Monday, December 3, 2007

RADISI SYARAH DAN HASYIYAH DALAM FIQH

TRADISI SYARAH DAN HASYIYAH DALAM FIQH
DAN MASALAH STAGNASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (1/2)
oleh Nurcholish Madjid

Kita telah membicarakan garis perkembangan pemikiran sistem
hukum Islam --yang kemudian dikenal dengan (ilmu) fiqh-- sejak
dari pertumbuhannya di masa para Sahabat, kemudian para
Tabi'in dan pengikut mereka, dan akhirnya pertumbuhannya di
masa para imam madzhab. Sampai dengan masa itu, yang kita
saksikan dalam sejarah perkembangan fiqh ialah dinamika dan
kreativitas, yang senantiasa disertai dengan kegaduhan polemik
dan kontroversi, namun dalam suasana saling menghargai dan
tenggang rasa yang besar. Keadaan demikian itu dilukiskan K.H.
Muhammad Hasyim Asy'ari dari Tebuireng:

Telah diketahui bahwa sesungguhnya telah terjadi perbedaan
dalam furu' (makalah rincian) antara para Sahabat Rasulullah
saw (semoga Allah meridlai mereka semua), namun tidak seorang
pun dari mereka memusuhi yang lain, juga tidak seorang pun
dari mereka yang menyakiti yang lain, dan tidak saling
menisbatkan lainnya kepada kesalahan ataupun cacat. Demikian
pula telah terjadi perbedaan dalam furu' antara Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik (semoga Allah meridlai keduanya) dalam
banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar empatbelas ribu
dalam bab-bab ibadat dan mu'amalah, serta antara Imam
al-Syafi'i dan gurunya, Imam Malik, (semoga Allah meridlai
keduanya) dalam banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar
enam ribu, demikian pula antara Imam Ahmad ibn Hanbal dan
gurunya, Imam al-Syafi'i, dalam banyak masalah, namun tidak
seorang pun dari mereka yang menyakiti yang lain, tidak
seorang pun dari mereka mencerca yang lain, tidak seorang pun
dari mereka mendengki yang lain, dan tidak seorang pun dari
mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat.
Sebaliknya mereka tetap saling mencintai, saling mendukung
sesama saudara mereka, dan masing-masing berdoa untuk segala
kebaikan mereka itu.[1]

K.H. Hasyim Asy'ari juga menyebut, terjadi banyak perbedaan
pendapat antara para tokoh intern madzhab sendiri pada
saat-saat permulaan perkembangannya, seperti antara Imam
al-Rafi'i dan Imam al-Nawawi, juga antara Imam Ahmad ibn Hajar
dan Imam al-Ramli dan para pengikut mereka, namun "tidak
seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, tidak seorang pun
dari mereka menyakiti yang lain, dan tidak seorang pun dari
mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat,
bahkan sebaliknya mereka selalu saling mencintai,
berpersaudaraan, dan saling menolong." [2]

Setelah masa-masa para imam madzhab lewat, yaitu mulai sekitar
abad keempat Hijri, maka yang terjadi ialah pertumbuhan dan
perkembangan madzhab itu sendiri. Jalan pikiran para imam itu
menjadi titik tolak, tapi kemudian dikembangkan begitu rupa
sehingga yang terwujud ialah sebuah aliran yang meluas dan
mendalam dan cukup pada dirinya sendiri (self-sufficient).
Maka dari titik tolak pemikiran Imam al-Syafi'i, misalnya,
tumbuh dan berkembang pemikiran yang lebih meluas dan
mendalam, yang serba berkecukupan. Karena itu yang ada
bukanlah pemikiran Imam al-Syafi'i itu an sich, melainkan
pemikiran yang meskipun tetap berwatak "kesyafi'ian" namun
dalam banyak hal Imam al-Syafi'i sendiri mungkin tidak lagi
tersangkut paut. Inilah yang dimaksudkan dengan istilah
"madzhab," yaitu suatu kesatuan pemikiran yang tumbuh dan
berkembang, bertitik tolak dari produk intelektual satu orang,
namun belum tentu orang tersebut sepenuhnya dapat dipandang
sebagai ikut bertanggungjawab. Penilaian ini lebih-lebih
beralasan, karena para tokoh pemikir yang menjadi pangkal
pengembangan madzhab tersebut semasa hidupnya sendiri sering
mengisyaratkan keengganan menjadi pusat pengikutan. Jadi
sesungguhnya seorang pemikir seperti al-Syafi'i menjadi imam
madzhab adalah secara post factum, yaitu setelah fakta
perkembangan pemikiran yang bertitik tolak dari dia itu,
menjadi kenyataan, setelah dia sendiri lama tiada.

Pertumbuhan madzhab itu dengan sendirinya terjadi melalui para
pengikut tokoh yang kelak disebut "imam madzhab" tersebut.
Mula-mula masih terdapat sisa-sisa kreativitas dan keberanian
intelektual yang menghasilkan karya-karya tersendiri dengan
tingkat orisinalitas yang memadai, seperti yang banyak
dilakukan oleh misalnya, al-Za'farani, al-Karabisi, al-Rabi',
al-Buwaythi, al-Muzni, dan lain-lain dari kalangan para
penganut madzhab Syafi'i. Demikian pula tokoh-tokoh dari
madzhab-madzhab yang lain.

Tetapi masa itu segera diikuti oleh masa dengan tingkat
kreativitas dan orisinalitas intelektual yang lebih rendah.
Inilah masa syarah (penjabaran) dan hasyiyah (penjabaran atas
syarah). Ciri umum masyarakat Muslim saat itu ialah suasana
traumatis terhadap perpecahan dan perselisihan, sehingga yang
muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat, ialah
ketenangan dan ketenteraman. Agaknya dambaan mereka tercapai,
tapi dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau
kemandekan. Sebab ketenangan dan ketenteraman itu mereka
"beli" dengan menutup dan mengekang kreativitas intelektual
dan penjelasan, atas nama doktrin taqlid dan tertutupnya
ijtihad. Ketidakberanian mengambil risiko salah dalam
penelitian dan penjelajahan itu kemudian dirasionalisasikan
dengan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam madzhab
dan pendukung-pendukung mereka itu seolah-olah sudah "final,"
dan apapun produk pemikiran mereka harus diterima sebagai
berlaku "sekali dan untuk selamanya". Ditambah lagi dengan
keadaan politik negeri-negeri Muslim yang telah mulai
kehilangan "elan vital"-nya antara lain karena banyaknya
serbuan-serbuan militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan
bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada ketenangan
dan ketenteraman menjadi semakin beralasan, yang kemudian
lambat laun berkembang menjadi semacam etos di kalangan kaum
Muslim di seluruh dunia. Karena orisinalitas pemikiran tidak
berkembang lagi, maka yang terjadi ialah pengulangan dan
penghafalan yang sudah ada. Dan karena pemikiran kritis juga
terkekang, maka tercipta suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos.
Jadi tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai
permulaan kemunduran peradaban Islam, yang kemudian kelak,
berakhir dengan kekalahan mereka oleh ummat-ummat lain,
khususnya bangsa-bangsa Eropa.

SYARAH DAN HASYIYAH

Mulai saat itulah kurang lebih muncul ide tentang keharusan
seorang Muslim memilih salah satu dari madzhab-madzhab yang
ada sebagai anutan. Logika keharusan ini ialah ide tentang
taqlid, yang taqlid itu, sebagaimana telah disinggung,
merupakan dinamik dambaan kepada ketenteraman. Dari beberapa
sudut pandang tertentu, seperti dari sudut keprihatinan karena
situasi politik yang tidak mantap, keharusan memilih suatu
madzhab seperti itu dapat dibenarkan. Begitu pula larangan
mencampuradukkan lebih dari satu madzhab, yang kemudian
dikenal sebagai talfiq, juga sangat dicela, karena dalam
praktek serupa itu mudah sekali masuk unsur oportunisme dalam
paham (seperti, misalnya, mengenai suatu hukum tertentu
seseorang cenderung mencari yang mudah dan ringan dari
berbagai madzhab, tanpa kesungguhan meneliti bagaimana pangkal
sebenarnya hukum itu).

Keharusan memilih salah satu madzhab sekaligus larangan
mencampur lebih dari satu madzhab --betapapun tulusnya hal itu
dilakukan-- secara tersirat mengandung doktrin bahwa suatu
pemikiran madzhab adalah suatu kesatuan organik yang tidak
boleh dipisah-pisah. Pemisahan itu akan menghasilkan
inkonsistensi, dan yang terakhir ini tentu berakibat kepada
masalah istiqamah atau keteguhan dan keikhlasan dalam
beragama. Tapi konsekuensi yang lebih jauh ialah --sebagaimana
telah disinggung tadi-- hilangnya kreativitas dan orisinalis
intelektual, dan bersamaan dengan itu hilang pula kemampuan
memberi responsi pada keadaan masyarakat nyata (historis) yang
senantiasa berkembang dan berubah.

Pada saat itulah sejauh mengenai kegiatan intelektual yang
muncul, ialah karya-karya syarah, yaitu karya tulis berupa
kitab yang mengelaborasi karya lain yang lebih orisinal, yang
dipandang sebagai matan (teks inti). Kegiatan pseudo-ilmiah
serupa ini paling banyak terjadi dalam pemikiran judisial,
tetapi sesungguhnya juga merambah ke berbagai cabang ilmu
keislaman yang lain, seperti, dan terutama, Ilmu Kalam.

Tapi syarah bukanlah akhir perjalanan tradisi pseudo-ilmiah
dalam masa kemandekan intelektual ini. Sebuah karya sparah
membuka peluang kepada bentuk elaborasi lebih lanjut, sehingga
merupakan "elaborasi atas elaborasi," yang biasanya disebut
hasyiyah.
Untuk memperoleh gambaran apa yang dinamakan syarah dan
hasyiyah itu, berikut ini adalah contoh kutipan dari matan
kitab Taqrib, yaitu sebuah kitab fiqh yang paling standar. di
pesantren-pesantren. Matan itu kemudian diberi syarah dalam
kitab Fat'h al-Qarib, juga sangat standar di
pesantren-pesantren, dan akhirnya diberi hasyiyah dalam kitab
al-Bajuri, sebuah kitab yang boleh dipandang cukup tinggi:

Matan: Air yang boleh untuk menyucikan ada tujuh air: air
langit, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air
salju, dan air embun. [3]

Syarah: (Air yang boleh) artinya sah (untuk menyucikan ada
tujuh: air langit) artinya yang terjun dari langit, yaitu
hujan (air laut) artinya yang asin (air sungai) artinya yang
tawar (air sumur, air sumber, air salju dan air embun) dan
tujuh air itu tercakup dalam ungkapan Anda "Apa yang turun
dari langit dan apa yang menyembul dari bumi dalam keadaan
bagaimanapun adalah termasuk pokok penciptann. [4]

Syarah ini kemudian diberi hasyiyah, yaitu penjabaran atau
elaborasi lebih lanjut. Berikut ini adalah contoh hasyiyah-nya
(tapi karena hasyiyah yang bersangkutan itu panjang sekali,
maka demi kepraktisan kita akan mengutip hasyiyah yang
menyangkut salah satu dari air yang tujuh itu, yaitu "air
sungai" saja):

Hasyiyah: (Perkataannya dan air sungai) rangkaian dalam
pengertian di, artinya air yang mengalir di sungai (nahr)
dengan fa'thah ha' dan matinya dan yang pertama lebih fasih
dan al di situ adalah untuk jenis, maka ia mencakup Nil dan
Furat dan sebagainya, dan asalnya dari surga sebagaimana hal
itu disebutkan dalam nas mengenainya sebab sesungguhnya
diturunkan dari surga Nil Mesir dan Sihun sungai India dan
Jihun sungai Balkh dan keduanya itu bukanlah Sihan dan Jiham
menurut yang unggul berlainan dengan orang yang menyangka
keduanya itu sinonim sebab Sihan adalah sungai Arnah dan Jihan
adalah sungai al-Mashishah dan Dajlah dan Furat adalah dua
sungai di Irak dari asal Sidrat al-Muntaha dan itulah makna
firman Dia Yang Maha Tinggi "Dan Kami turunkan dari langit air
dengan takaran tertentu" maka pada waktu keluarnya Ya'juj dan
Ma'juj sungai-sungai itu diangkat dan itulah makna firman Dia
Yang Maha Tinggi "Dan sesungguhnya Kami tentulah berkuasa
untuk menghilangkannya." [5]

Kutipan di atas itu sengaja dibuat dalam bentuk terjemahan
harfiah tanpa memberi tanda-tanda baca sesuai konteks, menurut
keadaan aslinya dalam kitab. Maksudnya ialah agar kita dapat
merasakan kesulitan yang dihadapi oleh mereka yang membaca
"kitab gundul," jika mereka tidak terlatih membaca dalam
konteks. Dan keadaan menurut aslinya itu dapat memberi
gambaran tentang ungkapan "ilmiah" masa kemunduran itu yang
tidak dapat disebut mengagumkan, jauh di bawah ukuran masa
kejayaan intelektual sebelumnya seperti diwakili karya-karya
Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Arabi, Ibn Taymiyyah, dan
sebagainya.

Bahkan dalam kutipan itu dapat dilihat munculnya beberapa
dongeng dan mitologi, yang dirangkaikan dengan paham
keagamaan, seperti bahwa sungai Nil berasal dari surga dan
sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Eufrat) di Irak berasal dari
Sidrat al-Muntaha! Juga ada mitos lain yang tercampur dengan
pandangan keagamaan tertentu seperti cerita tentang datangnya
Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Mogog) yang tersebut dalam Kitab
Suci al-Qur'an [6], yang pada saat itu akan diangkat
sungai-sungai Nil, Furat dan Dajlah itu ke langit sebagai
tafsir atas ayat suci al-Qur'an pula. [7]

KESIMPULAN

Semangat obskurantisme atau kemasabodohan intelektual akibat
berbagai faktor ekstern dalam proses-proses dan
struktur-struktur politik masa itu sedemikian mencekam,
sehingga mewarnai sikap intelektual sebagian besar kaum
Muslim. Dan dalam pandangan mereka, ilmu pengetahuan telah
"habis," dan yang tersisa ialah mencerna apa saja yang
diwariskan dari generasi sebelumnya. Stagnasi ini tidak
dirasakan oleh kaum Muslim, seolah-olah segala sesuatu terjadi
secara wajar saja, sampai akhirnya mereka terhentak dan kalah
oleh bangkitnya bangsa-bangsa yang selama ini mereka remehkan,
yaitu bangsa-bangsa Eropa Barat, atau lebih persisnya, Barat
Laut, bangsa-bangsa pelopor umat manusia masuk Zaman Modern.

Banyak ahli yang mengatakan, semua ini diawali karena umat
Islam terkena penyakit "puas diri", akibat dominasi mereka
atas kehidupan di muka bumi selama berabad-abad (dalam
perhitungan konservatif setidaknya selama delapan abad, yang
berarti empat kali lebih panjang daripada masa dominasi Eropa
Barat yang sudah berlangsung selama dua abad ini). Dan ketika
mereka dikejutkan oleh datangnya tentara Perancis ke Mesir di
bawah Napoleon yang dengan amat mudah mengalahkan mereka itu,
keadaan sudah sangat terlambat, sehingga dorongan ke arah
kebangkitan kembali yang muncul sejak itu sampai sekarang
belum mencapai tujuan yang dimaksud.

Tapi tentu saja umat Islam masih tetap mempunyai kesempatan
yang baik. Berbagai gejala masa-masa terakhir ini, yang
biasanya diletakkan dalam bracket "kebangkitan Islam", dapat
diacu sebagai petunjuk adanya masa depan yang baik, setidaknya
lebih baik daripada sekarang, apalagi daripada masa
obskurantisme tersebut di atas itu. Sebuah adagium mungkin
relevan dengan masalah ini yaitu yang berbunyi: "Tidak akan
menjadi baik umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah
membuat baiknya umat terdahulu." [8] Sementara banyak tafsiran
yang berbeda-beda tentang apa "yang membuat baik umat
terdabulu," namun dari pembacaan kepada sejarah peradaban
Islam, khususnya sejarah pemikirannya, jelas bahwa yang
membuat baik mereka generasi Islam klasik itu ialah apa yang
dalam ungkapan kontemporer dinamakan "Etos Ilmiah".

Berbeda dengan obskurantisme, etos ilmiah yang benar harus
memandang ilmu tidak mempunyai batas (limit), melainkan ilmu
hanya mempunyai perbatasan (frontier), yaitu ujung terakhir
perkembangan pemikiran ilmiah. Batas atau limit ilmu hanya ada
pada Allah, karena itu tak terjangkau. Tapi perbatasan atau
frontier ilmu hanyalah produk kemampuan manusia sendiri yang
tidak sempurna, karena itu harus selalu diusahakan untuk
ditembus dengan keberanian intelektual serta kreativitas dan
orisinalitasnya. [9] Semuanya itu memerlukan suasana yang
bersifat kondusif. Dan suasana itu tidak lain, seperti
dikemukakan KH. Hasyim Asy'ari di atas, ialah toleransi dan
saling menghargai dalam perbedaan.

CATATAN

1. Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Tibyan fi al-Nahy 'an Muqata'at
al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Mathba'at
Nahdlat al-'Ulama, tt.). h. 11. (Risalah ini ditulis pada
1360 H atau 1941 M).

2. Ibid., h. 12.

3. Abu Syuja' Ahmad Ibn al-Husayn al-Ishfahani, al-Ghayah wa
al Taqrib, (Semarang: Pustaka al-'Alawiyyah, tt.), h. 2-3.

4. Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fat'h al-Qarib (Semarang:
Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 3.

5. Al-Syaykh Ibrahim al-Hajuri, Hasyiyat al-Hajuri (Semarang:
Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 27.

6. Lihat Q.s. al-Kahf/18:94 (dalam cerita tentang Dzu al
Qarnayan)

7. Lihat Q., s. al Mu'minun/23:18.

8. "La tashluhu hadzihi al-Umah illa bi ma shaluha bihi
awwaluha."

9. Seperti halnya dengan Zaman Modern, etos ilmiah Zaman
Klasik Islam memandang perbatasan ilmu harus selalu ditebus,
sementara dalam zaman obskurantisme, etos ilmiah yang ada
mengajarkan agar setiap bertemu dengan perbatasan hendaknya
kembali ke semula, dan ini menghasilkan praktek menghafal.
Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah swt, jadi tidak
mungkin dicapai manusia, apalagi ditembus. "Katakan, 'Kalau
seandainya seluruh lautan ini tinta untuk Kalimat Tuhanku,
maka lautan itu akan habis sebelum Kalimat Tuhanku habis,
meski kami datangkan tinta sebanyak itu pula." (Q., s. al
Kahf/18:109).

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

No comments: