Monday, December 3, 2007

MANUSIA

MANUSIA

Dalam bukunya, Man the Unknown, Dr. A. Carrel menjelaskan
tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat
manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang
makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum
lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang
ilmu pengetahuan lainnya. Selanj utnya ia menulis:

Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan
usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya,
kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup
banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof,
sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian
sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu
mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita
tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita
ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari
bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya
dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada
hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia --kepada
diri mereka-- hingga kini masih tetap tanpa jawaban.

Keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu
disebabkan oleh:

1. Pembahasan tentang masalah manusia terlambat
dilakukan, karena pada mulanya perhatian manusia hanya
tertuju pada penyelidikan tentang alam materi. Pada
zaman primitif, nenek moyang kita disibukkan untuk
menundukkan atau menjinakkan alam sekitarnya, seperti
upaya membuat senjata-senjata melawan
binatang-binatang buas, penemuan api, pertanian,
peternakan, dan sebagainya sehingga mereka tidak
mempunyai waktu luang untuk memikirkan diri mereka
sebagai manusia. Demikian pula halnya Pada Zaman
Kebangkitan (Renaisans) ketika para ahli digiurkan
oleh penemuan-penemuan baru mereka yang disamping
menghasilkan keuntungan material, juga menyenangkan
publik secara umum karena penemuan-penemuan tersebut
mempermudah dan memperindah kehidupan ini.

2. Ciri khas akal manusia yang lebih cenderung
memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan
oleh sifat aka1 kita seperti yang dinyatakan oleh
Bergson tidak mampu mengetahui hakikat hidup.

3. Multikompleksnya masalah manusia.

Dari penjelasan di atas, agamawan dapat berkomentar, bahwa
pengetahuan tentang manusia demikian itu disebabkan karena
manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam unsur
penciptaannya terdapat ruh Ilahi sedang manusia tidak diberi
pengetahuan tentang ruh, kecuali sedikit (QS Al-Isra' [17]:
85).

Jika apa yang dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima, maka
satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia,
adalah merujuk kepada wahyu Ilahi, agar kita dapat menemukan
jawabannya.

Untuk maksud tersebut tentu tidak cukup dengan hanya merujuk
kepada satu dua ayat, tetapi seharusnya merujuk kepada semua
ayat Al-Quran (atau paling tidak ayat-ayat pokok) yang
berbicara tentang masalah yang dibahas, dengan mempelajari
konteksnya masing-masing, dan mencari penguat-penguatnya baik
dari penjelasan Rasul, maupun hakikat-hakikat ilmiah yang
telah mapan. Cara ini dikenal dalam disiplin ilmu Al-Quran
dengan metode maudhu'i (tematis).

Istilah Manusia dalam Al-Quran

Ada tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada
manusia.

l. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun,
dan sin, semacam insan, ins, nas, atau unas.

2. Menggunakan kata basyar.

3. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.

Uraian ini akan mengarahkan pandangan secara khusus kepada
kata basyar dan kata insan.

Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti
penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang
sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai
basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit
binatang yang lain.

Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk
tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk
manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan
manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad Saw.
diperintahkan untuk menyampaikan bahwa,

Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi
wahyu (QS Al-Kahf [18]: 110).

Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Quran yang
menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses
kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga
mencapai tahap kedewasaan.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah)
menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu
menjadi basyar kamu bertebaran (QS Al-Rum [30]: 20).

Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat
hubungan seks atau bertebaran mencari rezeki. Kedua hal ini
tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki
kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu pula Maryam a.s.
mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak, padahal dia
belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang mampu
berhubungan seks) (QS Ali 'Imran [3]: 47). Kata basyiruhunna
yang digunakan oleh Al-Quran sebanyak dua kali (QS Al-Baqarah
[2]: 187), juga diartikan dengan hubungan seks.

Demikian terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam
kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggung
jawab. Dan karena itu pula, tugas kekhalifahan dibebankan
kepada basyar {perhatikan QS Al-Hijr 115): 28 yang menggunakan
kata basyar), dan QS Al-Baqarah (2): 30 yang menggunakan kata
khalifah, yang keduanya mengandung pemberitaan Allah kepada
malaikat tentang manusia.

Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak,
harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut
pandang Al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia
terambil dan kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu
(berguncang).

Kitab Suci Al-Quran --seperti tulis Bint Al-Syathi' dalam
Al-Quran wa Qadhaya Al-Insan-- seringkali memperhadapkan insan
dengan jin/jan. Jin adalah makhluk halus yang tidak tampak,
sedangkan manusia adalah makhluk yang nyata lagi ramah.

Kata insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia
dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang
berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan
fisik, mental, dan kecerdasan.

Produksi dan Reproduksi Manusia

Al-Quran menguraikan produksi dan reproduksi manusia. Ketika
berbicara tentang penciptaan manusia pertama, Al-Quran
menunjuk kepada sang Pencipta dengan menggunakan pengganti
nama berbentuk tunggal:

Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dan tanah
(QS Shad [38]: 71).

Apa yang menghalangi kamu (iblis) sujud kepada apa
yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? (0S Shad
[38]: 75).

Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara
umum, Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk
jamak. Demikian kesimpulan kita kalau membaca surat At-Tin
ayat 4:

Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya.

Ha1 itu untuk menunjukkan perbedaan proses kejadian manusia
secara umum dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia
secara umum, melalui proses keterlibatan Tuhan bersama
selain-Nya, yaitu ibu dan bapak. Keterlibatan ibu dan bapak
mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak,
sedangkan dalam penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan
pihak lain termasuk ibu dan bapak.

Al-Quran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam,
yang oleh mayoritas ulama dinamai manusia pertama. Yang
disampaikannya dalam konteks ini hanya:

a. Bahan awal manusia adalah tanah.

b. Bahan tersebut disempurnakan.

c. Setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan
kepadanya ruh Ilahi (QS Al-Hijr [15]: 28-29; Shad
[38]: 71-72).

Apa dan bagaimana penyempurnaan itu, tidak disinggung oleh
Al-Quran. Dari sini, terdapat sekian banyak cendekiawan dan
ulama Islam, jauh sebelum Darwin yang melakukan penyelidikan
dan analisis sehingga berkesimpulan bahwa manusia diciptakan
melalui fase atau evolusi tertentu, dan bahwa ada
tingkat-tingkat tertentu menyangkut ciptaan Allah. Nama-nama
seperti Al-Farabi (783-950 M), Ibnu Miskawaih (Wafat 1030 M),
Muhammad bin Syakir Al-Kutubi (1287- 1363 M), Ibnu Khaldun
(1332-1406 M) dapat disebut sebagai tokoh-tokoh paham evolusi
sebelum lahirnya teori evolusi Darwin (1804-1872 M). Perlu
ditambahkan bahwa kesimpulan ulama-ulama tersebut tidak
sepenuhnya sama dalam rincian teori evolusi yang dirumuskan
oleh Darwin.

Dari sini pula dapat dimengerti uraian pakar tafsir Syaikh
Muhammad Abduh yang menyatakan bahwa seandainya teori Darwin
tentang proses penciptaan manusia dapat dibuktikan
kebenarannya secara ilmiah, maka tidak ada alasan dari
Al-Quran untuk menolaknya. Al-Quran hanya menguraikan proses
pertama, pertengahan, dan akhir. Apa yang terjadi antara
proses pertama dan pertengahan, serta antara pertengahan dan
akhir, tidak dijelaskannya

Abbas Al-Aqad, seorang ilmuwan dan ulama Mesir kontemporer,
dalam bukunya Al-Insan fi Al-Quran (Manusia dalam Al-Quran)
mempersilakan setiap Muslim, untuk --menerima atau menolak
teori itu-- berdasarkan penelitian ilmiah, tanpa melibatkan
Al-Quran sedikit pun, karena Al-Quran tidak berbicara secara
rinci tentang proses kejadian manusia pertama.

Potensi Manusia

Yang banyak dibicarakan oleh Al-Quran tentang manusia adalah
sifat-sifat dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian
ayat yang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan
tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang
sebaik-baiknya (QS Al-Tin [95]: 5), dan penegasan tentang
dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan
makhluk-makhluk Allah yang lain (QS Al-Isra' [17]: 70) Tetapi,
di samping itu sering pula manusia mendapat celaan Tuhan
karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS Ibrahlm [14]:
34), sangat banyak membantah (QS Al-Kahf [18]: 54), dan
bersifat keluh kesah lagi kikir (QS Al-Ma'arij [70]: l9), dan
masih banyak lagi lainnya.

Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu
dengan lainnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut menunjukkan
beberapa kelemahan manusia yang harus dihindarinya. Disamping
menunjukkan bahwa makhluk ini mempunyai potensi (kesediaan)
untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau
berada di tempat yang rendah sehingga ia tercela.

Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran menjelaskan bahwa
manusia diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya
dihembuskanlah kepadanya Ruh Ilahi (QS Shad [38]: 71-72) .

Dari sini jelas bahwa manusia merupakan kesatuan dua unsur
pokok, yang tidak dapat dipisahkan karena bila dipisahkan maka
ia bukan manusia lagi. Sebagaimana halnya air yang merupakan
perpaduan antara oksigen dan hidrogen dalam kadar-kadar
tertentu. Bila kadar oksigen dan hidrogennya dipisahkan, maka
ia tidak akan menjadi air lagi.

Potensi manusia dijelaskan oleh Al-Quran antara lain melalui
kisah Adam dan Hawa (QS Al-Baqarah [2]: 30-39).

Dalam ayat itu dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah
telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab
kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah
(jasmani) dan Ruh Ilahi (akal dan ruhani), makhluk ini
dianugerahi pula:

a. Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah
makhluk yang berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep,
mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan, serta
melaksanakannya. Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan
malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk dijadikan khalifah
di bumi, dan karenanya mereka bersedia sujud kepada Adam.

b. pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan
dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan
Iblis dan akibat buruknya.

Pengalaman di surga adalah arah yang harus dituju dalam
membangun dunia ini, kecukupan sandang, pangan, dan papan,
serta rasa aman terpenuhi (QS Thaha [20]: 116-ll9), sekaligus
arah terakhir bagi kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan
godaan Iblis, dengan akibat yang sangat fatal itu, adalah
pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di
dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang belum masuk,
yang sudah masuk ke surga pun, bila mengikuti rayuannya akan
terusir.
c.Petunjuk-petunjuk keagamaan.

Masih banyak ayat-ayat lain yang dapat dikemukakan tentang
sifat dan potensi manusia serta arah yang harus ia tuju.

Dari kitab suci Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. diperoleh
informasi serta isyarat-isyarat yang boleh jadi dapat
mengungkap sebagian misteri makhluk ini. Namun demikian,
pemahaman atau informasi dan isyarat tersebut tidak dapat
dilepaskan dari subjektivitas manusia, sehingga ia tetap
mengandung kemungkinan benar atau salah, seperti halnya yang
dikemukakan oleh tulisan ini.

Secara tegas Al-Quran mengemukakan bahwa manusia pertama
diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi melalui proses yang tidak
dijelaskan rinciannya, sedangkan reproduksi manusia, walaupun
dikemukakan tahapan-tahapannya, namun tahapan tersebut lebih
banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.

Isyarat yang menyangkut unsur immaterial, ditemukan antara
lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian
tentang fithrah, nafs, qalb, dan ruh yang menghiasi makhluk
manusia. Berikut dicoba untuk memahami istilah-istilah
tersebut.

Fithrah

Dari segi bahasa, kata fithrah terambil dari akar kata
al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir
makna-makna lain antara lain "penciptaan" atau "kejadian".

Konon sahabat Nabi, Ibnu Abbas tidak tahu persis makna kata
fathir pada ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan langit
dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran tentan kepemilikan
satu sumur. Salah seorang berkata, "Ana fathar tuhu". Ibnu
Abbas memahami kalimat ini dalam arti, "Saya yang membuatnya
pertama kali." Dan dari situ Ibnu Abbas memahami bahwa kata
ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal.

Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan
sejak lahirnya.

Dalam Al-Quran kata ini dalam berbagai bentuknya terulang
sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam
konteks uraian tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam
konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa
penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang
fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada
surat Al-Rum ayat 30:

Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.

Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa
potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama
sebagai tauhid.

Selanjutnya dipahami juga, bahwa fitrah adalah bagian dan
khalq (penciptaan) Allah.

Kalau kita memahami kata la pada ayat tersebut dalam arti
"tidak", maka ini berarti bahwa seseorang tidak dapat
menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti
bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk
selama lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau
diabaikannya.

Tetapi apakah fitrah manusia hanya terbatas pada fitrah
keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini
tidak dalam bentuk pembatasan tetapi juga karena masih ada
ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptann potensi
manusia --walaupun tidak menggunakan kata fitrah, seperti
misalnya:

Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati
kepada perempuan (atau lelaki), anak lelaki (dari
perempuan), serta harta yang banyak berupa emas,
perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang
(QS Ali 'Imran [3]: 14).

Karena itu agaknya tepat kesimpulan Muhammad bin Asyur dalam
tafsirnya tentang surat Al-Rum (30): 30, yang menyatakan
bahwa:

Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah
pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan
manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia
yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta
ruhnya).

Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiahnya,
sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah
fitrah akliahnya. Senang menerima nikmat dan sedih bila
ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.

Nafs

Kata nafs dalam Al-Quran mempunyai aneka makna, sekali
diartikan sebagai totalitas manusia, seperti antara lain
maksud surat Al-Maidah ayat 32, di kali lain ia menunjuk
kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan
tingkah laku seperti maksud kandungan firman Allah.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan satu
masyarakat, sehingga mereka mengubah apa yang terdapat
dalam diri mereka (QS Al-Ra'd [13]: 11)

Kata nafs digunakan juga untuk menunjuk kepada "diri Tuhaan"
(kalau istilah ini dapat diterima), seperti dalam firman-Nya
dalam surat Al-An'am {6): 19:

Allah mewajibkan atas diri-Nya menganugerahkan rahmat.

Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks
pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada sisi dalam
manusia yang berpotensi baik dan buruk.

Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan
sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia
berbuat kebaikan dar1 keburukan, dan karena itu sisi dalam
manusia inilah yang oleh Al-Quran dianjurkan untuk diberi
perhatian lebih besar.

Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah
mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwann (QS
Al-Syams [91]: 7-8).

Mengilhamkan berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs
dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya
untuk melakukan kebaikan dan keburukan.

Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini
menurut Al-Quran dengan terminologi kaum sufi, yang oleh
Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa, "Nafs dalam
pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat
tercela dan perilaku buruk." Pengertian kaum sufi ini sama
dengan penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang antara
lain, menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "dorongan hati yang
kuat untuk berbuat kurang baik".

Walaupun Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan
negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya
potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya,
hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik
kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian
nafs, dan tidak mengotorinya,

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
menyucikannya dan merugilah orang-orang yang
mengotorinya (QS Al-Syams [91]: 9-10)

Bahwa kecenderungannya kepada kebaikan lebih kuat dipahami
dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dan
apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa
yang diusahakannya (QS Al-Baqarah [2]: 286)

Kata kasabat yang dalam ayat di atas menunjuk kepada usaha
baik sehingga memperoleh ganjaran, adalah patron yang
digunakan bahasa Arab untuk menggambarkan pekerjaan yang
dilakukan dengan mudah, sedangkan iktasabat adalah patron yang
digunakan untuk menunjuk kepada hal-hal yang sulit lagi berat.
Ini --menurut pakar Al-Quran Muhammad Abduh-- mengisyaratkan
bahwa nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan hal-hal yang
baik daripada melakukan kejahatan, dan pada gilirannya
mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya diciptakan Allah
untuk melakukan kebaikan.

Ayat lain yang sejalan dengan isyarat di atas, adalah
firman-Nya

Wahai manusia! Apa yang memperdayakanmu (berbuat dosa)
terhadap Tuhanmu yang telah menciptakan engkau,
menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan engkau
"adil" (seimbang atau cenderung kepada keadilan) (QS
Al-Infithar [82): 6-7).

Kata "menjadikan engkau adil" dipahami oleh sementara pakar
seperti Yusuf Ali sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat
ini cukup beralasan, karena dengan pemahaman semacam itu,
menjadi amat lurus kecaman Allah terhadap manusia yang
mendurhakainya.

Al-Quran juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs serta
peringkat-peringkatnya, secara eksplisit disebutkan tentang
an-nafs al-lawamah, ammarah, dan muthmainnah.

Di sisi lain ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan
wadah.Firman Allah dalam surat Al-Ra'd (13): 11 yang dikutip
di atas, mengisyaratkan bahwa nafs menampung paling tidak
gagasan dan kemauan. Suatu kaum tidak dapat berubah keadaan
lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dulu apa yang ada
dalam wadah nafs-nya. Yang ada di sini antara lain adalah
gagasan dan kemauan atau tekad untuk berubah. Gagasan yang
benar, yang disertai dengan kemauan satu kelompok masyarakat,
dapat mengubah keadaan masyarakat itu. Tetapi gagasan saja
tanpa kemauan, atau kemauan saja tanpa gagasan tidak akan
menghasilkan perubahan.

Yang terdapat dalam wadah nafs bukan hanya gagasan dan kemauan
yang disadari manusia, tetapi juga menampung sekian banyak hal
lainnya, bahkan boleh jadi ada hal-hal yang sudah hilang dari
ingatan pemiliknya.

Al-Quran mengisyaratkan hal tersebut,

Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguh nya
Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (QS
Thaha [20]: 7).

Yang lebih tersembunyi dan rahasia adalah yang terdapat dalam
"bawah sadar manusia", sedangkan yang tersembunyi adalah "yang
disadari manusia namun dirahasiakannya."

Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah berkata:

Tidak seorangpun menyembunyikan sesuatu kecuali tampak
pada salah ucapnya atau air mukanya.

Apa yang ada dalam nafs dapat juga muncul dalam mimpi, yang
oleh Al-Quran pada garis besarnya dibagi dalam dua bagian
pokok. Pertamaa dinamainya ru'ya dan kedua dinamainya
adhghatsu ahlam. Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau
simbol dari peristiwa yang telah, sedang, atau akan dialami,
dan yang belum atau tidak terlintas dalam benak yang
memimpikannya. Yang kedua lahir dan keresahan atau perhatian
manusia terhadap sesuatu dan hal-hal yang telah berada di
bawah sadarnya.

Dalam wadah nams terdapat qalb.

Qalb

Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik
karena seringkali ia berbolak-balik, sekali senang sekali
susah, sekali setuju dan sekali menolak. qa1b amat berpotensi
untuk tidak konsisten. Al-Quran pun menggambarkan demikian,
ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut beberapa contoh.

a. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan bagi orang-orang yang memiliki kalbu, atau
yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi saks~ (QS
Qaf [50]: 37)

b. Kami jadikan dalam kalbu orang-orang yang mengikuti
(Isa a.s ) kasih sagang dan rahmat (QS Al-Hadid [57]:
27).

c. Kami akan mencampakkan ke dalam hati orang-orang
kafir rasa takut (QS Ali 'Imran [3]: 151).

d. Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan,
dan menghiasinya indah dalam kalbumu (QS Al-Hujurat
[49]: 7).

Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa kalbu adalah wadah dari
pengajaran, kasih sayang, takut, dan keimanan. Dari isi kalbu
yang dijelaskan oleh ayat-ayat di atas (demikian juga
ayat-ayat lainnya), dapat ditarik kesimpulan bahwa kalbu
memang menampung hal-hal yang disadari oleh pemiliknya. Ini
merupakan salah satu perbedaan antara kalbu dan nafs. Bukankah
seperti yang dinyatakan sebelumnya bahwa nafs menampung apa
yang berada di bawah sadar, dan atau sesuatu yang tidak
diingat lagi?
Dari sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk
dipertanggungiawabkan hanya isi kalbu bukan isi nafs,

Allah menuntut tanggungjawab kau menyangkut apa yang
dilakukan oleh kalbu kamu (95 Al-Baqarah [2]: 225).

Namun dinyatakan bahwa,

Allah lebih mengetahui (dari kamu sendiri) apa yang
terdapat dalam nafs (diri kamu) (QS Al-Isra' [17]: 25)

Di sisi lain seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs adalah
"sisi dalam" manusia, kalbu pun demikian, hanya saja kalbu
berada dalam satu kotak tersendiri yang berada dalam kotak
besar nafs.

Dalam keadaannya sebagai kotak, maka tentu saja ia dapat diisi
dan atau diambil isinya, seperti yang digambarkan ayat-ayat
berikut ini:

Kami cabut apa yang terdapat dalam kalbu mereka rasa
iri, sehingga mereka semua merasa bersaudara duduk
berhadap-hadapan di atas dipan-dipan (QS Al-Hijr [15]:
47)

Belum lagi masuk keimanan ke dalam kalbu kamu (QS
Al-Hujurat [49]: 14).

Bahkan Al-Quran menggambarkan bahwa ada kalbu yang disegel:
Allah telah mengunci mati kalbu mereka (QS Al-Baqarah [2]: 7),
sehingga wajar jika Al-Quran menyatakan bahwa ada kunci-kunci
penutup kalbu (QS Muhammad [47]:24). Wadah kalbu dapat
diperbesar, diperkecil, atau dipersempit. Ia diperlebar dengan
amal-amal kebajikan serta olah jiwa. Al-Quran mengatakan,
"mereka itulah yang diperluas kalbunya untuk menampung takwa"
(QS Al-Hujurat [49]: 3). Bukankah kami telah memperluas
dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1). Dan siapa yang dikehendaki
Allah kesesatannya, Dia menjadikan dada (kalbu)nya sempit lagi
sesak (QS Al-An'am [6]: 125).

Perlu ditambahkan bahwa Al-Quran --sesuai dengan kaidah bahasa
Arab-- seringkali menggunakan bagian dari sesuatu untuk
menunjuk keseluruhan bagian-bagiannya, seperti menggunakan
kata sujud dalam arti shalat yang mencakup berdiri, rukuk, dan
lain-lain. Al-Quran juga biasa menyebut sesuatu yang
menggambarkan keseluruhan bagian-bagian, tetapi yang dimaksud
hanyalah salah satu bagiannya seperti firman-Nya "mereka
memasukkan jari-jari mereka ke dalam telinganya" (QS
Al-Baqarah [2]: 19) dalam arti ujung jari-jari. Al-Quran
terkadang menggunakan kata nafs dalam arti kalbu. Biasa juga
menyebut tempat sesuatu tetapi yang dimaksud adalah isinya,
seperti "tanyakanlah kampung" (QS Yusuf [12]: 82), yang
dimaksud adalah penghuninya, demikian seterusnya.

Kata dada dalam ayat di atas adalah tempat kalbu sebagai mana
ditegaskan

Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi kalbu yang
berada di dalam dada (QS Al-Hajj [22]: 46).

Dalam beberapa ayat, kata qalb yang merupakan wadah itu,
dipahami dalam arti "alat" seperti dalam firman-Nya: Mereka
mempunyai kalbu, tetapi tidak dõgunakan untuk memahami (QS
Al-A'raf [7]: 179). Kalbu sebagai alat, dilukiskan pula dengan
fu'ad (seperti dalam firman-Nya: Allah mengeluarkan kamu dan
perut ibumu da1am keadaan tidak mengetahui sesuatu. Maka Dia
memberikanmu (alat-alat) pendengaran, (alat-alat) penglihatan,
serta (banyak) hati agar kamu bersyukur (menggunakannya untuk
memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78) .

Membersihkan kalbu, adalah salah satu cara untuk memperoleh
pengetahuan. Imam Al-Ghazali memberi contoh mengenai kalbu
sebagai wadah pengetahuan, serta cara mengisinya. "Kalau kita
membayangkan satu kolam yang digali di tanah, maka untuk
mengisinya dapat dilakukan dengan mengalirkan air sungai
--dari atas-- ke dalam kolam itu. Tetapi bisa juga dengan
menggali dan menyisihkan tanah yang menutupi mata air. Jika
itu dilakukan, maka air akan mengalir dari bawah ke atas untuk
memenuhi kolam, dan air itu, jauh lebih jernih dari air sungai
yang mengalir dari atas. Kolam adalah kalbu, air adalah
pengetahuan, sungai adalah pancaindera dan eksperimen. Sungai
(pancaindera) dapat dibendung atau ditutup, selama tanah yang
berada di kolam (kalbu) dibersihkan agar air (pengetahuan)
dari mata air memancar ke atas (kolam).

Al-Quran juga menegaskan bahwa Allah Swt. dapat mendinding
manusia dengan kalbunya.

Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding
antara manusia dan hatinya (0S Al-Anfal [8]: 24).

Salah satu makna ayat ini adalah bahwa Allah menguasai kalbu
manusia, sehingga mereka yang merasakan kegundahan dan
kesulitan dapat bermohon kepada-Nya untuk menghilangkan
kerisauan dan penyakit kalbu yang dideritanya. Ayat ini sangat
berkaitan dengan firman-Nya dalam Al-Ra'd (13): 28:

Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati akan
tenteram.

Demikian sekelumit dari pengertian dan peranan hati yang
diperoleh dari isyarat-isyarat Al-Quran.

Ruh

Berbicara tentang ruh, Al-Quran mengingatkan kita akan
firman-Nya:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,
"Ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu
kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85)

Apa yang dimaksud dengan pertanyaan tentang ruh di sini?
Apakah substansinya? Kekekalan atau kefanaannya, kebahagiaan
atau kesengsaraannya? Tidak jelas. Selain itu, apa yang
dimaksud dengan "kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit"? Yang
sedikit itu apa? Apakah yang berkaitan dengan ruh? Sehingga
ada informasi sedikit tentang ruh, misalnya gejala-gejalanya?
Ataukah "yang sedikit itu" adalah ilmu pengetahuan kita, tidak
termasuk di dalamnya ruh, karena ilmu kita hanya sedikit.

Yang menambah sulitnya persoalan adalah bahwa kata ruh
terulang di dalam Al-Quran sebanyak dua puluh empat kali
dengan berbagai konteks dan berbagai makna, dan tidak semua
berkaitan dengan manusia. Dalam surat Al-Qadar misalnya
dibicarakan tentang turunnya malaikat dan ruh pada malam
Lailat Al-Qadr. Ada juga uraian tentang ruh yang membawa
Al-Quran.

Kata ruh yang dikaitkan dengan manusia juga dalam konteks yang
bermacam-macam, ada yang hanya dianugerahkan Allah kepada
manusia pilihan-Nya (QS Al-Mu'min [40]: 15) yang dipahami oleh
sementara pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada
juga yang dianugerahkannya kepada orang-orang Mukmin (QS
Al-Mujadilah [58]: 22) dan di sini dipahami sebagai dukungan
dan peneguhan hati atau kekuatan batin; dan ada juga yang
dianugerahkannya kepada seluruh manusia,

Kemudian Kuhembuskan kepadanya dan ruh-Ku.

Apakah di sini dia berarti nyawa? Ada yang berpendapat
demikian, ada juga yang menolak pendapat ini, karena dalam
Surat Al-Mu'minun dijelaskan bahwa dengan ditiupkannya ruh
maka menjadilah makhluk ini khalq akhar (makhluk yang unik),
yang berbeda dari makhluk lain. Sedangkan nyawa juga dimiliki
oleh orang utan, misalnya. Kalau demikian nyawa bukan unsur
yang menjadikan manusia makhluk yang unik.

Demikian terlihat Al-Quran berbicara tentang ruh dalam makna
yang beraneka ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan
maknanya apalagi berbicara tentang substansinya.

Dalam beberapa hadis, ada disinggung tentang ruh, misalnya
sabda Nabi Saw.,

Ruh-ruh adalah himpunan yang terorganisasi, yang
saling mengenal akan bergabung, dan yang tidak saling
mengenal akan berselisih.

Hadis di atas seringkali dirangkaikan dengan ungkapan yang
dikenal luas dalam literatur keagamaan:

Burung-burung akan bergabung dengan jenisnya.

Hadis ini, sekali lagi tidak membicarakan apa yang disebut ruh
tersebut? Dia hanya mengisyaratkan tentang keanekaragamannya,
dan bahwa manusia mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda,
dan setiap pemilik kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan
sesamanya.

Demikian kembali kita bertanya, "Apa ruh itu dan bagaimana
ia?" Penulis lebih tenang dan mantap menjawab,

Katakanlah, "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku." Kamu tidak
diberi pengetahuan kecuali sedikit.

'Aql

Kata 'aql (akal) tidak ditemukan dalam Al-Quran, yang ada
adalah bentuk kata kerja --masa kini, dan lampau. Kata
tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat,
penghalang. Al-Quran menggunakannya bagi "sesuatu yang
mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan
atau dosa." Apakah sesuatu itu? Al-Quran tidak menjelaskannya
secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang
menggunakan akar kata 'aql dapat dipahami bahwa ia antara lain
adalah:

a. Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu,
seperti firman-Nya dalam QS Al-'Ankabut (29): 43.

Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami
berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang
memahaminya kecuali orang-orang alim (berpengetahuan)
(QS Al-'Ankabut [29]: 43)

Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda. Ini diisyaratkan
Al-Quran antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang
kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
dan lain-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan
Allah Swt. bagi "orang-orang berakal" (QS Al-Baqarah [2]:
164), dan ada juga bagi Ulil Albab yang juga dengan makna
sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari sekadar
memiliki pengetahuan.

Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna dan
menyimpulkannya terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah
semacam nazhara, tafakkur, tadabbur, dan sebagainya yang
semuanya mengandung makna mengantar kepada pengertian dan
kemampuan pemahaman.

b. Dorongan moral, seperti firman-Nya,

... dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
keji, baik yang nampak atau tersembunyi, dan jangan
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah dengan sebab
yang benar. Demikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu,
semoga kamu memiliki dorongan moral untuk
meninggalkannya (QS Al-'Anam [6]: 151).

c. Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta
"hikmah"

Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya ini
menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya
memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan
moral yang disertai dengan kematangan berpikir. Seseorang yang
memiliki dorongan moral, boleh jadi tidak memiliki daya nalar
yang kuat, dan boleh jadi juga seseorang yang memiliki daya
pikir yang kuat, tidak memiliki dorongan moral, tetapi
seseorang yang memiliki rusyd, maka dia telah menggabungkan
kedua keistimewaan tersebut. Dari sini dapat dimengerti
mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata,

Seandainya kami mendengar dan berakal maka pasti kami
tidak termasuk penghuni neraka (QS Al-Mulk [67]: l0)

Demikian sekilas tentang pengertian kata-kata yang boleh jadi
dapat menggambarkan sekilas tentang manusia dalam pandangan
Al-Quran. Penulis sepenuhnya sadar bahwa uraian di atas amat
terbatas. Uraian yang memadai mungkin dapat diperoleh dengan
kerja sama pakar-pakar Al-Quran dengan Pakar dalam berbagai
disiplin ilmu lain. []

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

No comments: