kepada 'Abbas ketika bertengkar masalah
kepemimpinan 'Ali, "Orang banyak tidak menginginkan nubuwwah
dan khalifah bergabung pada Bani Hasyim" (Tarikh Thabari 1:
2769). Mungkin, karena itu pula, Ali pernah memindahkan ibu
kota pemerintahan Islam dari Madinah --yang sudah dikuasai
Bani Ummayah-- ke Kufah. [4]

TEORI PENDEKATAN DOKTRINAL

Sayyid Baqr Shadr (1982:73-96) mengemukakan apa yang kita
sebut sebagai teori pendekatan doktrinal. Saya akan
menerjemahkan sebagian argumentasi Shadr ini tanpa memberikan
komentar sedikitpun:

Bila kita mengikuti periode permulaan dari kehidupan umat
Islam di zaman Nabi saw. kita temukan dua aliran utama yang
berbeda, yang menyertai perkembangan umat dalam permulaan
eksperimen Islam, sejak dini. Keduanya hidup bersama dalam
lingkungan umat yang dilahirkan oleh Rasul sang Pemimpin.
Perbedaan di antara kedua aliran ini telah menimbulkan
perbedaan doktrinal sesudah wafat Rasulullah saw, memisahkan
umat dua kelompok besar. Salah satu kelompok berhasil berkuasa
dan sanggup berkembang sehingga mencakup mayoritas kaum
muslimin. Kelompok yang lain tidak berhasil memperoleh
kekuasann dan berkembang sebagai kelompok minoritas menghadapi
lingkungan Islam yang umum. Minoritas ini adalah Syi'ah.

Dua aliran utama yang menyertai pertumbuhan umat Islam di
zaman Nabi sejak awal adalah:

(1) Aliran yang beriman sepenuhnya pada ta'abbud bi 'l-din
berhukum dan berserah mutlak pada nash-nash agama dalam
seluruh bidang kehidupan.

(2) Aliran yang hanya merasa tunduk pada agama pada
bidang-bidang khusus seperti ibadah dan hal-hal yang ghaib.
Aliran ini meyakini kemungkinan ijtihad; membolehkan
memalingkan nash agama pada bidang-bidang kehidupan di luar
bidang-bidang kehidupan di atas, sesuai dengan kemaslahatan
masyarakat, dengan peralihan atau perubahan.

Sahabat adalah kelompok Mukmin yang cemerlang; benih yang
paling utama pada saat pertumbuhan risalah, sehingga sejarah
manusia tidak pernah menyaksikan generasi aqidah yang lebih
mulia, lebih suci, dan tinggi dari generasi yang dilahirkan
Rasulullah.

Walaupun demikian, karena harus tunduk pada adanya aliran yang
luas pada bidang kehidupan, para sahabat cenderung
mendahulukan ijtihad untuk memperkirakan dan memperoleh
maslahat daripada ta'abbud secara harfiyah pada nash-nash
agama. Rasul telah bertahan berkali-kali menghadapi aliran
ini, sampai pada saat menjelang kematiannya (yang akan
diuraikan nanti). Di samping itu, ada juga sahabat yang
bertahkim dan bertaslim sepenuhnya pada nash-nash agama di
semua bidang kehidupan.

Aliran kedua, aliran ijtihadi, tampaknya lebih menyebar di
kalangan kaum muslimin karena kecenderungan manusia untuk
tunduk pada kemaslahatan yang dapat difahami dan
diperkirakannya, serta meninggalkan kecenderungan mengikuti
kemaslahatan yang tidak dapat difahami tujuannya. Yang
mengikuti aliran ini terdiri dari sahabat-sahabat besar. Umar
bin Khathab pernah melawan Rasulullah saw dan berijtihad pada
banyak kejadian, yang bertentangan dengan nash, dengan
meyakini bahwa apa yang dilakukannya benar.

Pernah kedua aliran ini bertentangan di hadapan Rasul pada
hari-hari terakhir kehidupannya. Bukhari meriwayatkan dalam
shahihnya dari Ibn 'Abbas. Ia berkata: "Menjelang Rasulullah
saw wafat, di rumahnya ada banyak orang, di antaranya Umar bin
Khathab. Nabi berkata: Mari aku tuliskan untuk kamu tulisan
sehingga kamu tidak sesat sesudahnya. Berkata Umar: Nabi saw
sedang dicengkram sakit. Di hadapan kalian ada al-Qur'an.
Cukuplah bagi kita Kitab Allah. Penghuni rumah itu pun
bertikai. Sebagian berkata: Dekatkan supaya Nabi menulis
(wasiat) kitab sehingga kamu tidak sesat sesudahnya. Sebagian
lagi berkata seperti kata Umar. Ketika sudah ramai
perbincangan dan pertikaian di hadapan Nabi, ia berkata:
Pergilah kalian."

Peristiwa ini cukup menunjukkan dalamnya pertikaian dan
pertentangan di antara kedua aliran ini.

SKISME INTELEKTUAL

Dari kedua aliran ini kemudian berkembang aliran-aliran
lainnya, yang tidak mungkin semuanya dibahas di sini.
Kebanyakan aliran-aliran itu muncul sebagai hasil refleksi
intelektual. Skisme intelektual (mungkin malah tidak tepat
disebut skisme) memang bisa menjadi solid, ketika para
politisi mulai masuk. Skisme ini dapat terjadi pacla bidang
ilmu kalam atau bidang fiqh. Abu Zuhrah (1987) menyebut yang
pertama ikhtilaf 'aqaidi dan yang kedua ikhtilaf fiqhi. Saya
tidak akan memperinci kedua ikhtilaf ini, tetapi hanya akan
menunjukkan penyebab timbulnya ikhtilaf tersebut.

Sebab-sebab yang berkaitan dengan pemahaman al-Qur'an dan
al-Sunnah. Banyak orang berpikir sederhana: pertikaian akan
segera selesai bila kita kembali kepada al-Qur'an dan
al-Sunnah. Pertikaian justru terjadi ketika kaum Muslim
berusaha memahami al-Qur'an dan al-Sunnah. Di dalam kedua
sumber tasyri' ini terdapat kata-kata atau kalimat yang
musytarak (mengandung makna ganda), lafazh yang 'am (berlaku
umum) dan khash (berlaku khusus), yang muthlaq dan yang
muqayyad (bersyarat).

Lihatlah perbedaan pemahaman ayat tayamum ini. "Dan jika kamu
sakit atau sedang bepergian, atau jika salah seorang di antara
kamu datang dari jamban, atau setelah kamu menjamah wanita,
atau kamu tak menemukan air, maka bertayamumlah dengan debu
yang suci, dan sapulah muka kamu dan tangan kamu itu,"
(al-Qur'an 5: 6). Kalimat ini dipahami Abu Hanifah sebagai
berikut: Orang yang tidak bepergian, tidak sakit, dan ada air,
tidak berlaku tayammum baginya, dan tidak wajib shalat. Ayat
tersebut hanya mewajibkan tayammum bila tidak ada air khusus
pada yang sakit atau musafir. Madzhab yang lain berpendapat
bahwa syarat sah tayammum adalah salah satu di antara tiga
kondisi: tidak ada air, atau sakit, atau bepergian.
Apa yang dimaksud "air"? Kata mazhab Hanafi, air itu termasuk
air mutlak (H2O), juga air mudhaf (seperti air jeruk, air
teh). Kata mazhab yang lain, air mutlak saja. "Debu" meliputi
pasir dan tanah, kata Syafi'i; tanah saja, kata Hambali;
tanah, pasir, batuan, salju dan logam, kata Maliki; tanah,
pasir, dan batuan, kata Hanafi dan Hambali; sebagian wajah
oleh Ja'fari (al-Jaziri, 1986; al-Mughniyah, 1960).

Dalam bidang ilmu kalam terjadi perbedaan pemahaman nash-nash
yang berkenaan dengan qadha dan qadar; sehingga kita mengenal
Jabbariyah dan Qadariyah. Perbedaan ini akan makin melebar,
ketika kita memasuki pengkajian-pengkajian Islam yang lebih
operasional seperti epistimologi Islam, teologi Islam, dan
sebagainya.

SEBAB-SEBAB YANG BERKENAAN DENGAN SUNNAH

Masalah-masalah yang berkenaan dengan sunnah lebih musykil
lagi. Kemusykilan pertama terjadi ketika kita mengambil
pelajaran dari hadits: apakah yang diberitakan hadits itu
Sunnah atau bukan. Manakah yang sunnah, mengampuni para
tawanan (seperti yang dilakukan Rasulullah saw. pada Fath
Makkah) atau membunuhnya (seperti yang dilakukan Nabi pada
perang Khandaq). Jamaat Tabligh berpendapat makan di bawah,
menjilati jari setelah makan, dan menggunakan siwak adalah
sunnah; umat Islam yang lainnya tidak beranggapan begitu.

Kemusykilan kedua adalah sampai atau tidak sampainya hadits.
Hadits dilaporkan oleh para sahabat, yang mempunyai lingkup
pengalaman yang berlainan bersama Rasulullah saw. Ada yang
menyertai Nabi hampir setiap saat, dan ada yang berjumpa
dengan Nabi sesaat saja. Umar melaporkan bahwa mayit akan
disiksa karena tangisan keluarganya. Karena itu, ia mencambuki
orang yang menangisi mayat. 'Aisyah menolak hadits 'Umar ini.
Ketika Ibnu Umar melaporkan lagi hadits dari ayahnya, 'Aisyah
berkata, "Semoga Allah meyayangi Abu Abd al-Rahman (yakni, Ibn
Umar). Ia mendengar sesuatu tetapi tidak menghafalnya. Pernah
lewat jenazah Yahudi di depan Rasulullah saw. Mereka menangisi
jenazah itu. Nabi berkata, kalian menangis, padahal ia sedang
disiksa." [5]

SEBAB-SEBAB BERKENAAN DENGAN PERBEDAAN KAIDAH USHUL FIQH

Apabila ada rangkaian kalimat majemuk, lalu di ujunguya ada
kata yang mengecualikan (istitsna), kemana pengecualian itu
berlaku? Kepada semua kalimat atau kepada kalimat yang
terakhir. Yang pertama dipilih oleh Syafi'i, Maliki, Hambali.
Yang terakhir diambil oleh Hanafi. Ayat yang berkenaan dengan
tuduhan berzinah (QS. 24:4) mengandung tiga kalimah: (1)
"Deralah mereka 80 deraan," (2) "Jangan terima kesaksian
mereka selama-lamanya," dan (3) "Mereka itulah orang-orang
fasik." Istitsna datang sesudah kalimat-kalimat itu. Apakah
deraan harus dihilangkan bila orang taubat, apakah kesaksian
penuduh dapat diterima bila orang itu telah bertaubat? Semua
mazhah --selain Hanafi-- memilih rnenjawab "ya" untuk
pertanyaan-pertanyaan di atas.

Inilah salah satu contoh perbedaan penggunaan kaidah Ushul
Fiqh. Di samping itu, terdapat juga beberapa metode ijtihad
yang tidak disepakati. Misalnya, istishlah, qiyas, istihsan,
qaul shahabat, dan sebagainya.

APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Saya ingin mengakhiri makalah ini dengan menuliskan kembali
apa yang saya sampaikan pada tempat lain (Rahmat, 1986:
99-103).

1. Sepakat pada yang qath'i, siap berbeda pada yang dzhann-i:
Kita dapat membagi hukum-hukum fiqh ke dalam dua bagian besar.
Pertama, berkenaan dengan pokok-pokok akidah, dan muamalah
yang disetujui bersama, apa pun mazhabnya. Kedua, bertalian
dengan cabang-cabang (furu') dari pokok-pokok di atas yang
memungkinkan terjadinya perbedaan. Seorang tidak dikatakan
Muslim lagi bila berbeda pada bagian fiqh yang pertama. Adalah
kenyataan yang menakjubkan walaupun sering lolos dari
perhatian kita bahwa dalam bagian pertama seluruh mazhab
mencapai kesepakatan. Dalam hal akidah --semuanya percaya
kepada Allah yang Esa, Muhammad Rasulullah, dan Hari
Kebangkitan. Tentang shalat, tidak ada perbedaan antara Ahl
al-Sunnah dan Syi'ah dalam hal bilangan rakaat, jumlah ruku'
dan sujud, jumlah shalat wajib, dan bagian-bagian shalat yang
penting lainnya. Perbedaan mulai terjadi pada rincian dari
pokok-pokok itu. Semua sepakat shalat dimulai dengan takbir,
mereka berbeda dalam cara mengangkat tangan dalam takbir. Kita
akan segera menemukan bahwa bagian pertama berdasarkan
dalil-dalil qath'i dan bagian kedua berdasarkan dalil-dalil
dzanni. Pada bagian yang kedua sepatutnya kita saling
menghargai dan menggunakan perbedaan pendapat untuk
pengembangan wawasan tentang Islam.

2. Berpikir dengan prinsip tarjih, beramal dengan prinsip
silaturahim:

Bila terjadi perbedaan paham atau penafsiran pada hal-hal yang
dzanni, kita harus menguji perbedaan paham itu lewat
ukuran-ukuran naqli dan aqli. Dengan ukuran naqli, saya
maksudkan, mencari dalil-dalil yang paling kuat lewat kritik
hadits (yang secara konvensional telah disepakati oleh ulama
ahli hadits) dan ilmu-ilmu al-Qur'an (kalau berkenaan dengan
penafsiran al-Qur'an). Ukuran aqli --yang saya definisikan
sebagai metode dialektik untuk menguji konsistensi logis suatu
proposisi-- hanya boleh dilakukan setelah pengujian naqli.
Misalnya, bila dalil-dalil yang dipergunakan sama-sama kuat.
Ini cara untuk menghindarkan "terburu-buru" menangkap ruh dari
suatu nash. Orang yang menganggap bahwa setiap orang berhak
ijtihad dan menafsirkan al-Qur'an karena ruh ajaran Islam itu
egalitarian, terjebak dalam keterburu--buruan. Mencurigai
hadits-hadits tentang wasiat Nabi kepada keluarganya,
betapapun banyak dan sahihnya, sebagai pertentangan dengan
prinsip egalitarian al-Qur'an [6] adalah mendahulukan kritik
'aqli daripada kritik naqli. Demikian pula halnya dengan
keberatan sementara orang terhadap hadits-hadits tentang Imam
Mahdi, misalnya.

Memilih pendapat yang paling kuat inilah tarjih. Tetapi
betapapun kuatnya, pendapat itu tetap dzhanni. Di
tengah-tengah umat, keyakinan kita harus diamalkan sejauh
tidak merusak keutuhan umat atau tidak mendatangkan mudharat.
Ini saya sebut prinsip shilaturrahim. Ibnu Mas'ud berpendapat
shalat Dzuhur dan 'Ashar di Mina harus di qashar. Ketika
Utsman shalat empat rakaat, Ibnu Mas'ud shalat juga empat
rakaat. Ketika ditegur ia menjawab, "Perselisihan itu semua
jelek" -(al-khilaf syarr kullah). Ibnu Umar shalat empat
rakaat, tetapi mengulang lagi shalatnya di rumah (para ulama
menyebutnya ihtiyath). Ali yakin ia paling berhak menjadi
khalifah, tetapi ia menahan diri karena memikirkan
kemaslahatan umat. Imam Syafi'i tidak membaca qunut pada
shalat Shubuh karena menghormati makam Abu Hanifah yang tidak
jauh dari situ.

Di Indonesia, banyak paham timbul --barangkali setelah
melakukan taryih. Sayang sekali, keyakinan kita terhadap paham
kita terlalu tinggi sehingga kita cenderung eksklusivistis dan
meninggalkan prinsip silaturrahim. Akibatnya, kita cenderung
menerima informasi hanya lewat sumber-sumber yang kita setujui
dan menutup diri dari informasi yang datang dari sumber lain.
Ini mempertebal ketergantungan kepada paham fiqh kita. Dan
seterusnya sehingga terbentuk lingkaran setan yang tidak
berujung.

3. Ijtihad bagi Ulama dan taqlid bagi orang awam: Membedakan
mana yang qath'i dan dzanni, mengkritik hadits, melakukan
tarjih bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan setiap orang.
Al-Qur'an yang mengajarkan persamaan dengan tegas mengatakan,
"Katakan, apakah sama orang yang buta dengan orang yang
melihat. Tidakkah kalian pikirkan itu?" (QS. al-Ra'd:16);
"Tidak sama orang buta dan orang yang melihat. Tidak sama
kegelapan dan cahaya" (QS. Fathir:19); "Katakan, apakah sama
orang vang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan"
(QS. al-Zumar:9) "Allah mengangkat derajat orang yang beriman
dan memiliki ilmu pengetahuan" (QS. Al-Mujadilah: 11).
Mengizinkan setiap orang berijtihad --tanpa mempedulikan
perbedaan mereka dalam pengetahuan agama-- dapat menimbulkan
chaos. Seperti sangat beragamnya kemampuan dan pengetahuan
orang, seperti itu pula beragamnya perbedaan pendapat. Ilmu
mengurangi perbedaan, karena ilmu meletakkan konvensi-konvensi
yang disetujui bersama, di samping membuat kendala-kendala
yang berbentuk kriteria. "Berijtihad" tanpa ilmu berarti
membuang seluruh konvensi dan kriteria, dan ini berarti
anarkhi.

Salah satu penyebab perpecahan ialah pendekatan parsial yang
pada gilirannya disebabkan kekurangan pengetahuan. Ijtihad
sebetulnya secara inheren melibatkan banyak ilmu. Bukan
ijtihad bila dilakukan tanpa ilmu. Ijtihad memerlukan
pengetahuan yang komprehensif tentang Islam; dan ini berarti,
hanya sekelompok kecil orang yang dapat melakukannya.

CATATAN

1) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Majah,
al-Turmidzi al-Hakim, al-Thabrani, al-Bazzar. Berbagai matan
hadits ini dan penjelasannya dapat dibaca pada Al-Sayyid
Murtadha al-Askari, Khamsun wa Mi-ah Shahabi Mukhtalaq,
Beirut: Dar al-Turats al-Islami, 1974.

2) Al-Sayyid Murtadha al-'Askari menulis studi perbandingan
antara Sunnah dan Syi'ah dalam Ma'alim al-Madrasatain
(Teheran: Al-Bi'tsah, 1406). Ia menyebut Ahl al Sunnah sebagai
madrasah al-khilafah dan Syi'ah sebagai madrasah al-imamah.

3) Hadits tentang dua belas imam ini diriwayatkan juga dalam
kitab-kitab shahih di kalangan Ahl al-Sunnah. Lihat Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah;
Musnad Ahmad 5:89, Shahih al-Turmudzi 2: 35: Mustadrak
al-Shakihain 4: 501; Kanz al-Ummal 6: 201.

4) Mayoritas penduduk Kufah adalah orang Yaman dari Arab
Selatan. Orang-orang Yaman adalah para pendukung Syi'ah.
Karena mereka berasal dari kerajaan Saba, mereka kemudian
dikenal sebagai Sabaiyyah. Begitu banyaknya Sabaiyyah yang
mendukung Syi'ah, sehingga Syi'ah sering disebut sebagai
Sabaiyyah.

5) Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam Kitab al-Jana-iz.
Hadits-hadits yang melaporkan bolehnya menangisi mayat cukup
banyak. Nabi menangisi putranya (Ibrahim), pamannya (Hamzah),
dan ibunya (Aminah). Dalam sunan al-Nasai dan Al-Turmudzi ada
bab yang berjudul: Bab bolehnya menangisi mayit.

6) Padahal dalam banyak ayat al-Qur'an, prinsip pewarisan
kepemimpinan pada keturunan atau keluarga nabi-nabi sering
ditegaskan. Lihat 3:33; 2:124; 14:37; 19:58; 4:54; 20:30;
6:84; 27:16; 19:6. Kita tidak bermaksud menunjukkan bahwa
pendapat wasiat Nabi pada Ali adalah satu-satunya paham yang
benar. Kita hanya ingin menunjukkan bahwa prinsip egalitarian
hendaknya ditafsirkan dengan merujuk pada dalil-dalil yang
sahih.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zuhrah, 1987, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Beirut: Dar
al-Fikr al-Arabi.

Al-Askari, S. Murtadha, 1406, Ma'alim at-Madrasatain, Teheran:
Bittsah.

Al-Hasan, Muhammad, 1396, Dalail al-Shidq; Mobtadiyah: Dar
al-Mu'alim

Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1986, Al-fiqh 'ala al-Madzahib
al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Mughniyah, Jawad, 1405, Al-Syi'ah wa al-Hakimun, Beirut:
Dar al-Jawad.

-------------, 1982, Al-fiqh 'ala al-Madzahib al-Khaumsah,
tidak diketahui penerbitnya.

Al-Yahfufi, Musthafa. 1405, "Ulu al-Amr 'inda Madzahib
al-Islamiyah," dalam Al-Maqalat wa al-Dirasat. Teheran:
Wizarat al-Irsyad al-Islamiyah.

Durant, Will, 1950, The story of Civilization, Vol.IV, New
York: Simon and Schuster.

-------------, 1953, The story of Civilization, Vol.V. New
York: Simon and Schuster.

Goldziher, I. 1967-1972. Muhammedanische Studien, Terjemahan
Inggris oleh S.M. Stern dan C.R. Barber, Muslim Studies,
London.

Jafri, S.H.M., 1976, The Origins and Early Development of
Shi'a Islam. Beirut: American University.

Nicholson, RA. 1956, A Literary History of The Arabs,
Cambridge.

Rahmat, J., 1986, "Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Qur'an dan
Sejarah" dalam Haidar Bagir (ed.). Satu Islam, Sebuah Dilemma,
Bandung: Mizan.

Shadr, S. Baqr, 1982, Baths Hawl al-Wilayah, Teheran: Maktabah
al-Najah.

Tabatabai, Husayn, Tanpa Tahun, Shi'a, Tidak diketahui
penerbitnya.

Thabari, Ibn Jarir, 1979, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut:
Dar al-Fikr.

Wellhausen, Julius, 1927, The Arab Kingdom and Its Fall,
Trans. M. Weir. Calcutta.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: