Monday, December 3, 2007

sejarah hidup MUHAMMAD

KATA PERKENALAN

Oleh almarhum Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi
(Rektor Magnificus Universitas Al-Azhar)

SEJAK manusia berada di permukaan bumi ini, hasratnya ingin
mengetahui segala hukum dan kodrat alam yang terdapat di
sekitarnya, besar sekali. Makin dalam ia meneliti, makin
tampak kepadanya kebesaran alam itu, melebihi yang semula.
Kelemahan dirinya makin tampak pula dan keangkuhannyapun makin
berkurang.

Demikianlah, Nabi yang membawa Islam itupun sama pula dengan
alam itu. Sejak bumi ini menerima cahaya Nabi, para ulama
berusaha mencari segi-segi kemanusiaan yang besar daripadanya,
mencari nilai-nilai Asma Allah dalam pemikirannya, dalam
akhlaknya, dalam ilmunya. Dan kalaupun mereka mampu mencapai
pengetahuan itu seperlunya, namun sampai kini pengetahuan yang
sempurna belum juga mereka capai. Perjuangan yang mereka
hadapi masih panjang, jaraknya masih jauh, jalannyapun tak
berkesudahan.

Kenabian adalah anugerah Tuhan, tak dapat dicapai dengan
usaha. Akan tetapi ilmu dan kebijaksanaan Allah yang berlaku,
diberikan kepada orang yang bersedia menerimanya, yang sanggup
memikul segala bebannya. Allah lebih mengetahui di mana
risalah-Nya itu akan ditempatkan. Muhammad s.a.w. sudah
disiapkan membawa risalah (misi) itu ke seluruh dunia, bagi si
putih dan si hitam, bagi si lemah dan si kuat. Ia disiapkan
membawa risalah agama yang sempurna, dan dengan itu menjadi
penutup para nabi dan rasul, yang hanya satu-satunya menjadi
sinar petunjuk, sekalipun nanti langit akan terbelah,
bintang-bintang akan runtuh dan bumi inipun akan berganti
dengan bumi dan angkasa lain.

Kesucian para nabi dalam membawa risalah dan meneruskan amanat
wahyu itu, adalah masalah yang tak dapat dimasuki oleh kaum
cendekiawan. Bagi para nabi, sudah tak ada pilihan lain.
Mereka menerima risalah dan amanat, dan itu harus disampaikan,
sesudah mereka diberi cap dengan stempel kenabian. Tugas
menyampaikan amanat demikian itu sudah menjadi konsekwensi
wajar bagi seorang nabi, yang tak dapat dielakkan. Akan
tetapi, tidak selamanya wahyu itu menyertai para nabi dalam
tiap perbuatan dan kata-kata mereka. Mereka juga tidak bebas
dari kesalahan. Bedanya dengan manusia biasa, Allah tidak
membiarkan mereka hanyut dalam kesalahan itu sesudah sekali
terjadi, dan kadang mereka segera mendapat teguran.

Muhammad s.a.w. telah mendapat perintah Tuhan guna
menyampaikan amanat itu, dengan tidak dijelaskan jalan yang
harus ditempuhnya, baik dalam cara menyampaikan risalah atau
dalam cara, mempertahankannya. Pelaksanaannya diserahkan
kepadanya, menurut kemampuan akalnya, pengetahuannya dan
kecerdasannya, sebagaimana biasa dilakukan oleh kaum
cerdik-pandai lainnya. Kemudian datang wahyu memberikan
penjelasan secara tegas tentang segala sesuatu yang mengenai
Zat Tuhan, ke-EsaanNya, Sifat-sifatNya serta cara-cara
beribadat. Tetapi tidak demikian tata-cara kemasyarakatan,
dalam keluarga, tentang desa dan kota, tentang negara, baik
yang berdiri sendiri atau yang terikat oleh negara-negara
lain.

Di samping itu masih banyak sekali bidang lain yang harus
diselidiki sehubungan dengan kebesaran Nabi s.a.w. sebelum
datangnya wahyu. Juga tidak kurang kebesaran itu yang harus
diselidiki sesudah datangnya wahyu. Ia menjadi utusan Tuhan
dan mengajak orang kepadaNya. Ia melindungi ajakannya (dakwah)
itu serta membela kebebasan para penganjurnya. Ia menjadi
pemimpin umat Islam, menjadi panglima perangnya; ia menjadi
mufti, menjadi hakim dan organisator seluruh jaringan
komunikasi dalam hubungan sesamanya dan antar-bangsa. Dalam
segala hal ia dapat menegakkan keadilan. Ia mempersatukan
bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok itu, sesuai dengan yang
dapat diterima akal sehat. Ia telah memperlihatkan
kemampuannya berpikir, ketenangannya serta pandangannya yang
jauh. Ia dapat memperlihatkan kecerdasannya serta kemampuannya
berpikir cepat dan tepat dengan keteguhan hati terhadap setiap
kata dan perbuatan. Ia telah menjadi sumber ilmu dan
pengetahuan. Ia menjadi lambang kefasihan, yang menyebabkan
para ahli dalam bidang itu harus takluk dan menundukkan
kepala, mengakui kebesaran dan kedahsyatannya. Akhirnya ia
melepaskan dunia fana ini dengan rela hati atas pekerjaannya,
yang juga sudah mendapat kerelaan Allah dan kaum Muslimin
pula.

Semua segi itu perlu sekali dijadikan bahan studi dan perlu
mendapat pengamatan yang lebih teliti. Supaya semua segi itu
dapat dilaksanakan dengan baik, tentu tidak dapat dilakukan
oleh hanya seorang saja. Bahkan satu segi sajapun takkan dapat
dicapai.

Sebagaimana terhadap sejarah hidup orang-orang besar umumnya,
orang biasanya suka menambahkan hal-hal yang tidak semestinya,
demikian juga terhadap sejarah hidup Muhammad s.a.w. --baik
karena didorong oleh rasa cinta dan maksud baik, ataupun
karena didorong oleh rasa dengki dan maksud jahat. Hanya
bedanya dari biografi orang-orang besar itu ialah, bahwa di
sini tidak sedikit yang disertai dengan wahyu Ilahi dan
jaminan akan terpeliharanya Qur'an Suci, disamping tidak
sedikit pula keterangan-keterangan dari mereka yang hafal
Qur'an daripada ahli-ahli hadis yang dapat dipercaya. Atas
landasan-landasan yang kuat itulah penulisan sejarah harus
didasarkan, dan dari situ pula para sarjana harus mengambil
sumber-sumber pemikiran dan penelitiannya. Kemudian lalu
membuat suatu analisa yang benar-benar ilmiah sifatnya, dengan
melihat suasana lingkungan dan milieu serta
kepercayaan-kepercayaan, susunan masyarakat dan adat-istiadat
dari segala seginya yang berbagai ragam itu.

Dalam hal ini Dr. Haekal telah menyelesaikan karyanya, Hayat
Muhammad, tentang peri hidup Muhammad s.a.w. Dengan senang
hati sekali saya telah membaca sebagian buku itu sebelum
seluruhnya selesai dicetak. Di kalangan pembaca berbahasa Arab
Dr. Haekal sudah cukup dikenal dengan karya-karyanya yang
tidak sedikit jumlahnya, sehingga tidak perlu lagi rasanya
diperkenalkan. Dia adalah seorang sarjana hukum dan ahli
filsafat. Posisi dan sifat jabatannya memungkinkan dia
mengadakan hubungan dengan kebudayaan lama dan kebudayaan
modern. Dalam hal ini ia telah dapat melaksanakan tugas itu
sebaik-baiknya. Ia sering bertukar pikiran dan berdiskusi
mengenai masalah-masalah kepercayaan, pandangan hidup,
mengenai kaidah-kaidah sosial, politik dan sebagainya. Dengan
demikian ia berpikir lebih matang, pengalaman dan
pengetahuannyapun makin luas, pandangannya juga cukup jauh
pula. Ia dapat mempertahankan pendapatnya itu dengan logika
dan argumentasi yang kuat , dengan gayanya yang khas dan sudah
cukup dikenal.

Dengan intelegensia dan kemampuan semacam itulah Dr. Haekal
menulis bukunya itu. Dalam kata pengantarnya ia menyebutkan:

"Sungguhpun begitu saya tidak beranggapan, bahwa saya sudah
sampai ke tujuan terakhir dalam menyelidiki sejarah hidup
Muhammad. Bahkan barangkali akan lebih tepat bila saya
katakan, bahwa saya baru dalam taraf permulaan mengadakan
penyelidikan dengan metoda ilmiah yang baru dalam bahasa Arab
ini.

Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa antara
dakwah Muhammad dengan metoda ilmiah modern mempunyai
persamaan yang besar sekali. Metoda ilmiah ini ialah
mengharuskan kita --apabila kita hendak mengadakan suatu
penyelidikan-- terlebih dulu kita membebaskan diri dari segala
prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada pada
diri kita, yang berhubungan dengan penyelidikan itu. Di
situlah kita memulai dengan mengadakan observasi dan
eksperimen, mengadakan perbandingan yang sistematis, kemudian
baru dengan silogisma yang sudah didasarkan kepada
premisa-premisa tadi. Apabila semua itu sudah dapat
disimpulkan, maka kesimpulan demikian itu pun dengan
sendirinya masih perlu dibahas dan diselidiki lagi. Tetapi
bagaimanapun juga ini sudah merupakan suatu data ilmiah selama
penyelidikan tersebut belum memperlihatkan kekeliruan. Metoda
ilmiah demikian ini ialah yang terbaik yang pernah --dicapai
umat manusia demi kemerdekaan berpikir. Metoda dan dasar-dasar
dakwah demikian inilah yang menjadi pegangan Muhammad".

Bahwa metoda demikian ini adalah metoda Qur'an, hal itu sudah
tidak perlu diragukan lagi. Bagi Qur'an rasio harus menjadi
juru penengah, sedang yang harus menjadi dasar ilmu ialah
pembuktiannya. Qur'an mencela sikap meniru-niru buta dan
mereka-reka yang hanya didasarkan pada prasangka. "Dan bahwa
prasangka itu tidak berguna sedikit pun terhadap kebenaran"1
Mengkultuskan suatu kebiasaan, yang hanya karena dilakukan
oleh nenek moyang, juga dicela. Qur'an mengharuskan orang
berdakwah itu dengan pikiran yang bijaksana. Kekuatan mujizat
Muhammad s.a.w. hanyalah dalam Qur'an, dan mujizat ini sungguh
rasionil adanya.

Sajak Bushiri2 berikut ini memang indah sekali:

Tidak sampai kita dicoba
Yang akan meletihkan akal karenanya
Sebab sayangnya kepada kita
Kita pun tak ragu, kita pun tak sangsi.

Kalau cara pembahasan demikian ini merupakan suatu cara yang
baru, memang suatu hal yang tak dapat dielakkan. Dr. Haekal
sudah bergaul dengan ulama dan sarjana-sarjana lain dalam hal
ini. Dan memang ini pula cara Qur'an seperti sudah
dikatakannya tadi. Dan memang itu pula yang pernah ditempuh
sarjana-sarjana Islam dahulu. Coba kita lihat misalnya
buku-buku ilmu kalam (teologi spekulatif); mereka menentukan,
bahwa kewajiban kita pertama ialah mengenal Tuhan
(ma'rifatullah). Yang lain berkata: Tidak. Yang pertama harus
ditempuh ialah syak (skepsis). Lalu tak ada jalan lain untuk
mencapai ma'rifat (connaissance) itu kecuali dengan
pembuktian. Dan kalaupun itu dapat digolongkan ke dalam
pengertian syllogisma namun premisa-premisanya harus sudah
pasti dan dapat dirasakan, dan secara intuitif akhirnya dapat
pula dipahami berdasarkan pengalaman yang sempurna dan dapat
dipastikan sungguh-sungguh, seperti sudah biasa dikenal dalam
logika. Setiap kesalahan yang dapat menyusup ke dalam
premisa-premisa itu atau ke dalam bentuk penyusunannya, dapat
merusak pembuktian tersebut.

Yang menempuh jalan demikian ini ialah Imam Ghazali. Dalam
salah satu bukunya ia mengatakan, bahwa terlebih dulu ia
membebaskan diri dari segala macam konsepsi. Kemudian baru ia
berpikir dan menimbang kembali, menyusun kembali lalu membuat
beberapa perbandingan. Dikemukakannya beberapa argumentasi,
diujinya dan dianalisa. Dari semua itu kemudian ia memperoleh
petunjuk, bahwa Islam dan tuntunan yang diberikan menurut
konsepsi Islam adalah benar. Imam Ghazali melakukan ini guna
menghindarkan hal-hal yang bersifat taklid. Ia ingin membina
keimanannya itu atas dasar iman yang pasti, yang berlandaskan
argumen dan pembuktian, yakni iman yang kebenarannya sudah
menjadi pegangan kaum Muslimin tanpa ada khilafiah.

Juga dalam buku-buku ilmu kalam tidak sedikit kita jumpai
kisah abstraksi (pembebasan diri dari segala kepercayaan dan
konsepsi) yang sudah biasa dikenal dalam rukun iman itu,
kemudian dibahas dan ditinjaunya kembali. Abstraksi adalah
cara yang sudah lama ada, juga dengan cara-cara eksperimen dan
penyelidikan sudah lama ada. Eksperimen dan penyelidikan yang
sempurna ialah hasil daripada suatu observasi. Semua itu bagi
kita bukan barang baru. Akan tetapi cara-cara lama ini, baik
dalam teori maupun praktek, yang subur di Timur hanyalah
cara-cara taklid dengan mengabaikan peranan rasio. Sesudah
kemudian oleh orang Barat dikeluarkan kembali dalam bentuk
yang lebih matang sehingga dapat dimanfaatkan --baik dalam
teori ataupun praktek-- kitapun lalu kembali mengambil dari
sana. Demikian juga dalam ilmu pengetahuan kita menganggapnya
sebagai sesuatu yang baru pula.

Ketentuan ilmiah dalam cara penyelidikan demikian ini sudah
cukup dikenal, baik yang lama maupun yang modern. Untuk
sekedar mengetahui memang mudah, tapi melaksanakannya itulah
yang sulit. Orang tidak banyak berselisih pendapat mengenai
pengetahuan tentang hukum, misalnya. Tetapi dalam melaksanakan
ketentuan hukum itu, pendapat orang jauh sekali berbeda-beda.

Membebaskan diri dari konsepsi, observasi dan eksperimen,
induksi dan deduksi, adalah kata-kata yang mudah. Akan tetapi
bagi orang yang sudah begitu jauh hanyut dalam beban warisan
yang sudah mendarah daging, dalam beban lingkungan, dalam
rumah tangga, dalam desa, kota, negara atau dalam sekolah,
tekanan-tekanan kepercayaan yang sudah ada, temperamen,
kesehatan, penyakit serta segala macam nafsu, bagaimanakah
akan dengan mudah melaksanakannya? Di sinilah terletak
penyakit itu, dahulu dan sekarang. Itu pula sebab timbulnya
bermacam-macam aliran dan berubah-ubahnya pendapat,
berpindah-pindah dari daerah ke daerah lain, dari bangsa
kepada bangsa lain. Seperti juga kaum wanita yang berganti
mode, filsafat dan peradaban pun berganti corak, generasi demi
generasi. Dan jarang sekali ada sesuatu yang tak lapuk di
hujan tak lekang di panas. Bahkan perubahan itu berjalan
sesuai dengan kaidah-kadiah ilmu pengetahuan yang sejak
berabad-abad tidak pernah diragukan. Terhadap teori
relativitas misalnya, para sarjanapun goyah dan cepat-cepat
merombaknya. Pendapat-pendapat tentang patologi, tentang
terapi, tentang gizi, semua ini masih dalam proses yang
berubah-ubah. Demikian juga apabila kita perhatikan pelbagai
macam produk otak manusia tidak pernah stabil sebelum disertai
pembuktian dengan syarat-syarat yang cukup.

Akan tetapi apa artinya semua ini meskipun sudah dilengkapi
dengan segala pembuktian, bila dibandingkan dengan yang lain,
yang sudah penuh dengan segala macam prasangka dan
angan-angan, yang sudah sarat oleh pikiran-pikiran yang sakit
atau di bawah tekanan politik. Hal inilah yang diketengahkan
oleh para ulama dan sarjana yang gemar mengadakan pertentangan
dengan pihak lain, dengan melahirkan aliran-aliran dan
pendapat-pendapat demikian itu! Kekacauan pikiran ini mungkin
akan mengurangi semangat ulama atau sarjana-sarjana yang hanya
mendewa-dewakan akal semata. Dan pada waktunya akan
mengalihkan pandangan mereka kepada kebenaran dan keimanan,
yakni wahyu yang sebenarnya, yaitu Qur'an Suci dan Sunah yang
sahih.

Baiklah, sekarang kita kembali kepada Dr. Haekal dan bukunya
ini.

Beberapa ahli ilmu kalam mengatakan, bahwa dengan
memperhatikan astronomi dan anatomi jelas sekali menunjukkan
sempurnanya kodrat Ilahi tentang susunan alam ini. Dan sayapun
memperkuat pendapat ini, bahwa ilmu pengetahuan dan penemuan
mengenai ketentuan-ketentuan serta segenap rahasia alam
semesta inipun akan menjadi pendukung agama, akan memperdekat
pikiran manusia menempuh jalan pengertian yang tadinya masih
kabur, yang tadinya masih di luar jangkauan otaknya. Akhirnya
akan dapat memahami, sejalan seperti yang difirmankan Tuhan:
"Akan segera Kami perlihatkan bukti-bukti Kami dalam segenap
penjuru alam dan dalam diri mereka sendiri, sehingga ternyata
bagi mereka bahwa inilah Kebenaran itu. Belum cukupkah, bahwa
Tuhanmu menjadi Saksi atas segalanya?3

Soal-soal elektro dan segala yang dihasilkannya seperti
penemuan-penemuan lainnya, membantu otak kita memahami adanya
perubahan benda kepada tenaga dan tenaga kepada benda.
Demikian juga spiritualisma telah banyak menerangkan hal-hal
yang tadinya masih dipersengketakan; ternyata ini membantu
memahami adanya pembebasan ruh dan kemungkinan terpisahnya ruh
itu serta memahami kecepatan yang dimiliki ruh itu menempuh
jarak yang jauh. Dr. Haekal telah memanfaatkan hal ini dalam
mengartikan kisah Isra dengan cara yang agak baru. Rasanya
akan terlalu panjang saya bicara bila harus menguraikan faedah
yang akan kita peroleh dari buku Dr. Haekal ini. Cukuplah
kalau saya sebutkan secara keseluruhan saja. Orang akan
melihat sendiri keindahannya, akan menikmati sendiri hasil
pikirannya yang didasarkan kepada bahan-bahan yang otentik
itu, didasarkan kepada pemikiran yang logis, yang didukung
oleh bawaan sewajarnya. Orang akan melihat bahwa Dr. Haekal
sungguh jujur dalam mencari kebenaran, keyakinan memenuhi
kalbunya akan hidayah dan nur yang dibawa dalam wahyu
Muhammad, akan keindahan, kebesaran, suri-teladan dan
kemuliaan yang terdapat dalam biografi Nabi s.a.w. Ia sudah
yakin seyakin-yakinnya, bahwa agama yang dibawa Muhammad
inilah yang akan mengangkat umat manusia dari sarang kebalauan
dan kebingungan, yang akan mengangkat mereka dari kegelapan
materi, dan menyinari mata hati mereka dengan cahaya iman,
mengantarkan mereka kepada Nur Ilahi. Mereka akan menyadari
betapa luas rahmat Tuhan yang meliputi segalanya itu, betapa
besar keagunganNya, seluruh langit dan bumi memuliakanNya dan
segala yang ada memuliakanNya; betapa besar kekuasaanNya,
segala yang ada menjadi kecil di hadapanNya.

Seperti dikatakannya: "Dengan melihat lebih jauh dari itu saya
berpendapat, penyelidikan demikian sudah seharusnya akan
mengantarkan umat manusia ke jalan peradaban yang selama ini
dicarinya. Apabila pihak Nasrani di Barat merasa dirinya
terlampau besar akan mendapatkan cahaya baru itu dari Islam
dan dari Rasul, lalu menantikan cahaya itu akan datang dari
teosofi India dan dari pelbagai macam aliran di Timur Jauh
lainnya, maka orang-orang di Timurpun, baik umat Islam, Yahudi
atau Kristen, layak sekali bertindak mengadakan penyelidikan
berharga ini, dengan sikap yang bersih dan jujur, yakni
satu-satunya cara yang akan mencapai kebenaran.

Cara pemikiran Islam yang pada dasarnya adalah pemikiran
ilmiah menurut metoda modern dalam hubungan manusia dengan
lingkungan hidup sekitarnya, yang dari segi ini realistik
sekali, berubah menjadi pemikiran yang subyektif ketika
masalahnya menjadi hubungan manusia dengan alam semesta dan
Pencipta alam".

Dan katanya lagi: "Akan tetapi adanya gejala-gejala akan
lenyapnya paganisma yang sekarang menguasai dunia kita,
mengemudikan kebudayaan yang berkuasa sekarang (the ruling
culture), tampak jelas sekali bagi setiap orang yang mau
mengikuti jalannya sejarah dan peristiwa-peristiwa dunia.
Apabila secara khusus dipelajari sungguh-sungguh sejarah hidup
Muhamnad itu sebagai Nabi serta ajaran-ajarannya, masanya
serta revolusi rohani yang terbesar ke seluruh dunia,
barangkali gejala-gejala ini akan makin jelas di depan mata
dunia, bahwa masalah-masalah rohani ini timbul dari pengaruh
sebagai peninggalannya."

Dan keyakinan ini diperkuat oleh kenyataan, bahwa apa yang
sekarang dapat dilihat dari perhatian pihak Barat terhadap
penyelidikan peninggalan-peninggalan Timur serta perhatian
para sarjana mengadakan studi tentang Islam dari segala
seginya, tentang umat Islam masa kini dan masa lampau serta
kesadaran sebahagian mereka terhadap diri Nabi s.a.w.,
ditambah pula oleh pengalaman yang memperkuat, bahwa kebenaran
pasti akan menang, --semua itu menunjukkan bahwa Islam akan
mengembangkan panjinya ke segenap penjuru dunia, dan orang
yang kini sangat keras memusuhinya, dia juga nanti yang akan
menjadi orang paling bersemangat membelanya, dan mereka yang
tadinya masih asing itu akan menjadi kawan seperjuangan pula.
Sebagaimana pada mulanya Islam mendapatkan pembelaan dari
orang-orang asing (dari luar) lingkungan masyarakat tempat
kelahirannya, juga akhirnya orang-orang asing (luar) dari
bahasa dan tanah airnya itu yang akan membelanya. Islam telah
dimulai secara asing dan akan kembali asing seperti pada
mulanya. Maka bahagialah orang-orang yang asing itu!

Apabila Nabi s.a.w. adalah Nabi penutup dan takkan ada lagi di
dunia ini seorang penunjuk dan pembimbing lain sesudah dia,
dan agamanyapun agama yang sempurna sebagaimana ditegaskan
oleh wahyu, maka tidak mungkin keadaannya akan berhenti sampai
di situ saja seperti selama ini. Cahayanya pasti akan pudar
oleh yang lain, sama halnya seperti bintang-bintang yang jadi
pudar oleh sinar matahari.

Dr. Haekal yang merangkaikan peristiwa-peristiwa itu satu sama
lain memang tepat sekali. Bukunya inipun ternyata disusun
dalam komposisi dan gaya yang teratur dan kuat. Diterangkannya
alasan-alasan, maksud dan pertimbangannya dengan keterangan
yang jelas dan kuat sekali, membuat pembaca merasa puas dan
lega, merasa ada gairah dalam membaca, merasa sejuk hatinya
karena dapat diyakinkan. Ia akan terpengaruh, akan dipaksanya
terus membaca dan takkan melepaskannya sebelum selesai.

Dalam buku ini terdapat beberapa penyelidikan berharga di luar
penulisan biografi, tetapi yang ada hubungannya dengan soal
itu yang terbawa oleh adanya penguraian lebih luas dalam
memberikan keterangan itu.

Saya sudahi pengantar saya ini dengan ucapan Rasulullah
--salam baginya dan bagi keluarganya yang suci serta
sahabat-sahabatnya: "Aku berlindung kepada Nur WajahMu, yang
telah menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan
bagi dunia dan akhirat - daripada kemurkaanMu yang akan
Kautimpakan kepadaku, atau kebencianMu yang akan Kauturunkan
kepadaku. KeridaanMu juga yang kuminta. Tak ada suatu daya
upaya kalau tidak dengan Allah."

15 Pebruari 1935.

MUHAMMAD NIUSTAFA AL-MARAGHI

Catatan kaki:

1 Qur'an, 53: 28.

2 Syarafuddin Muhammad al-Bushiri penyair Arab
berasal Barbar di Afrika Utara, lahir di Mesir
sekital 1212. Ia terkenal sekali hanya karena
antologinya Al-Burda ("Mantel"). Ia pernah tinggal
lama di Darussalam (Yerusalam) kemudian di Hijaz.
Puisi-puisinya yang masyhur itu ditulis di Mekah.
Pada mulanya ia menderita penyakit lumpuh. Dalam
tidurnya penyair ini konon bermimpi bertemu dengan
Nabi Muhammad yang datang kepadanya dan
menyelimutinya dengan mantelnya. Bushiri terkejut
bangun dan melompat, sehingga ketika itu juga ia
sembuh dari kelumpuhannya. Lalu ia menulis puisinya
yang luar biasa itu, lembut dan mengharukan, sebagai
dedikasi dan eulogi kepada Nabi Muhammad. Bushiri
meninggal sekitar tahun 1294 di Iskandaria. Al-Burda
terjemahan bahasa Inggris The Scarf dilakukan oleh
Faizullah Bahi (1893) dan dalam bahasa Indonesia oleh
Dr. Moh. Tolchah Mansoer. SH (A).

3 Qur'an, 41: 53


PRAKATA (1/6)

Lingkungan kekuasaan Islam yang pertama -xli; Islam dan
Nasrani - xliii; Kaum Muslimin dan Isa - xliii;
Orang-orang Kristen yang fanatik dan Muhammad - xlv;
Dasar-dasar yang sederhana dalam kedua agama - xlv;
Perbedaan Tauhid dan Trinitas -xlvii; Kaum Nasrani
mengajak Nabi berdebat - xlviii; Masalah penyaliban
Almasih - li; Rumawi dan kaum Muslimin - lii;
Penulis-penulis Kristen dan Muhammad - lii; Sebab
permusuhan Islam-Kristen - lv; Kristen tidak sesuai
dengan watak Barat - lvi; Penjajahan dan propaganda
anti Islam - lviii; Islam dan apa yang terjadi dengan
umat Islam -lviii; Sikap jumud di kalangan pemuda -
lix; Ilmu dan literatur Barat - lx; Usaha-usaha
modernisasi dunia Islam - lxi; Misi penginjil dan
golongan yang berpikiran beku - lxii; Terpikir akan
menulis buku ini - lxiii; Qur'an sumber yang paling
otentik - lxiii; Konsultasi yang tepat - lxiv; Dalam
batas-batas biografi, tidak lebih - lxvi; Penyelidikan
berguna bagi seluruh umat manusia - lxviii.

MUHAMMAD, 'alaihi'sh-shalatu wassalam.

Dengan nama yang begitu mulia, jutaan bibir setiap hari
mengucapkannya, jutaan jantung setiap saat berdenyut,
berulang kali. Bibir dan jantung yang bergerak dan berdenyut
sejak seribu tiga ratus limapuluh tahun. Dengan nama yang
begitu mulia, berjuta bibir akan terus mengucapkan, berjuta
jantung akan terus berdenyut, sampai akhir zaman

Pada setiap hari di kala fajar menyingsing,
lingkaran-lingkaran putih di ufuk sana mulai nampak hendak
menghalau kegelapan malam, ketika itu seorang muazzin
bangkit, berseru kepada setiap makhluk insani, bahwa bangun
bersembahyang lebih baik daripada terus tidur. Ia mengajak
mereka bersujud kepada Allah, membaca selawat buat
Rasulullah.

Seruan ini disambut oleh ribuan, oleh jutaan umat manusia
dari segenap penjuru bumi, menyemarakkannya dengan salat
menyambut pahala dan rahmat Allah bersamaan dengan terbitnya
hari baru. Dan bila hari siang, mataharipun berangkat
pulang, kini muazzin bangkit menyerukan orang bersembahyang
lohor, lalu salat asar, magrib, isya. Pada setiap kali dalam
sembahyang ini mereka menyebut Muhammad, hamba Allah, Nabi
dan RasulNya itu, dengan penuh permohonan, penuh kerendahan
hati dan syahdu. Dan selama mereka dalam rangkaian
sembahyang lima waktu itu, bergetar jantung mereka menyebut
asma Allah dan menyebut nama Rasulullah. Begitulah mereka,
dan akan begitu mereka, setelah Allah memperlihatkan agama
yang sebenarnya ini dan melimpahkan nikmatNya kepada seluruh
umat manusia.

LINGKUNGAN KEKUASAAN ISLAM YANG PERTAMA

Tidak banyak waktu yang diperlukan Muhammad dalam
menyampaikan ajaran agama, dalam menyebarkan panjinya ke
penjuru dunia. Sebelum wafatnya, Allah telah menyempurnakan
agama ini bagi kaum Muslimin. Dalam pada itu iapun telah
meletakkan landasan penyebaran agama itu: dikirimnya misi
kepada Kisra1, kepada Heraklius dan kepada raja-raja dan
penguasa-penguasa lain supaya mereka sudi menerima Islam.
Tak sampai seratus limapuluh tahun sesudah itu, bendera
Islampun sudah berkibar sampai ke Andalusia di Eropa sebelah
barat, ke India, Turkestan, sampai ke Tiongkok di Asia
Timur, juga telah sampai ke Syam (meliputi Suria, Libanon,
Yordania dan Palestina sekarang), Irak, Persia dan
Afganistan, yang semuanya sudah menerima Islam. Selanjutnya
negeri-negeri Arab dan kerajaan Arab, sampai ke Mesir,
Cyrenaica, Tunisia, Aljazair, Marokko, -sekitar Eropa dan
Afrika- telah dicapai oleh misi Muhammad 'alaihissalam. Dan
sejak waktu itu sampai masa kita sekarang ini panji-panji
Islam tetap berkibar di semua daerah itu, kecuali Spanyol
yang kemudian diserang oleh Kristen dan penduduknya disiksa
dengan bermacam-macam cara kekerasan. Tidak tahan lagi
mereka hidup. Ada di antara mereka yang kembali ke Afrika,
ada pula yang karena takut dan ancaman, berbalik agama
berpindah dari agama asalnya kepada agama kaum tiran yang
menyiksanya.

Hanya saja apa yang telah diderita Islam di Andalusia
sebelah barat Eropa itu ada juga gantinya tatkala kaum
Usmani (Turki) memasukkan dan memperkuat agama Muhammad di
Konstantinopel. Dari sanalah ajaran Islam itu kemudian
menyebar ke Balkan, dan memercik pula sinarnya sampai ke
Rusia dan Polandia sehingga berkibarnya panji-panji Islam
itu berlipat ganda luasnya daripada yang di Spanyol.

Sejak dari semula Islam tersebar hingga masa kita sekarang
ini memang belum ada agama-agama lain yang dapat
mengalahkannya. Dan kalaupun ada di antara umat Islam yang
ditaklukkan, itu hanya karena adanya berbagai macam
kekerasan, kekejaman dan despotisma, yang sebenarnya malah
menambah kekuatan iman mereka kepada Allah, kepada hukum
Islam, dengan memohonkan rahmat dan ampunan daripadaNya.

ISLAM DAN NASRANI

Kekuatan inilah yang telah menyebabkan Islam itu tersebar,
telah dikonfrontasikan langsung dengan pihak Nasrani yang
menghadapinya dengan sikap permusuhan yang sengit sekali.
Muhammad telah berhasil melawan paganisma dan mengikisnya
dari negeri-negeri Arab, seperti juga yang kemudian
dilakukan oleh para penggantinya yang mula-mula, di Persia,
di Afganistan dan tidak sedikit pula di India.
Pengganti-pengganti Muhammad telah dapat juga mengalahkan
kaum Nasrani di Hira, di Yaman, Syam, Mesir dan sampai ke
pusat Nasrani sendiri di Konstantinopel.

Seperti halnya dengan paganisma, adakah juga terhadap agama
Nasrani akan senasib mengalami kelenyapan sebagai salah satu
agama Kitab yang juga dihormati oleh Muhammad dan yang juga
mendapat wahyu melalui Nabinya? Adakah orang-orang Arab itu,
Arab pedalaman yang datang merantau dari pelosok jazirah
padang pasir yang gersang, akan ditakdirkan juga menguasai
taman-taman Andalusia, Bizantium dan daerah-daerah Masehi
lainnya? Lebih baik mati daripada itu. Selama beberapa abad
terus-menerus antara pengikut-pengikut Isa dan
pengikut-pengikut Muhammad telah terjadi peperangan yang
terus-menerus. Dan peperangan itu tidak terbatas pada pedang
dan meriam saja, malah juga diteruskan sampai ke
bidang-bidang perdebatan dan pertentangan teologis yang
dibawa oleh pejuang-pejuang itu, masing-masing atas nama
Muhammad dan atas nama Isa, masing-masing mencari jalan
mempengaruhi umum dan beragitasi membangkitkan fanatisma dan
semangat rakyat jelata

KAUM MUSLIMIN DAN ISA

Akan tetapi Islam melarang kaum Muslimin merendahkan
kedudukan Isa - karena dia hamba Allah yang diberiNya kitab
dan dijadikanNya seorang nabi, dijadikanNya ia orang yang
beroleh berkah di mana pun ia berada, diperintahkanNya ia
melakukan sembahyang, mengeluarkan zakat selama ia masih
hidup, dijadikanNya ia orang yang berbakti kepada ibunya,
dan tidak pula dijadikan orang yang pongah dan celaka.
Bahagia ia tatkala dilahirkan, tatkala ia wafat dan tatkala
ia dibangkitkan hidup kembali.

ORANG-ORANG KRISTEN YANG FANATIK DAN MUHAMMAD

Sedang dari pihak kaum Masehi, banyak di antara mereka itu
yang menyindir-nyindir Muhammad dan menilainya dengan
sifat-sifat yang tidak mungkin dilakukan oleh kaum
terpelajar - untuk melampiaskan rasa kebencian yang ada
dalam hati mereka serta beragitasi membangkitkan emosi
orang. Meskipun ada dikatakan bahwa perang salib itu sudah
berakhir sejak ratusan tahun yang lalu, namun fanatisma
gereja Kristen terhadap Muhammad mencapai puncaknya sampai
pada waktu-waktu belakangan ini. Dan barangkali masih tetap
demikian kalau tidak akan dikatakan malah bertambah,
sekalipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, berselubung
misi dengan pelbagai macam cara. Hal ini tidak terbatas
hanya pada gereja saja bahkan sampai juga kepada
penulis-penulis dan ahli-ahli pikir Eropa dan Amerika, yang
dapat dikatakan tidak seberapa hubungannya dengan pihak
gereja.

Bisa jadi orang merasa heran bahwa fanatisma Kristen
terhadap Islam masih begitu keras pada suatu zaman yang
diduga adalah zaman cerah dan zaman ilmu pengetahuan, yang
berarti juga zaman toleransi dan kelapangan dada. Dan orang
akan lebih heran lagi apabila mengingat kaum Muslimin yang
mula-mula, betapa mereka merasa gembira melihat kemenangan
kaum Kristen begitu besar terhadap kaum Majusi (Mazdaisma),
melihat kemenangan pasukan Heraklius merebut panji-panji
Persia dan dapat melumpuhkan tentara Kisra. Masa itu Persia
adalah yang memegang tampuk pimpinan di seluruh jazirah Arab
bagian selatan, sesudah Kisra dapat mengusir Abisinia dari
Yaman. Kemudian Kisra mengerahkan pasukannya - pada tahun
614 - di bawah salah seorang panglimanya yang bernama
Syahravaraz2 untuk menyerbu Rumawi, dan dapat mengalahkannya
ketika berhadap-hadapan di Adhri'at3 dan di Bushra4, tidak
jauh dari Syam ke negeri Arab. Mereka banyak yang terbunuh,
kota-kota mereka dihancurkan, kebun-kebun zaitun dirusak.

Pada waktu itu Arab - terutama penduduk Mekah - mengikuti
berita-berita perang itu dengan penuh perhatian. Kedua
kekuatan yang sedang bertarung itu merupakan peristiwa
terbesar yang pernah dikenal dunia pada masa itu.
Negeri-negeri Arab ketika itu menjadi tetangga-tetangganya.
Sebahagian berada di bawah kekuasaan Persia, dan sebahagian
lagi berbatasan dengan Rumawi. Orang-orang kafir Mekah
bergembira sekali melihat kekalahan kaum Kristen itu; sebab
mereka juga Ahli Kitab seperti kaum Muslimin. Mereka
berusaha mengaitkan tercemarnya kekalahan Kristen itu dengan
agama kaum Muslimin.

Sebaliknya pihak Muslimin merasa sedih sekali karena pihak
Rumawi juga Ahli Kitab seperti mereka. Muhammad dan
sahabat-sahabatnya tidak mengharapkan kemenangan pihak
Majusi dalam melawan Kristen. Perselisihan kaum Muslimin dan
kaum kafir Mekah ini sampai menimbulkan sikap saling
berbantah dari kedua belah pihak. Kaum kafirnya mengejek
kaum Muslimin, sampai ada di antara mereka itu yang
menyatakan kegembiraannya di depan Abu Bakrf dan Abu Bakrpun
sampai marah dengan mengatakan: Jangan lekas-lekas gembira;
pihak Rumawi akan mengadakan pembalasan.

Abu Bakr adalah orang yang terkenal tenang dan lembut hati.
Mendengar jawaban itu pihak kafir membalasnya dengan ejekan
pula: Engkau pembohong. Abu Bakr marah: Engkaulah musuh
Tuhan yang pembohong! Hal ini disertai dengan taruhan
sepuluh ekor unta bahwa pihak Rumawi akan mengalahkan kaum
Majusi dalam waktu setahun. Muhammad mengetahui adanya
peristiwa taruhan ini, lalu dinasehatinya Abu Bakr, supaya
taruhan itu ditambah dan waktunyapun diperpanjang. Abu Bakr
memperbanyak jumlah taruhannya sampai seratus ekor unta
dengan ketentuan, bahwa Persia akan dapat dikalahkan dalam
waktu kurang dari sembilan tahun.

Dalam tahun 625 ternyata Heraklius menang melawan pihak
Persia. Syam direbutnya kembali dan Salib Besar dapat
diambil lagi. Dalam taruhan ini Abu Bakrpun menang. Sebagai
nubuat atas kemenagan ini firman Tuhan turun seperti dalam
awal Surah ar-Rum: "Alif- Lam. Mim. Kerajaan Rumawi telah
dikalahkan. Di negeri terdekat. Dan mereka, sesudah
kekalahan itu, akan mendapat kemenangan. Dalam beberapa
tahun saja. Di tangan Tuhan keputusan itu. Pada masa lampau,
dan masa akan datang. Pada hari itu orang-orang beriman akan
bergembira. Dengan pertolongan Allah; Ia menolong siapa yang
dikehendakiNya. Maha Mulia Ia dalam Kekuasaan dan Maha
Penyayang. Demikian janji Allah. Allah takkan menyalahi
janjiNya. Tetapi kebanyakan orang tidak mengerti." (QS,
30:1-6)

Besar sekali kegembiraan kaum Muslimin atas kemenangan
Heraklius dan kaum Nasrani itu. Hubungan persaudaraan antara
mereka yang menjadi pengikut Muhammad dan mereka yang
percaya kepada Isa, selama hidup Nabi, besar sekali,
meskipun antara keduanya sering terjadi perdebatan. Tetapi
tidak demikian halnya kaum Muslimin dengan pihak Yahudi,
yang pada mulanya bersikap damai, lambat-laun telah menjadi
permusuhan yang berlarut-larut, yang sampai meninggalkan
bekas berdarah dan membawa akibat keluarnya orang-orang
Yahudi dari seluruh jazirah Arab. Kebenaran atas kejadian
ini ialah firman Tuhan: "Pasti akan kaudapati orang-orang
yang paling keras memusuhi mereka yang beriman ialah
orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik; dan pasti akan
kaudapati orang-orang yang paling akrab bersahabat dengan
mereka yang beriman ialah mereka yang berkata: 'Kami ini
orang-orang Nasrani.' Sebab, di antara mereka terdapat kaum
pendeta dan rahib-rahib, dan mereka itu tidak menyombongkan
diri." (QS, 5:82)
DASAR-DASAR YANG SEDERHANA DALAM KEDUA AGAMA

Kemudian kita melihat kedua agama ini mempunyai konsepsi
tentang hidup dan akhlak yang dapat dikatakan sama. Keduanya
memandang manusia dan awal mula penjadiannya sama: Allah
menciptakan Adam dan Hawa dan keduanya ditempatkan dalam
surga, kemudian diwahyukan jangan mereka mendengarkan godaan
setan. Tetapi mereka makan juga (buah) dari pohon itu, maka
merekapun keluar dari surga. Setan yang tak mau tunduk
kepada Adam, adalah musuh mereka - sebagaimana diwahyukan
Allah kepada Muhammad - dan yang tidak mau menyucikan
kalimat Allah, menurut kitab-kitab SUCI kaum Nasrani. Setan
memperdayakan Hawa dan membujuknya. Lalu Hawapun membujuk
Adam dan keduanya sama-sama makan dari Pohon Abadi itu.
Karena itu, maka tampaklah aurat mereka. Merekapun minta
ampun kepada Tuhan dan Tuhan mengirimkan mereka ke bumi,
yang akan jadi saling bermusuhan di antara sebagian
keturunan mereka, dan yang akan diperdayakan setan, sehingga
akan ada golongan yang sesat dan ada pula yang akan melawan
kehancuran itu.

Untuk memperkuat perjuangan manusia melawan godaan dosa itu,
Tuhan telah mengutus Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi
yang lain, dan kepada setiap rasul itu disertakan pula kitab
(wahyu) menurut bahasa masyarakat lingkungan guna memperkuat
apa yang datang dari Tuhan dan memberi penerangan kepada
mereka. Sebagaimana juga di pihak setan ada barisan yang
membela nafsu kejahatan, juga para malaikat memuja dan
menguduskan kesucian Tuhan. Masing-masing mereka itu saling
berselisih menghadapi hidup dan alam ini sampai Hari
Kebangkitan, tatkala setiap jiwa kelak akan memperoleh hasil
sesuai dengan apa yang dikerjakannya, dan takkan ada seorang
teman akrabpun yang sudi menanyakan teman lainnya.

PERBEDAAN TAUHID DAN TRINITAS

Akan kita lihat dalam Qur'an yang telah menyebutkan Isa dan
Mariam dengan penghormatan serta penghargaan yang demikian
rupa dari Tuhan sehingga kitapun karenanya turut bersimpati
pula, terbawa oleh rasa persaudaraan. Tetapi apa yang
menyebabkan kita lalu bertanya?: Kalau begitu, kenapa kaum
Muslimin dan Kristen selama berabad-abad terus bermusuhan
dan berperang? Jawaban atas pertanyaan ini ialah, bahwa
antara ajaran-ajaran Islam dan Kristen itu terdapat
perbedaan asasi yang menjadi suatu sebab perdebatan hebat
semasa Nabi, sekalipun perdebatan demikian itu tidak sampai
melampaui batas permusuhan dan kebencian. Kaum Kristen tidak
mengakui kenabian Muhammad seperti Islam yang mengakui
kenabian Isa; Kristen berlandaskan Trinitas, sedang Islam
samasekali menolak, selain Tauhid. Kaum Kristen menuhankan
Isa, dan berpegang pada argumentasi ketuhanannya itu bahwa
dia sudah berbicara sejak di dalam buaian serta
memperlihatkan mujizat-mujizat yang tak dapat dilakukan oleh
yang lain; suatu hal yang sebenarnya hanya dapat dilakukan
oleh Tuhan.

KAUM NASRANI MENGAJAK NABI BERDEBAT

Pada masa permulaan Islam mereka mendebat kaum Muslimin
tentang itu dengan menggunakan Quran, dengan berkata:
Bukankah Quran yang diturunkan kepada Muhammad itu mengakui
pendapat kami ketika berkata: "Dan tatkala para malaikat
berkata: 'Aduhai Mariam, Tuhan menyampaikan berita gembira
kepadamu dengan Firman Tuhan: namanya Isa al Masih anak
Mariam, orang terpandang di dunia dan di akhirat dan
termasuk orang yang dekat (kepada Tuhan). Ia akan berbicara
dengan orang semasa ia anak-anak dan sesudah dewasa dan ia
tergolong orang yang baik-baik.' Kata (Mariam)-nya: 'Tuhan,
dari mana saya akan mendapatkan anak, padahal tak ada orang
yang menyentuhku.' Ia (Tuhan) berkata: 'Begitulah, Tuhan
mencipta menurut kehendakNya. Jika ia memutuskan sesuatu, Ia
hanya berkata: Jadilah, maka iapun jadi. Dan ia mengajarkan
Kitab kepadanya, hikmah kebijaksanaan, Taurat dan Injil. Dan
ia diutus menjadi Rasul bagi Keluarga Israil: 'Aku datang
kepadamu membawa sebuah Bukti dari Tuhanmu. Kuciptakan dari
tanah liat bentuk serupa burung. Kutiup ia lalu ia menjadi
seekor burung dengan ijin Allah, dan aku dapat menyembuhkan
orang buta dan berpenyakit kusta serta menghidupkan orang
mati dengan ijin Allah. Akupun dapat memberitahukan kepadamu
apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan dalam rumahmu.
Itulah suatu bukti bagimu bila kamu orang-orang yang
beriman." (QS, 3:45-49)

Jadi Qur'an menegaskan, bahwa ia menghidupkan orang mati,
menyembuhkan orang buta asal dari kelahiran, menyembuhkan
kusta, dan dari segumpal tanah dijadikannya seekor burung
dan dapat membuat ramalan dan semua ini adalah merupakan
sifat-sifat Ilahiah. Inilah pandangan kaum Nasrani masa
Nabi, yang dijadikan mereka bahan argumentasi dan
mengajaknya berdebat dengan pendirian, bahwa Isa juga Tuhan
di samping Allah. Dan ada lagi segolongan mereka itu yang
berpendirian menuhankan Mariam karena Allah telah menurunkan
SabdaNya kepadanya. Pendirian kaum Nasrani yang demikian
pada masa itu menganggap Mariam satu dari tiga dalam
Trinitas Bapa, Anak dan Ruh Kudus. Mereka yang berpendirian
dengan menuhankan Isa dan ibunya itu hanya merupakan satu
sekte dari sekian banyak sekte-sekte Nasrani yang
bermacam-macam dan terpencar-pencar itu.

Orang-orang Nasrani seluruh jazirah Arab dengan alirannya
yang bermacam-macam itu mengajak Muhammad berdebat menurut
dasar mazhab mereka. Kata mereka Almasih itu ialah Allah,
dia anak Allah; kata mereka dia adalah satu dari tiga dalam
Trinitas. Mereka yang berpendapat pada ketuhanan Isa itu
berpegang pada argumentasi yang disebutkan di atas.
Argumentasi yang mengatakan bahwa dia anak Allah, sebab
bapanya tidak diketahui orang, dan dia berbicara dalam
buaian semasa anak-anak, yang tak pernah terjadi pada
siapapun dari anak Adam. Argumentasi yang mengatakan bahwa
dia satu dari tiga dalam Trinitas, sebab Allah berkata: Kami
perintahkan, Kami jadikan dan Kami tentukan. Kalau hanya
Satu tentu berkata: Aku perintahkan, Aku jadikan dan Aku
tentukan. Muhammad mendengarkan semua tanggapan mereka itu,
dan mengajaknya berdiskusi dengan cara yang lebih baik.
Dalam perdebatan itu ia tidak begitu keras seperti terhadap
kaum musyrik dan penyembah berhala. Bahkan dikemukakannya
argumen itu berdasarkan wahyu dengan cara yang logis dan
sebagaimana yang diterangkan dalam kitab-kitab mereka. Allah
berfirman: "Sebenarnya mereka telah melakukan penghinaan
(terhadap Tuhan), mereka yang mengatakan, bahwa Allah ialah
Isa al-Masih anak Mariam. Katakan: Siapakah yang dapat
merintangi jika Ia hendak membinasakan al-Masih anak Mariam
serta ibunya dan setiap orang yang ada di muka bumi ini
semua? Kerajaan langit dan bumi serta segala yang ada di
antara itu, adalah milik Allah. Ia menciptakan apa yang ada
di antara itu, dan Allah Maha Kuasa atas segalanya.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata: Kami adalah
anak-anak Allah dan yang dicintaiNya. Katakan: Mengapa Ia
menyiksamu karena dosa-dosamu itu? Sebenarnya kamupun
manusia, seperti yang pernah diciptakanNya. Ia mengampuni
siapa saja yang dikehendakiNya dan Ia menghukum siapa saja
yang dikehendakiNya. Kerajaan langit dan bumi serta segala
yang ada di antara itu, adalah milik Allah. Dan kepadaNyalah
kembali sebagai tujuan terakhir." (QS, 5:17-18)

"Sebenarnya mereka telah melakukan penghinaan (terhadap
Tuhan), mereka yang mengatakan, bahwa Allah itu al-Masih
anak Mariam. Bahkan al-Masih berkata: Hai anak-anak Israil,
sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Barangsiapa
mempersekutukan Allah, Allah akan mengharamkan surga baginya
dan tempatnya adalah api neraka. Orang-orang teraniaya itu
takkan punya pembela. Sebenarnya mereka telah melakukan
penghinaan (terhadap Tuhan) mereka yang mengatakan, bahwa
Allah adalah satu dari tiga dalam Trinitas. Tak ada tuhan
kecuali Tuhan Yang Satu. Apabila tidak mau juga mereka
berhenti (menghina Tuhan), pasti mereka yang telah
merendahkan (Tuhan), itu akan dijatuhi siksaan yang
memedihkan." (QS, 5:72-73)

"Dan ingat ketika Allah berkata: Hai Isa anak Mariam!
Engkaukah yang mengatakan kepada orang: mengangkatku dan
ibuku sebagai dua tuhan selain Allah? Ia menjawab: Maha Suci
Engkau, tidak akan aku mengatakan yang bukan menjadi hakku.
Kalaupun aku mengatakannya, tentu Engkau sudah
mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam hatiku,
tapi aku tidak mengetahui apa yang ada di dalam Dirimu. Maha
Mengetahui Engkau atas segala yang gaib. Tak ada yang
kukatakan kepada mereka, selain daripada yang Kauperintahkan
kepadaku; supaya mereka menyembah Allah, Tuhanku dan
Tuhanmu, dan akulah saksi mereka selama aku berada di
tengah-.engah mereka. Tetapi setelah Kauwafatkan aku, Engkau
Pengawas mereka dan Engkau pula yang menyaksikan segala
sesuatu. Kalau Engkau siksa mereka, mereka adalah
hamba-hambaMu, kalaupun Engkau ampuni mereka, Engkau
Penguasa Maha Mulia dan Bijaksana." (QS, 5:116-118)

Pandangan Nasrani adalah Trinitas dan Isa adalah anak Allah.
Sedangkan Islam menolak semua itu dengan tegas sekali,
menolak bahwa Tuhan mempunyai anak. "Katakan: 'Allah itu
Satu. Allah itu abadi dan mutlak. Tidak beranak dan tidak
diperanakkan. Dan tiada satu apa pun yang menyerupai-Nya."
(QS, 112:1-4) "Tidak sepatutnya bagi Allah akan mengambil
anak. Maha Suci Ia." (QS, 19:35) "Hal seperti terhadap Isa
bagi Allah sama seperti terhadap Adam; dijadikan-Nya ia dari
tanah lalu dikatakan: jadilah, maka jadilah ia." (QS, 3:59)

Pada dasarnya Islam adalah agama Tauhid, dalam pengertian
Tauhid yang murni dan kuat sekali, dan dalam pengertian
Tauhid yang sederhana dan jelas sekali. Setiap kemungkinan
yang akan mengaburkan pengertian dan pikiran Tauhid, Islam
tegas menolaknya dan menganggapnya kufur. "Allah tidak akan
mengampuni bila Dia dipersekutukan. Tetapi selain itu akan
diampuniNya siapa saja yang dikehendakiNya." (QS, 4:48)

Bagaimanapun konsepsi Masehi tentang Trinitas, yang memang
mempunyai hubungan sejarah dengan beberapa agama lama, namun
bagi Muhammad itu sama sekali bukan suatu kebenaran. Yang
benar ialah Allah itu Esa, tidak bersekutu, tidak beranak
dan tidak diperanakkan, dan tak ada apapun yang
menyerupaiNya. Jadi tidak heran kalau antara Muhammad dengan
pihak Nasrani masa itu terjadi diskusi dengan cara yang
baik, dan wahyupun memperkuat Muhammad seperti dalam
ayat-ayat itu.
MASALAH PENYALIBAN AL-MASIH

Masalah lain yang menimbulkan perbedaan pendapat Islam dan
Nasrani, dan menjadi puncak perdebatan antara dua golongan
itu pada masa Nabi, ialah masalah penyaliban Isa untuk
menebus dosa orang dengan darahnya. Secara tegas Quran telah
membantah bahwa orang-orang Yahudi membunuh dan menyalib
Isa. "Dan perkataan mereka bahwa: kami telah membunuh
Almasih Isa anak Mariam - Utusan Allah. Tetapi mereka tidak
membunuhnya dan tidak menyalibnya, melainkan begitu
terbayang pada mereka. Dan mereka yang masih berselisih
pendapat tentang itu sebenarnya masih ragu, sebab tak ada
pengetahuan mereka tentang itu, selain berdasarkan prasangka
saja, dan merekapun tidak yakin telah membunuhnya. Bahkan
Allah telah mengangkatnya kepadaNya. Maha Mulia Kekuasaan
Allah dan Bijaksana." (QS, 4:157-148)

Kalaupun konsepsi tentang penebusan dosa anak-cucu Adam
dengan darah Isa memang indah sekali, dan apa yang ditulis
orang tentang itu patut menjadi bahan studi dari segala
seginya, baik literair, etika atau psikologi, namun prinsip
yang telah ditentukan Islam, bahwa orang tidak dibenarkan
memikul beban dosa orang lain, dan bahwa setiap orang pada
hari kemudian diganjar sesuai dengan perbuatannya - kalau ia
berbuat baik dibalas dengan kebaikan, kalau jahat dibalas
dengan kejahatan - menyebabkan pendekatan logis antara kedua
ajaran ini tidak mungkin. Di sini logika Islam sangat
konkrit, sehingga tak ada gunanya usaha mencari persesuaian,
melihat garis perbedaan yang begitu tajam antara konsepsi
penebusan dan konsepsi hukum yang bersifat pribadi. "Seorang
bapa takkan dapat menolong anaknya, dan anakpun tiada
sedikit juga akan dapat menolong bapanya." (QS, 31:33)

Tentang agama baru ini, sudah adakah dari kalangan Nasrani
ketika itu yang mau memikirkannya, serta melihat kemungkinan
bertemunya konsepsi Tauhid dengan ajaran yang dibawa Isa
itu? Ya, memang ada, dan banyak di antara mereka itu yang
lalu beriman kepada ajaran ini.

RUMAWI DAN KAUM MUSLIMIN

Akan tetapi Kerajaan Rumawi - yang karena kemenangannya kaum
Muslimin telah turut gembira dan menganggapnya suatu
kemenangan bagi agama-agama Kitab - penguasa-penguasanya
tidak mau bersusah payah mempelajari agama baru itu. Mereka
memandang semua kemungkinan hanya dari segi politik semata
dan yang dipikirkan hanya nasib kerajaannya bila agama yang
baru itu kelak mendapat kemenangan. Oleh karena itu mereka
malah bersekongkol menentangnya, dengan mengirimkan pasukan
besar-besaran - suatu sumber mengatakan seratus ribu, yang
lain mengatakan duaratus ribu - yang mengakibatkan timbulnya
perang Tabuk. Pihak Rumawi ternyata mundur berhadapan dengan
pasukan Muslimin - dengan Muhammad sebagai komandannya -
yang hendak menangkis serangan musuh yang tidak diinginkan
itu.

Sejak itulah kaum Muslimin dan kaum Nasrani berada dalam
posisi permusuhan politik, yang selama berabad-abad
berikutnya kemenangan berada di tangan kaum Muslimin. Selama
itu lingkungan kekuasaan mereka membentang sampai ke
Andalusia di sebelah barat, ke India dan Tiongkok di sebelah
timur. Sebagian besar daerah-daerah ini menerima agama baru
itu dan bahasa Arab sebagai bahasa yang sudah ditentukan.

Setelah tiba masanya sejarah harus beredar, pihak Nasrani
pun mengusir kaum Muslimin dari Andalusia, memerangi mereka
dengan serangkaian Perang Salib. Mereka menyerang agama dan
Nabi dengan cara yang sangat keji, disertai kebohongan dan
fitnah semata-mata. Demikian kejinya mereka itu, sehingga
lupa mereka tentang apa yang pernah disampaikan Muhammad
'alaihissalam dalam hadis-hadis dan dalam Qur'an melalui
wahyu yang diturunkan kepadanya, bahwa Islam mengangkat
martabat Isa 'alaihissalarn setinggi yang diberikan Allah
kepadanya.

PENULIS-PENULIS KRISTEN DAN MUHAMMAD

Ketika menguraikan, pandangan penulis-penulis Kristen sampai
pada pertengahan abad kesembilanbelas, sehubungan dengan
adanya mereka yang berprasangka jahat terhadap Muhammad
Dictionnaire Larousse menyebutkan demikian: "Dalam pada itu
Muhammad masih tetap sebagai tukang sihir yang hanyut dalam
kerusakan akhlak, perampok unta, seorang kardinal yang tidak
berhasil menduduki kursi Paus, lalu menciptakan agama baru
untuk membalas dendam kepada kawan-kawannya. Cerita-cerita
khayal dan cabul banyak terjadi dalam sejarah hidupnya.
Sejarah hidup Bahaume (Muhammad) hampir terdiri dari hasil
lektur semacam itu. 'Cerita Muhammad' yang disiarkan oleh
Reinaud dan Francisque Michel tahun 1831 melukiskan kepada
kita pandangan orang-orang yang hidup dalam Abad Pertengahan
itu tentang dia. Dalam abad ketujuhbelas Bell memberikan
suatu tanggapan tentang sejarah yang sifatnya merendahkan
arti Qur'an dengan suatu tinjauan berdasarkan sejarah.
Sungguhpun begitu ia masih diliputi oleh ketentuan-ketentuan
yang salah mengenai dirinya. Akan tetapi dia mengakui, bahwa
ketentuan moral dan sosial yang dibuatnya tidak berbeda
dengan ketentuan Kristen, kecuali soal hukum qishash (Lex
Talionis?) dan polygyny."

Dari sekian banyak Orientalis yang telah membuat analisa
tentang sejarah hidup Muhammad, ada seorang di antaranya
yang agak jujur, yaitu penulis Perancis Emile Dermenghem. Ia
memperingatkan kolega-kolega yang menulis tentang agama ini
dengan mengatakan: "Sesudah pecah perang Islam-Kristen,
dengan sendirinya jurang pertentangan dan salah-pengertian
bertambah lebar, tambah tajam. Orang harus mengakui, bahwa
orang-orang Baratlah yang memulai timbulnya pertentangan itu
sampai begitu memuncak. Sejak zaman penulis-penulis
Bizantium, tanpa mau bersusah payah mengadakan studi
-kecuali Jean Damasceme- telah melempari Islam dengan
pelbagai macam penghinaan. Para penulis dan penyair
menyerang kaum Muslimin Andalusia dengan cara yang sangat
rendah. Mereka menuduh, bahwa Muhammad adalah perampok unta,
orang yang hanyut dalam foya-foya, mereka menuduhnya tukang
sihir, kepala bandit dan perampok, bahkan menuduhnya sebagai
seorang pendeta Rumawi yang marah dan dendam karena tidak
dipilih menduduki kursi Paus ... Dan yang sebagian
mengiranya ia adalah tuhan palsu, yang oleh
pengikut-pengikutnya dibawakan sesajen berupa kurban-kurban
manusia. Bahkan Guibert de Nogent sendiri, orang yang begitu
serius masih menyebutkan, bahwa Muhammad mati karena krisis
mabuk yang jelas sekali, dan bahwa tubuhnya kedapatan
terdampar di atas timbunan kotoran binatang dan sudah
dimakan babi. Oleh karena itu, lalu ditafsirkan, bahwa
itulah sebabnya minuman keras dan daging binatang itu
diharamkan.

Di samping itu ada beberapa nyanyian yang melukiskan
Muhammad sebagai berhala dari emas, dan mesjid-mesjid
sebagai kuil-kuil kuno yang penuh dengan patung-patung dan
gambar-gambar. Pencipta "Nyanyian Antakia" (Chanson
d'Antioche) membawa cerita tentang adanya orang yang pernah
melihat berhala "Mahom" terbuat dari emas dan perak murni
dan dia duduk di atas seekor gajah di tempat yang terbuat
dari lukisan mosaik. Sedang "Nyanyian Roland" (Chanson de
Roland) melukiskan pahlawan-pahlawan Charlemagne
menghancurkan berhala-berhala Islam, dan mengira bahwa kaum
Muslimin di Andalusia itu menyembah trinitas terdiri dari
Tervagant, Mahom dan Apollo. Dan "Cerita Muhammad" (Le Roman
de Mahomet) itu menganggap, bahwa Islam membenarkan wanita
melakukan polyandri.

"Cara berpikir yang penuh dengan kedengkian dan penuh
legenda itu tetap menguasai kehidupan mereka. Sejak zaman
Rudolph de Ludheim, sampai saat kita sekarang ini, masih ada
saja orangorang semacam Nicolas de Cuse, Vives, Maracci,
Hottinger, Bibliander, Prideaux dan yang lain. Mereka itu
menggambarkan Muhammad sebagai penipu, dan Islam merupakan
sekumpulan kaum bidat. Semua itu adalah perbuatan setan.
Kaum Muslimin adalah orang-orang buas sedang Qur'an adalah
suatu gubahan yang tak berarti. Mereka tidak membicarakannya
secara sungguh-sungguh, karena sudah dianggap tidak ada
artinya. Tetapi, dalam pada itu Pierre le Venerable,
pengarang pertama yang telah menulis risalah anti Islam di
Barat dalam abad keduabelas telah menterjemahkan Qur'an ke
dalam bahasa Latin. Dalam abad keempatbelas Peirre Pascal
termasuk orang yang mau mendalami studi-studi tentang Islam.
Innocent III pernah melukiskan Muhammad, bahwa dia adalah
musuh Kristus (Antichrist). Sedang abad Pertengahan
menganggap Muhammad seorang heretik (melanggar ajaran agama
Kristen). Orang-orang semacam Raymond Lulle dalam abad
keempatbelas, Guellaume Postel dalam abad keenambelas,
Roland dan Gagnier dalam abad kedelapanbelas, Pendeta de
Broglie dan Renan dalam abad kesembilanbelas, mempunyai
tanggapan yang beraneka ragam. Sebaliknya orang-orang
semacam Comte Boulainvilliers, Scholl, Caussin de Perceval,
Dozy, Sprenger, Barthelemy Saint-Hilaire, de Casteries,
Carlyle dan yang lain, pada umumnya mereka memperlihatkan
sikap jujur terhadap Islam dan Nabi, dan kadang
memperlihatkan sikap hormat. Sungguhpun begitu, dalam tahun
1876 Droughty bicara tentang Muhammad dengan mengatakan:
"Itu Arab munafik yang kotor." Sebelum itu, dalam tahun 1822
juga Foster telah mencacinya. Sampai sekarang sebenarnya
masih ada musuh-musuh Islam itu yang bersemangat."[5]

Catatan kaki:
-------------
[5] Emile Dermenghem, La Vie de Mahomet, halaman 135 dan
berikutnya.

Kita sudah melihat, bukan, penulis-penulis Barat itu, begitu
rendah menyerangnya? Juga sudah kita lihat kegigihan mereka
selama berabad-abad yang mau menanamkan rasa permusuhan
dan kebencian di kalangan umat manusia. Padahal di kalangan
mereka itu ada orang-orang yang sudah mengalami zaman yang
biasa disebut zaman ilmu pengetahuan, zaman riset dan zaman
kebebasan berpikir serta adanya deklarasi persaudaraan
antara sesama manusia.

Dengan adanya orang-orang yang jujur dalam batas-batas
tertentu telah mengurangi juga adanya pengaruh yang
menyesatkan seperti yang diisyaratkan oleh Dermenghem itu.
Di antara mereka ada yang mengakui kebenaran iman Muhammad
membawakan risalah itu yang dipercayakan Allah kepadanya
melalui wahyu yang harus disampaikan. Ada pula yang sangat
menghargai kebesaran Muhammad dalam arti rohani, ketinggian
akhlaknya, harga dirinya serta jasanya yang tidak sedikit.
Ada yang melukiskan semua itu dengan gaya yang kuat dan
indah sekali. Meskipun demikian, pihak Barat masih juga
berprasangka buruk terhadap Islam dan terhadap Nabi,
kemudian demikian beraninya mereka itu sampai-sarnpai di
daerah-daerah Islam sendiri kalangan misionaris melancarkan
penghinaan yang begitu rendah, dan berusaha membelokkan kaum
Muslimin dari ajaran agamanya kepada agama Kristen.
SEBAB PERMUSUHAN ISLAM-KRISTEN

Atas semua itu harus kita selidiki sebab-sebab timbulnya
permusuhan sengit dan peperangan yang begitu dahsyat yang
telah dimulai oleh pihak Kristen terhadap Islam itu. Menurut
hemat kita, kurangnya pengetahuan pihak Barat tentang
hakekat Islam dan sejarah Nabi adalah sebab pertama yang
menimbulkan permusuhan itu. Kurangnya pengetahuan ini sudah
tentu merupakan sebab-sebab timbulnya sikap kaku dan
fanatisma yang paling berat dan rumit. Seabad demi seabad
kurangnya pengetahuan demikian ini makin bertimbun dan
kemudian ia menjelma menjadi patung-patung dan
berhala-berhala dalam jiwa generasi berikutnya, yang untuk
menghilangkannya tentu memerlukan suatu kekuatan jiwa yang
besar, seperti pada mula lahirnya kekuatan Islam dulu.

KRISTEN TIDAK SESUAI DENGAN WATAK BARAT

Akan tetapi kita melihat ada sebab lain di luar kurangnya
pengetahuan itu saja yang telah mendorong pihak Barat
menjadi fanatik dan sampai membangkitkan peperangan yang
begtu fatal, sebentar-sebentar dilancarkan terhadap Islam
dan kaum Muslimin. Juga tidak terlintas dalam pikiran kita
tentang apa yang biasa kita rasakan adanya hubungan politik
yang buruk dan ingin menguasai bangsa lain untuk
dieksploitir. Menurut hemat kita itu adalah akibat -bukan
sebab- dan adanya fanatisma yang sudah begitu merasuk sampai
ke soal ilmu dan penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Sebabnya
ialah, menurut hemat kita, oleh karena ajaran Kristen yang
mengajak orang menjauhkan kehidupan duniawi, sifat maaf dan
pengampunan serta pengertian-pengertian hidup rohani yang
luhur, tidak sesuai dengan perangai Barat, yang sejak ribuan
tahun dalam lingkungan agama polytheisma, dan letak
geografisnya menghendaki perjuangan sengit melawan iklim
dingin, melawan kesulitan dan keadaan yang serba sukar.
Apabila peristiwa-peristiwa sejarah mengharuskan juga Barat
menganut agama Kristen ini, maka tidak bisa lain ia harus
juga dilibatkan ke dalam kancah perjuangan itu dan memaksa
agama itu meninggalkan sifatnya yang lemah-lembut dan indah,
meninggalkan keseimbangan rohani yang seharusnya menjadi
mata rantai kesatuan yang telah disempurnakan oleh Islam:
yakni kesatuan yang membuat harmonis antara rohani dan
jasmani, antara perasaan dan akal, emosi dan rasio, secara
individu dan universal bersama-sama berada dalam hukum alam,
yakni keduanya sejalan dalam ruang dan waktu yang tak
terbatas.

Menurut hemat kita, inilah sumber yang menyebabkan fanatisma
Barat yang memusuhi Islam, suatu sikap yang menyebabkan kaum
Kristen Abisinia menjadi jijik melihatnya - tatkala kaum
Muslimin mencari perlindungan pada masa mula-mula Nabi
mengajak orang kepada agama Allah.

Inilah, menurut pendapat saya, sebab timbulnya ekses dan
cara yang berlebih-lebihan di kalangan orang-orang Barat,
baik dalam beragama maupun dalam atheisma, fanatisma yang
berlebih-lebihan serta perjuangan yang tidak mengenal belas
kasihan dan tidak mengenal ampun. Apabila dari mereka
sejarah sudah mengenal adanya orang-orang suci, yang dalam
hidup mereka mengikuti jejak Isa Al-Masih dan
pengikut-pengikutnya, juga sejarah sudah mengenal kehidupan
bangsa-bangsa di Barat yang selalu hidup dalam pertentangan,
dalam perjuangan, peperangan-peperangan yang dahsyat, atas
nama politik atau atas nama agama, dan dikenalnya pula,
bahwa paus-paus atau pembesar-penmbesar gereja dan mereka
yang memegang kekuasaan temporal, selalu dalam persaingan
mau saling mengalahkan. Suatu saat golongan ini yang menang,
nantinya yang lain lagi yang menang.

Oleh karena kemenangan terakhir dalam abad kesembilanbelas
itu berada di tangan kekuasaan temporal6, maka kekuasaan ini
berusaha hendak membasmi kehidupan rohani atas nama ilmu
pengetahuan. Ia mengira, bahwa dalam kehidupan umat manusia
ilmu itu akan dapat menggantikan iman seperti dalam
kehidupan rohani. Sesudah melalui perjuangan yang cukup
lama, sekarang mereka mengetahui bahwa pendapat demikian itu
salah sekali, dan bahwa apa yang mereka tuju itu dalam
kenyataannya tak mungkin dapat dilaksanakan. Sekarang di
Barat terdengar jeritan disana-sini mengajak mereka kembali
mencari pegangan rohani yang sudah hilang. Mereka mencari
pegangan itu d dalam maupun diluar teosofi.7 Sekiranya
ajaran Kristen itu memang sesuai dengan naluri perjuangan
yang telah dibawa oleh hukum alam sebagai sebagian cara
hidup Barat, sesudah ternyata konsepsi materialisma mereka
tidak berhasil memberikan konsumsi rohani, tentu akan kita
lihat mereka kembali mencari pegangan agama Kristen yang
begitu indah, agama Isa anak Mariam -kalaupun Tuhan belum
akan membimbing mereka kepada Islam- dan tidak perlu mereka
pergi berpindah ke India atau ke tempat lain, mencari
pegangan hidup rohani, yang oleh manusia sangat dirasakan
perlunya seperti kebutuhan bernapas; sebab ini merupakan
sebagian kodratnya, bahkan merupakan sebagian dari jiwa
raganya.

PENJAJAHAN DAN PROPAGANDA ANTI ISLAM

Ternyata imperialisma Barat memberikan bantuan dalam
meneruskan serangan yang mereka lancarkan terhadap Islam dan
terhadap Muhammad, dan minta mereka supaya berpendirian
seperti penduduk Mekah yang menginginkan supaya agama
Nasrani menderita kehinaan karena kekalahan Heraklius dan
Rumawi menghadapi Persia. Pernah mereka mengatakan - dan
masih banyak di antara mereka yang mengatakan - bahwa Islam
itulah yang menyebabkan mundurnya bangsa-bangsa yang
menganutnya dan menyebabkan mereka tunduk kepada pihak lain.
Ini adalah kebohongan yang kita tolak dengan cukup
mengingatkan kepada mereka yang mengatakan itu, bahwa
peradaban umumnya dan kekuasaan dunia yang cukup dikenal
selama berabad-abad itu berada di tangan bangsa-bangsa yang
yang terdiri dari umat Islam itulah. Di sana pusat ilmu
pengetahuan dan tempat sarjana-sarjana, dari sana pula
datangnya pelopor kemerdekaan, yang oleh Barat belum selang
lama ini baru dikenalnya. Apabila mungkin mundurnya beberapa
golongan bangsa akan dihubungkan dengan agama yang
dianutnya, maka agama itu tentu bukan Islam, Islam yang
telah membuat orang-orang pedalaman seluruh jazirah Arab
jadi bangkit dan dapat membuat mereka menguasai dunia.

Akan tetapi kemunduran bangsa-bangsa yang telah menjadi
beban bagi Islam itu sangat disayangkan bila akan
dihubungkan kepada agama yang sebenarnya tidak demikian;
bukan itu yang dikehendaki oleh Allah dan oleh Rasul. Tapi
mereka menganggap bahwa yang demikian itulah dasar agama dan
barangsiapa yang menentang ia akan dianggap atheis.

ISLAM DAN APA YANG TERJADI DENGAN UMAT ISLAM

Kita tinggalkan dulu bicara tentang agama ini, dan mari kita
lihat sejarah orang yang membawanya - Muhammad
'alaihissalam.

Banyak buku-buku sejarah tentang kehidupan Nabi itu yang
telah- menambahkan hal-hal yang tak dapat diterima akal dan
yang memang tidak diperlukan menambahkan demikian untuk
menguatkan risalahnya itu. Dan apa yang ditambah-tambahkan,
itulah yang dijadikan pegangan oleh kalangan Orientalis dan
oleh mereka yang mau mendiskreditkan Islam dan Nabi, juga
oleh mereka yang mau mengecam umat Islam; dijadikannya itu
tongkat penunjuk dalam kecaman mereka yang akan cukup
memanaskan hati setiap orang yang berpikir jujur.

Hal semacam ini dan apa yang mereka ciptakan sendiri, itulah
yang menjadi pegangan mereka, lalu mereka mengatakan, bahwa
mereka menulis itu berdasarkan metoda ilmiah yang modern,
metoda yang mengemukakan peristiwa-peristiwa, orang-orang
dan pahlawan-pahlawan. Lalu diberikannya suatu penilaian
yang pantas jika dianggap pada tempatnya mengeluarkan
penilaian demikian. Dan kalau kita baca dengan seksama apa
yang mereka tulis itu akan kita lihat bahwa hal itu
sebenarnya penuh dengan nafsu permusuhan dan caci-maki,
terbungkus dalam susunan kata-kata yang tidak kurang
indahnya, menarik hati mereka yang sepaham dengan
anggapannya, bahwa pembahasannya itu ilmiah, terdorong hanya
akan mencari kebenaran semata-mata, ingin meneropongnya dari
segenap penjuru. Inilah yang dituju oleh penulis-penulis dan
ahli-ahli sejarah yang fanatik itu. Hanya saja, adanya
beberapa orang yang masih dapat berpikir lebih tenang - baik
penulis atau sarjana -menyebabkan mereka yang berpikiran
bebas itu dapat bersikap lebih adil dan jujur, sekalipun
dari pihak Kristen sendiri.

Dalam berbagai macam bidang beberapa ulama Islam telah
tampil dan berusaha menangkis tuduhan orang-orang Barat yang
fanatik itu. Dan nama Syaikh Muhammad Abduh tentu yang
paling menonjol dalam bidang ini. Tetapi mereka ini tidak
menempuh metoda yang ilmiah -seperti didakwakan oleh
penulis-penulis dan ahli-ahli sejarah Eropa, sebab hanya
merekalah yang memakai cara itu. Maksudnya supaya dalam
menghadapi lawan alasan mereka lebih kuat. Kemudian lagi
ulama Islam itu - dan Syaikh Muhammad Abduh yang terutama -
telah dituduh atheis dan kufur. Maka argumentasi mereka itu
menjadi makin lemah di depan lawan Islam.

SIKAP JUMUD DI KALANGAN PEMUDA

Tuduhan mereka itu sebenarnya memberi pengaruh besar dalam
jiwa angkatan muda Islam yang terpelajar. Terkesan di
kalangan pemuda itu, bahwa atheisma dan logika sejalan
dengan ijtihad (aktif), sedang iman sama dengan Jumud
(pasif). Oleh karena itu jiwa mereka gelisah. Mereka pergi
membaca buku-buku Barat; dengan itu mereka akan mencari
kebenaran, dengan keyakinan bahwa mereka tidak mendapatkan
yang demikian itu dalam buku-buku kaum Muslimin. Dengan
sendirinya buku-buku agama dan sejarah Kristen tidak juga
terpikirkan oleh mereka; mereka sudah hanyut ke dalam
buku-buku filsafat, yang dengan gayanya yang ilmiah itu
mereka mencari setitik air yang akan menghilangkan rasa
dahaga akan kebenaran yang ada dalam jiwa mereka itu, dan
dengan logika yang dikemukakannya sudah merupakan nyala suci
yang masih tersembunyi dalam jiwa umat manusia dan
dijadikannya pula alat komunikasi yang akan mengantarkan
mereka kepada alam serta kebenaran yang tertinggi. Dalam
buku-buku Barat, baik dalam filsafat, etika atau humanities
pada umumnya banyak sekali yang akan mereka dapati dengan
sangat menarik hati, baik karena gayanya yang indah, atau
karena logikanya yang kuat serta apa yang tampaknya hendak
memperlihatkan adanya kemauan baik dan niat yang ikhlas
hendak mencapai pengetahuan demi kebenaran. Oleh karena itu
jiwa pemuda-pemuda itu jadi jauh dari pemikiran tentang
agama-agama semua dan tentang risalah Islam serta
pembawanya.

Sikap mereka itu guna menghindarkan diri jangan sampai
timbul konflik antara mereka dengan kebekuan beragama sebab
mereka yakin takkan dapat mengalahkannya, juga karena mereka
tidak menyadari, betapa pentingnya hubungan yang akan
mengangkat martabat manusia ke tingkat yang lebih sempurna,
sehingga kekuatan moralnyapun akan berlipat-ganda.
ILMU DAN LITERATUR BARAT

Pemuda-pemuda itu telah menghindarkan diri dari pemikiran
tentang agama-agama itu semuanya, juga tentang risalah Islam
dan pembawanya. Lebih-lebih lagi mereka menghindarkan diri
itu karena ilmu pengetahuan positif dan filsafat positivisma
yang mereka lihat mengatakan bahwa masalah-masalah agama
berada di luar logika dan tidak masuk ke dalam lingkungan
pemikiran ilmiah, dan segala yang berhubungan dengan itu,
dalam bentuk pemikiran metafisika juga sama sekali tidak
termasuk dalam metoda ilmiah. Kemudian mereka melihat adanya
pemisahan yang begitu jelas dan tajam antara gereja dan
negara di Barat, serta melihat negara-negara yang sudah
menentukan dalam undang-undang dasarnya, bahwa kepala negara
adalah pelindung Protestan atau Katolik, atau menentukan
bahwa agama negara yang resmi adalah Kristen, dengan maksud
supaya dengan demikian hari-hari besar yang berhubungan
dengan itu tidak bertambah banyak. Bertambah kuat mereka
bertahan dalam pemikiran ilmiah dan segala yang berhubungan
dengan itu, perhatian merekapun akan bertambah besar pula
terhadap masalah-masalah filsafat, ilmu dan budaya.

Setelah tiba masanya mereka harus berpindah dari dunia studi
ke tengah-tengah kehidupan praktis, kehidupan itu membuat
mereka lebih sibuk daripada hanya memikirkan
masalah-masalah, yang tadinya sudah mereka tinggalkan. Maka
arah pemikiran itu masih tetap dalam arus yang pertama:
melihat kebekuan berpikir itu dengan rasa kasihan dan sinis-
Ia terus menghirup udara pemikiran Barat dan filsafat Barat,
yang dirasakannya begitu lejat, sehingga bertambah kagum ia,
bertambah kuat bertahan atas apa yang sudah diperolehnya
itu.

Memang tak dapat disangkal, bahwa dewasa ini Timur sangat
perlu sekali menghirup udara Barat dalam cara berpikir,
dalam ilmu dan budaya. Dunia Islam di Timur dewasa ini sudah
terputus dari Islam masa lampau oleh adanya kebekuan
berpikir dan fanatisma selama berabad-abad. Cara berpikir
masa lampau yang sehat sudah begitu tebal tertimbun oleh
kebodohan dan serba prasangka terhadap segala yang baru.
Maka tak ada jalan lain, bagi yang ingin mengikis semua
timbunan itu, ia harus bersandar pada bentuk-bentuk
pemikiran dunia yang lebih baru, supaya dengan demikian
dapat mencapai masa kini yang cemerlang serta peninggalan
masa lampau yang gemilang.

USAHA-USAHA MODERNISASI DUNIA ISLAM

Sudah sepantasnya kalau kita mengatakan kepada Barat, bahwa
penyelidikan-penyelidikan berharga yang dilakukan oleh
sarjana-sarjana Barat dewasa ini tentang sejarah dan
studi-studi Islam dan Dunia Timur, telah membuka jalan baru
bagi pemuda-pemuda Islam sendiri dan pemuda-pemuda di Timur
dalam memperbanyak bahan-bahan penyelidikan tentang studi
itu. Dan harapan akan sampai kepada kebenaranpun lebih besar
pula. Dengan sendirinya mereka akan lebih mudah memahami
jiwa Islam dan jiwa Timur. Oleh karena orientasi baru itu
sudah dimulai dari Barat, maka pemuda-pemuda itu harus
mengikutinya terus sambil mengadakan koreksi atas
kesalahan-kesalahan yang ada, lalu menanamkan jiwa yang
sebenarnya hidup dalam sejarah, diteruskan sampai ke masa
kini. Bukan hanya sebagai studi dan penyelidikan saja,
tetapi juga harus dilihat sebagai suatu peninggalan rohani
dan mental yang patut diwakili oleh para pewarisnya;
penerangan harus ditambah dan diperbanyak, sehingga
kebenaran yang tersembunyi itu akan tampak lebih jelas.

Dewasa ini banyak sudah pemuda-pemuda yang mengadakan
penyelidikan-penyelidikan dengan metoda ilmiah yang
sebenarnya. Kalangan Orientalis sendiripun mendukung
usaha-usaha mereka dan sangat menghargai jasa-jasa mereka
itu.

MISI PENGINJIL DAN GOLONGAN YANG BERPIKIRAN BEKU

Sementara kerja-sama ilmiah yang seharusnya akan memberikan
hasil yang baik ini lahir, tiba-tiba timbul pula kegiatan
pihak gereja Kristen melakukan serangkaian serangan terhadap
Islam dan terhadap Muhammad demikian rupa, tidak kurang dan
apa yang kita sebutkan tadi. Di samping itu pihak
imperialisma Baratpun mendukung pula kegiatan ini, dengan
segala kemampuan yang ada padanya, atas nama kemerdekaan
berpikir. Padahal mereka yang melakukan serangan dan kecaman
itu telah keluar meninggalkan negerinya sendiri, mereka
terpisah dari apa yang mereka namakan ,peneguhan iman, dalam
jiwa saudara-saudara mereka seagama itu. Juga
penganjur-penganjur kebekuan berpikir (jumud) di kalangan
kaum Muslimin sendiri telah mendapat dukungan imperialisma
pula. Selanjutnya tangan imperialisma ini juga yang
memberikan dorongan kepada apa saja yang dapat diselundupkan
ke dalam Islam - dan yang sebenarnya bukan dari Islam - dan
ke dalam sejarah hidup Rasul, berupa dongengan-dongengan
yang tak masuk akal dan bertentangan dengan selera. Ia
memberikan dorongan kepada usaha-usaha orang yang mengecam
Islam dan mengecam Muhammad dengan apa saja yang dapat
dimasukkan ke dalam Islam dan ke dalam sejarah Rasul.

TERPIKIR MENULIS BUKU INI

Tugas pekerjaan saya memberi kesempatan kepada saya melihat
peristiwa-peristiwa itu pada beberapa daerah Islam sebelah
timur, bahkan di seluruh daerah Islam, serta mempelajari
adanya maksud yang ingin mengikis habis kehidupan moral
daerah-daerah itu dengan jalan membasmi kemerdekaan
berfikir, kebebasan menyelidiki demi kebenaran itu. Terasa
oleh saya bahwa saya memikul suatu kewajiban dalam hal ini.
Maksud yang menjadi tujuan rencana itu, yang sebenarnya akan
membahayakan seluruh umat manusia - bukan hanya membahayakan
Islam dan dunia Timur saja - harus dipatahkan. Apatah
kiranya bencana yang lebih besar menimpa umat manusia
daripada kekerdilan dan kebekuan berpikir, yang sepanjang
sejarah lebih dari separohnya telah menimpa peradaban.

Karena itu terpikir oleh saya -dan lama sekali saya
memikirkan hal itu- yang akhirnya mengantarkan pemikiran
saya itu kepada suatu studi tentang kehidupan Muhammad,
pembawa risalah Islam itu, tentang sasaran kecaman pihak
Kristen di satu segi, dan tentang kebekuan berpikir kaum
Muslimin sendiri dari segi lain. Akan tetapi studi ini
hendaknya bersifat ilmiah, sejalan dengan metoda modern di
Barat, demi kebenaran, dan untuk kebenaran semata.

Saya mulai dengan membahas sejarah hidup Muhammad. Saya
ulangi lagi dengan memeriksa Sirat ibn Hisyam, Tabaqat oleh
Ibn Sa'd, al-Maqhazi oleh al-Waqidi, demikian juga buku Syed
Ameer, Ali The Spirit of Islam. Kemudian tidak lepas saya
membaca buku-buku beberapa Orientalis, seperti Dermenghem
dan Washington Irving. Ketika pada musim dingin tahun 1932
saya berada di Luxor, saya pergunakan kesempatan ini dengan
mulai menulis. Ketika itu saya masih ragu-ragu akan
mengadakan penyelidikan yang akan saya kemukakan kepada para
pembaca ini sebagai suatu hasil pekerjaan saya sendiri,
sebab saya kuatir akan timbul heboh dari golongan yang masih
beku cara berpikirnya dan masih percaya kepada
bermacam-macam takhayul, sehingga kelak tujuan saya semula
akan terganggu karenanya.

Akan tetapi adanya sambutan yang saya terima, dorongan dan
sumbangan pikiran yang diberikan kepada saya oleh
pemuka-pemuka lembaga cukup menunjukkan adanya perhatian
terhadap penyelidikan yang akan saya lakukan ini. Saya jadi
berpikir lebih sungguh-sungguh lagi hendak melaksanakan niat
saya menulis sejarah hidup Muhammad ini lebih terperinci,
dengan cara yang ilmiah. Sekarang saya memikirkan jalan yang
paling baik dalam meneliti sejarah itu, sesuai dengan
kemampuan yang ada pada saya.

QUR'AN SEBAGAI SUMBER PALING OTENTIK

Sudah jelas buat saya, bahwa sumber yang paling otentik
dalam penulisan sejarah ini ialah Qur'an Suci. Segala
peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan Nabi, diberikan
isyaratnya dalam Qur'an, sehingga dapat dipakai sebagai
bahan penunjuk dalam mengadakan pembahasan itu. Dengan dasar
itu dapat pula diteliti apa yang terdapat dalam buku-buku
Hadis dan sejarah Nabi yang bermacam-macam itu. Saya pun
berusaha hendak mengetahui sesuatu dalam Qur'an yang ada
hubungannya dengan kehidupan Nabi. Suatu bantuan besar dalam
hal ini telah diberikan kepada saya oleh Tuan Ahmad Lutfi
as-Sayyid, pejabat pada Perpustakaan (Nasional) Mesir,
berupa buku-buku referensi, bab demi bab, tentang ayat-ayat
Qur'an yang berhubungan dengan kehidupan orang yang telah
diberi Wahyu Kitab Suci itu. Saya cocokkan ayat-ayat itu,
dan rupanya harus juga saya pelajari sebab-sebab turunnya,
waktu turunnya serta hubungannya satu sama lain. Harus saya
akui juga - sedemikian jauh saya berusaha - belum juga
bertemu dengan semua yang saya maksudkan. Kadang kitab-kitab
tafsir Qur'an memberi petunjuk ke arah ini, tapi kadang juga
tidak. Buku-buku seperti Asbab'n-Nuzul oleh al-Wahidi dan
An-Nasikh wal-Mansukh oleh Ibn Sallama hanya dengan singkat
saja membicarakan persoalan yang sangat berharga ini, yang
justru patut mendapat penelitian dan pembahasan.

Akan tetapi apa yang saya temukan dalam kedua buku itu dan
dalam buku-buku tafsir mengenai beberapa rnasalah, dapat
juga saya pergunakan sebagai bahan penelitian terhadap
buku-buku lain mengenai sejarah Nabi. Dalam kedua buku itu
dan dalam buku-buku tafsir tersebut saya temukan beberapa
hal yang patut sekali dikoreksi oleh ulama yang sudah
mendalami pengetahuan Qur'an dan Hadis serta mencocokkannya
kembali secara lebih teliti.
KONSULTASI YANG TEPAT

Setelah agak jauh saya mengadakan penyelidikan, tampak oleh
saya adanya konsultasi yang tepat sekali disampaikan
kepada saya dari beberapa pihak, lebih-lebih lagi -dengan
sendirinya- dari kalangan guru-guru besar dan pemuka-pemuka
agama. Dan bantuan paling besar saya terima ialah dari
Perpustakaan (Nasional) Mesir dan para pejabatnya yang telah
mengulurkan tangan memberikan bermacam-macam bantuan, yang
sebagai penghargaan tidak cukuplah rasanya ucapan
terimakasih saya ini. Memadai juga kiranya bila saya
sebutkan, bahwa Tuan 'Abd'r-Rahim Mahmud, Korektor bagian
Lektur pada Perpustakaan, tidak jarang pula membebaskan saya
dari harus pergi sendiri ke perpustakaan serta meminjamkan
buku-buku yang saya kehendaki disertai sikap ramah-tamah,
baik oleh Direktur atau pejabat-pejabat tinggi lainnya yang
bertugas. Juga perlu saya sebutkan, bahwa setiap kali saya
mengunjungi perpustakaan itu sehubungan dengan penyelidikan
yang perlu saya lakukan, selalu saya menerima layanan yang
begitu baik sekali, baik dari pejabat tinggi atau pejabat
ba'vahan, baik yang saya kenal atau yang tidak saya kenal.
Dalam hal saya kadang terbentur pada beberapa masalah, maka
datanglah kawan-kawan itu membukakan jalan, sehingga tidak
jarang hal ini merupakan bantuan yang besar sekali bagi
sayaa Sering juga saya jumpai bantuan demikian itu dari
Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi, Rektor Al-Azhar, dari
sahabat karib saya Ja'far (Pasya) Wali, yang telah
meminjamkan beberapa buah buku kepada saya seperti Shahih
Muslim dan buku-buku sejarah tentang Mekah. Ditunjukkannya
pula beberapa masalah, diantarkannya saya ke tempat yang
saya perlukan. Demikian juga sahabat saya Makram 'Obaid,
telah meminjamkan buku Sir William Muir, The Life of
Mohammad8, buku Lammens, L'Islam, di samping pertolongan
yang saya peroleh dari karya-karya kontemporer yang sangat
berharga seperti Fajr'l-lslam oleh Ahmad Amin,
Qishah'l-Anbia' oleh 'Abd'l Wahhab an-Najjar,
Fil-Adab'l-Jahili oleh Dr. Taha Husain, Al Yahud fi
Bilad'l-'Arab oleh Israel Wilfinson. Selain itu banyak lagi
buku-buku lain oleh penulis-penulis kontemporer yang saya
sebutkan dalam bibliografi buku-buku lama dan baru, yang
saya pergunakan dalam menyiapkan buku ini.

DALAM BATAS-BATAS BIOGRAFI, TIDAK LEBIH

Setiap saya mengadakan penyelidikan demikian ini lebih
dalam, ternyata ada beberapa problema di depan saya yang
perlu dipikirkan lagi dan diselidiki lebih lanjut guna dapat
mengatasinya. Seperti buku-buku sejarah dan tafsir yang
telah memberikan petunjuk kepada saya dengan cukup
memuaskan, demikian juga halnya dengan buku-buku para
Orientalis. Akan tetapi dalam menghadapi masalah-masalah itu
tampaknya terpaksa saya harus membatasi diri hanya dalam
menyelidiki kehidupan Muhammad saja, dengan tidak mengurangi
persoalan-persoalan lain yang kiranya ada hubungannya dengan
penyelidikan ini. Kalau saya mau menyelidiki segala sesuatu
yang berhubungan dengan sejarah hidup orang yang begitu
besar dan cemerlang ini, tentu diperlukan penulisan beberapa
jilid dalam ukuran seperti buku ini. Baik juga saya
sebutkan, bahwa Caussin de Perceval menulis tiga jilid buku
dengan judul Essai sur l'Histoir des Arabes, jilid pertama
dan kedua mengenai sejarah dan kehidupan kabilah-kabilah
Arab, jilid ketiga tentang Muhammad dan dua orang
Khalifahnya, Abu Bakr dan Umar. Demikian juga Tabaqat Ibn
Sa'd yang terdiri dari beberapa jilid, jilid pertamanya
khusus tentang kehidupan Muhammad, sedang yang selebihnya
mengenai kehidupan para Sahabatnya.

Dalam mengadakan penyelidikan ini pada mulanya memang tidak
saya maksudkan hendak melampaui batas sejarah kehidupan
Muhammad, sebab saya tidak ingin membiarkan ini nanti
menjadi kacau, sehingga akan menyimpang dari tujuan yang
saya maksud.

Hal lain yang menahan saya hanya pada batas-batas sejarah
hidup ini, ialah karena indahnya dan besarnya peristiwa itu,
sehingga yang lainpun rasanya akan tertutup karenanya.
Alangkah besarnya Abu Bakr! Alangkah besarnya Umar! Keduanya
dalam masa Khilafat mereka masing-masing merupakan cahaya
bintang sehingga yang lain tertutup karenanya. Betapa
besarnya sahabat-sahabat dahulu itu mendampingi Muhammad,
dibuktikan oleh generasi demi generasi dan yang kemudian
menjadi kebanggaan generasi itu!

Akan tetapi - selama masa hidup Nabi - mereka semua masih
dapat bernaung di bawah kebesarannya, masih mendapat
percikan sinarnya.

Bagi orang yang menyelidiki sejarah hidup Rasul, tidak mudah
akan dapat meninggalkan hal itu untuk berpindah ke soal yang
lain. Hal ini terasa sekali apabila pembahasan demikian ini
didasarkan kepada metoda ilmiah yang baru, seperti yang akan
saya coba ini; yang dengan metoda itu pula justru kelak akan
terlihat kebesaran Muhammad, kebesaran yang sekaligus
menguasai pikiran, hati nurani dan perasaan manusia, dan
menanamkan rasa hormat karenanya, hormat dan percaya betapa
kuatnya kebesaran itu, yang dalam hal ini baik bagi Muslim
atau non-Muslim tidakkan berbeda pendapat.

PENYELIDIKAN BERGUNA BAGI SELURUH UMAT MANUSIA

Kalau kita ke sampingkan mereka yang masih fanatik dan keras
kepala, yang dalam merendahkan kebesaran Muhammad sudah
menjadi kebiasaan mereka, seperti yang dilakukan oleh kaum
misi penginjil dan sebangsanya, maka rasa hormat akan
kebesaran dan percaya akan kuatnya kebesaran itu akan kita
baca jelas sekali dalam buku-buku sarjana-sarjana
Orientalis. Dalam Heroes and Hero Worship, Carlyle
membicarakan satu pasal tentang Muhammad yang digambarkannya
sebagai percikan sinar Ilahi yang kudus yang telah diberikan
kepadanya, kemudian dilukiskannya rasa hormat atas kebesaran
yang luarbiasa kuatnya itu. Demikian juga Irving, Sprenger,
Weil dan Orientalis lainnya, masing-masing dapat
menggambarkan kebesaran Muhammad dengan cara yang kuat
sekali. Apabila salah seorang di antara mereka itu, dalam
memasuki beberapa masalah masih menganggap ada suatu
kekurangan pada diri pembawa risalah Islam itu, maka tidak
lain itu hanya karena mereka belum lagi mengujinya dan
meneliti secara ilmiah yang lebih saksama, atau karena
mereka berpegang pada beberapa buku sejarah atau tafsir yang
masih diragukan kebenaran sumbernya, dengan melupakan bahwa
buku-buku biografi yang pertama itu baru dua abad kemudian
sesudah masa Muhammad ditulis orang, dengan
menyelip-nyelipkan, -baik dalam sejarah atau dalam
ajaran-ajarannya,- Israiliat (dongeng-dongeng Judaica) dan
ribuan hadis-hadis palsu. Meskipun kaum Orientalis itu
mengakui kenyataan ini, namun mereka tidak mau mengakui
kelalaiannya sendiri untuk dapat menentukan sesuatu yang
dianggapnya benar itu; padahal dengan sedikit penelitian
saja sudah akan dapat ditolak. Di antaranya soal gharaniq
misalnya, soal Zaid dan Zainab, soal perkawinan atau
isteri-isteri Nabi, yang justru akan menjadi bahan pengujian
dan penelitian dalam buku ini.

Sungguhpun begitu saya tidak beranggapan bahwa saya sudah
sampai ke tujuan terakhir dalam menyelidiki sejarah hidup
Muhammad. Bahkan barangkali akan lebih tepat bila saya
katakan, bahwa saya baru dalam taraf permulaan mengadakan
penyelidikan dengan metoda ilmiah yang baru ini, dalam
bahasa Arab. Segala daya upaya yang saya gunakan dalam hal
ini tidak lepas dari, bahwa buku ini baru merupakan taraf
permulaan dalam penyelidikan Islam dari segi ilmiahnya.
Bilamana sudah ada sarjana-sarjana dan ahli-ahli sejarah
yang mengkhususkan diri menyelidiki salah satu kurun
(perioda) dalam sejarah - seperti Aulard9 yang khusus
menyelidiki sejarah revolusi Perancisl dan beberapa sarjana
lain yang juga menyelidiki masa-masa tertentu dalam sejarah
pelbagai bangsa maka patut sekali bila atas biografi
Muhammad ini secara khusus juga diadakan penyelidikan ilmiah
yang menyeluruh, yang dapat dilakukan oleh kaum cendekiawan,
yang khusus pula dalam bidangnya masing-masing. Tidak sangsi
lagi saya, bahwa pengkhususan dan penyelidikan ilmiah untuk
waktu yang begitu singkat dalam sejarah tanah Arab serta
hubungannya dengan aneka macam bangsa waktu itu, hasilnya
akan berguna sekali, bukan saja bagi Islam dan umat Islam,
tetapi juga untuk seluruh dunia. Dari segi psikologi dan
kehidupan rohani hal ini akan merupakan masalah yang berguna
sekali bagi ilmu pengetahuan, di samping penerangan yang
akan diperoleh dari segi-segi kehidupan sosial, etika dan
hukum. Dalam menghadapi masalah ini ilmu pengetahuan masih
saja maju-mundur, terpengaruh oleh pertentangan agama -
Islam dan Kristen - serta adanya usaha-usaha yang sia-sia
hendak melakukan westernisasi terhadap orang Timur atau
kristenisasi terhadap kaum Muslimin, suatu hal yang telah
menghasilkan kegagalan dan kekecewaan generasi demi
generasi, dan di mana-mana telah menimbulkan pengaruh yang
buruk dalam hubungan umat manusia satu sama lain.

Dengan melihat lebih jauh dari semua itu saya berpendapat,
bahwa penyelidikan demikian sudah seharusnya akan
mengantarkan umat manusia ke jalan peradaban modern yang
selama ini dicarinya. Apabila pihak Nasrani di Barat merasa
terlalu besar akan mendapatkan cahaya baru itu dari Islam
dan dari Rasulnya, lalu menantikan cahaya itu akan datang
dari teosofi India dan dari pelbagai macam aliran Timur Jauh
lainnya, maka orang-orang di Timur, baik umat Islam, Yahudi
atau Kristen, sudah layak sekali mengadakan penyelidikan
berharga ini dengan sikap yang bersih dan jujur - yakni
satu-satunya cara yang akan mencapai kebenaran.

Cara pemikiran Islam -yang pada dasarnya adalah pemikiran
ilmiah menurut metoda modern dalam hubungan manusia dengan
lingkungan hidup sekitarnya, yang dari segi ini realistik
sekali berubah menjadi pemikiran yang subyektif, yang
bersifat pribadi, ketika masalahnya menjadi hubungan manusia
dengan alam semesta dan Pencipta alam.

Dengan demikian, dari segi psikologi dan kerohanian,
timbullah pengaruh-pengaruh, yang di dalam menghadapinya
ilmu pengetahuan sendiri jadi kebingungan, tak dapat
mengiakan atau meniadakannya. Dengan demikian ia lalu tidak
menganggapnya sebagai kenyataan-kenyataan ilmiah. Sungguhpun
begitu kenyataan ini menjadi sendi kebahagiaan hidup manusia
dan merupakan unsur formatif dalam tingkah-lakunya. Apakah
hidup itu? Apa pula hubungan manusia dengan alam semesta
ini? Apa yang menggairahkan hidupnya. Apakah arti
kepercayaan bersama, yang memberikan kekuatan moril dalam
masyarakat, yang dengan lemahnya kepercayaan bersama itu,
masyarakatpun akan turut pula menjadi lemah? Apakah wujud
itu? Dan apa pula kesatuan wujud itu? Bagaimana kedudukan
manusia dalam kesunyian dan eksistensinya?

Masalah-masalah demikian ini berada di bawah kekuasaan
logika abstraksi yang sudah mempunyai bahan literatur yang
begitu berlimpah-limpah banyaknya. Akan tetapi, dalam
menyampaikan manusia kepada kebahagiaannya, pemecahannya
akan lebih dekat kita peroleh dalam kehidupan dan
ajaran-ajaran Muhammad daripada dalam logika abstraksi, yang
selama berabad-abad sejak dinasti Abbasia, kaum Muslimin
telah menghabiskan umurnya untuk itu. Demikian juga
orang-orang di Barat, selama tiga abad sejak abad ke-16
hingga abad ke-19 mereka telah menghabiskan umur mereka -
kecuali ilmu pengetahuan modern - yang berakhir membawa
nasib Barat seperti yang dialami kaum Muslimin masa lampau.
Seperti pada masa lampau, masa kinipun ilmu itu kemudian
terancam akan terbentur pula tanpa dapat memberikan
kebahagiaan kepada umat manusia.

Maka tak ada jalan lain kiranya untuk mencapai kebahagiaan
hidup kecuali dengan kembali mencari hubungan subyektif
dengan alam ini sebaik-baiknya serta dengan Pencipta alam
ini, Yang tak terikat oleh ruang dan waktu, Yang mutlak
dalam kesatuan yang tak berubah-ubah, selain dalam arti
nisbi dalam hubungannya dengan hidup kita yang singkat ini.

Sudah tentu, sejarah hidup Muhammad ini adalah contoh
terbaik dalam mengadakan studi tentang hubungan subyektif
dalam arti teori, atau dalam arti praktek, bagi orang yang
mempunyai kemampuan ke arah itu. Mengingat jauhnya jarak
dalam arti hubungan Ilahi, seperti yang telah dianugerahkan
Tuhan kepada Rasulullah, maka orang akan dapat mencoba hal
itu pada taraf permulaan. Menurut hemat saya, kedua macam
studi ini - bila sudah dapat disesuaikan - akan dapat
mengangkat martabat dunia kita sekarang ini dari lembah
paganisma, menurut kepercayaan agama dan pengetahuan
masing-masing; paganisma yang telah membuat harta
satu-satunya tempat pujaan (mammonisma), dengan meremehkan
nilai-nilai seni, ilmu, moral dan bakat manusia. Bisa jadi
penyesuaian demikian ini masih jauh. Akan tetapi adanya
gejala-gejala akan lenyapnya paganisma yang sekarang
menguasai dunia kita, mengemudikan kebudayaan yang berkuasa
sekarang, tampak jelas sekali bagi setiap orang yang mau
mengikuti jalannya sejarah dan peristiwa-peristiwa dunia.

Apabila secara khusus dipelajari sungguh-sungguh sejarah
hidup Muhammad itu sebagai Nabi serta ajaran-ajarannya,
masanya dan revolusi rohani yang dibawanya yang telah
tersebar ke seluruh dunia, barangkali gejala-gejala ini akan
makin jelas di depan mata dunia, bahwa masalah-masalah
rohani ini adalah timbul dari pengaruh yang ditinggalkannya.
Jika studi ilmiah dan studi yang subyektif mengenai tenaga
umat manusia yang masih tersimpan ini, dapat menambah
hubungan umat manusia dengan hakikat alam yang lebih tinggi,
maka itu sudah merupakan perletakan batu pertama dalam sendi
peradaban modern.

Buku inipun tidak lebih adalah sebagai usaha permulaan
kearah itu, seperti sudah saya sebutkan. Kiranya cukuplah
bagi saya bilamana buku ini dapat meyakinkan orang, dapat
meyakinkan para sarjana dan ahli-ahli akan pentingnya
spesialisasi dan pengkhususan guna mencapai tujuan dalam
menyelidiki sesuatu bidang itu. Andaikata usaha ini dapat
memberi hasil kepada salah satu atau kedua tujuan itu,
inipun sudah merupakan imbalan yang cukup besar terhadap
daya upaya yang saya lakukan. Dan Allah jualah yang akan
membalas jasa mereka yang telah berbuat kebaikan.

MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL

Catatan kaki:
-------------
[1] Gelar raja-raja keluarga Sasani di Iran, dalam literatur
Islam biasa disebut Kisra (Khosrau, Khosroes). Kisra I
Anusyirwan, putera Kavadh I yang berperang melawan Bizantium
di bawah Yustinianus. Kisra II Parvez, putera Ormizd IV dan
cucu Kisra I menyerang Anatolia dan Suna sampai di Bosporus.
Syahrvaraz dapat menaklukkan Damaskus dan Yerusalem dan
Salib Besar (The True Cross) diambil, kemudian Heraklius
dapat mengalahkan Persia di Niniveh (626). Kisra lari ke
Ctesiphon (Mada'in). Ia dipenjarakan oleh anaknya Kavadh II
(Syiruya) dan empat hari kemudian dibunuh (628) dalam
penjara (A).
[2] Dalam buku A J. Butler The Arab Conquest of Egypt
penulis itu menyebutkan bahwa nama panglima itu Khoriyam dan
bahwa nama Shahravaas atau Shahrabaraz atau Sheravizeh dan
lain-lain, yang terdapat dalam pelbagai buku hanyalah suatu
perubahan saja dari nama Persia, Shahar dan Wazar sebagai
suatu gelar yang berarti "Babi Hutan Sang Raja" sebagai
lambang kekuatan dan keberanian. Gambarnya dilukiskan dalam
cincin Persia Lama dan juga dalam cincin Armenia (Lihat The
Arab Conquest of Egypt, p. 53)
[3] Sebuah kota di Suriah, terletak 106 km. Selatan Damsyik
berbatasan dengan Yordania. Dalam sejarah lama kota ini
dikenal dengan nama Edrei. Sekarang dilcenal dengannama
Dar'a (A).
[4] Bushra atau Bostra, sebuah kota lama di Hauran, barat
daya Suria, kira-kira 106 km dari Damsyik dan 35 km. dari
Adhri'at (A).
[5] Emile Dermenghem, La Vie de Mahomet, halaman 135 dan
berikutnya.
[6] Az zamani, harfiah mengenai zaman, mengenai tempo, yang
secara termenologi berarti temporal. Untuk menghindarkan
adanya perbedaan semantik, yang juga dapat diartikan
"sementara, duniavii" atau "sekular" maka di sini saya
mempergunakan istilah secara harfiah (A).
[7] Teosofi adalah suatu ajaran yang ditanamkan oleh Madame
Blavatsky dari bermacam-macam agama terutama Buddha dan
Brahma. Ajaran ini mendirikan sebuah organisasi di Amerika
dipimpin oleh Madame Blavatsky sendiri, bernama The
Theosophical Society, dan cabang-cabangnya tersebar di
beberapa tempat di Eropa. Tetapi begitu Madame Blavatsky
meninggal, organisasi Teosofl inipun pecah menjadi tiga.
Aktifitasnya didasarkan kepada adanya kesatuan hidup dengan
mengadakan semacam latihan mistik untuk mencapai Nirwana
menurut ajaran Buddha. Tingkat ini dapat dicapai bilamana
dalam latihannya itu orang sudah benar-benar dapat
memisahkan ruh dari pengaruh hidup kebendaan. Apabila dengan
demikian ruh sudah mencapai tempat yang suci, maka ruh yang
lebih tinggi dapat menghubunginya. Ajaran Teosofi menyerukan
persaudaraan secara menyeluruh, tanpa membeda-bedakan
bangsa, bahasa dan segala yang akan membatasi manusia dari
tujuan tersebut.
[8] Buku Muir ini terdiri dari dua edisi, aslinya dengan
judul The Life of Mahomet and the History of Islam (1858) 4
jilid. Kemudian diringkaskan oleh T.H. Weir dengan judul The
Life of Mohammad from Original Sources (1923) (A).
[9] A. Aulard pengarang Histoire Politique de la Revolution
Francaise mengkhususkan penulisan sejarah revolusi Perancis
untuk masa 15 tahun saja (1789 - 1804) dalam 4 jilid (A).


PENGANTAR CETAKAN KEDUA (1/9)

Pembela-pembela Orientalis - lxxiv; Sebab-sebab
kesalahan Orientalis - lxxvi; Buku biografi
penulis-penulis Islam sebagai pegangan - lxxvi;
Orientalis dan ketentuan-ketentuan agama - lxxviii;
Qur'an tidak diubah-ubah - lxxviii; Pendapat Muir -
lxxx; Penulisan Qur'an pada zaman Nabi - lxxxi; Bila
berselisih kembali kepada Nabi - lxxxii; Pengumpulan
Qur'an langkah pertama - lxxxiii; Mushaf Usman -
lxxxiv; Persatuan Islam zaman Usman - lxxxv; Mushaf
Usman cermat dan lengkap - lxxxvi; Cara yang sebenarnya
dalam mengadakan penyelidikan - xc; Fitnah sekitar ayan
- xci; Kembali kepada ilmu pengetahuan - xcii; Kadang
ilmu yang tidak cukup - xciii; Menyerang Muhammad
karena gagal menyerang ajarannya - xcv; Pertimbangan
mereka yang aktif dalam soal-soal Islam - xcvii;
Selawat kepada Nabi - xciii; Menangkis kecaman - c;
Buku-buku sejarah dan buku-buku hadis - c; Kontradiksi
- ci; Faktor waktu, ketika cerita itu ditulis - ciii;
Pengaruh pertentangan politik dalam dunia Islam - civ;
Penghimpunan hadis - civ; Kriterium yang sebenarnya
tentang Hadis - cv; Penghimpunan hadis pada masa Ma'mun
- cvii; Cerita-cerita tidak masuk akal dan tidak ilmiah
- cx; Qur'an dan mujizat - cx; Mujizat terbesar - cxi;
Iman menurut pemuka-pemuka Islam - cxiii; Orang-orang
mukmin pada masa Nabi - cxiii; Gharaniq dan Tabuk -
cxiv; Metoda saya dalam penyelidikan ini - cxvi;
Penyelidikan-penyelidikan Orientalis - cxviii; Kaum
Muslimin dan penyelidikan - cxix.

CETAKAN pertama buku ini habis lebih cepat dari yang diduga
semula- Buku yang diterbitkan 10.000 buah ini sepertiganya
telah habis dipesan ketika sedang dicetak, sedang selebihnya
habis dalam waktu tiga bulan setelah buku terbit. Sambutan
yang diberikan atas buku ini menunjukkan adanya perhatian
dari para pembaca, terutama terhadap penyelidikan yang saya
lakukan ini. Oleh karena itu, untuk cetakan ulangan sudah
harus dipikirkan, isinya perlu ditinjau kembali. Timbulnya
sambutan itu sudah tentu karena persoalan yang ada dalam
buku ini. Boleh jadi metoda yang dipergunakan memecahkan
persoalan-persoalan itu berpengaruh juga atas adanya
sambutan ini. Tetapi apapun yang menjadi sebabnya, saya
bertanya-tanya di dalam hati ketika terpikir akan menghadapi
cetakan kedua ini: Akan diulang sajakah seperti apa adanya
pada cetakan pertama, tanpa ditambah atau dikurangi, ataukah
harus saya tinjau lagi dengan mengadakan revisi, penambahan
atau koreksi lagi, mana-mana yang ternyata perlu dilakukan?

Beberapa orang yang sangat saya hargai pendapatnya
menyarankan supaya cetakan kedua ini sama seperti cetakan
pertama, supaya mereka yang memiliki dua macam cetakan ini
sama adanya, dan supaya waktu buat sayapun cukup terluang
dalam mengadakan koreksi dan revisi nanti sesudah cetakan
kedua ini. Saran ini hampir-hampir saya terima. Kalaupun
saran ini juga yang saya terima, tentu cetakan kedua ini
sejak beberapa bulan yang lalu sudah berada di tangan
pembaca. Tetapi saya masih maju-mundur juga menerima
pendapat ini. Kemudian karena beberapa pertimbangan,
akhirnya saya mengambil keputusan, bahwa memang penting
rasanya mengadakan revisi dan tambahan.

Pertimbangan pertama dalam hal ini ialah karena adanya
bebeberapa catatan yang. diberikan oleh Syaikh Muhammad
Mustafa al-Maraghi, Rektor Al-Azhar, kepada saya, ketika
sebagian yang sudah selesai dicetak dari buku ini saya
perlihatkan kepadanya. Kemudian beliau berkenan pula
memberikan kata perkenalan seperti pada permulaan buku ini.

Sesudah kemudian buku ini terbit, beberapa pengarang dan
ulamapun memberikan pula tanggapan dan pendapat mereka yang
baik sekali melalui surat-surat kabar, majalah dan radio.
Semua tanggapan itu disertai dengan pujian yang tidak
sedikit pula ditujukan kepada usaha yang saya lakukan ini,
yang saya rasa tidak seharusnya saya menerima semua
penghargaan demikian itu. Dan yang pertama saya harapkan
ialah jangan sampai buku tentang Nabi ini tercampur dengan
hal-hal yang kurang layak, sementara pengarang dengan
karangannya itu berhasil, sehingga dapat diterima dan dapat
dihargai orang. Oleh karena itu saya sangat memperhatikan
sekali tanggapan itu.

Adanya penghargaan dan sambutan demikian ini agaknya telah
menyebabkan timbulnya beberapa pendapat yang bertolak dari
masalah-masalah pelengkap saja, yang tak ada hubungannya
dengan sumber-sumber yang terdapat -atau dengan pokok
persoalan yang ada- dalam buku ini. Misalnya ada yang
meminta supaya beberapa masalah yang dianggap perlu
dijelaskan diberi penjelasan lebih lanjut; yang lain minta
supaya diteliti lebih banyak lagi mengenai pemakaian
kata-kata perangkai, atau juga diusulkan mengenai beberapa
kata pengganti yang lain, yang menurut hemat para pengusul
akan lebih tepat dalam mengungkapkan arti yang dikehendaki.
Tetapi ada lagi pendapat yang lebih ditujukan pada inti
pembahasan dalam buku ini, yang membuat saya lebih banyak
lagi memikirkan dan mengoreksinya. Alangkah besarnya
keinginan saya supaya cetakan kedua ini lebih mendekati
kehendak sarjana-sarjana dan ulama itu semua, meskipun saya
sendiri menganggap penyelidikan ini -seperti saya sebutkan
dalam prakata - hanya sebagai langkah permulaan saja dalam
bidang ini dengan bahasa Arab yang diolah menurut metoda
baru.

Hal lain yang menyebabkan saya mengadakan revisi dan
tambahan-tambahan dari cetakan pertama ini ialah setelah
saya membaca kembali buku tersebut dan sesudah mempelajari
beberapa pendapat yang saya terima, yang memang sebagian
sudah saya sadari ketika saya sedang menulis. Kemudian juga
saya dapat menerima alasan perlunya mengadakan pengamatan
lebih luas sesuai dengan yang diusulkan itu guna meyakinkan
mereka sehubungan dengan pendapat dan argumentasi saya.
Koreksi-koreksi yang saya lakukan untuk maksud tersebut
telah membawa beberapa masalah yang patut direnungkan dan
patut digarap oleh setiap penulis biografi Nabi.

Kalaupun pada cetakan pertama itu saya bergembira karena
adanya tanggapan-tanggapan yang sampai kepada saya, maka
sekali inipun lebih-lebih lagi saya merasa gembira, karena
saya masih akan mengadakan penyelidikan-penyelidikan itu
lebih luas lagi. Hal ini saya anggap perlu sekali mengingat
studi pendahuluan yang saya lakukan ini menyangkut sejarah
hidup seorang manusia terbesar yang pernah dikenal sejarah,
Nabi dan Rasul terakhir -selawat dan salam baginya.

Pada pengantar cetakan kedua ini saya berusaha mengadakan
pengamatan terhadap beberapa tanggapan tentang metoda
penyelidikan yang saya kemukakan pada cetakan pertama. Pada
bagian terakhir buku ini saya tambahkan dua pasal mengenai
beberapa persoalan yang secara sepintas-lalu sudah
disinggung juga pada bagian penutup cetakan pertama.
Demikian juga beberapa revisi dan tambahan saya lakukan
mana-mana yang saya anggap perlu direvisi dan ditambah dalam
teks buku itu, sesuai dengan koreksi-koreksi dan beberapa
pertimbangan saya sekalian guna melengkapi penyelidikan dan
memenuhi beberapa tanggapan yang sudah pernah disampaikan.
PEMBELA-PEMBELA ORIENTALIS

Yang mula-mula saya terima sebagai sanggahan ialah adanya
sebuah karangan yang disampaikan kepada saya oleh seorang
penulis bangsa Mesir yang menyebutkan, bahwa itu adalah
sebuah terjemahan bahasa Arab dari artikel yang
dikirimkannya ke sebuah majalah Orientalis berbahasa Jerman,
sebagai kritik atas buku ini. Artikel ini tidak saya siarkan
dalam surat-surat kabar berbahasa Arab, karena isinya hanya
berupa kecaman-kecaman yang tidak berdasar. Oleh karena itu
terserah kepada penulisnya jika mau menyiarkannya sendiri.
Saya rasa nama orang itupun tidak perlu disebutkan dalam
pengantar ini dengan keyakinan bahwa dia sudah akan mengenal
identitasnya sendiri sesudah membaca sanggahannya itu dimuat
di sini. Artikel itu ringkasnya ialah bahwa penyelidikan
yang saya lakukan tentang peri hidup Muhammad ini bukan
suatu penyelidikan ilmiah dalam arti modern, sebab saya
hanya berpegang pada sumber berbahasa Arab saja, tidak pada
penyelidikan-penyelidikan kaum Orientalis sebangsa Weil,
Goldziher, Noldeke dan yang lain; bukan mengambil dari hasil
penyelidikan mereka, dan karena saya menganggap Qur'an
sebagai dokumentasi sejarah yang sudah tidak diragukan,
padahal studi Orientalis-orientalis itu menunjukkan bahwa
Qur'an sudah diubah dan diganti-ganti setelah Nabi wafat dan
pada permulaan sejarah Islam, dan bahwa nama Nabipun pernah
diganti. Semula bernama "Qutham" atau "Quthama." Sesudah itu
kemudian diganti menjadi "Muhammad" untuk disesuaikan dengan
bunyi ayat, "Dan membawa berita gembira kedatangan seorang
rasul sesudahku, namanya Ahmad," sebagai isyarat yang
terdapat dalam Injil tentang nabi yang akan datang sesudah
Isa. Dalam keterangannya penulis itu menambahkan bahwa
penyelidikan kaum Orientalis itu juga menunjukkan, bahwa
Nabi menderita penyakit ayan, dan apa yang disebut wahyu
yang diturunkan kepadanya itu tidak lain adalah akibat
gangguan ayan yang menyerangnya; dan bahwa gejala-gejala
penyakit ayan itu terlihat pada Muhammad ketika sedang tidak
sadarkan diri, keringatnya mengalir disertai kekejangan,
dari mulutnya keluar busa. Bila sudah kembali ia sadar
dikatakannya bahwa yang diterimanya itu adalah wahyu, lalu
dibacakan kepada mereka yang percaya pada apa yang diduga
wahyu dari Tuhan itu.

Sebenarnya saya tidak perlu menghiraukan karangan semacam ini
atau pada sanggahannya kalau tidak karena penulisnya itu
seorang Mesir dan Muslim pula. Andaikata penulisnya itu
seorang Orientalis atau misi penginjil, akan saya biarkan
saja ia bicara menurut kehendak nafsunya sendiri. Apa yang
sudah saya sebutkan pada kata pengantar dan dalam teks buku
ini sudah cukup sebagai argumen yang akan menggugurkan
pendapat mereka itu. Bagaimanapun juga penulis surat ini
adalah sebuah contoh dari sebagian pemuda-pemuda dan
orang-orang Islam yang begitu saja menyambut baik segala apa
yang dikatakan pihak Orientalis dan menganggapnya sebagai
hasil yang benar-benar ilmiah, dan berdasarkan kebenaran
sepenuhnya. Kepada mereka itulah tulisan ini saya alamatkan
sekadar mengingatkan tentang adanya kesalahan yang telah
dilakukan oleh kaum Orientalis. Ada pula kaum Orientalis
yang memang jujur dalam penyelidikan mereka, meskipun
tentunya tidak lepas dari kesalahan juga.

SEBAB-SEBAB KESALAHAN ORIENTALIS

Kesalahan-kesalahan demikian itu terselip dalam
penyelidikannya kadang disebabkan oleh kurang telitinya
memahami liku-liku bahasa Arab, kadang juga karena adanya
maksud yang tersembunyi dalam jiwa sebagian sarjana-sarjana
itu, yang tujuannya hendak menghancurkan sendi-sendi salah
satu agama, atau semua agama. Ini adalah sikap
berlebih-lebihan yang selayaknya dihindarkan saja oleh
kalangan cendekiawan. Kita melihat ada juga orang-orang
Kristen yang begitu terdorong oleh sikap berlebih-lebihan
ini sampai mereka mengingkari bahwa Isa pernah ada dalam
sejarah.

Yang lain kita lihat bahkan sudah melampaui batas-batas yang
berlebih-lebihan itu dengan menulis tentang Isa yang sudah
gila misalnya.

Timbulnya pertentangan antara gereja dengan negara di Eropa
itu telah pula menyebabkan kalangan sarjana di satu pihak
dan kaum agama di pihak lain hendak saling mencari
kemenangan dalam merebut kekuasaan.

Sebaliknya Islam, sama sekali bersih dari adanya
pertentangan serupa itu. Hendaknya mereka yang mengadakan
penyelidikan di kalangan Islam dapat menghindarkan diri dari
kekuasaan nafsu demikian ini, yang sebenarnya telah menimpa
orang-orang Barat, dan sering menodai penyelidikan
sarjana-sarjana itu. Juga hendaknya mereka berhati-hati bila
mempelajari hasil yang datang dari Barat, yang berhubungan
dengan masalah-masalah agama. Segala sesuatu yang telah
dilukiskan oleh para sarjana sebagai suatu kebenaran,
hendaklah diteliti lebih seksama. Banyak di antaranya yang
sudah terpengaruh begitu jauh, sehingga telah menimbulkan
permusuhan antara orang-orang agama dengan kalangan ilmu
pengetahuan secara terus-menerus selama berabad-abad.

BUKU BIOGRAFI PENULIS-PENULIS ISLAM SEBAGAI PEGANGAN

Apa yang disebutkan dalam karangan si Muslim berbangsa Mesir
yang saya ringkaskan itu sudah suatu bukti perlunya ada
sikap berhati-hati. Pertama-tama ia menyalahkan saya karena
saya masih berpegang pada sumber-sumber Arab sebagai dasar
penyelidikan saya; dan ini memang tidak saya bantah.
Sungguhpun begitu buku-buku kalangan Orientalis seperti yang
saya sebutkan dalam bibliografi, juga saya pakai. Akan
tetapi, sumber-sumber bahasa Arab selalu saya pergunakan
sebagai dasar pertama dalam pembahasan ini. Dan
sumber-sumber bahasa Arab ini jugalah yang dipakai sebagai
dasar pertama dalam penyelidikan-penyelidikan kaum
Orientalis itu semua.

Ini wajar sekali. Sumber-sumber tersebut - terutama sekali
Qur'an - adalah yang pertama sekali bicara tentang sejarah
hidup Nabi. Sudah tentu itu jugalah yang menjadi pegangan
dan dasar bagi setiap orang yang ingin menulis biografi
dengan gaya dan metoda sekarang. Baik Noldeke, Goldziher,
Weil, Sprenger, Muir atau Orientalis lain semua berpegang
pada sumber-sumber itu juga dalam penyelidikan mereka,
seperti yang saya lakukan ini. Dalam membuat pengamatan dan
kritik, mereka menempuh cara yang bebas, demikian juga saya.
Dalam hal ini juga saya tidak mengabaikan beberapa sumber
buku Kristen yang lama-lama yang menjadi pegangan mereka,
sekalipun mereka masih terdorong oleh fanatisma agama
Kristen, dan samasekali bukan oleh kritik ilmiah.

Kalau ada orang yang menyalahkan saya karena saya tidak
terikat oleh kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh
beberapa kaum Orientalis itu, atau karena saya sampai hati
tidak sependapat dengan mereka dan malah melakukan kritik
terhadap mereka, maka dalam bidang ilmiah yang demikian itu
adalah suatu pendirian yang beku sekali, yang tidak kurang
pula beku dan kolotnya dari pendirian yang bagaimanapun
dalam bidang intelektual ataupun rohani. Saya rasa tidak
seorangpun dari kalangan Orientalis itu sendiri yang akan
menyetujui sikap beku demikian itu dalam bidang ilmiah.
Andaikata ada di antara mereka yang dapat membenarkan sikap
demikian, tentu ia akan membenarkan juga sikap beku itu
dalam bidang agama.

Tidak saya inginkan dua hal ini terjadi, baik terhadap diri
saya atau terhadap siapapun yang mau bekerja dalam
penyelidikan sejarah atas dasar ilmiah yang sebenarnya. Apa
yang saya lakukan dan saya ajak orang lain akan dapat
melakukannya ialah mengamati hasil-hasil studi yang
dilakukan orang lain itu. Apabila ia sudah merasa puas oleh
pembuktian yang meyakinkan, maka tentu itulah yang kita
harapkan. Kalau tidak, lakukan sendirilah supaya ia dapat
mencapai kebenaran itu dengan keyakinan bahwa ia sudah
berhasil.

Ke arah inilah saya ajak pemuda-pemuda kita dan orang-orang
yang mengagumi hasil-hasil penyelidikan kaum Orientalis itu,
dan memang ini pula yang saya lakukan. Saya akan merasa
sudah mendapat imbalan sebagai orang yang berhasil,
sekiranya pekerjaan ini memang sudah tepat; sebaliknya saya
akan dapat dimaafkan kiranya sebagai orang yang mencari
kebenaran dengan tujuan yang jujur dalam menempuh jalan itu,
jika ternyata saya salah.

ORIENTALIS DAN KETENTUAN-KETENTUAN AGAMA

Sebagai bukti atas agitasi beberapa kaum Orientalis yang
ingin menghancurkan ketentuan-ketentuan agama dengan
cara-cara mereka yang berlebih-lebihan itu, ialah pendirian
si Muslim bangsa Mesir yang telah menulis karangan tersebut,
bahwa hasil-hasil studi kaum Orientalis itu menunjukkan,
bahwa Qur'an bukan suatu dokumen sejarah yang tidak boleh
diragukan, dan bahwa Qur'an sudah diubah-ubah setelah Nabi
wafat dan pada masa permulaan sejarah Islam, yang dalam pada
itu lalu ditambah-tambah dengan ayat-ayat untuk
maksud-maksud agama atau politik. Saya bukan mau berdiskusi
atau mau berdebat dengan penulis karangan itu dari segi
Islamnya dia sebagai Muslim - atas apa yang sudah ditentukan
oleh Islam, bahwa Qur'an itu Kitabullah, yang takkan
dikaburkan oleh kepalsuan, baik pada mula diturunkan atau
kemudian sesudah itu. Dia sependirian dengan golongan
Orientalis, bahwa Qur'an dikarang oleh Muhammad, padahal dia
percaya juga, bahwa Kitab itu adalah wahyu Allah kepada
Muhammad seperti pendapat beberapa kaum Orientalis, dan
karena ingin menguatkan isi karangannya atas apa yang
disebutnya itu, dikatakannya bahwa Qur'an menurut pendapat
yang sebagian lagi adalah memang wahyu Allah. Jadi baiklah
saya berdialog dengan dia menurut bahasanya atas dasar dia
sebagai orang yang berpikir bebas, yang tidak mau terikat
oleh apapun kecuali atas dasar yang telah dibuktikan oleh
ilmu pengetahuan dengan cara yang benar-benar meyakinkan.


QUR'AN TIDAK DIUBAH-UBAH

Ia percaya sekali kepada kaum Orientalis dan kepada pendapat
mereka. Memang ada segolongan Orientalis yang beranggapan
seperti yang dikutipnya itu. Tetapi anggapan mereka ini
menunjukkan, bahwa mereka terdorong oleh maksud-maksud yang
tak ada hubumgannya dengan ilmu pengetahuan. Hal ini sudah
bukan rahasia lagi. Sebagai bukti, cukup apa yang mereka
katakan, bahwa versi "Dan membawa berita gembira dengan
kedatangan seorang rasul sesudahku, namanya Ahmad," yang
tersebut dalam Surah "Ash-Shaf" (61) ayat 6, adalah
ditambahkan sesudah Nabi wafat untuk dijadikan bukti atas
kenabian Muhammad dan Risalahnya dari Kitab-kitab Suci
sebelum Qur'an.

Andaikata yang berpendapat demikian ini dari kalangan
Orientalis yang benar-benar jujur demi ilmu pengetahuan,
tentu tidak perlu mereka bersandar kepada argumen semacam
itu, yang bagi mereka juga berlaku bahwa Bible itu memang
kitab-kitab suci. Kalau mereka memang mau mencari ilmu untuk
ilmu, tentu akan mereka samakan Qur'an dengan kitab-kitab
suci sebelum itu, yakni menganggapnya sebagai kitab suci
juga dengan menyebutkan, bahwa kitab-kitab suci yang sudah
dikenal orang sebelumnya adalah wajar, tak perlu lagi
dibantah, atau menganggap kitab-kitab suci itu semua sama
juga dengan anggapannya terhadap Qur'an. Terhadap keduanya
itu pendapat merekapun tentu akan serupa, dengan menentukan
bahwa itu diadakan untuk maksud-maksud agama atau politik
tertentu juga. Andaikata memang ini pendapat mereka, maka
selesailah sudah logika demikian itu. Pendirian mereka
tentang adanya perubahan dalam Qur'an untuk maksud politik
dan agama tadi, dengan sendirinya jadi gugur pula.

Bagi kaum Muslimin tidak perlu lagi mencari bukti dari
kitab-kitab suci itu sesudah raja-raja mereka dan imperium
Kristen seperti juga bangsa-bangsa lain di dunia menerimanya
dan sesudah orang-orang Kristen sendiri beramai-ramai,
bahkan bangsa-bangsa secara keseluruhan, menganut agama
Islam. Inilah logika yang berlaku bagi penyelidikan yang
murni ilmiah.

Adapun adanya anggapan Taurat dan Injil itu kitab-kitab suci
dan menolak sifat demikian pada Qur'an, maka ini adalah hal
yang tak diterima oleh ilmu pengetahuan. Sedang pendapat
yang mengatakan adanya perubahan dalam Qur'an karena bukti
dari Taurat dan Injil, itu adalah omong-kosong, tidak pula
diterima oleh logika.

Dari kalangan Orientalis yang paling fanatik sekalipun,
sedikit sekali yang beranggapan seburuk itu. Sebaliknya
sebagian besar mereka sepakat, bahwa Qur'an yang kita baca
sekarang ini, itu jugalah Qur'an yang dibacakan oleh
Muhammad kepada kaum Muslimin semasa hidupnya, tanpa suatu
cacat atau perubahan apapun.- Mereka ingin sekali
menyebutkan hal ini, sekalipun - dalam bentuk kritik -
mereka kaitkan dengan cara pengumpulan Qur'an dan penyusunan
Surah-surah yang pembahasannya tentu di luar bidang studi
ini.

Kalangan Muslimin sendiri yang sudah mencurahkan
perhatiannya dalam seluk-beluk ilmu Qur'an telah menerima
bermacam-macam kritik dan sudah mereka tangkis pula. Adapun
yang mengenai masalah yang kita hadapi sekarang ini,
cukuplah kalau kita mengutip apa yang dikatakan kalangan
Orientalis sendiri dalam hal ini, kalau-kalau si Muslim
Mesir yang kita bicarakan artikelnya itu akan merasa puas,
demikian juga mereka yang masih berpikir semacam dia akan
turut merasa puas pula.

PENDAPAT MUIR

Sebenarnya apa yang diterangkan kaum Orientalis dalam hal
ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh
Sir William Muir dalam The Life of Mohammad supaya mereka
yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan
dalam memandang diri mereka yang biasanya menerima begitu
saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan
perubahan Qur'an itu, dapat melihat sendiri. Muir adalah
seorang penganut Kristen yang teguh dan yang juga berdakwah
untuk itu. Diapun ingin sekali tidak akan membiarkan setiap
kesempatan melakukan kritik terhadap Nabi dan Qur'an, dan
berusaha memperkuat kritiknya.

Ketika bicara tentang Qur'an dan akurasinya yang sampai
kepada kita, Sir William Muir menyebutkan:

"Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa
ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang
bersifat umum atau khusus. Melakukan pembacaan ini adalah
wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik
yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah
sunah pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan itu pula
yang telah diberitakan oleh wahyu. Oleh karena itu yang
hafal Qur'an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu banyak
sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka
pada awal masa kekuasaan Islam itu ada yang dapat membaca
sampai pada ciri-cirinya yang khas. Tradisi Arab telah
membantu pula mempermudah pekerjaan ini. Kecintaan mereka
luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang
datang dari para penyairnya tidak mudah dicapai, maka
seperti dalam mencatat segala sesuatu yang berhubungan
dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah
biasa pula mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran
hati mereka sendiri. Oleh karena itu daya ingat (memori)
mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu mereka
menerima Qur'an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup.
Begitu kuatnya daya ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai
pula dengan kemauan yang luar biasa hendak nnenghafal
Qur'an, sehingga mereka, bersama-sama dengan Nabi dapat
mengulang kembali dengan ketelitian yang meyakinkan sekali
segala yang diketahui dari pada Nabi sampai pada waktu
mereka membacanya itu."

"Sungguhpun dengan tenaga yang sudah menjadi ciri khas daya
ingatnya itu, kita juga bebas untuk tidak melepaskan
kepercayaan kita bahwa kumpulan itu adalah satu-satunya
sumber. Tetapi ada alasan kita yang akan membuat kita yakin,
bahwa sahabat-sahabat Nabi menulis beberapa macam naskah
selama masa hidupnya dari berbagai macam bagian dalam
Qur'an. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Qur'an
itu ditulis. Pada umumnya tulis-menulis di Mekah sudah
dikenal orang jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak
hanya seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan
kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang
dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang
jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya seorang
saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan
surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan
tulis-menulis kepada kaum Anshar di Medinah, sebagai
imbalannya mereka dibebaskan. Meskipun penduduk Medinah
dalam pendidikan tidak sepandai penduduk Mekah, namun banyak
juga di antara mereka yang pandai tulis-menulis sejak
sebelum Islam. Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah
saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa ayat-ayat
yang dihafal menurut ingatan yang sangat teliti itu, itu
juga yang dituliskan dengan ketelitian yang sama pula."

"Kemudian kitapun mengetahui, bahwa Muhammad telah mengutus
seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang sudah
menganut Islam, supaya mengajarkan Qur'an dan mendalami
agama. Sering pula kita membaca, bahwa ada utusan-utusan
yang pergi membawa perintah tertulis mengenai
masalah-masalah agama itu. Sudah tentu mereka membawa apa
yang diturunkan oleh wahyu, khususnya yang berhubungan
dengan upacara-upacara dan peraturan-peraturan Islam serta
apa yang harus dibaca selama melakukan ibadat."

PENULISAN QUR'AN PADA ZAMAN NABI

"Qur'an sendiripun menentukan adanya itu dalam bentuk
tulisan. Begitu juga buku-buku sejarah sudah menentukan
demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar, tentang
adanya sebuah naskah Surat ke-20 [Surah Taha] milik
saudaranya yang perempuan dan keluarganya. Umar masuk Islam
tiga atau empat tahun sebelum Hijrah. Kalau pada masa
permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling dipertukarkan,
tatkala jumlah kaum Muslimin masih sedikit dan mengalami
pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan sekali,
bahwa naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan
sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak
kekuasaannya dan kitab itu sudah menjadi undang-undang
seluruh bangsa Arab."

BILA BERSELISIH KEMBALI KEPADA NABI

"Demikian halnya Qur'an itu semasa hidup Nabi, dan demikian
juga halnya kemudian sesudah Nabi wafat; tetap tercantum
dalam kalbu kaum mukmin. Berbagai macam bagiannya sudah
tercatat belaka dalam naskah-naskah yang makin hari makin
bertambah jumlahnya itu. Kedua sumber itu sudah seharusnya
benar-benar cocok. Pada waktu itu pun Qur'an sudah sangat
dilindungi sekali, meskipun pada masa Nabi masih hidup,
dengan keyakinan yang luarbiasa bahwa itu adalah kalam
Allah. Oleh karena itu setiap ada perselisihan mengenai
isinya, untuk menghindarkan adanya perselisihan demikian
itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri. Dalam hal ini ada
beberapa contoh pada kita: 'Amr bin Mas'ud dan Ubayy bin
Ka'b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi wafat, bila
ada perselisihan, selalu kembali kepada teks yang sudah
tertulis dan kepada ingatan sahabat-sahabat Nabi yang
terdekat serta penulis-penulis wahyu."

PENGUMPULAN QUR'AN LANGKAH PERTAMA

"Sesudah selesai menghadapi peristiwa Musailima - dalam
perang Ridda - penyembelihan Yamama telah menyebabkan kaum
Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka
yang telah menghafal Qur'an dengan baik. Ketika itu Umar
merasa kuatir akan nasib Qur'an dan teksnya itu; mungkin
nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka yang
telah menyimpannya dalam ingatan itu, mengalami suatu hal
lalu meninggal semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah
Abu Bakr dengan mengatakan: "Saya kuatir sekali pembunuhan
terhadap mereka yang sudah hafal Qur'an itu akan terjadi
lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak
lagi dari mereka yang akan hilang. Menurut hemat saya,
cepat-cepatlah kita bertindak dengan memerintahkan
pengumpulan Qur'an."

"Abu Bakr segera menyetujui pendapat itu. Dengan maksud
tersebut ia berkata kepada Zaid bin Thabit, salah seorang
Sekretaris Nabi yang besar: "Engkau pemuda yang cerdas dan
saya tidak meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada
Rasulullah s.a.w. dan kau mengikuti Qur'an itu; maka
sekarang kumpulkanlah."

"Oleh karena pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar
dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali. Ia masih meragukan
gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain
melakukannya. Akan tetapi akhirnya ia mengalah juga pada
kehendak Abu Bakr dan Umar yang begitu mendesak. Dia mulai
berusaha sungguh-sungguh mengumpulkan surah-surah dan
bagian-bagiannya dari segenap penjuru, sampai dapat juga ia
mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas batu
putih, dan yang dihafal orang. Setengahnya ada yang
menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya dari yang ada
pada lembaran-lembaran, tulang-tulang bahu dan rusuk unta
dan kambing. Usaha Zaid ini mendapat sukses."

"Ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun terus-menerus,
mengumpulkan semua bahan-bahan serta menyusun kembali
seperti yang ada sekarang ini, atau seperti yang dilakukan
Zaid sendiri membaca Qur'an itu di depan Muhammad, demikian
orang mengatakan. Sesudah naskah pertama lengkap adanya,
oleh Umar itu dipercayakan penyimpanannya kepada Hafsha,
puterinya dan isteri Nabi. Kitab yang sudah dihimpun oleh
Zaid ini tetap berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks
yang otentik dan sah.

"Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara membaca,
yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi atau
karena perubahan yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah itu
yang disalin dari naskah Zaid. Dunia Islam cemas sekali
melihat hal ini. Wahyu yang didatangkan dari langit itu
"satu," lalu dimanakah sekarang kesatuannya? Hudhaifa yang
pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan, juga melihat
adanya perbedaan Qur'an orang Suria dengan orang Irak."
MUSHAF USMAN

"Karena banyaknya dan jauhnya perbedaan itu, ia merasa
gelisah sekali. Ketika itu ia lalu meminta agar Usman turun
tangan. "Supaya jangan ada lagi orang berselisih tentang
kitab mereka sendiri seperti orang-orang Yahudi dan
Nasrani." Khalifahpun dapat menerima saran itu. Untuk
menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin Thabit dimintai
bantuannya dengan diperkuat oleh tiga orang dari Quraisy.
Naskah pertama yang ada di tangan Hafsha lalu dibawa, dan
cara membaca yang berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran
Islam itupun dikemukakan, lalu semuanya diperiksa kembali
dengan pengamatan yang luarbiasa, untuk kali terakhir.
Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya dari
Quraisy itu, ia lebih condong pada suara mereka mengingat
turunnya wahyu itu menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan
wahyu itu diturunkan dengan tujuh dialek Arab yang
bermacam-macam."

"Selesai dihimpun, naskah-naskah menurut Qur'an ini lalu
dikirimkan ke seluruh kota persekemakmuran. Yang selebihnya
naskah-naskah itu dikumpulkan lagi atas perintah Khalifah
lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada
Hafsha."

PERSATUAN ISLAM ZAMAN USMAN

"Maka yang sampai kepada kita adalah Mushhaf Usman. Begitu
cermat pemeliharaan atas Qur'an itu, sehingga hampir tidak
kita dapati -bahkan memang tidak kita dapati- perbedaan
apapun dari naskah-naskah yang tak terbilang banyaknya, yang
tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam yang luas itu.
Sekalipun akibat terbunuhnya Usman sendiri - seperempat abad
kemudian sesudah Muhammad wafat - telah menimbulkan adanya
kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat
menggoncangkan kesatuan dunia Islam - dan memang demikian
adanya - namun Qur'an yang satu, itu juga yang selalu tetap
menjadi Qur'an bagi semuanya. Demikianlah, Islam yang hanya
mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa
apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah
teks yang telah dihimpun atas perintah Usman yang malang
itu.

"Agaknya di seluruh dunia ini tak ada sebuah kitabpun selain
Qur'an yang sampai duabelas abad lamanya tetap lengkap
dengan teks yang begitu murni dan cermatnya. Adanya cara
membaca yang berbeda-beda itu sedikit sekali untuk sampai
menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya terbatas
hanya pada cara mengucapkan huruf hidup saja atau pada
tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya timbul hanya
belakangan saja dalam sejarah, yang tak ada hubungannya
dengan Mushhaf Usman."

"Sekarang, sesudah ternyata bahwa Qur'an yang kita baca
ialah teks Mushaf Usman yang tidak berubah-ubah, baiklah
kita bahas lagi: Adakah teks ini yang memang persis
bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya
persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara membaca
yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting
itu? Segala pembuktian yang ada pada kita meyakinkan sekali,
bahwa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama
atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian
terhadap Usman sedikitpun, bahwa dia bermaksud mengubah
Qur'an guna memperkuat tujuannya. Memang benar, bahwa Syi'ah
kemudian menuduh bahwa dia mengabaikan beberapa ayat yang
mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tak dapat diterima
akal. Ketika Mushhaf ini diakui, antara pihak Umawi dengan
pihak Alawi (golongan Mu'awiya dan golongan Ali) belum
terjadi sesuatu perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam
masa itu benar-benar kuat tanpa ada bahaya yang
mengancamnya. Di samping itu juga Ali belum melukiskan
tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tak adalah
maksud-maksud tertentu yang akan membuat Usman sampai
melakukan pelanggaran yang akan sangat dibenci oleh kaum
Muslimin itu. Orang-orang yang memahami dan hafal benar
Qur'an seperti yang mereka dengar sendiri waktu Nabi
membacanya mereka masih hidup tatkala Usman mengumpulkan
Mushhaf itu. Andaikata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu
sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan
pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua alasan ini saja
sudah cukup untuk menghapus setiap usaha guna menghilangkan
ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah
berdiri sendiri sesudah Usman wafat, lalu mereka mengangkat
Ali sebagai Pengganti."

"Dapatkah diterima akal - pada waktu kemudian mereka sudah
memegang kekuasaan - bahwa mereka akan sudi menerima Qur 'an
yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja
pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun
begitu mereka tetap membaca Qur'an yang juga dibaca oleh
lawan-lawan mereka. Tak ada bayangan sedikitpun bahwa mereka
akan menentangnya. Bahkan Ali sendiripun telah memerintahkan
supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada
diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulisnya
dengan tangannya sendiri."

"Memang benar bahwa para pemberontak itu telah membuat
pangkal pemberontakan mereka karena Usman telah mengumpulkan
Qur'an lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan
selain Mushhaf Usman. Jadi tantangan mereka ditujukan kepada
langkah-langkah Usman dalam hal itu saja, yang menurut
anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi di balik itu
tidak seorangpun yang menunjukkan adanya usaha mau mengubah
atau menukar isi Qur'an. Tuduhan demikian pada waktu itu
adalah suatu usaha perusakan terang-terangan. Hanya kemudian
golongan Syi'ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan
mereka sendiri."

"Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan meyakinkan,
bahwa Mushhaf Usman itu tetap dalam bentuknya yang persis
seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih
disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan
dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan jauh-jauh bacaan-bacaan
selebihnya yang pada waktu itu terpencar-pencar di seluruh
daerah itu."

MUSHAF USMAN CERMAT DAN LENGKAP

"Tetapi sungguhpun begitu masih ada suatu soal penting lain
yang terpampang di depan kita, yakni: adakah yang
dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya
dan lengkap seperti yang diwahyukan kepada Muhammad?
Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini cukup memberikan
keyakinan, bahwa itu adalah susunan sebenarnya yang telah
selengkapnya dicapai waktu itu:"

"Pertama - Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan
Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang sahabat yang jujur dan
setia kepada Muhammad. Juga dia adalah orang yang sepenuhnya
beriman pada kesucian sumber Qur'an, orang yang hubungannya
begitu erat sekali dengan Nabi selama waktu duapuluh tahun
terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafat
dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari
gejala ambisi, sehingga baginya memang tak adalah tempat
buat mencari kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa
yang diwahyukan kepada kawannya itu adalah wahyu dari Allah,
sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu
itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya."

Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah
menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafatnya.
Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum
Muslimin waktu itu, tak ada perbedaan antara para penulis
yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang
mu'min biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di
atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua
kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin
memperlihatkan kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang
dibacakan oleh Nabi, bahwa itu adalah risalah dari Tuhan.
Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah
menjadi perasaan semua orang, sebab tak ada sesuatu yang
lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus
yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya
sebagai firman Allah. Dalam Qur'an terdapat
peringatan-peringatan bagi barangsiapa yang mengadakan
kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari
wahyuNya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum
Muslimin yang mula-mula dengan semangat mereka terhadap
agama yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas
pikiran yang akan membawa akibat begitu jauh membelakangi
iman."

"Kedua - Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga
tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa
orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu di luar
kepala, dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah
ada serombongan ahli-ahli Qur'an yang ditunjuk oleh
pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam guna
melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam
agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu mata rantai
penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu
dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja
bermaksud jujur dalam mengumpulkan Qur'an dalam satu Mushhaf
itu, tapi juga mempunyai segala fasilitas yang dapat
menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin
terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu,
yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna
dikumpulkan."

"Ketiga - Juga kita mempunyai jaminan yang lebih dapat
dipercaya tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni
bagian-bagian Qur'an yang tertulis, yang sudah ada sejak
masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah
naskahnyapun sudah banyak sebelum pengumpulan Qur'an itu.
Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan
mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa
yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan
langsung dibaca sesudah pengumpulannya. Maka logis sekali
kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang terkandung dalam
bagian-bagian itu, sudah tercakup belaka. Oleh karena itu
keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada
suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa
para penghimpun itu telah melalaikan sesuatu bagian, atau
sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa yang terdapat di
dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam Mushhaf yang
sudah dikumpulkan itu. Kalau yang demikian ini memang ada,
maka tidak bisa tidak tentu terlihat juga, dan tentu dicatat
pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat itu; tak
ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang penting."

"Keempat - Isi dan susunan Qur'an itu jelas sekali
menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang
bermacam-macarn disusun satu sama lain secara sederhana
tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat."

"Tak ada bekas tangan yang mencoba mau mengubah atau mau
memperlihatkan keahliannya sendiri. Itu menunjukkan adanya
iman dan kejujuran sipenghimpun dalam menjalankan tugasnya
itu. Ia tidak berani lebih daripada mengambil ayat-ayat suci
itu seperti apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di
samping yang lain."

"Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan
sekali ialah, bahwa Mushhaf Zaid dan Usman itu bukan hanya
hasil ketelitian saja, bahkan - seperti beberapa kejadian
menunjukkan - adalah juga lengkap, dan bahwa penghimpunnya
tidak bermaksud mengabaikan apapun dari wahyu itu. Juga kita
dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahwa
setiap ayat dari Qur'an itu, memang sangat teliti sekali
dicocokkan seperti yang dibaca oleh Muhammad."

Panjang juga kita mengutip kalimat-kalimat Sir William Muir
seperti yang disebutkan dalam kata pengantar The Life of
Mohammad (p.xiv-xxix) itu. Dengan apa yang sudah kita kutip
itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebutkan tulisan
Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sama
sependapat. Secara positif mereka memastikan tentang
persisnya Qur'an yang kita baca sekarang, serta menegaskan
bahwa semua yang dibaca oleh Muhammad adalah wahyu yang
benar dan sempurna diterima dari Tuhan. Kalaupun ada
sebagian kecil kaum Orientalis berpendapat lain dan
beranggapan bahwa Qur'an sudah mengalami perubahan, dengan
tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang dikemukakan Muir
dan sebagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari
sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu
adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki
saja terhadap Islam dan terhadap Nabi.

Betapapun pandainya tukang-tukang tuduh itu menyusun
tuduhannya, namun mereka tidak dapat meniadakan hasil
penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan caranya itu mereka
takkan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda
yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu
mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri,
memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh
kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang
mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak
mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.

CARA YANG SEBENARNYA DALAM MENGADAKAN PENYELIDIKAN

Sebenarnya kita dapat saja memberikan argumen-argumen
seperti yang dikemukakan oleh Sir Muir dan
Orientalis-orientalis lain, yang diambil dari sejarah Islam,
kemudian mengembalikan semua itu kepada sumbernya yang
semula. Tetapi kita sengaja mengutamakan kutipan itu dari
salah seorang Orientalis, mengingat pemuda-pemuda kita masih
sangat mendambakan segala yang datang dari Barat, tanpa
pengamatan lebih dalam. Ketelitian dalam penyelidikan ilmiah
dengan maksud baik hendak mencari kebenaran, seharusnya akan
mengantarkan orang ke jalan yang ditempuhnya itu semata-mata
untuk kebenaran, lepas dari segala pemalsuan. Seseorang yang
mau mengadakan penelitian harus menyelidiki benar-benar
sehingga ia sampai kepada kebenaran yang menjadi tujuannya
itu, tanpa terpengaruh oleh hawa nafsu dan tanpa teralang
oleh tradisi. Kaum Orientalis kadang memang berhasil mencari
kebenaran demikian, tapi kadang juga, karena tujuan-tujuan
tertentu, merekapun lalu menyimpang. Dan sebagian besar
memang begitu. Dalam hal-hal yang berhubungan dengan sejarah
Nabi kita mendapat kesempatan dalam buku ini mengadakan
penelitian lebih lanjut.

Baik juga kalau dalam kesempatan ini kita sebutkan bahwa
tugas seorang penyelidik tidak akan a priori menerima atau
menolak sesuatu masalah, sebelum penelitian atau
penyelidikannya itu benar-benar meyakinkan bahwa ia sudah
sepenuhnya puas dengan kenyataan yang dicapainya itu tanpa
ada kekurangan. Seorang ahli sejarah dalam hal ini tidak
berbeda dengan sarjana dalam ilmu pengetahuan lainnya atau
dalam bidang-bidang fisika. Penulis sejarah dalam hal ini
seharusnya mempelajari buku-buku Orientalis, juga buku-buku
sarjana-sarjana Islam.

Apabila untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan itu kita
diharuskan mengadakan kritik dan pengamatan terhadap
hasil-hasil peninggalan penulis-penulis Arab dan
penulis-penulis Islam seperti dalam ilmu kedokteran,
astronomi, kimia dan sebagainya, lalu kita menolak mana yang
tidak dapat diterima oleh kritik ilmiah, dan menerima mana
yang dapat dibuktikan oleh cara-cara kritik demikian itu,
maka untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan dalam bidang
sejarah inipun kita berkewajiban pula meneliti benar-benar,
sekalipun yang berhubungan dengan sejarah Nabi s.a.w.
Seorang penulis sejarah bukan hanya sekadar menyalin saja,
tapi juga harus membuat kritik terhadap yamg disalinnya itu.
Ia harus mengadakan penelitian guna mengetahui kebenaran
yang ada sesungguhnya. Kritik adalah langkah kepada
penelitian itu.

IImu dan pengetahuan adalah dasar kritik dan penelitian.
Sesudah kita mengadakan penelitian seperti yang kita
kutipkan mengenai Qur'an dan akurasinya, kita tinggalkan
dulu artikel si Muslim Mesir, yang begitu percaya atas
segala yang ditulis oleh Orientalis mengenai ayat-ayat yang
katanya ditambahkan ke dalam Qur'an, juga tentang nama Nabi
yang katanya Qutham atau Quthama itu. Kata-kata demikian ini
bukanlah karena terdorong oleh rasa kebenaran, melainkan
karena nafsu belaka.
FITNAH SEKITAR AYAN

Baiklah kita kembali sekarang pada titik persoalan terakhir
dalam sanggahan si Muslim Mesir itu. Dia menyebutkan, bahwa
hasil penyelidikan kaum Orientalis itu menunjukkan, bahwa
Nabi menderita penyakit ayan. Gejala-gejala demikian itu
tampak padanya ketika ia tidak sadarkan diri, keringatnya
mengucur dengan disertai kekejangan-kekejangan dan busa yang
keluar dari mulutnya. Apabila ia sudah sadar kembali, ia
lalu membacakan apa yang dikatakannya wahyu Tuhan kepadanya
itu - kepada orang-orang yang mempercayainya. Padahal yang
dikatakan wahyu itu tidak lain ialah akibat
serangan-serangan ayan tersebut.

KEMBALI KEPADA ILMU PENGETAHUAN

Menggambarkan apa yang terjadi pada Muhammad pada waktu
datangnya wahyu dengan cara yang demikian itu, dari segi
ilmiah adalah samasekali salah. Serangan penyakit ayan tidak
akan meninggalkan sesuatu bekas yang dapat diingat oleh si
penderita selama masa terjadinya itu. Bahkan sesudah ia
sadar kembali pun samasekali dia lupa apa yang telah terjadi
selama itu. Dia tidak ingat apa-apa lagi, apa yang terjadi
dan apa yang dilakukannya selama itu. Sebabnya ialah, segala
pekerjaan saraf dan pikirannya sudah menjadi lumpuh total.
Inilah gejala-gejala ayan yang dibuktikan oleh ilmu
pengetahuan. Jadi bukan yang dialami Nabi Muhammad selama
menerima wahyu. Bahkan selama itu inteleknya sedang dalam
puncak kesadarannya. Dengan sangat teliti sekali ia ingat
semua yang diterimanya dan sesudah itu dibacakannya kembali
kepada sahabat-sahabatnya.

Dengan kesadaran rohani yang besar itu, samasekali ia tidak
dibarengi oleh ketidaksadaran jasmani. Bahkan sebaliknya
yang terjadi, pada waktu itu Nabi sedang dalam puncak
kesadarannya yang biasa. Cukuplah kalau kita tunjukkan saja
pada apa yang kita sebutkan dalam buku ini tentang turunnya
Sarah al-Fath (48) yaitu ketika kaum Muslimin kembali dari
Mekah ke Medinah sesudah Perjanjian Hudaibiya.

Jadi ilmu pengetahuan dalam hal ini membantah bahwa Muhammad
dihinggapi penyakit ayan. Yang mengatakan demikian dari
kalangan Orientalispun hanya sebagian kecil saja. Mereka
itulah yang mengatakan bahwa Qur'an sudah diubah. Mereka
mengatakan begitu bukan karena ingin mencari kebenaran,
melainkan menurut dugaan mereka dengan demikian mereka mau
merendahkan martabat Nabi di mata segolongan kaum Muslimin.
Ataukah dengan kata-kata itu mereka mengira, bahwa mereka
telah menyebarkan keragu-raguan atas wahyu yang diturunkan
kepada Muhammad, sebab turunnya itu -menurut dugaan mereka-
waktu ia sedang mendapat serangan ayan? Kalau memang begitu,
ini adalah suatu kesalahan besar pada mereka, seperti sudah
kita sebutkan. Pendapat mereka inilah yang secara ilmiah
telah samasekali tertolak.

Kalau yang dipakai pedoman olelm kaum Orientalis demikian
itu adalah tujuan yang murni, tentu mereka tidak akan
membawa-bawa ilmu yang bertentangan dengan itu. Mereka
melakukan itu mau mengelabui orang-orang yang belum
penguasai pengetahuan tentang gejala-gejala ayan, dan mereka
yang cara berpikirnya masih sederhana yang sudah merasa puas
dengan apa yang telah dikatakan oleh kaum Orientalis itu,
tanpa mau bertanya-tanya kepada para ahli dari kalangan
kedokteran atau mau membaca buku-buku tentang itu. Kalau
saja mereka mau melakukan itu, sebenarnya tidak sulit buat
mereka untuk menemukan kesalahan kaum Orientalis itu -
disengaja atau tidak disengaja. Mereka akan melihat bahwa
kegiatan rohani dan intelek manusia akan sama sekali
tertutup selama terjadi krisis ayan. Sipenderita dibiarkan
dalam keadaan mekanik semata, bergerak-gerak seperti sebelum
mendapat serangan, atau meronta-ronta kalau serangannya itu
sudah bertambah keras sehingga dapat mengganggu orang lain.
Dalam pada itu, diapun kehilangan kesadarannya. Ia tidak
sadar apa yang diperbuatnya dan apa yang terjadi terhadap
dirinya. Ia seperti orang yang sedang tidur, tidak merasakan
gerak-geriknya sendiri. Bila itu sudah berlalu, iapun tidak
ingat apa-apa lagi.

KADANG ILMU YANG TIDAK CUKUP

Ini tentu berbeda dengan suatu kegiatan rohani yang begitu
kuat membawanya jauh ke alam ilahiah, dengan penuh kesadaran
dan suasana intelek yang meyakinkan. Apa yang diwahyukan
kepadanya itu, kemudian dapat diteruskan. Sebaliknya ayan,
melumpuhkan seluruh kesadaran manusia. Ia membawa orang
berada dalam tingkat mekanik, yang selama itu perasaan dan
kesadarannya menjadi hilang. Tidak demikian halnya dengan
wahyu, yang merupakan puncak ketinggian rohani, yang khusus
diberikan Tuhan kepada para nabi. Kepada mereka
kenyataan-kenyataan alam positif yang tertinggi itu
diberikan, supaya kemudian disampaikan kepada umat manusia.
Kadang ilmu pengetahuan sampai juga memahami beberapa
kenyataan-kenyataan itu, mengetahui ketentuan-ketentuan dan
rahasianya - sesudah lampau beberapa generasi dan beberapa
abad. Kadang juga ilmu pengetahuan belum dapat
menjangkaunya. Sungguhpun begitu itu adalah kenyataan
positif, yang dapat dimasuki hanya oleh hati nurani
orang-orang beriman, yang percaya kepada kebenarannya. Dalam
pada itu ada juga hati yang tetap tertutup rapat dan tidak
mengetahui atau karena memang tidak mau mengindahkannya.

Kita dapat mengerti bila Orientalis-orientalis itu berkata,
bahwa wahyu ialah suatu gejala psikologi tersendiri dalam
penilaian ilmu pengetahuan yang sampai ke tangan kita hingga
saat sekarang. Jadi, adalah hal yang tidak mungkin dapat
ditafsirkan dengan cara ilmu. Tetapi bagaimanapun juga
pendapat ini menunjukkan, bahwa pengetahuan kita - dengan
ruang lingkupnya yang luas - masih merasa terbatas akan
menafsirkan bagian terbesar dari gejala-gejala spiritual dan
psikologis itu. Buat ilmu pengetahuan ini bukan suatu cacat,
juga bukan hal yang aneh. Ilmu pengetahuan kita masih
terbatas dalam menafsirkan beberapa gejala alam yang dekat
pada kita. Kodrat matahari, bulan, bintang-bintang,
tata-surya dan lainnya dalam ilmu pengetahuan, masih
merupakan hipotesa-hipotesa penemuan. Semua benda cakrawala
ini sebagian ada yang dapat kita lihat dengan mata
telanjang, dan tidak sedikit pula yang masih tersembunyi,
yang baru akan dapat kita lihat bila menggunakan alat
peneropong. Sampai abad yang lalu banyak sekali
penemuan-penemuan yang masih dianggap sebagai suatu ciptaan
khayal belaka, tak ada jalan akan dapat dijelmakan depan
mata kita. Tetapi ternyata sekarang sudah menjadi kenyataan.
Malah kita menganggap sebagai hal yang mudah saja. Adanya
gejala-gejala spiritual dan psikologis sekarang menjadi
sasaran pengamatan para sarjana. Tetapi ini belum lagi dapat
dikuasai oleh ilmu, dan hukumnya yang positifpun juga belum
ditemukan.

Sering kita membaca tentang beberapa masalah yang sudah
diketahui oleh para sarjana dan sudah diterima. Tetapi
kemudian ternyata bahwa dalam hukum alam yang berlaku
menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan belum lagi memberikan
arti yang meyakinkan. Psikologi misalnya, dalam menghadapi
beberapa masalah, secara umum masih belum mempunyai hukum
yang pasti. Kalau ini terjadi dalam kehidupan biasa, maka
langkah cepat-cepat mau menafsirkan gejala-gejala seluruh
hidup dengan cara ilmiah adalah suatu usaha yang memang
sia-sia saja, suatu penghamburan yang patut dicela.

MENYERANG MUHAMMAD KARENA GAGAL MENYERANG AJARANNYA

Datangnya wahyu yang pernah disaksikan oleh beberapa kaum
Muslimin selama masa hidup Muhammad - demikian juga Qur'an -
setiap dibacakan kepada mereka, ternyata menambah keteguhan
iman mereka. Di antara mereka itu terdapat juga orang Yahudi
dan Nasrani. Sesudah lama terjadi debat dan diskusi dengan
Nabi, kemudian merekapun mempercayai. Sekitar risalah dan
masalah waktu itu tak ada yang mereka tolak. Memang ada
segolongan orang-orang Quraisy yang berusaha menuduh hal itu
sebagai perbuatan sihir dan gila. Tetapi kemudian merekapun
mengakui, bahwa dia bukan tukang sihir dan bukan pula orang
gila. Merekapun lalu jadi pengikutnya dan beriman atas
ajakan itu. Inilah yang sudah pasti dan meyakinkan.

Jadi sekarang yang tak dapat diterima oleh ilmu, dan
bertentangan dengan kaidah-kaidah yang ilmiah ialah sikap
mengingkari terjadinya wahyu itu dan merendahkan orang yang
menerimanya disertai kecaman dengan pelbagai rupa. Inilah
yang justru bertentangan dengan ilmu.

Seorang sarjana yang sungguh-sungguh bertujuan mencari
kebenaran, tidak dapat berkata lain daripada suatu penegasan
bahwa apa yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan sampai
sekarang, masih terbatas sekali, belum dapat menguraikan
wahyu itu dengan cara ilmiah. Akan tetapi, begaimanapun
juga, ilmu tak dapat menolak terjadinya gejala-gejala wahyu,
seperti yang dilukiskan oleh sahabat-sahabat Nabi dan
penulis-penulis lain pada permulaan sejarah Islam itu.
Kalaupun ada yang mengingkarinya, ia berusaha mencari dalih
dengan menggunakan ilmu sebagai senjata yang sia-sia dengan
sikap keras kepala. Sikap keras kepala dengan ilmu
sebenarnya takkan pernah bertemu.

Kalau sikap yang menyedihkan ini harus menjurus kepada
sesuatu maka sesuatu itu ialah nafsu mereka yang keras
hendak menanamkan syak ke dalam hati orang tentang Islam.
Agama ini sendiri tidak dapat mereka serang. Mereka telah
menyaksikan, betapa kuat dan luhurnya agama ini, dengan
sifatnya yang sederhana dan serba mudah yang justru menjadi
dasar kekuatannya.

Oleh karena itu, mereka lalu menggunakan cara orang yang
lemah. Mereka tak mampu menyerang jejak yang sungguh besar
itu, mereka lalu menyerang orang yang meninggalkan jejak
itu. Ini adalah kelemahan yang tidak seharusnya menjadi
pegangan seorang sarjana. Dalam pada itu ia juga
bertentangan dengan hukum kodrat insani. Kodrat manusia
ialah memperhatikan jejak itu sendiri saja, menikmati
buahnya tanpa ia harus bersusah payah mencari-cari
asal-usulnya atau mencari-cari apa yang menyebabkan hal itu
terjadi atau tumbuh. Dengan demikian mereka tidak perlu
menyusahkan diri mencari-cari asalnya pohon yang telah
menghasilkan buah-buahan yang disukainya itu, atau tentang
pupuk yang menyebabkan pohon tersebut jadi subur, selama
tidak terpikirkan olehnya akan menanam pohon lain yang lebih
enak buahnya.

Ketika orang mengadakan pembahasan tentang filsafat Plato
atau tentang drama Shakespeare atau karya-karya Raphael
misalnya, orang tidak perlu mencari bahan kecamannya pada
kehidupan orang-orang besar itu - yang menjadi lambang
kemegahan dan kebanggaan umat manusia - kalau dalam
karya-karyanya itu tak ada yang dapat dijadikan sasaran
kecamannya. Kalau mereka mencari bahan kecaman yang tidak
punya dasar kebenaran, mereka takkan dapat mencapai tujuan.
Kalau niat jahat atau rasa dengki itu juga yang mereka
perlihatkan, argumentasi mereka akan jatuh dan orangpun
takkan mau mendengarkan. Hal ini takkan berubah hanya dengan
menuangkan rasa dengki itu ke dalam pola ilmu. Sifat dengki
itu tidak pernah mengenal kebenaran. Menyedihkan sekali
tentunya bila perasaan dengki itu juga yang menjadi sumber
kebenaran. Inilah dasar kecaman Orientalis-orientalis itu
terhadap Nabi, Rasul penutup itu. Tetapi dengan demikian
kecaman mereka itupun jadi gugur samasekali.

Sekarang saya sudahi sanggahan saya ini terhadap pendapat
Orientalis-orientalis yang oleh si Muslim orang Mesir itu
dijadikan pegangan dalam penulisan artikelnya. Sudah saya
kemukakan dalil-dalil kelemahan pendapat mereka itu.
PERTIMBANGAN MEREKA YANG AKTIF DALAM SOAL-SOAL ISLAM

Baiklah sekarang saya pindah kebahagian lain dalam tinjauan
ini. Sesudah cetakan pertama buku ini terbit, beberapa
kalangan Islam yang aktif dalam bidang pengetahuan agama,
memberikan pula pendapatnya.

Menurut hemat saya kecaman-kecaman rendah semacam ini, yang
tak dapat diterima oleh ilmu pengetahuan, hendaknya tidakkan
berulang lagi. Terhadap kaum Orientalis barangkali masih
dapat dimaafkan, terutama atas tindakan mereka yang sebelum
itu memang sangat berlebih-lebihan. Mereka merasa, bahwa
mereka menulis buat orang-orang Kristen Eropa. Dengan
demikian pada waktu itu mereka telah menjalankan suatu tugas
nasional atau tugas agama. Mereka didorong oleh keyakinan
mereka, dengan memperkosa ilmu pengetahuan sebagai alat
dalam melaksanakan tugasnya itu.

Tetapi sekarang, dengan adanya komunikasi via telegram dan
radio, via pers dan mass media lainnya ke seluruh penjuru
dunia, segala apa yang diterbitkan atau diucapkan orang di
Eropa atau di Amerika sudah dapat ditangkap hari itu atau
saat itu juga di negeri-negeri lain di Timur. Mereka yang
ingin memperoleh pengetahuan dan kenyataan sebenarnya,
seharusnya segala kabut nasional, rasial dan agama
disingkirkan dari depan mata dan dari dalam hati mereka.
Mereka hendaknya dapat memperkirakan bahwa apa yang mereka
katakan atau mereka tulis, akan secepatnya diketahui oleh
semua orang. Di segenap penjuru bumi orang akan mengujinya
dan menerima dengan sikap kritis. Biarlah, kebenaran yang
sebenarnya tidak terikat oleh apapun itulah yang akan
menjadi pedoman kita semua. Kita arahkan semua perhatian
kita pada suatu ikatan masa lampau dan masa datang umat
manusia, bahwa itu adalah suatu kesatuan keluarga besar yang
mengarah kepada pelaksanaan tujuan yang lebih tinggi, yang
dinanti-nantikan oleh segenap manusia sejak pertumbuhannya
yang pertama; suatu ikatan persaudaraan yang merdeka di
bawah naungan kebenaran dan keindahan. Inilah satu-satunya
ikatan yang akan menjamin tercapainya tujuan umat manusia
dalam peredaran sejarahnya yang begitu pesat ke arah
kebahagiaan dan kesempurnaan itu.

Sementara ada orang-orang yang begitu percaya pada apa yang
dilontarkan oleh kaum Orientalis secara berlebih-lebihan itu
menyalahkan kami, karena kami katanya begitu terikat dan
berpegang pada sumber-sumber berbahasa Arab, maka mereka
yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam juga
menyalahkan kami, karena kami katanya terlalu berpegang pada
pendapat-pendapat kaum Orientalis; bahwa kami katanya tidak
memperhatikan segala yang diceritakan oleh buku-buku hadis
bertalian dengan sejarah hidup Nabi dan bahwa kami tidak
memakai cara seperti yang ada dalam buku-buku sejarah lama
itu.

Atas dasar ini sebagian mereka telah mengemukakan
pendapat-pendapat, yang kebanyakannya disampaikan dengan
cara yang lemah-lembut dan baik sekali dengan tujuan hendak
mencari kebenaran. Sebagian lagi, karena keras kepala atau
bodoh, tidak mau mengalah kepada yang lebih berpengetahuan.
Adapun mereka yang memberikan kritik dengan lemah-lembut,
kebanyakan dititik beratkan pada, bahwa apa yang diterangkan
dalam buku-buku sejarah dan Hadis Nabi tentang
mujizat-mujizat, tidak ada kami sebutkan. Bahkan kami
sebutkan pada penutup cetakan pertama: "Sejarah hidup
Muhammad adalah sejarah hidup manusia yang telah sampai ke
puncak tertinggi yang pernah dicapai seorang manusia. Pada
waktu itu Muhammad s.a.w. suka hati karena kaum Muslimin
menghargainya sebagai manusia biasa seperti mereka, hanya
diberi wahyu. Ia tidak suka apabila ia akan
dihubung-hubungkan kepada sesuatu mujizat selain Qur'an. Hal
ini dinyatakannya kepada para sahabat." Pada bahagian cerita
membelah dada ada kita katakan:

"Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan
pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup
Muhammad sifatnya adalah manusia semata-mata dan bersifat
peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat
kenabiannya itu memang tidak perlu harus bersandar kepada
hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang suka
kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan
sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum
Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu.
Mereka berpendapat, bahwa apa yang telah dikemukakan itu
tidak sejalan dengan yang diminta oleh Qur'an, yakni supaya
merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan
takkan ada yang berubah-ubah. Jadi tidak sesuai dengan
ekspresi Qur'an tentang kaum musyrik yang tidak mau
mendalami dan tidak mau mengeti juga."

Mereka yang mengkeritik saya dengan cara lemah-lembut itu di
antaranya ada juga yang menyalahkan, karena saya mengambil
kecaman-kecaman kaum Orientalis terhadap Nabi itu sebagai
pengantar untuk menyanggah mereka, sedang bunyi kecaman itu
menurut hemat mereka tidak sesuai dengan penghargaan dan
penghormatan yang harus mereka berikan kepada Nabi a.s.
Adapun mereka yang cuma memaki-maki sudah memang ada sebelum
cetakan pertama buku ini terbit, dan sebelum pembahasan ini
dikumpulkan menjadi buku.

SELAWAT KEPADA NABI

Dalam menyalahkan saya yang paling keras mereka lakukan
ialah karena pembahasan saya ini saya beri judul Sejarah
Hidup Muhammad tanpa saya berikutkan ucapan sallallahu
'alaihi wasallama (s.a.w.), ucapan Salam dan Selawat kepada
Rasulullah, sekalipun sambil tulisan ini berjalan sudah
beberapa kali saya sebutkan. Saya rasa mereka baru reda dari
memaki-maki itu sesudah pada judul cetakan pertama saya
hiasi dengan ayat Qur'an: "Allah dan para malaikat
memberikan rahmat kepada Nabi. Orang-orang beriman,
berikanlah selawat dan salam kepadanya" (Qur'an, 33: 56)
dan sesudah buku ini mengemukakan sejarah hidup Nabi dengan
metoda seperti apa adanya sekarang.

Akan tetapi mereka masih bersikeras juga dengan pendirian
mereka itu. Dengan begitu, dengan sikap keras kepala dan
kebodohan mereka tentang esensi Islam itu menunjukkan, bahwa
mereka sudah cukup merasa puas hanya dengan ikut saja apa
yang mereka terima dari nenek-moyang dahulu kala.

Baik kita mulai sekarang dengan menyanggah pandangan yang
salah ini dengan harapan tidak akan terulang lagi dilakukan
orang, baik oleh pihak bersangkutan di atas atau oleh pihak
lain dalam menanggapi buku apapun yang terbit. Kita mulai
sanggahan ini dengan kembali kepada buku-buku kaum
cendekiawan Islam terkemuka supaya orang mengetahui sampai
di mana taraf ketinggian Islam itu, yang sebenarnya tidak
terbatas hanya pada kata-kata saja, melainkan sudah dapat
menempatkan nilai hadis: "Bahwasanya agama ini kukuh sekali.
Tanamkanlah dalam-dalam dengan lemah-lembut. Sebenarnya
orang yang terputus dalam perjalanan takkan mencapai tujuan,
binatang bebanpun binasa." Dalam Kulliat-nya Abu'l-Baqa'
menerangkan, bahwa "penulisan ash-shalat (s.a.w.) dalam
buku-buku dahulu terjadi pada masa kekuasaan Abbasia. Oleh
karena itu, yang ada dalam kitab-kitab Bukhari dan yang lain
tidak mempergunakan kata-kata itu." Para Imam sebagian besar
sepakat, bahwa Selawat kepada Nabi cukup sekali saja
diucapkan orang selama hidupnya. Ibn Najm dalam Al-Bahru'r
Ra'iq menyebutkan: "Perintah dalam firman Tuhan 'ucapkan
selawat dan salam kepadanya' kewajibannya berlaku sekali
saja selama hidup, baik dalam sembahyang atau di luar itu.
Tentang ini tak ada perselisihan pendapat."

Adanya perbedaan pendapat antara Syafi'i dan yang lain
tentang kewajiban mengucapkan selawat kepada Nabi, berlaku
selama dalam sembahyang, bukan di luar itu. Selawat ialah
doa, artinya mudah-mudahan Allah memberi rahmat dan salam
kepada Nabi."

Demikian sumber para Imam dan ulama Islam menyebutkan
mengenai masalah ini. Adanya dugaan bahwa mengucapkan
selawat kepada Nabi pada setiap menyebutkan dan menuliskan
namanya merupakan suatu keharusan menunjukkan, bahwa dalam
hal ini mereka bersikap sangat berlebih-lebihan. Akibat dari
kesalahan mereka itu, maka mereka yang mengikutinya akan
salah pula jika mereka mengetahui apa yang sudah kita
sebutkan tadi. Ahli-ahli hadis terkemuka tidak menuliskan
kata-kata selawat itu dalam kitab-kitab mereka yang
mula-mula.

MENANGKIS KECAMAN

Mereka yang berpendapat bahwa tidak selayaknya menyebutkan
kecaman-kecaman kaum Orientalis dan misi penginjil terhadap
Nabi yang mulia ini sebagai pendahuluan untuk menyanggah
mereka, pendapat ini tidak punya dasar selain dan pada rasa
sentimen keislaman yang mereka agung-agungkan. Sedang dari
segi ilmu dan agama, dasarnya tidak ada. Apa yang dikatakan
kaum musyrik tentang Nabi, Qur'an menyebutkannya, lalu
menyanggahnya dengan argumen yang kuat. Jadi, moral Qur'an
adalah moral yang lebih sesuai dan tinggi adanya. Qur'an
menyebutkan tuduhan Quraisy terhadap Muhammad sebagai tukang
sihir dan gila: "Kami mengetahui benar, bahwa mereka
berkata: 'Hanyalah seorang manusia yang mengajarkannya.'
Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan itu adalah bahasa
asing, sedang ini adalah bahasa Arab yang jelas sekali"
(Qur'an 16: 103). Hal semacam ini sering sekali ter]adi.

Selanjutnya alasan tuduhan mereka itu tidak akan dapat
ditangkis secara ilmiah, kalau tidak disebutkan dan dicatat
secara jujur dan teliti. Dengan buku ini saya mencoba
mengemukakan pembahasan ilmiah guna mencari kenyataan ilmiah
semata. Juga saya maksudkan supaya dibaca baik oleh kaum
Muslimin atau bukan.

Hendaknya mereka semua dapat diyakinkan tentang kenyataan
ilmiah ini. Hal ini baru akan tercapai bilamana
pembahasannya benar-benar bersih dalam kecenderungannya
mencari kebenaran itu, tidak terikat oleh apapun selain oleh
kecenderungan tersebut, dan tidak pula ragu-ragu mengakui
kebenaran itu dan manapun datangnya.
BUKU-BUKU SEJARAH DAN BUKU-BUKU HADIS

Sekarang kita kembali ke pokok pertama, kepada mereka yang
aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam, yang mengkritik
saya dengan cara lemah-lembut dan dengan cara yang baik itu.
Mereka mengatakan, bahwa saya tidak menuruti apa yang ada
dalam buku-buku sejarah hidup Nabi dan kitab-kitab hadis.
Dalam mengungkapkan berbagai peristiwa saya tidak menempuh
cara yang sudah ada.

Dalam hal ini cukuplah kiranya bila saya jawab, bahwa dalam
pembahasan ini saya memakai metoda ilmiah, saya tulis dengan
gaya zaman kini. Yang demikian ini saya lakukan, karena
inilah cara yang baik menurut pandangan ilmu pengetahuan
yang berlaku sekarang dengan berbagai macam cabangnya, baik
yang berkenaan dengan sejarah atau tidak. Bagi saya - dan
ini pendirian saya - tidak perlu kita terikat pada buku-buku
lama. Antara kedua cara dan cara-cara lama dengan yang
berlaku sekarang terdapat perbedaan yang besar sekali.
Secara mudahnya, dalam buku-buku lama tidak dibenarkan
adanya kritik seperti yang berlaku sekarang. Kebanyakan
buku-buku lama ditulis untuk suatu maksud keagamaan dalam
arti ubudiah, sementara penulis-penulis dewasa ini terikat
oleh metoda dan kritik-kritik ilmiah. Ini saja sudah cukup
buat saya menangkis setiap tantangan dan sekaligus
membenarkan metoda yang saya pakai dalam penyelidikan ini.
Tetapi saya pikir ada baiknya juga saya jelaskan barang
sedikit sehubungan dengan sebab-sebab yang membawa ahli-ahli
pikir dari pemuka-pemuka Islam masa lampau itu - dan masa
kini - juga yang membawa setiap penyelidik yang teliti -
untuk tidak secara serampangan mengambil begitu saja apa
yang ada dalam buku-buku sejarah dan buku-buku hadis. Kita
terikat pada kaidah-kaidah kritik ilmiah demikian ialah guna
menghindarkan diri dari kesalahan sedapat mungkin.

Sebab pertama yang menimbulkan perbedaan yang terdapat dalam
buku-buku itu ialah; banyaknya peristiwa-peristiwa dan
hal-hal yang terjadi, yang dihubung-hubungkan kepada Nabi
sejak ia lahir hingga wafatnya. Mereka yang mempelajari
buku-buku ini melihat adanya beberapa berita yang
ajaib-ajaib, mujizat-mujizat dan cerita-cerita lain semacam
itu. Di sana-sini ditambah atau dikurangi tanpa alasan yang
tepat, kecuali perbedaan-perbedaan waktu ketika buku-buku
tersebut ditulis. Buku-buku lama tidak seberapa banyak
menghidangkan cerita yang aneh-aneh itu dibandingkan dengan
buku-buku yang datang kemudian. Peristiwa-peristiwa yang
serba ajaib yang terdapat dalam buku-buku lama tidak begitu
jauh dari jangkauan akal, dibandingkan dengan yang terdapat
dalam buku penulis-penulis yang belakangan. Buku Sirat Ibn
Hisyam misalnya - sebagai buku biografi tertua yang pernah
dikenal sampai sekarang - tidak banyak menyebutkan apa yang
disebutkan oleh Abu'l-Fida' dalam Tarikh-nya, atau seperti
apa yang disebutkan oleh Qadzi Iyadz dalam Asy-Syifa', juga
seperti yang disebutkan dalam buku penulis-penulis kemudian.

KONTRADIKSI

Begitu juga tentunya tentang buku-buku hadis dengan segala
perbedaannya yang ada. Ada yang mengemukakan satu cerita,
yang lain menghilangkannya, ada pula yang menambahkan. Dalam
mengadakan pembahasan ilmiah dalam buku-buku demikian
seorang penyelidik harus membuat sebuah kriterium yang dapat
mengukur mana-mana yang cocok dan mana pula yang tidak.
Mana-mana yang dapat dipercaya oleh kriterium itu, itu pula
yang diakui oleh penyelidik tersebut. Mana-mana yang tidak
dapat dipercaya, ia akan dimasukkan ke dalam daftar
pengujian kalau memang perlu diuji.

Dalam beberapa hal orang-orang dahulu memang menggunakan
metoda ini, dan dalam hal yang lain tidak. Tentang cerita
gharaniq misalnya yang menyebutkan bahwa ketika Nabi merasa
kesal terhadap kepada pemuka-pemuka Quraisy maka lalu
dibacakan Surah "an-Najm." Ketika sampai pada ayat "Adakah
kamu perhatikan al-Lat dan al-'Uzza, dan Manat ketiga, yang
terakhir?" (Qur'an 53:19-20) dibacanya pula, "Dan itu
gharaniq yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan."
Kemudian pembacaan Surah itu diteruskan sampai selesai. Nabi
lalu sujud diikuti oleh kaum Muslimin dan kaum musyrik yang
juga sama-sama bersujud.

Cerita ini dibawa oleh Ibn Said dalam At-Tabaqat'l-Kubra dan
tidak pula diberi suatu kritik. Dalam beberapa buku hadis
shahih disebutkan juga adanya cerita gharaniq ini dengan
beberapa perbedaan. Tetapi Ibn Is-haq membawa cerita ini
dengan mengatakan: "itu berasal dari karangan orang-orang
atheis." Juga dalam Al Bidaya wan-Nihaya fit-Tarikh Ibn
Kathir menyebutkan: "Orang bicara tentang cerita gharaniq
ini. Tetapi lebih baik kita menghindari pembicaraan ini,
supaya jangan ada orang yang mendengarnya lalu
menempatkannya tidak pada tempatnya. Akan tetapi mulanya
cerita ini memang terdapat dalam Shahih." Kemudian ia
menyebutkan sebuah hadis tentang ini melalui Bukhari dengan
mengatakan: "Hanya Bukhari sendiri yang menyebutkan. Muslim
tidak." Saya sendiri tidak ragu-ragu lagi akan menolak
cerita ini dari dasarnya. Saya setuju dengan Ibn Ishaq,
bahwa cerita ini adalah bikinan orang-orang atheis. Dalam
menyanggah ini saya dapat menarik beberapa argumentasi,
bukan saja karena dalam cerita tersebut terdapat
kontradiksi, mengingat bahwa para rasul itu mendapat
perlindungan dalam menyampaikan risalah Tuhan, tetapi juga
saya bersandar pada kaidah-kaidah kritik ilmiah yang berlaku
sekarang.

FAKTOR WAKTU, KETIKA CERITA ITU DITULIS

Sebab-sebab lain yang masih perlu diuji sehubungan dengan
buku-buku lama itu, dengan mengadakan suatu kritik yang
teliti menurut metoda ilmiah, ialah bahwa buku tertua yang
pernah ditulis orang baru seratus tahun atau lebih kemudian
sesudah Nabi wafat, dan sesudah meluasnya issue-issue - baik
politik atau bukan politik - dalam dunia Islam, dengan
menciptakan cerita-cerita dan hadis-hadis sebagai salah satu
alat penyebaran. Apalagi kesan kita tentang yang ditulis
orang kemudian, yang sudah mengalami zaman yang sangat kacau
dan gelisah.

PENGARUH PERTENTANGAN POLITIK DALAM DUNIA ISLAM

Pertentangan-pertentangan politik yang telah dialami oleh
mereka yang mengumpulkan hadis - dengan membuang mana yang
palsu dan mencatat mana yang dianggap sahih - menyebabkan
mereka berusaha lebih berhati-hati lagi. Mereka berusaha
melakukan ketelitian dalam menguji, supaya tidak sampai
menimbulkan keragu-raguan. Orang akan cukup menyadari apa
yang dialami Bukhari yang begitu susah-payah dengan
perjalanan yang dilakukannya ke berbagai tempat dunia Islam,
guna mengumpulkan hadis dan lalu mengujinya. Apa yang
diceritakannya kemudian, bahwa dari hadis-hadis yang beredar
yang dijumpainya sampai melebihi 600.000 buah itu, yang
dipandang benar (sahih) olehnya tidak lebih dari hanya 4.000
buah hadis saja. Ini berarti bahwa dari setiap 150 buah
hadis yang dipandang benar olehnya hanya sebuah saja. Sedang
pada Abu Dawud, dari 500.000 buah hadis, yang dianggap sahih
menurut dia hanya 4.800 saja. Demikian juga halnya dengan
penghimpun-penghimpun hadis yang lain. Banyak sekali dari
hadis-hadis itu, yang oleh sebagian dianggap sahih, oleh
ulama lain masih dijadikan bahan penelitian dan mendapat
kritik, yang akhirnya banyak pula yang ditolak. Ini sama
halnya dengan soal gharaniq.

PENGHIMPUNAN HADIS

Jadi, kalau demikian inilah yang sudah terjadi dengan hadis,
yang sudah demikian rupa diperjuangkan oleh para penghimpun
hadis itu, apalagi dengan buku-buku sejarah hidup Nabi yang
datang kemudian, bagaimana kita dapat mengandalkannya tanpa
mengadakan penelitian dan pengujian ilmiah!

Sebenarnya, pertentangan politik yang terjadi sesudah
permulaan sejarah Islam, telah menimbulkan lahirnya
cerita-cerita dan hadis-hadis bikinan untuk mendukung maksud
tersebut. Sampai pada saat-saat terakhir zaman Banu Umayya
penulisan hadis belum lagi dilakukan orang. Umar bin Abdul
Aziz pernah memerintahkan supaya hadis-hadis itu dihimpun.
Kemudian baru dikumpulkan pada zaman Ma'mun, yaitu sesudah
terjadi "Hadis yang sahih dalam hadis yang palsu itu seperti
rambut putih pada kerbau hitam," seperti kata Ad-Daraqutni.
Dan mungkin tidak dikumpulkannya hadis pada masa permulaan
Islam, karena seperti diberitakan bahwa Nabi berkata:
"Jangan menuliskan sesuatu tentang aku, selain Qur'an.
Barangsiapa menuliskan itu selain Qur'an, hendaklah
dihapus."

Akan tetapi pada waktu itu hadis Nabi sudah beredar dari
mulut ke mulut dan penceritaannyapun berbeda-beda. 'Umar
ibn'l-Khattab ketika menjadi Khalifah pernah mengambil
langkah dalam hal ini dengan maksud akan menuliskan
hadis-hadis itu. Ia minta pendapat sahabat-sahabat Nabi yang
lain. Merekapun memberikan pendapat yang sama. Selama
sebulan lamanya ia melakukan istikharah, yang kemudian
setelah mendapat ketetapan hati ia berkata: "Saya bermaksud
akan menulis hadis dan sunah, tapi saya takkan
mencampur-adukkan Qur'an dengan apapun." Penulisan
hadis-hadis itu tidak jadi dilakukan. Ditulisnya surat ke
kota-kota lain: "Barangsiapa memilikinya supaya dihapuskan."
Sesudah itu hadis-hadis terus juga beredar dan berkembang
biak, sehingga akhirnya terhimpun juga hadis-hadis yang
dianggap sahih menurut para penghimpunnya, yakni pada masa
Ma'mun.

KRITERIUM YANG SEBENARNYA TENTANG HADIS

Dengan segala usaha penelitian yang sudah tentu dilakukan
oleh para penghimpun hadis itu, tapi masih banyak juga
hadis-hadis yang oleh mereka sudah dinyatakan sahih itu,
oleh beberapa ulama lain masih dinyatakan tidak otentik.
Dalam Syarah Muslim Nawawi menyebutkan: "Ada golongan yang
membuat koreksi terhadap Bukhari dan Muslim mengenai
hadis-hadis itu sehingga syarat-syarat mereka tidak begitu
dihiraukan dan mengurangi pula arti yang menjadi pegangan
mereka, yakni para penghimpun itu, yang sebagai kriterium
mereka hanya berpegang pada sanad (askripsi) dan pada
kepercayaan mereka kepada sumber cerita sebagai dasar:
menerima atau menolak hadis itu. Ini memang suatu, kriterium
yang berharga. Tetapi itu saja tentu tidak cukup."

Bagi kita kriterium yang baik dalam mengukur hadis - dan
mengukur setiap berita yang berhubungan dengan Nabi - ialah
seperti yang pernah diceritakan orang tentang Nabi
'alaihissalam ketika menyatakan: "Kamu akan berselisih
sesudah kutinggalkan. Maka (oleh karena itu) apa yang
dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Qur'an.
Mana yang cocok itu dari aku, dan mana yang bertentangan,
bukan dari aku."

Ini adalah suatu kriterium yang tepat, yang sudah menjadi
pegangan pemuka-pemuka Islam sejak permulaan sejarah Islam.
Dan sampai sekarang mereka sebagai ahli pikir masih
berpegang pada ini. Seperti dikatakan oleh Ibn Khaldun:
"Saya tidak percaya akan kebenaran sanad sebuah hadis, juga
tidak percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang
bertentangan dengan Qur'an, sekalipun ada orang-orang yang
memperkuatnya. Beberapa pembawa hadis dipercayai karena
keadaan lahirnya yang dapat mengelabui, sedang batinnya
tidak baik. Kalau sumber-sumber itu dikritik dari segi matn
(teks), begitu juga dari segi sanadnya, tentu akan banyaklah
sanad-sanad itu akan gugur oleh matn. Orang sudah
mengatakan: bahwa tanda hadis maudzu, (buatan) itu, ialah
yang bertentangan dengan kenyataan Qur'an atau dengan
kaidah-kaidah yang sudah ditentukan oleh hukum agama
(syariat) atau dibuktikan oleh akal atau pancaindra dan
ketentuan-ketentuan axioma lainnya."

Kriterium inilah yang terdapat dalam hadis Nabi tersebut.
Dan apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun tadi sesuai sekali
dengan kaidah kritik ilmiah modern sekarang.

PENGHIMPUNAN HADIS PADA MASA MA'MUN

Sebenarnya, perselisihan kaum Muslimin sudah mencapai
puncaknya setelah ditinggalkan Nabi, sehingga menimbulkan
adanya ribuan hadis dan sumber-sumber yang saling
bertentangan. Sesudah Abu Lu'lu'a, bujang Al-Mughira,
membunuh Umar ibn'l Khattab, dan sesudah Usman bin 'Affan
memangku jabatan Khalifah, permusuhan lama antara Banu
Hasyim dan Banu Umayya yang terjadi sebelum Islam mulai
timbul lagi. Setelah Usman terbunuh, perang saudara antara
kaum Musliminpun pecah. Aisyah melawan Ali dan Alipun
mendapat pendukungnya pula. Maka mulailah hadis-hadis buatan
bertambah banyak, sampai-sampai Ali bin Abi Talib sendiri
menolaknya. Konon dia berkata: "Tak ada kitab pada kami yang
dapat kami bacakan kepada kamu, kecuali apa yang ada dalam
Qur'an. Dan apa yang ada dalam kitab itu kuterima dari
Rasulullah; terdapat kewajiban-kewajiban sadakah."

Akan tetapi ini tidak menghalangi para penyiar hadis itu
melancarkan ceritanya, tidak menghalangi adanya golongan
tertentu membuat-buat hadis karena sesuatu ambisi atau
karena maksud-maksud baik dengan mengajak pula orang lain.
Mereka memduga orang lain akan senang sekali menerimanya
bila hadisnya itu dihubung-hubungkan kepada Rasulullah.

Sesudah keadaan Banu Umayya stabil, juru-juru hadis yang ada
hubungannya dengan Keluarga Umayya itu berusaha melemahkan
semua hadis tentang Ali bin Abi Talib dan jasa-jasanya.
Sementara oleh pembela-pembela Ali dan keluarga Nabi
hadis-hadis itu ditambah-tambah serta berusaha pula
menyebarkannya dengan segala cara. Sebaliknya segala yang
datang dari Aisyah Umm'l-Mu'-minin oleh mereka
dihalang-halangi.
CERITA-CERITA TIDAK MASUK AKAL DAN TIDAK ILMIAH

Yang aneh lagi dalam hal ini ialah apa yang diceritakan oleh
Ibn 'Asakir dari Abu Sa'd Isma'il bin Muthanna
al-Astrabadhi. Tatkala ia sedang berkhutbah di Damsyik,
salah seorang yang hadir bertanya tentang hadis Nabi yang
berbunyi: "Saya gudang ilmu dan Ali pintunya" Ismail menekur
sebentar, lalu diangkatnya kepalanya seraya katanya: "Ya,
tak ada yang mengetahui hadis ini dari Nabi, kecuali yang
hidup pada masa permulaan Islam. Akan tetapi Nabi berkata:
"Saya gudang ilmu, Abu Bakr fondasinya, Umar dindingnya,
Usman atapnya dan Ali pintunya." Dengan demikian para
hadirin puas rasanya. Tetapi ketika diminta kepadanya supaya
menerangkan sanadnya, ia merasa gusar sekali karena memang
tidak mampu.

Begitulah hadis-hadis itu dipalsukan orang karena memang ada
maksud politik atau kemauan-kemauan insidentil lainnya.
Demikian banyaknya hadis-hadis palsu itu sehingga kaum
Muslimin kemudian terkejut sekali, karena ternyata banyak
pula yang tidak cocok dengan yang ada dalam Kitabullah.
Usaha hendak menghentikannyapun sudah banyak pula dikerahkan
pada zaman Umayya, tapi tidak juga berhasil.

Bagaimanapun juga pada masa dinasti Abbasia, dan Ma'mun yang
berkuasa dua abad kemudian sesudah Nabi wafat, puluhan atau
ratusan ribu hadis-hadis maudzu' (buatan) itu sudah tersebar
- diantaranya terdapat banyak yang lemah dan kontradiksi
sekali, yang tidak diduga semula. Pada waktu itulah para
penghimpun hadis dan penulis-penulis biografi Nabi juga
menuliskan biografinya. Al-Waqidi, 'Ibn Hisyam dan
Al-Mada'ini hidup dan menuliskan buku-buku itu pada masa
Ma'mun. Baik mereka ini atau yang lain pada waktu itu,
karena takut akibatnya, tidak ada yang berani menentang
pendapat Khalifah. Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang
harus mendapat penelitian mana kriterium yang menurut suatu
sumber berasal dari Nabi a.s., yakni dengan mencocokkannya
kepada Qur'an sebagaimana mestinya, tidak mereka pakai lagi,
yaitu: mana-mana yang cocok dengan Qur'an, adalah dari Rasul
dan yang tidak, bukan dari Rasul.

Sekiranya kriterium itu dipakai dengan penelitian
sebagaimana mestinya, segala yang sudah ditulis oleh
tokoh-tokoh itu niscaya akan berubah. Kritik ilmiah menurut
metoda modern sama sekali tidak berbeda dari kriterium ini.
Akan tetapi situasi masa itu mengharuskan tokoh-tokoh
tersebut menyesuaikan kriterium mereka itu untuk sesuatu
golongan, sedang untuk golongan lain tidak pula demikian.
Cara-cara ini dalam penulisan sejarah hidup Nabi oleh
penulis-penulis kemudian telah diwarisi juga dari
orang-orang dahulu, dengan pertimbangan-pertimbangan yang
lain dari pertimbangan mereka itu. Kalau orang mau berlaku
jujur terhadap sejarah, tentu mereka menyesuaikan hadis itu
dengan sejarah hidup Nabi, baik dalam garis besar, maupun
dalam perinciannya, tanpa mengecualikan sumber lain, yang
tidak cocok dengan yang ada dalam Qur'an. Mana yang tidak
sejalan dengan hukum alam dan tidak tersebut pula dalam
Kitabullah tidak perlu mereka catat. Yang tidak sejalan
dengan hukum alam itu diteliti dulu dengan saksama, sesudah
itu baru diperkuat dengan yang ada pada mereka, disertai
pembuktian yang positif, dan mana-mana yang tak dapat
dibuktikan seharusnya ditinggalkan.

Pendapat cara ini telah dijadikan pegangan oleh imam-imam
terkemuka dari kalangan Muslimin dahulu, dan beberapa imam
lainpun mengikuti mereka sampai sekarang. Syaikh Muhammad
Mustafa al-Maraghi dalam kata perkenalan buku ini
menyebutkan: "Kekuatan mujizat Muhammad s.a.w. hanyalah
dalam Qur'an, dan mujizat ini sungguh rasional adanya. Sajak
Bushiri berikut ini memang indah sekali:

"Tidak juga sampai kita dicoba Yang akan meletihkan akal
karenanya Karena sayangnya kepada kita Kitapun tak ragu,
kitapun tak sangsi."

Almarhum Sayid Muhammad Rasyid Ridza, Redaktur majalah
Al-Manar dalam menjawab kritik orang yang menentang buku
kita ini, menulis: "Kalangan Al-Azhar dan pengikut-pengikut
tarekat yang paling keberatan terhadap Haekal sebagian besar
mengenai mujizat-mujizat dan hal-hal yang ajaib-ajaib di
luar kebiasaan. Pada pasal dua bahagian dua dan pasal lima
dalam buku Al-Wahy'l-Muhammadi, dari segala segi dan
persoalannya mengenai hal ini, ada saya tulis, bahwa hanya
Qur'anlah satu-satunya pembuktian Tuhan yang positif khusus
tentang kenabian Muhammad s.a.w. dan kenabian para nabi yang
lain. Ciri-ciri mereka zaman kita sekarang ini tak dapat
dibuktikan tanpa kenyataan tersebut.

"Masalah-masalah alam gaib (supernatural) adalah
masalah-masalah yang diragukan, bukan suatu pembuktian yang
meyakinkan menurut para ahli. Hal tersebut terdapat juga
pada zaman kita ini, dan terdapat juga pada setiap zaman.
Mereka yang masih terpesona oleh masalah semacam itu, adalah
orang-orang yang suka pada takhayul yang memang terdapat
pada setiap aliran kepercayaan. Saya terangkan juga sebab
timbulnya daya tarik itu serta perbedaan-perbedaan mana yang
umumnya termasuk hukum alam, hukum rohani dan lain-lain."
[Majalah Al-Manar, 3 Mei 1935].

Syaikh Muhammad Abduh pada bahagian pertama buku Al-Islam
wan-Nashrania ("Islam dan Kristen") menyebutkan: "Dengan
adanya ajaran dan tuntutan terhadap keimanan kepada Allah
dan keesaanNya, Islam tidak memerlukan apa-apa lagi selain
pembuktian rasional dan pemikiran insani yang sejalan dengan
ketentuan yang wajar. Orang tidak perlu bingung terhadap hal
yang gaib, tidak perlu menutup mata terhadap
kejadian-kejadian yang tidak biasa, tidak perlu membisu
karena ada ledakan dari langit; dan pikiran kitapun jangan
terputus karena pekikan yang membawa suara suci. Kaum
Muslimin sudah sepakat - kecuali sejumlah kecil dengan
pendapat yang tidak berarti - bahwa kepercayaan kepada Allah
adalah mendahului kepercayaan kepada nabi-nabi. Tidak
mungkin orang percaya kepada rasul-rasul, sebelum ia beriman
kepada Allah; sedang beriman kepada Allah melalui ucapan
para rasul atau melalui kitab-kitab suci, tidak dibenarkan.
Sungguh tidak masuk akal orang akan percaya kepada adanya
kitab yang diturunkan Allah, jika sebelum itu kita tidak
percaya akan adanya Allah. Maka Dialah yang harus menurunkan
kitab dan mengutus rasul."

Saya kira mereka yang pernah menulis sejarah hidup Nabi akan
lebih condong pada pandangan semacam ini, kalau tidak karena
situasi pada masa mereka dahulu dan kalau tidak karena
dugaan mereka yang datang kemudian bahwa dengan menyebutkan
peristiwa-peristiwa gaib dan mujizat-mujizat yang tidak
terdapat dalam Qur'an itu akan menanamkan rasa keimanan
dalam hati orang lebih dalam lagi. Oleh karena itu mereka
menduga pula, bahwa dengan menyebutkan mujizat-mujizat itu
akan berguna sekali, dan tidak akan merugikan. Sekiranya
mereka hidup pada masa kita sekarang ini dan menyaksikan
betapa musuh-musuh Islam itu mempergunakan apa yang mereka
sebutkan itu sebagai argumen mereka menghantam Islam dan
umat Islam, niscaya mereka akan berpegang pada apa yang ada
dalam Qur'an, mereka akan berkata seperti Imam Ghazali,
Muhammad 'Abduh, Maraghi dan pemuka-pemuka lain yang cukup
teliti. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini,
dan menyaksikan betapa cerita-cerita demikian itu
menyesatkan hati dan kepercayaan orang - bukan sebaliknya,
menanamkan dan menguatkan iman - niscaya cukuplah mereka
menyebutkan saja ayat-ayat Qur'an yang begitu jelas dengan
dalil-dalil yang memang sudah tak dapat dibantah lagi.

Adapun dari segi yang merugikan cerita-cerita yang tidak
diterima oleh akal dan tidak pula ilmiah itu sudah jadi
jelas sekali: bagi setiap orang yang mau menggarap
masalah-masalah serupa ini hendaknya selalu berpegang pada
segi ketelitian ilmiah dalam mengadakan pengujian, demi
pengabdiannya kepada kebenaran, kepada Islam dan kepada
sejarah Nabi. Kebenaran-kebenaran yang diungkapkan oleh
hasil penyelidikan dalam sejarah yang besar ini, adalah
sebagai penyuluh yang akan membawa umat manusia kepada
peradaban yang sebenarnya.

QUR'AN DAN MUJIZAT

Kalau beberapa masalah yang terdapat dalam buku-buku sejarah
hidup Nabi dan kitab-kitab hadis kita perbandingkan dengan
apa yang terdapat dalam Qur'an, tentu tak bisa lain kita
akan menerima pendapat-pendapat para imam yang sangat teliti
itu. Pada waktu itu penduduk Mekah minta kepada Nabi
berbangsa Arab itu supaya Tuhan menurunkan mujizat-mujizat
kepadanya, kalau ia ingin supaya mereka mempercayainya. Maka
Qur'an datang menyebutkan apa yang mereka minta itu dan
menolaknya dengan beberapa argumen: "Dan kata mereka: 'Kami
takkan percaya kepadamu, sebelum kaupancarkan mata air untuk
kami dari bumi ini. Atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma
dan anggur, dan di tengah-tengahnya memancar sungai-sungai
yang deras mengalir. Atau seperti kauterangkan kepada kami
kaujatuhkan langit berkeping-keping. Atau kaudatangkan Tuhan
dan malaikat-malaikat itu berhadap-hadapan dengan kami. Atau
engkau mempunyai sebuah mahligai berhiaskan emas. Atau
engkau naik ke langit, dan kenaikanmu itu tidak akan kami
percayai, sebelum kaubawakan sebuah kitab kepada kami yang
akan kami baca' Ya, katakan: Maha suci Tuhanku. Bukankah aku
hanya seorang manusia yang diutus?" (Qur'an 17:90-93)

"Mereka bersumpah sungguh-sungguh demi Allah, bahwa jika
sebuah tanda (mujizat) dibuktikan kepada mereka, niscaya
mereka akan mempercayainya. Katakan: tanda-tanda itu hanya
ada pada Allah. Tapi, sadarkah kamu, bahwa kalaupun itu
dibuktikan, mereka tidak juga akan percaya? Juga akan Kami
balikkan jantung dan pandangan mata mereka; karena tidak
mempercayainya pada pertama kali. Dan akan kami biarkan
mereka mengembara membawa durhaka. Kalaupun Kami kirimkan
malaikat-malaikat kepada mereka dan mayat-mayatpun mengajak
mereka bicara, lalu segalanya Kami kumpulkan di depan hidung
mereka, tidak juga mereka akan mau beriman; kecuali bila
Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti."
(Qur'an 6:109-111)

Di dalam Qur'an tidak ada disebutkan sesuatu mujizat yang
oleh Allah dimaksudkan supaya segenap manusia - menurut
zamannya masing-masing - mempercayai kerasulan Muhammad,
selain daripada Qur'an. Padahal, beberapa mujizat disebutkan
dengan ijin Allah terhadap para rasul yang datang sebelum
Muhammad sama halnya seperti apa yang telah dianugerahkan
Tuhan kepada Muhammad serta dari percakapan yang ditujukan
kepadanya. Apa yang tersebut dalam Qur'an tentang Muhammad,
samasekali tidak bertentangan dengan hukum alam.

Kalau memang sudah itu yang digariskan oleh Qur'an dan
begitu pula yang terjadi terhadap diri Rasulullah, apa lagi
yang mendorong setengah kaum Muslimin - baik pada masa
dahulu ataupun sekarang - menerapkan mujizat-mujizat kepada
Nabi? Mereka terdorong demikian, karena mereka membaca dalam
Qur'an adanya mujizat-mujizat pada para rasul sebelum
Muhammad. Lalu mereka berkeyakinan, bahwa
keajaiban-keajaiban materi (mujizat-mujizat) semacam itu
perlu juga melengkapi kerasulan Muhammad. Mereka lalu
percaya tentang itu sekalipun dalam Qur'an tidak disebutkan.
Merekapun menduga, bahwa makin banyak jumlah mujizat-mujizat
itu, akan makin kuat membuktikan kedudukan Nabi, akan makin
besar pula merangsang orang beriman kepada kerasulan itu.
Memperbandingkan Nabi dengan para rasul yang sebelumnya, ada
perbedaannya. Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir.
Sekalipun begitu dia adalah Rasul pertama diutus Allah
kepada seluruh umat manusia- bukan diutus hanya kepada
bangsanya saja - supaya memberi penerangan.

MUJIZAT TERBESAR

Oleh karena itu Allah menghendaki supaya mujizat Muhammad
itu adalah mujizat insani yang rasional, yang masuk akal,
yang takkan dapat ditiru, baik oleh manusia maupun jin,
sekalipun mereka satu sama lain saling membantu. Mujizat itu
ialah Qur'an. Ini adalah mujizat terbesar yang pernah
diberikan Allah. Dengan itu Tuhan menghendaki akan
memperkuat kerasulan NabiNya itu dengan argumen yang jelas
dan dalil yang tak dapat dibantah. Ia menghendaki - dengan
itu - agar agama ini mendapat kemenangan pada masa hidup
Rasul, supaya dalam kemenangan itu orang melihat
kemahakuasaanNya. Kalau Tuhan menghendaki adanya mujizat
yang akan membuat mereka yang hidup pada masa Nabi merasa
puas, tentu itu akan disebutkan dalam Qur'an. Tapi ada orang
yang tidak mau percaya kalau tidak dibuktikan dengan akal.
Karena itu maka ayat yang akan meyakinkan seluruh umat
manusia akan kerasulan Muhammad itu ialah yang dekat sekali
hubungannya dengan jantung dan pikiran mereka. Maka Allah
telah memperlihatkan itu dalam bentuk Qur'an, sebagai
argumen yang paling nyata dan sebagai mujizat kepada mereka
dari Nabi yang ummi itu. Ia memperlihatkan kemenangan agama
dan kekuatan iman kepadanya itu dengan melalui dalil dan
keyakinan yang positif. Agama yang dibangun atas dasar
inilah yang lebih kuat menanamkan iman ke dalam hati umat
manusia sepanjang zaman, kepada pelbagai bangsa dan aneka
macam bahasa.

Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman
kepada agama ini sekarsng, dan sebagai argumennya supaya ia
yakin dan percaya, tidak ada sesuatu mujizat lain daripada
Qur'an, niscaya itu tidak akan mengurangi imannya, juga
tidak akan pula kurang Islamnya. Selama wahyu itu memang
bukan bertugas membawa mujizat-mujizat semacam itu, tak ada
salahnya apabila orang yang sudah beriman kepada Allah dan
kepada RasulNya itu rnau menguji lagi segala yang mengenai
mujizat, yang ada hubungannya dengan wahyu itu. Mana yang
dapat dibuktikan dengan alasan positif dapat saja diterima;
dan mana yang tak dapat.dibuktikan, terserah pada
pendapatnya sendiri. Iapun tidak salah. Beriman kepada Allah
yang tunggal tiada bersekutu memang memerlukan suatu
mujizat, dan untuk itu cukup dengan merenungkan alam semesta
yang telah diciptakan Allah. Begitu juga, sebagai bukti
kerasulan Muhammad, yang dengan perintah Tuhan mengajak
manusia beriman serta menyelamatkan mereka agar jangan
berpaling hati, juga tidak memerlukan sesuatu mujizat selain
Qur'an: tidak diperlukan lebih daripada membacakan Kitab
Suci yang telah diwahyukan Allah kepadanya itu.

Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman
kepada agama ini sekarang, dan untuk meyakinkan itu tidak
diperlukan sesuatu mujizat lain daripada Qur'an, niscaya
orang yang pernah beriman itu akan terdiri dari dua macam:
pertama orang yang sudah tidak tergoyahkan lagi hatinya;
sejak pertama kali ia mendapat ajakan, hatinya sudah terbuka
menerima iman, seperti halnya yang terjadi dengan Abu Bakr.
Ia berimam dan percaya tanpa ragu-ragu lagi. Yang kedua,
orang yang untuk imannya itu sudah tidak perlu lagi mencari
mujizat-mujizat lain dari balik hukum alam, melainkan
dicarinya di dalam penciptaan alam yang luas ini. Jangkauan
persepsi kita terbatas sekali. Perbatasan alam dalam arti
ruang dan waktu, tak dapat kita tangkap. Sungguhpun demikian
ketentuan-ketentuan itu berjalan menurut hukum yang tidak
berubah-ubah dan tidak pula bertukar-tukar. Melalui
undang-undang Tuhan yang ada dalam alam itu ia akan
terbimbing sampai kepada Penciptanya.

Buat dua macam golongan ini sama saja: baik dengan mujizat
atau tidak. Bahkan keduanya tak pernah memikirkan tentang
mujizat-mujizat itu selain daripada, bahwa itu adalah bukti
karunia Tuhan. Iman yang semacam inilah yang menurut
pendapat bilangan besar pemuka-pemuka Muslimin sebagai
bentuk iman yang tertinggi. Yang sebagian lagi berpendapat,
bahwa sumber iman yang sejati seharusnya jangan karena takut
kepada siksa Allah atau karena mengharapkan pahalaNya,
melainkan harus iman itu semata-mata karena Allah serta fana
total ke dalam Ego Tuhan. KepadaNyalah semua persoalan itu
akan kembali. Kita adalah kepunyaan Allah dan kepadaNya pula
kita kembali.

ORANG-ORANG MUKMIN PADA MASA NABI

Orang-orang sekarang yang sudah beriman, mereka beriman
kepada Allah dan Rasul tanpa didorong oleh adanya
mujizat-mujizat, sama halnya seperti mereka yang beriman
kepada Allah dan Rasul itu pada masa hidup Nabi. Sejarah
tidak menyebutkan, bahwa mujizat-mujizat itu pernah membuat
orang jadi beriman Malah bukti mujizat Tuhan terbesar ialah
wahyu yang diturunkan melalui NabiNya, dan peri hidup Nabi
sendiri dengan akhlaknya yang begitu tinggi, itulah yang
mengajak orang jadi beriman. Semua buku sejarah hidupnya
menyebutkan bahwa ada segolongan orang yang sudah beriman
kepada kerasulan Muhammad sebelum Isra, telah jadi murtad
dari imannya tatkala Nabi menyebutkan, bahwa Tuhan telah
memperjalankannya pada malam haji dari Mesjid Suci ke Mesjid
Aqsha. Tatkala mengejar Muhammad yang sedang hijrah ke
Medinah, dengan maksud supaya membawanya kembali ke Mekah,
hidup atau mati, dengan harapan akan mendapat hadiah uang,
Suraqa b. Ju'syum tidak juga beriman meskipun buku-buku
riwayat hidup Nabi menceritakan adanya mujizat Tuhan
sehubungan dengan peristiwa Suraqa dan kudanya itu. Juga
sejarah tidak pernah menyebutkan bahwa ada orang musyrik
yang beriman kepada kerasulan Muhammad hanya karena salah
satu mujizat, seperti tukang-tukang sihir Firaun yang
beriman setelah melihat tongkat Musa menelan semua yang
telah mereka buat itu.
GHARANIQ DAN TABUK

Lalu apa yang terdapat dalam buku riwayat hidup Nabi dan
hadis tentang mujizat itu kadang berbeda-beda pula.
Sekalipun menurut buku-buku hadis sudah dipastikan benar
tapi kadang masih merupakan sasaran kritik juga. Masalah
gharaniq misalnya, dalam pengantar ini ada juga kita
sebutkan sepintas lalu, dan akan kita sebutkan lagi lebih
terperinci dalam teks nanti. Cerita membelah dada juga sudah
berbeda-beda sebagaimana diceritakan oleh Halima inang
pengasuh Nabi kepada ibunya; begitu juga mengenai waktu
terjadinya sehubungan dengan usia Muhammad.

Apa yang diceritakan oleh buku-buku riwayat hidupnya dan
buku-buku hadis tentang cerita Zaid dan Zainab sudah dapat
ditolak dari dasarnya, dengan alasan-alasan yang kita
kemukakan ketika membicarakan peristiwa tersebut dalam buku
ini juga terdapat perbedaan-perbedaan mengenai beberapa
kejadian selama perjalanan pasukan 'Usra (yang mengalami
kesukaran) itu ke Tabuk. Dalam Shahih Muslim melalui Mu'adh
b. Jabal diceritakan, bahwa Nabi berkata kepada mereka yang
pergi bersama-sama ke Tabuk itu: "Besok kamu akan sampai ke
mata air Tabuk, dan kamu baru akan sampai ke sana sesudah
siang hari. Barangsiapa di antara kamu sampai ke tempat itu
jangan ada yang menjamah air itu samasekali sebelum aku
sampai." Kamipun lalu sampai tapi sudah ada dua orang yang
sudah sampai terlebih dulu ke tempat tersebut. Mata air itu
memercik seperti tali. Katanya: Lalu Rasulullah s.a.w.
bertanya kepada dua orang itu: Adakah air itu kamu jamah?
Jawab mereka: Ya. Lalu Nabi s.a.w. memakinya dan
dikata-katakannya mereka itu. Katanya: Lalu mereka menciduk
mata air itu dengan tangan mereka sedikit-sedikit sampai
dapat ditampung dalam sebuah tempat. Katanya: Rasulullah
s.a.w. lalu mencuci kedua tamgan dan mukanya dengan itu.
Kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya. Maka mata air
itupun lalu memercikkan air berlimpah-limpah - atau katanya
deras - Abu Ali sangsi yang mana yang dikatakan - sehingga
orang-orangpun mendapatkan air itu. Kemudian katanya:
Mu'adh, kalau kau masih akan pamjang umur kau akan melihat
di sini penuh dengan kebun-kebun" (Shahih Muslim, jilid 7,
p. 60, cetakan Astana, 1382H).

Sedang buku-buku sejarah hidup Nabi menceritakan kisah Tabuk
itu lain lagi gambarannya. Dalam cerita itu soal mujizat
tidak disebut-sebut. Tapi ceritanya berjalan lain sekali,
tidak sama dengan yang terdapat dalam Shahih Muslim. Di
antaranya seperti yang diceritakan oleh Ibn Hisyam dengan
menyebutkan:

"Ibn Ishaq mengatakan: Sesudah tiba waktu pagi dan air tidak
ada, mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. Lalu
Rasulullah s.a.w. berdoa. Maka Allah mengirimkan awan dan
hujanpun turun. Orang-orang dapat minum dan dapat membawa
air menurut keperluan mereka. Ibn Ishaq mengatakan: Maka
'Ashim b. 'Umar b. Qatada menceritakan kepada saya, lewat
Mahmud b. Labid melalui orang-orang dari Banu Abd'l Asyhal,
mengatakan, kataku kepada Mahmud: Adakah diantara
orang-orang itu yang sudah dapat membeda-bedakan saudara,
bapa, paman dan keluarganya. Lalu kata Mahmud lagi: Beberapa
orang dari golongan saya mengatakan tentang adanya orang
munafik yang sudah dikenal kemunafikannya. Ia selalu pergi
bersama Rasulullah s.a.w. ke mana saja. Demikian juga
mengenai soal air di Hijr dan mengenai Rasulullah s.a.w.
yang berdoa, sehingga Allah mengirimkan awan, dan turunnya
air hujan. Orang-orang dapat minum. Kata mereka kami
mendatanginya seraya mengatakan: Apalagi sesudah itu!?
Katanya: Awan lalu."

METODA SAYA DALAM PENYELIDIKAN INI

Adanya perbedaan ini di mata ilmu pengetahuan sebenarnya
tidak mudah untuk dapat dipastikan. Orang yang mau menguji
ini jangan hanya berpegang pada pendapat yang lebih besar
dan berpengaruh saja dengan dua macam sumber yang
berlain-lainan, yang satu tak dapat menguatkan, yang lain
tak dapat pula membantah. Apabila mereka memang tak dapat
menguatkan sumber itu, paling kurang mendiamkannya. Jika
nanti ada orang lain yang menemukan bukti-bukti positif,
sudahlah; kalau tidak, dalam arti ilmiah ia tetap belum
dapat dipastikan.

Inilah metoda yang saya pakai dari semula, ketika saya
mengadakan penyelidikan mengenai peri hidup Muhammad pembawa
risalah Islam ini. Sejak terniat oleh saya akan membuat
karangan ini, memang yang saya kehendaki ialah suatu studi
ilmiah sesuai dengan metoda ilmu pengetahuan sekarang, demi
kebenaran semata-mata. Itu jugalah yang saya sebutkan dalam
prakata buku ini, dan yang menjadi harapan saya pada penutup
cetakan pertama buku ini. Mudah-mudahan maksud saya itu
dapat terlaksana dan usaha inipun sudah merupakan suatu
penyelidikan ilmiah demi kebenaran ilmiah semata. Saya
harapkan dengan ini bahwa saya telah merintis jalan ke arah
penyelidikan-penyelidikan dalam bidang yang sama dengan
lebih luas dan dalam, meliputi masalah-masalah psikologi dan
spiritual, yang pada dasarnya akan mengantarkan umat manusia
kepada peradaban modern yang sama-sama kita cari itu. Saya
yakin bahwa dengan mendalami penyelidikan demikian ini,
rahasia-rahasia akan banyak diketemukan orang, suatu hal
yang pada mulanya diduga tak ada jalan bagi ilmu pengetahuan
akan dapat mengungkapkannya. Tetapi kemudian ternyata,
penyelidikan-penyelidikan psikologis dalam hal ini dapat
memberikan analisa dan menjelaskan sejelas-jelasnya kepada
segenap kaum cendekiawan. Rahasia-rahasia alam semesta dalam
arti spiritual dan psikologis itu makin dikenal oleh umat
manusia, hubungannya dengan alampun akan makin erat, dan
akan bertambah pula ia merasa bahagia. Ia akan merasa makin
senang terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia
makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya
masih tersembunyi, seperti tenaga listrik dan gerakan ether,
yang kemudianpun diketahui orang pula.

Oleh karena itu, setiap orang yang mau menggarap
penyelidikan seperti ini, seharushya itu ditujukan kepada
seluruh umat manusia, bukan hanya kepada kaum Muslimin saja.
Tujuan pekerjaan inipun sebenarnya tidak bersifat agama
semata-mata - seperti mungkin ada yang menduganya demikian -
melainkan tujuan sebenarnya ialah agar umat manusia mengenal
bagaimana ia harus menempuh jalan yang akan mengantarkannya
kepada hidup yang lebih sempurna, yang oleh Muhammad sudah
ditunjukkan jalannya kepada kita. Guna memahami tujuan itu
memang tidak mudah, bila orang belum mendapatkan jalan ini
dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang. Sumber
daripada ini semua ialah pengetahuan dan iImu yang
sebenarnya. Pemikiran yang tidak dilandasi oleh pengetahuan,
tidak didasarkan kepada metoda-metoda ilmiah, sering akan
membawa hasil yang salah dan meleset. Karena itu malah jauh
dari tujuan sebenarnya. Kodrat kita sebagai manusia akan
membuat pemikiran kita besar sekali terpengaruh oleh
temperamen (watak) kita sendiri. Sering juga mereka yang
bersamaan ilmunya berbeda-beda pula pemikirannya. Tidak lain
sebabnya ialah karena adanya perbedaan temperamen itu,
sekalipun dalam mencapai maksud dan tujuan mereka sama
jujur. Ada orang yang temperamennya tinggi, pemikirannya
tajam, cepat bereaksi. Ada pula yang punya kecenderungan
sufi, bawaannya stoik (tenang), menjauhi segala yang
bersifat kebendaan serta pengaruhnya. Ada juga yang punya
kecenderungan materialistik yang begitu besar, terpengaruh
oleh segi materialismanya saja, sehingga tak dapat lagi ia
memikirkan adanya tenaga-tenaga lain yang dapat dirasakan,
yang ada di sekitarnya, yang sebenarnya menguasai benda
(materi) itu.

Di samping itu banyak lagi yang lain. Karena temperamen
mereka yang berbeda-beda, maka berbeda pula pandangan dan
penilaian mereka terhadap sesuatu. Dalam bidang kulturil dan
kehidupan praktis, perbedaan ini merupakan suatu kenikmatan
besar bagi umat manusia, tapi dalam bidang ilmu dan
nilai-nilai hidup yang lebih tinggi, yang hendak mencari
kebaikan bagi seluruh umat manusia, hal ini merupakan suatu
bencana. Tujuan studi sejarah hendaknya mencari nilai-nilai
yang lebih tinggi dari hakekat hidup itu, dan hendaknya
dapat pula menghindari pengaruh-pengaruh emosi dan
temperamen itu. Tak ada jalan lain dalam menghindarkan diri
dari hal semacam itu kecuali bila orang benar-benar mau
disiplin terhadap metoda ilmiah, dan jangan pula ilmu dan
pembahasan ilmiah tentang sejarah atau bukan tentang sejarah
itu hanya sebagai alat guna memperkuat nafsu dan tingkah
lakunya sendiri.

PENYELIDIKAN-PENYELIDIKAN ORIENTALIS

Dari kalangan Orientalis yang dalam penyelidikan mereka
disusun dalam pola ilmiah itu, masih banyak yang terpengaruh
oleh tingkah laku dan temperamen demikian itu, juga tidak
sedikit dari kalangan penulis-penulis Muslimin sendiri yang
demikian. Dan anehnya, kedua mereka itu masing-masing
mengikuti apa yang enak saja menurut selera dan
kecenderungan mereka sendiri - dengan mengambil
peristiwa-peristiwa yang dipakainya sebagai dasar penulisan
mereka, yang katanya ilmiah, dengan maksud demi kebenaran.
Dalam pada itu ia masih terpengaruh sekali oleh temperamen
dan kecenderungan nafsunya sendiri. Sebagai bukti,
bagaimanapun mereka masing-masing berusaha secara jujur dan
teliti mau menguji satu sama lain tentang apa yang mereka
tulis, namun pasti yang terbayang depan mata mereka, ialah
peristiwa-peristiwa yang diciptakan oleh khayal mereka
sendiri juga.

Sekiranya orang mau berusaha menurut kemampuannya,
melepaskan diri dari hawa-nafsu, dan berpegang hanya pada
cara-cara ilmiah saja, tentu tulisan demikian itu akan lebih
kuat berpengaruh dalam jiwa, tidak seperti tulisan yang
dipengaruhi oleh nafsu belaka. Saya sudah mencoba seperlunya
menerangkan kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan itu
masing-masing - dalam pengantar cetakan kedua ini -
seringkas mungkin, disesuaikan dengan tempat yang ada ini
pula. Mudah-mudahan berhasil juga kiranya saya mencari
kejujuran yang dimaksud itu.

Memang tidak mudah bagi kaum Orientalis itu dalam
menyelidiki masalah-masalah Islam demikian atau mengadakan
penelitian dengan bersikap jujur, betapapun mereka mau
berniat baik dan bersikap bebas dalam penelitian ilmiah itu.
Tidak mudah bagi mereka menguasai semua seluk-beluk bahasa
Arab sekalipun ilmu bahasa itu sudah mereka kuasai. Ditambah
lagi mereka masih terpengaruh oleh cara hidup Kristen Eropa
demikian rupa, sehingga kebanyakan mereka memandang
agama-agama itu dengan pandangan penuh prasangka pula,
sedang sebagian kecil lagi, yang masih memegang ajaran
Kristennya, terpengaruh pula oleh adanya pertentangan agama
Kristen dengan ilmu pengetahuan. Maka dalam
penyelidikan-penyelidikan mereka tentang Islam, merekapun
lalu terpengaruh seperti dalam penyelidikan-penyelidikan
mereka tentang Kristen atau tentang agama pada umumnya.
Maksud saya ialah terpengaruh oleh pertentangan yang
merusak. Bagi kaum Orientalis yang jujur ini bukan suatu hal
yang tereela. Tak ada orang yang dapat membebaskan diri dari
ketentuan-ketentuan lingkungannya sesuai dengan tempat dan
waktu.

KAUM MUSLIMIN DAN PENYELIDIKAN

Akan tetapi, penyelidikan-penyelidikan mereka dalam
masalah-masalah Islam masih diliputi oleh kabut purbasangka,
yang jauh dari kebenaran. Karena itu juga, beban yang berat
dan penting itu, hendaknya dipikulkan ke atas bahu para
cendekiawan dari kalangan dunia Islam sendiri, baik yang
aktif dalam ilmu agama atau dalam bidang ilmu lainnya, yakni
beban melakukan pembahasan-pembahasan mengenai Islam secara
teliti dan jujur, dalam lingkungan metoda yang ilmiah. Kalau
mereka melakukan itu, dengan bantuan pengetahuan mereka
mengenai seluk-beluk bahasa Arab dan kehidupan orang Arab,
maka penyelidikan mereka ini akan ada artinya sehingga akan
membuat Orientalis-orientalis itu - atau sekurang-kurangnya
sebagian dari mereka - meninjau kembali sebagian besar
pendapat mereka itu. Mereka akan dapat diyakinkan dengan
hasil yang diperoleh oleh kaum cendekiawan dunia Islam itu
dengan rasa puas dan senang hati.

Untuk mencapai hasil demikian inipun bukan soal yang mudah.
Ia memerlukan kesabaran dan kegigihan dalam penyeIidikan
itu, perlu mengadakan perbandingan dan pemikiran yang bebas.
Tapi itu bukan suatu hal yang tidak mungkin, juga bukan soal
yang terlalu sulit. Sungguhpun begitu ini adalah soal
penting sekali dan akan besar pula pengaruhnya bagi hari
kemudian Islam dan hari kemudian seluruh umat manusia.

Menurut hemat saya, melakukan pekerjaan ini sebaiknya harus
dibedakan dulu antara dua perioda yang berlain-lainan dalam
sejarah Islam: Yang pertama, dari permulaan Islam hingga
terbunuhnya Usman. Yang kedua, dari terbunuhnya Usman hingga
tertutupnya pintu ijtihad. Pada perioda pertama kaum
Muslimin masih sepenuhnya kompak, belum dirusak oleh
cerita-cerita perbedaan tentang khilafat, juga tidak oleh
perang Ridda atau oleh penaklukan kaum Muslimin atas
beberapa daerah yang sudah mereka kuasai.

Tetapi sesudah Usman terbunuh, perselisihan di kalangan kaum
Muslimin mulai berjangkit. Perang saudara antara Ali dan
Muawiya pecah dan pemberontakan-pemberontakan terus
berkecamuk, kadang terang-terangan, kadang dengan
sembunyi-sembunyi. Ambisi politik telah memegang peranan
penting dalam kehidupan agama. Guna menilai adanya
kontradiksi itu, dapatlah orang membandingkan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam pidato Abu Bakr
sesudah pelantikannya (sebagai Khalifah) tatkala ia berkata:
"Kemudian, saudara-saudara. Saya sudah dijadikan penguasa
atas kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di
antara kamu. Kalau saya berlaku tidak baik, luruskanlah
saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan dusta adalah
pengkhianatan. Orang lemah di kalangan kamu adalah kuat
sesudah haknya nanti saya berikan kepadanya insya Allah, dan
yang kuat bagi saya adalah lemah sesudah haknya itu nanti
saya ambil, insya Allah. Apabila ada golongan yang
meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan
menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu
meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan
bencana pada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada
(perintah) Allah dan RasulNya. Tapi apabila saya membangkang
terhadap (perintah) Allah dan Rasul, maka gugurlah
kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah shalat kamu, Allah
akan merahmati kamu sekalian," - dengan pidato Mansur dari
Banu 'Abbas, yang sesudah ia mencapai puncak mahligainya
mengatakan: "Saudara-saudara, saya adalah penguasa kamu
dengan anugerah dan dukunganNya. Saya adalah pengawal
hartaNya. Saya melaksanakan ini atas kehendakNya dan
keinginanNya, memberikan harta atas perkenanNya. Allah telah
menjadikan saya sebagai kunci. Kalau dikehendakiNya akan
dibuka, maka dibukaNyalah saya, supaya dapat.memberikan dan
membagi-bagi rejeki kamu. Kalau Ia menghendaki menutup saya,
maka ditutupNyalah saya ..."

Biarlah orang membandingkan sendiri kedua macam pidato itu
supaya dapat melihat perubahan yang begitu besar atas
prinsip-prinsip kehidupan Islam selama masa kurang dari dua
abad, suatu perubahan yang mengalihkan cara musyawarah kaum
Muslimin, kepada kekuasaan mutlak yang diambil atas nama hak
suci itu.

Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang sampai membawa
akibat perubahan dasar-dasar hukum, adalah kenyataan yang
telah menyebabkan kedaulatan Islam kemudian menjadi lemah
dan mundur. Di samping berkembangnya Islam dan peradaban
Islam selama dua abad berturut-turut sesudah terbunuhnya
Usman, di samping adanya kegiatan Islam memasuki beberapa
kerajaan, menaklukkan raja-raja di bawah Mongolia dan Saljuk
- sesudah yang pertama mengalami kehancuran - maka perioda
pertama yang berakhir dengan terbunuhnya Usman, adalah
perioda yang telah membina prinsip-prinsip yang sebenarnya
dalam kehidupan Islam pada umumnya. Hanya ini yang boleh
dijadikan pegangan yang pasti dan positif akan segala yang
telah terjadi itu supaya orang mengetahui prinsip-prinsip
yang sebenarnya.

Adapun sesudah perioda itu, di samping adanya perkembangan
ilmu dan pengetahuan pada masa dinasti Umayya - lebih-lebih
pada masa dinasti 'Abbasia, tangan-tangan kotor sudah mulai
menodai prinsip-prinsip pokok yang sebenarnya itu, untuk
kemudian diganti dengan ajaran-ajaran yang sering sekali
bertentangan dengan jiwa Islam, dan kebanyakannya malah
untuk maksud-maksud politik syu'ubia [1] (rasialisma).

[1] Suatu paham politik pada masa permulaan persekemakmuran
Islam bangsa-bangsa yang menolak hak-hak istimewa
orang-orang Arab (A).

Adanya orang-orang asing, orang-orang Yahudi dan Nasrani
yang pura-pura masuk Islam, mereka itulah pula yang turut
menyebarkan cara-cara baru itu, mereka tidak ragu-ragu turut
mendorong diciptakannya hadis-hadis yang dihubung-hubungkan
kepada Nabi 'alaihissalam, atau mendakwakan sesuatu kepada
para Khalifah yang mula-mula, yang memang tidak sesuai
dengan sejarah hidup dan sifat-sifat mereka itu.

Apa yang ditulis orang mengenai perioda belakangan ini,
tidak dapat dijadikan pegangan secara ilmiah tanpa
mengadakan penelitian kembali dan kritik yang benar-benar
mendalam dengan tidak dipengaruhi oleh nafsu atau
kecenderungan-kecenderungan pribadi. Yang pertama sekali
perlu kita lakukan ialah menolak segala yang bersifat
kontradiksi dan tidak sesuai dengan Qur'an, meskipun
tumbuhnya kontradiksi itu dihubung-hubungkan kepada Nabi.
Yang boleh dipercaya dari apa yang langsung diceritakan dan
dapat juga dipakai sebagai dasar menguji yang datang
kemudian, ialah masa permulaan Islam sampai waktu
terbunuhnya Khalifah yang ketiga. Saya kira kalau semua ini
kita lakukan dengan segala ketelitian ilmiah, kita akan
dapat memberikan suatu lukisan yang sebenarnya tentang
ajaran Islam yang murni, dan dari kehidupan Islam yang
pertama pula; yakni kehidupan intelektual dan spiritual yang
begitu kuat dan luhur, sehingga membuat Arab pedalaman dari
jazirah itu dalam waktu beberapa puluh tahun saja dapat
tersebar di muka bumi ini, guna menegakkan - dalam pelbagai
negara - dasar-dasar peri kemanusiaan yang paling luhur yang
pernah dikenal sejarah. Kalau dalam hal ini kita berhasil,
kepada umat manusia tentu kita akan dapat mengungkapkan
suatu ufuk baru yang akan mengantarkan kita sampai dapat
mengetahui seluk-beluk alam dalam arti psikologis dan
spiritual, dan dengan mengetahui ini, akan makin erat pula
hubungan itu dan akan membawa kenikrnatan dan kebahagiaan
hidup bagi umat manusia. Ia akan merasa makin senang
terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia makin
mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya masih
tersembunyi seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang
kemudianpun diketahui orang pula.

Kalau dalam hal ini kita berhasil, tentu itu adalah jasa
Islam terhadap umat manusia sekarang, seperti yang juga
sudah terjadi pada permulaan sejarah Islam dahulu, tatkala
orang-orang Arab keluar dari lingkungan jazirahnya, keluar
menyebarkan prinsip-prinsip Islam yang luhur ke seluruh
dunia.

Langkah pertama yang perlu kita lakukan dalam hal ini -
dalam mengabdi kepada kebenaran dan kemanusiaan - ialah
benar-benar mendalami studi tentang sejarah hidup Nabi,
sehingga dapat membukakan jalan bagi umat manusia ke arah
peradaban yang selama ini menjadi cita-citanya. Dalam
melakukan studi ini Qur'an adalah sumber yang paling
otentik, sebagai kitab yang tidak akan membawa kepalsuan dan
tidak pula dicampur dengan segala hal yang masih meragukan.
Kitab yang selama tigabelas abad ini tetap dan akan tetap
terus demikian selama hidup manusia, sebagai suatu mujizat
sejarah dalam kemurnian teksnya, sebagaimana sudah dikuatkan
oleh firman Allah: "Kami yang telah memberikan Qur'an ini
dan Kami pula yang menjaganya" (Qur'an, 15: 9). Seperti
sejak dahulu juga, ia akan tetap sebagai mujizat Muhammad
yang hidup, sejak diwahyukan Allah kepadanya sampai
berakhirnya dunia dengan segala isinya ini. Segala yang
berhubungan dengan sejarah hidup Muhammad harus dihadapkan
kepada Qur'an, mana yang cocok itu adalah benar, dan mana
yang tidak cocok samasekali tidak benar.

Dalam studi permulaan ini, memang ke arah itu yang saya
usahakan, sekuat kemampuan saya. Sesudah selesai cetakan
pertama buku ini saya tinjau kembali, saya bersyukur kepada
Allah atas taufikNya itu. Sayapun berharap semoga Tuhan akan
memberi petunjuk dan pertolongan serta membukakan jalan bagi
barangsiapa yang akan meneruskan studi demikian ini secara
ilmiah dengan lebih mendalam lagi.

Tuhan, kepadaMu juga kami mempercayakan diri, kepadaMu juga
kami kembali dan kepadaMu juga kesudahan segala ini



BAGIAN PERTAMA: ARAB PRA-ISLAM (1/4)
Muhammad Husain Haekal

Sumber peradaban pertama - Agama Yahudi dan Kristen
- Sekta-sekta Kristen dan Pertentangannya - Majusi
Persia di jazirah Arab - Jalan-jalan kafilah - Yaman
dan peradabannya - Sebabnya Jazirah bertahan pada
paganisma.

PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana
pula asal-usulnya, sebenarnya masih ada hubungannya dengan
zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian sudah lama
menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam
ribu tahun yang lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu
dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu
sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah.
Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali
mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan
maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia
serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam
peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa
Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa
itu dan terpengaruh karenanya?

Apapun juga yang telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi
dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan mengubah
sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian
benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan
hasil yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber
peradaban pertama - baik di Mesir, Funisia atau Asiria - ada
hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa Mesir adalah pusat
yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani
atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup
kita sekarang ini, masih erat sekali hubungannya dengan
peradaban pertama itu.

Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam
penyelidikam tentang sejarah peradaban, tidak pernah memberi
pengaruh yang jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban
Fira'un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan
dan perkembangan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini baru
terjadi sesudah ada akulturasi dan saling-hubungan dengan
peradaban Islam. Di sinilah proses saling
pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah
sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban
dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.

Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar
ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di
Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang sampai
saat ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang pertanian,
perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan
manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan
pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa
sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir
Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis dan Horus, yang
memperlihatkan kesatuan dan penjelmaan hidup kembali di
negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak,
dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran,
kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari
gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera; demikian sesudah
itu timbul perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran
semacam itu dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah
mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi sumber
semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah dunia,
yang begitu kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini,
sekalipun peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri
dan melawan sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa
tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.

Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan
peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam
lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa
agama-agama yang kita kenal sampai saat ini. Di Mesir
dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan
diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama
kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia
alam.

Setelah datang ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat
di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: "Akulah
tuhanmu yang tertinggi" iapun berhadapan dengan Firaun sendiri
dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia
bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina.
Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah
yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik
kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan
agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan
pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam
penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini
tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia
ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan
Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di
Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan
dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama
beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat juga. Semua
yang berada di bawah panji Kerajaan Rumawi dan yang ingin
mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan Kerajaan ini,
berada di bawah panji agama Masehi itu.

Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji
dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di
Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan di
India. Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang
membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya
suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban
Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia
ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan
itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang sudah
berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut,
baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya
masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam,
kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing
merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan
kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi
kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara
mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.

Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Rumawi
dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di
ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja
Persia akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat
agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan
menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah
ibadat mereka yang sudah hancur akibat perang dibantu pula
membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan
upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat
pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan
dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti
berada di pihak Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari
tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu
tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian
rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua
kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan.

Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam
pada itu pertentangan antara Rumawi dengan Bizantium makin
meruncing. Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua
Eropa sampai ke Gaul dan Kelt di Inggris selama beberapa
generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia
dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah
mulai surut, sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan
kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang
menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah
tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang menyerbunya dan
mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini
telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang
tumbuh dalam pangkuan Kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah
beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan
besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.

Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah.Dari zaman ke
zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam
sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai
pandangan dan dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan
dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara
golongan-golongan satu sama lain karena perbedaan pandangan
itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa
oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat
sekali ia berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam
fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di
antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa
Isa mempunyai jasad disamping bayangan yang tampak pada
manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara
jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal
dan pikiran yang begitu rumit untuk dapat menggambarkannya;
dan disamping itu ada pula yang mau menyembah Mariam,
sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan
sesudah melahirkan Almasih.

Terjadinya pertentangan antara sesama pengikut-pengikut Isa
itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan
zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya
terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap
kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan
bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah
dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal dan hanya
dapat dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku
saja.

Salah seorang pendeta gereja berkata: "Seluruh penjuru kota
itu diliputi oleh perdebatan. Orang dapat melihatnya dalam
pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang,
pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar
sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan
tentang apa yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan.
Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan
dijawabnya: Bapa lebih besar dari putera dan putera tunduk
kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam mandi
adakah airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab:
"Putera telah diciptakan dari yang tak ada."

Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia
terpecah-belah kedalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu
dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap
Kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh.
Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan
tetap adanya semacam pertentangan tapi tidak sampai orang
melibatkan diri kedalam polemik teologi atau sampai memasuki
pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna
memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah
diambil oleh suatu golongan tidak sampai mengikat golongan
yang lain. Dan Kerajaanpun telah pula melindungi semua
golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan
polemik, yang sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan
Kerajaan dalam bidang administrasi tanpa mengurangi
penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya
bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan
bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan
pihak yang berkuasa itu.

Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu
itulah pula yang menyebabkan penyebaran agama Masehi tetap
berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi sampai
ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan
persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai
kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah seperti di
sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke
Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang
pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai
Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari
pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga
demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah itu
beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia
Majusi.

Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami
kemunduran seperti agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalau
dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan gejala yang
paling menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan
kejahatan pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga
menjadi golongan-golongan dan sekta-sekta pula. Tapi disini
bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun begitu
kekuasaan politik Persia tetap kuat juga. Polemik keagamaan
tentang lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang
tergambar dibalik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya.
Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung
di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan
itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu cara
supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar
kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat, maka Raja atau
salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.
Kedua kekuatan yang sekarang sedang berhadap-hadapan itu
ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan Majusi, kekuatan Barat
berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu
kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada dibawah pengaruh kedua
kekuatan itu, pada awal abad keenam berada di sekitar jazirah
Arab. Kedua kekuatan itu masing-masing mempunyai hasrat
ekspansi dan penjajahan. Pemuka-pemuka kedua agama itu
masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya
ke atas kepercayaan agama lain yang sudah dianutnya.
Sungguhpun demikian jazirah itu tetap seperti sebuah oasis
yang kekar tak sampai terjamah oleh peperangan, kecuali pada
beberapa tempat di bagian pinggir saja, juga tak sampai
terjamah oleh penyebaran agama-agama Masehi atau Majusi,
kecuali sebagian kecil saja pada beberapa kabilah. Gejala
demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh kalau tidak kita
lihat letak dan iklim jazirah itu serta pengaruh keduanya
terhadap kehidupan penduduknya, dalam aneka macam perbedaan
dan persamaan serta kecenderungan hidup mereka masing-masing.

Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak parallelogram. Ke
sebelah utara Palestina dan padang Syam, ke sebelah timur
Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke
sebelah selatan Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke
sebelah barat Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan
daerah ini dilingkungi lautan, dari utara padang sahara dan
dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Akan tetapi bukan
rintangan itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan
penyerbuan penjajahan dan penyebaran agama, melainkan juga
karena jaraknya yang berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu
melebihi seribu kilometer, demikian juga luasnya sampai seribu
kilometer pula. Dan yang lebih-lebih lagi melindunginya ialah
tandusnya daerah ini yang luar biasa hingga semua penjajah
merasa enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah
sungaipun tak ada. Musim hujan yang akan dapat dijadikan
pegangan dalam mengatur sesuatu usaha juga tidak menentu.
Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah selatan yang
sangat subur tanahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah
Arab lainnya terdiri dari gunung-gunung, dataran tinggi,
lembah-lembah tandus serta alam yang gersang. Tak mudah orang
akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh kemajuan.
Samasekali hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup
mengembara terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai
kapalnya di tengah-tengah lautan padang pasir itu, sambil
mencari padang hijau untuk makanan ternaknya, beristirahat
sebentar sambil menunggu ternak itu menghabiskan makanannya,
sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat
lain. Tempat-tempat beternak yang dicari oleh orang-orang
badwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari
bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di
daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang terserak
di sana-sini dalam wahah-wahah yang berada di sekitar mata
air.

Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian itu, yang seperti
Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup
menetap, dan cara hidup manusia yang biasapun tidak pula
dikenal. Juga sudah biasa bila orang yang tinggal di daerah
itu tidak lebih maksudnya hanya sekadar menjelajahinya dan
menyelamatkan diri saja, kecuali di tempat-tempat yang tak
seberapa, yang masih ditumbuhi rumput dan tempat beternak.
Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal
karena sedikitnya orang yang mau mengembara dan mau
menjelajahi daerah itu. Praktis orang zaman dahulu tidak
mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja letaknya itu
telah dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun
dapat bertahan diri.

Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan
guna mengangkut barang dagangan atau mengadakan pelayaran.
Dari peribahasa Arab yang dapat kita lihat sekarang
menunjukkan, bahwa ketakutan orang menghadapi laut sama
seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk
mengangkut barang dagangan itu harus ada jalan lain selain
mengarungi bahaya maut itu. Yang paling penting transpor
perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat: antara
Rumawi dan sekitarnya, serta India dan sekitarnya. Jazirah
Arab masa itu merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang
diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk Persia, lewat
terusan yang terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu
wajar sekali bilamana penduduk pedalaman jazirah Arab itu
menjadi raja sahara, sama halnya seperti pelaut-pelaut pada
masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai air
daripada daratan, menjadi raja laut. Dan sudah wajar pula
bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan
para kafilah sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama
halnya seperti para pelaut, mereka sudah mengenal garis-garis
perjalanan kapal sampai sejauh-jauhnya. "Jalan kafilah itu
bukan dibiarkan begitu saja," kataHeeren, "tetapi sudah
menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir
yang luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam
telah memberikan tempat-tempat tertentu kepada mereka,
terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak menjadi tempat
mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah naungan
pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir di
sekitarnya, seorang pedagang dengan binatang bebannya dapat
menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan yang melelahkan
itu. Tempat-tempat peristirahatan itu juga telah menjadi
gudang perdagangan mereka, dan yang sebagian lagi dipakai
sebagai tempat penyembahan, tempat ia meminta perlindungan
atas barang dagangannya atau meminta pertolongan dari tempat
itu."1

Lingkungan jazirah itu penuh dengan jalan kafilah. Yang
penting di antaranya ada dua. Yang sebuah berbatasan dengan
Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan
Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah
timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang
sebuah lagi berbatasan dengan Laut Merah; dan karena itu
diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan inilah produksi
barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di
Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu
mendapatkan kemakmurannya.

Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang
negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka itu.
Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak Barat
maupun pihak Timur sedikit sekali yang mau mengarunginya -
kecuali bagi mereka yang sudah biasa sejak masa mudanya.
Sedang mereka yang berani secara untung-untungan
mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang secara sia-sia di
tengah-tengah padang tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa
hidup mewah di kota, tidak akan tahan menempuh gunung-gunung
tandus yang memisahkan Tihama dari pantai Laut Merah dengan
suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga
orang yang sampai ke tempat tersebut - yang hanya mengenal
unta sebagai kendaraan - ia akan mendaki celah-celah
pegunungan yang akhirnya akan menyeberang sampai ke dataran
tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang yang sudah
biasa hidup dalam sistem politik yang teratur dan dapat
menjamin segala kepuasannya akan terasa berat sekali hidup
dalam suasana pedalaman yang tidak mengenal tata-tertib
kenegaraan. Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan
setiap pribadipun tidak mempunyai suatu sistiem hubungan
dengan pihak lain selain ikatan keluarga atau kabilah atau
ikatan sumpah setia kawan atau sistem jiwar (perlindungan
bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang lemah kepada
yang lebih kuat.

Pada setiap zaman tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu
memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota. Ia sudah puas
dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan, melawan
permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak
mempunyai pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik
perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.

Oleh karena itu daerah Semenanjung ini tetap tidak dikenal
dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah Muhammad
s.a.w. lahir di tempat tersebut - orang mulai mengenal
sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang dari tempat
itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup itu sekarang
sudah mulai dikenal dunia.

Tak ada yang dikenal dunia tentang negeri-negeri Arab itu
selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang berbatasan dengan
Teluk Persia. Hal ini bukan karena hanya disebabkan oleh
adanya perbatasan Teluk Persia dan Samudera Indonesia saja,
tetapi lebih-lebih disebabkan oleh - tidak seperti
jazirah-jazirah lain - gurun sahara yang tandus. Dunia tidak
tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan
mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya
kepentingan. Sebaliknya, daerah Yaman tanahnya subur, hujan
turun secara teratur pada setiap musim. Ia menjadi negeri
peradaban yang kuat, dengan kota-kota yang makmur dan
tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa. Penduduk
jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa
yang cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang menyirami
bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut.
Mereka membuat Bendungan Ma'rib yang dapat menampung arus air
hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku.

Sebelum di bangunnya bendungan ini , air hujan yang deras
terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu, menyusur
turun ke lembah-lembah yang terletak di sebelah timur kota
Ma'rib. Mula-mula air turun melalui celah-celah dua buah
gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini, memisahkan satu
sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila sudah sampai di
Ma'rib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga
hilang terserap seperti di bendungan-bendungan Hulu Sungai
Nil. Berkat pengetahuan dan kecerdasan yang ada pada penduduk
Yaman itu, mereka membangun sebuah bendungan, yaitu Bendungan
Ma'rib. Bendungan ini dibangun daripada batu di ujung lembah
yang sempit, lalu dibuatnya celah-celah guna memungkinkan
adanya distribusi air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki
dan dengan demikian tanah mereka bertambah subur.

Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang pernah
diselidiki - dan sampai sekarang penyelidikan itu masih
diteruskan -menunjukkan, bahwa peradaban mereka pada suatu
saat memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga
sejarahpun menunjukkan bahwa Yaman pernah pula mengalami
bencana.

Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan dari kesuburan
negerinya serta penduduknya yang menetap menimbulkan gangguan
juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari
keluarga Himyar yang sudah turun-temurun, kadang juga dari
kalangan rakyat Himyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari
berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada agama Musa
(Yudaisma), dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah
menimpa bangsanya. Ia belajar agama ini dari orang-orang
Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang
disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah, yang termasuk dalam
kisah "orang-orang yang membuat parit," dan menyebabkan
turunnya ayat: "Binasalah orang-orang yang telah membuat
parit. Api yang penuh bahan bakar. Ketika mereka duduk di
tempat itu. Dan apa yang dilakukan orang-orang beriman itu
mereka menyaksikan. Mereka menyiksa orang-orang itu hanya
karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Mulia dan
Terpuji." (Qur'an 85:4-8)

Cerita ini ringkasnya ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi
Isa yang saleh bernama Phemion telah pindah dari Kerajaan
Rumawi ke Najran. Karena orang ini baik sekali, penduduk kota
itu banyak yang mengikuti jejaknya, sehingga jumlah mereka
makin lama makin bertambah juga. Setelah berita itu sampai
kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke Najran dan dimintanya kepada
penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi, kalau tidak akan
dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit
dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit
itu dan yang tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan
pedang atau dibikin cacat. Menurut beberapa buku sejarah
korban pembunuhan itu mencapai duapuluh ribu orang. Salah
seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu
Nuwas, ia lari ke Rumawi dan meminta bantuan Kaisar
Yustinianus atas perbuatan Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak
Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis surat
kepada Najasyi (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap
raja Yaman. Pada waktu itu [abad ke-6] Abisinia yang dipimpin
oleh Najasyi sedang berada dalam puncak kemegahannya.
Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh armada yang
kuat2 dapat menancapkan pengaruhnya sampai sejauh-jauhnya.
Pada waktu itu ia menjadi sekutu Imperium Rumawi Timur dan
yang memegang panji Kristen di Laut Merah, sedang Kerajaan
Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.
Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia mengirimkan
bersama orang Yaman itu - yang membawa surat - sepasukan
tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha al-Asyram
salah seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas
nama penguasa Abisinia. Ia memerintah Yaman ini sampai ia
dibunuh oleh Abraha yang kemudian menggantikan kedudukannya.
Abraha inilah yang memimpin pasukan gajah, dan dia yang
kemudian menyerbu Mekah guna menghancurkan Ka'bah tetapi
gagal, seperti yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut.

Anak-anak Abraha kemudian menguasai Yaman dengan tindakan
sewenang-wenang. Melihat bencana yang begitu lama menimpa
penduduk, Saif bin Dhi Yazan pergi hendak menemui Maharaja
Rumawi. Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya
mengirimkan penguasa lain dan Rumawi ke Yaman. Tetapi karena
adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan
Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi permintaan Saif bin
Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan
pergi menemui Nu'man bin'l-Mundhir selaku Gubernur yang
diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya di Irak.3

Nu'man dan Saif bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap
Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan Resepsi
(Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti
pada bagian tahta itu. Di tempat musim dinginnya bagian ini
dikelilingi dengan tabir-tabir dari bulu binatang yang mewah
sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan lampu-lampu kendil
terbuat daripada perak dan emas dan diisi penuh dengan air
tawar. Di atas tahta itulah terletak mahkotanya yang besar
berhiaskan batu delima, kristal dan mutiara bertali emas dan
perak, tergantung dengan rantai dari emas pula. Ia sendiri
memakai pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat
itu akan merasa terpesona oleh kemegahannya. Demikian juga
halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.

Kisra menanyakan maksud kedatangannya itu dan Saifpun
bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada
mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan
juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?), salah
seorang keluarga ningrat Persia yang paling berani. Persia
telah mendapat kemenangan dan orang-orang Abisinia dapat
diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu.

Sejak itulah Yaman berada di bawah kekuasaan Persia, dan
ketika Islam lahir seluruh daerah Arab itu berada dalam
naungan agama baru ini.

Akan tetapi orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu
tidak langsung di bawah kekuasaan Raja Persia. Terutama hal
itu terjadi setelah Syirawih (Shiruya Kavadh II) membunuh
ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri menduduki takhta. Ia
membayangkan - dengan pikirannya yang picik itu bahwa dunia
dapat dikendalikan sekehendaknya dan bahwa kerajaannya
membantu memenuhI kehendaknya yang sudah hanyut dalam hidup
kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan banyak sekali yang
tidak mendapat perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya
sendiri. Ia pergi memburu dalam suatu kemewahan yang belum
pernah terjadi Ia berangkat diiringi oleh pemuda-pemuda
ningrat berpakaian merah, kuning dan lembayung, dikelilingi
oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau
yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak
yang membawa wangi-wangian, oleh pengusir-pengusir lalat dan
pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim
semi sekalipun sebenarnya dalam musim dingin yang berat, ia
beserta rombongannya duduk di atas permadani yang lebar
dilukis dengan lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami
bunga-bungaan aneka warna, dan dilatarbelakangi oleh
semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna perak.

Tetapi sungguhpun Syirawih begitu jauh mengikuti
kesenangannya, kerajaan Persia tetap dapat mempertahankan
kemegahannya, dan tetap merupakan lawan yang kuat terhadap
kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen. Sekalipun dengan
naik tahtanya Syirawih ini telah mengurangi kejayaan
kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum Muslimin
memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.

Yaman yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad
ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali
dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi pembagian
penduduknya. Disebutkan bahwa Bendungan Ma'rib yang oleh
suku-bangsa Himyar telah dimanfaatkan untuk keuntungan
negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar. Disebabkan
oleh adanya pertentangan yang terus-menerus itu, lalailah
mereka yang harus selalu mengawasi dan memeliharanya.
Bendungan itu lapuk dan tidak tahan lagi menahan banjir.
Dikatakan juga, bahwa setelah Rumawi melihat Yaman menjadi
pusat pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan bahwa
perdagangannya terancam karena pertentangan itu, iapun
menyiapkan armadanya menyeberangi Laut Merah - antara Mesir
dengan negeri-negeri Timur yang jauh - guna menarik
perdagangan yang dibutuhkan oleh negerinya. Dengan demikian
tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.

Mengenai peristiwanya, ahli-ahli sejarah sependapat, tetapi
mengenai sebab terjadinya peristiwa itu mereka berlainan
pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Azd di
Yaman ke Utara. Semua mereka sependapat tentang kepindahan
ini, sekalipun sebagian menghubungkannya dengan sepinya
beberapa kota di Yaman karena mundurnya perdagangan yang biasa
melalui tempat itu. Yang lain menghubung-hubungkan kepada
rusaknya bendungan Ma'rib, sehingga banyak di antara
kabilah-kabilah yang pindah karena takut binasa. Tetapi apapun
juga kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan
Yaman jadi berhubungan dengan negeri-negeri Arab lainnya,
suatu hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang
masih dicoba oleh para sarjana menyelidikinya.

Apabila sistem politik di Yaman sudah menjadi kacau seperti
yang dapat kita saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang
menimpa negeri itu serta dijadikannya tempat itu medan
pertarungan, maka struktur politik serupa itu tidak dikenal
pada beberapa negeri Semenanjung Arab lainnya waktu itu.
Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem
politik seperti pengertian kita sekarang atau seperti
pengertian negara-negara yang sudah maju pada masa itu, di
daerah-daerah seperti Tihama, Hijaz, Najd dan sepanjang
dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab, pengertian
demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa itu bahkan
sampai sekarang adalah penduduk pedalaman yang tidak biasa di
kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat.
Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu,
berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan
hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain
pengembaraan itu.

Seperti juga ditempat-tempat lain, disinipun dasar hidup
pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu
pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau
tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal
kebebasan pribadi, kebebasan keluarga dan kebebasan kabilah
yang penuh. Sedang orang kota, atas nama tata-tertib mau
mengalah dan membuang sebagian kemerdekaan mereka untuk
kepentingan masyarakat dan penguasa, sebagai imbalan atas
ketenangan dan kemewahan hidup mereka. Sedang seorang
pengembara tidak pedulikan kemewahan, tidak betah dengan
ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apapun -
seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota - selain
kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan
yang penuh dengan anggota-anggota kabilahnya atau
kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar kehidupannya ialah
seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus
sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah
ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.

Oleh karena itu, kaum pengembara tidak menyukai tindakan
ketidak adilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau
melawannya mati-matian, dan kalau tidak dapat melawan,
ditinggalkannya tempat tinggal mereka itu, dan mereka
mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus
demikian.

Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling mudah
bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan
yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang terhormat.
Karena bawaan itu juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian
besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian,
suka tolong-menolong, melindungi tetangga serta sikap
memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan
makin kuat apabila semakin dekat ia kepada kehidupan
pedalaman, dan akan makin hilang apabila semakin dekat ia
kepada kehidupan kota.

Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik
Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman saja
dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu.
Mereka lebih suka meninggalkan tanah air daripada tunduk
kepada perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah
tidak akan taat kepada peraturan apapun yang berlaku atau
kepada lembaga apapun yang berkuasa.

Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah yang
kecil-kecil yang tumbuh di sekitar jaziarah karena adanya
perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita terangkan.
Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang sebagai tempat
beristirahat sesudah perjalanan yang begitu meletihkan. Di
situ mereka bertemu dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa
guna memperoleh keselamatan bagi mereka serta menjauhkan
marabahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan mereka
selamat sampai di tempat tujuan.

Kota-kota seperti Mekah, Ta'if, Yathrib dan yang sejenis itu
seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung
atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh sifat-sifat
pengembaraan demikian itu. Dalam susunan kabilah serta
cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat serta
kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih
dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di
kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu cara hidup yang
menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara-hidup pedalaman.
Dalam pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut
ini akan terlihat agak lebih terperinci.

Lingkungan masyarakat dalam alam demikian ini serta keadaan
moral, politik dan sosial yang ada pada mereka, mempunyai
pengaruh yang sama terhadap cara beragamanya. Melihat
hubungannya dengan agama Kristen Rumawi dan Majusi Persia,
adakah Yaman dapat terpengaruh oleh kedua agama itu dan
sekaligus mempengaruhi kedua agama tersebut di jazirah Arab
lainnya? Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama
mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada pada masa itu
sama giatnya seperti yang sekarang dalam mempropagandakan
agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiwa serta cara hidup
kaum pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan
kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia merasakan
adanya wujud yang tak terbatas dalam segala bentuknya. Ia
merasa perlu mengatur suatu cara hidup antara dirinya dengan
alam dengan ketak-terbatasannya itu. Sedang bagi orang kota
ketak-terbatasan itu sudah tertutup oleh kesibukannya
hari-hari, oleh adanya perlindungan masyarakat terhadap
dirinya sebagai imbalan atas kebebasannya yang diberikan
sebagian kepada masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada
undang-undang penguasa supaya memperoleh jaminan dan hak
perlindungan. Hal ini menyebabkannya tidak merasa perlu
berhubungan dengan yang di luar penguasa itu, dengan kekuatan
alam yang begitu dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hubungan
jiwa dengan unsur-unsur alam yang di sekitarnya jadi
berkurang.

Dalam keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen
dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad permulaan
dalam menyebarkan ajaran agamanya itu? Barangkali soalnya
hanya akan sampai di situ saja kalau tidak karena adanya
soal-soal lain yang menyebabkan negeri-negeri Arab itu,
termasuk Yaman, tetap bertahan pada paganisma agama
nenek-moyangnya, dan hanya beberapa kabilah saja yang mau
menerima agama Kristen.

Manifestasi peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu -
seperti yang sudah kita saksikan - berpusat di sekitar Laut
Tengah dan Laut Merah. Agama-agama Kristen dan Yahudi
bertetangga begitu dekat sekitar tempat itu. Kalau keduanya
tidak memperlihatkan permusuhan yang berarti, juga tidak
memperlihatkan persahabatan yang berarti pula. Orang-orang
Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih menyebut-nyebut
adanya pembangkangan dan perlawanan Nabi Isa kepada agama
mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja mau membendung arus
agama Kristen yang telah mengusir mereka dari Palestina, dan
yang masih berlindung dibawah panji Imperium Rumawi yang
membentang luas itu.
Orang-orang Yahudi di negeri-negeri Arab merupakan kaum
imigran yang besar, kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan
Yathrib. Di samping itu kemudian agama Majusi (Mazdaisma)
Persia tegak menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak
sampai menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan
moril demikian itu didukung oleh keadaan paganisma di mana
saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang
di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat peradaban dunia
itu ke Bizantium.

Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya
sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan pertentangan dan
peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya
martabat iman yang tinggi ke dalam kancah perdebatan tentang
bentuk dan ucapan, tentang sampai di mana kesucian Mariam:
adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih atau anak
yang lebih utama dari ibu - suatu perdebatan yang terjadi di
mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa akibat hancurnya
apa yang sudah biasa berlaku.

Ini tentu disebabkan oleh karena isi dibuang dan kulit yang
diambil, dan terus menimbun kulit itu di atas isi sehingga
akhirnya mustahil sekali orang akan dapat melihat isi atau
akan menembusi timbunan kulit itu.

Apa yang telah menjadi pokok perdebatan kaum Nasrani Syam,
lain lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira
dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun, melihat hubungannya
dengan orang-orang Nasrani, tidak akan berusaha mengurangi
atau menenteramkan perdebatan semacam itu. Oleh karena itu
sudah wajar pula orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum
Nasrani Syam dan Yaman dalam perjalanan mereka pada musim
dingin atau musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang
datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu
di antara golongan-golongan itu. Mereka sudah puas dengan
kehidupan agama berhala yang ada pada mereka sejak mereka
dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.

Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur
di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian inipun sampai
kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di
Najran dan agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya
memberikan kelonggaran kepada mereka, kemudian turut
menerimanya. Hubungan mereka dengan orang-orang Arab yang
menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu
baik-baik saja.

Yang menyebabkan orang-orang Arab itu tetap bertahan pada
paganismanya bukan saja karena ada pertentangan di antara
golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu masih
tetap hidup di kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima
ajaran Kristen. Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap
berpengaruh ditengah-tengah pelbagai mazhab yang beraneka
macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri.
Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap
berpengaruh, meskipun sudah banyak berkurang dibandingkan
dengan masa Ptolemies dan masa permulaan agama Masehi.
Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati
mereka. Logikanya yang tampak cemerlang sekalipun pada
dasarnya masih bersifat sofistik - dapat juga menarik
kepercayaan paganisma yang polytheistik, yang dengan
kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.

Saya kira inilah yang lebih kuat mengikat jiwa yang masih
lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita
sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup mencapai
tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya
pada semesta alam sehingga ia dapat memahami adanya kesatuan
yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari
semua yang ada dalam wujud ini, menjelma dalam Wujud Tuhan
Yang Maha Esa. Kepercayaan demikian itu hanya sampai pada
suatu manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api
misalnya. Lalu tak berdaya lagi mencapai segala yang lebih
tinggi, yang akan memperlihatkan adanya manifestasi alam dalam
kesatuannya itu.

Bagi jiwa yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia
akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah tentang
pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan
berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus,
yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan di seluruh
dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya modern dalam
ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya
mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus di Roma,
mereka melihat kaki patung Santa Petrus yang didirikan di
tempat itu sudah bergurat-gurat karena diciumi oleh
penganut-penganutnya, sehingga setiap waktu terpaksa gereja
memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.

Melihat semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum nmendapat
petunjuk Tuhan kepada iman yang sebenarnya Mereka melihat
pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi tetangga
mereka serta cara-cara hidup paganisma yang masih ada pada
mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang masih menyembah
berhala itu sebagai warisan dari nenek-moyang mereka. Betapa
kita tak akan memaafkan mereka. Situasi demikian ini sudah
begitu berakar di seluruh dunia, tak putus-putusnya sampai
saat ini, dan saya kira memang tidak akan pernah berakhir.
Kaum Muslimin dewasa inipun membiarkan paganisma itu dalam
agama mereka, agama yang datang hendak menghapus paganisma,
yang datang hendak menghilangkan segala penyembahan kepada
siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.

Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab dahulu itu
banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan
dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui seluk-beluknya.
Nabi sendiri telah menghancurkan berhala-berhala itu dan
menganjurkan para sahabat menghancurkannya di mana saja
adanya. Kaum Muslimin sudah tidak lagi bicara tentang itu
sesudah semua yang berhubungan dengan pengaruh itu dalam
sejarah dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan
dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam abad
kedua Hijrah - sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda
karenanya - menunjukkan, bahwa sebelum Islam paganisma dalam
bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.

Di samping itu menunjukkan pula bahwa kekudusan
berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap kabilah
atau suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan.
Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah inipun berbeda-beda pula
antara sebutan shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub.
Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu,
Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub adalah
batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa kabilah
melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Mereka
beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun
agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara
berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal dari
Yaman. Hal ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka
tidak dikenal di Hijaz, Najd atau di Kinda. Sayang sekali,
buku-buku tentang berhala ini tidak melukiskan secara
terperinci bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal
yang dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa
lengannya pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti
dengan lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang
paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah. Orang-orang
dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.

Tidak cukup dengan berhala-berhala besar itu saja buat
orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang dan memberikan
kurban-kurban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula
patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing.
Mereka mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau
sesudah kembali pulang, dan dibawanya pula dalam perjalanan
bila patung itu mengijinkan ia bepergian. Semua patung itu,
baik yang ada dalam Ka'bah atau yang ada disekelilingnya,
begitu juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atau
kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara penganutnya
dengan dewa besar. Mereka beranggapan penyembahannya kepada
dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada Tuhan dan menyembah
kepada Tuhan sudah mereka lupakan karena telah menyembah
berhala-berhala itu.

Meskipun Yaman mempunyai peradaban yang paling tinggi di
antara seluruh jazirah Arab, yang disebabkan oleh kesuburan
negerinya serta pengaturan pengairannya yang baik, namun ia
tidak menjadi pusat perhatian negeri-negeri sahara yang
terbentang luas itu, juga tidak menjadi pusat keagamaan
mereka. Tetapi yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka'bah
sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang berkunjung dan ke
tempat itu pula orang melepaskan pandang. Bulan-bulan suci
sangat dipelihara melebihi tempat lain.

Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan jazirah Arab
yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah.
Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran
Nabi Muhammad, dan dengan demikian ia menjadi sasaran
pandangan dunia sepanjang zaman. Ka'bah tetap disucikan dan
suku Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun
mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi yang kasar sejak
berabad-abad lamanya.

Catatan kaki:

1 Dikutip oleh Sir Muir dalam The Life of Mohammad, p.xc.

2 Cerita demikian terdapat dalam beberapa buku sejarah.
Encylopedia Britannica juga menyebutnya, dan dikutip oleh
penulis-penulis buku Historian's History of the World dan juga
dijadikan pegangan oleh Emile Derminghem dalam la Vie de
Mahomet. Akan tetapi At-Tabari menceritakan melalui Hisyam ibn
Muhammad bahwa setelah orang Yaman itu pergi meminta bantuan
Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas serta menjelaskan apa yang
telah dilakukannya terhadap orang-orang Kristen oleh pembela
agama Yahudi itu dan memperlihatkan sebuah Injil yang sudah
sebagian dimakan api, Najasyi berkata: "Tenaga manusia di sini
banyak, tapi aku tidak punya kapal. Sekarang aku menulis surat
kepada Kaisar supaya mengirimkan kapal dan dengan itu akan
kukirimkan pasukanku." Lalu ia menulis surat kepada Kaisar
dengan melampirkan Injil yang sudah terbakar. Dan menambahkan:
"Hisyam ibn Muhammad menduga, bahwa setelah kapal-kapal itu
sampai ke tempat Najasyi, pasukannyapun dinaikkan dan
berangkat ke pantai Mandab." Lihat Tarikh't-Tabari cetakan
Al-Husainia, vol. 2, p. 106 dan 108.

3 Beberapa keterangan dalam buku-buku sejarah berbeda-beda
tentang sebab penyerbuan Abisinia (Habasya) ini ke Yaman.
Keterangan itu mengatakan, bahwa hubungan dagang antara Arab
Musta'riba di Hijaz dengan Yaman dan Abisinia terus
berlangsung. Pada waktu itu pantai-pantai Habasya membentang
sepanjang Laut Merah lengkap dengan armada perdagangannya.
Karena kekayaan dan kesuburannya, Kerajaan Rumawi ingin sekali
menguasai Yaman. Aelius Galius penguasa (prefek) Kaisar Rumawi
di Mesir mengadakan persiapan. akan menyerbu Yaman. Pasukannya
dikerahkan menyeberangi Laut Merah ke Yaman dan juga menyerang
Najran. Tetapi karena adanya penyakit yang menyerang mereka.
Orang-orang Yaman mudah sekali mengusir mereka itu dan
merekapun kembali ke Mesir. Sesudah itupun Rumawõ
berturut-turut menyerang jazirah Arab di Yaman dan di luar
Yaman, tapi kenyataannya tidak lebih menguntungkan dan yang
pernah dilakukan oleh Galius. Saat itu Najasyi di Abisinia
merasa perlu mengadakan pembalasan terhadap Yaman yang telah
memaksakan agama Yahudi terhadap orangorang Rumawi yang
beragama Kristen. Pasukan Aryat dikerahkan menyerbu Yaman dan
berkuasa di tempat itu sampai pada waktu Persia datang
mengusir mereka.



BAGIAN KEDUA: MEKAH, KA'BAH DAN QURAISY (1/4)
Muhammad Husain Haekal

Letak Mekah - Ibrahim dan Ismail - Kisah penyembelihan
dan penebusan - Zamzam - Perkawinan Ismail dengan
Jurhum - Pembangunan Ka'bah - Mekah di bawah Jurhum -
Qushay dan anak-anaknya - Mekah di tangan Qushay -
Hasyim dan Abdul Muttalib - Tugas-tugas duniawi dan
agama di Mekah - Berhaji ke Mekah - Kisah Abraha dan
gajah - Abdullah bin Abdul Muttalib - Kisah
penebusannya.

DI TENGAH-TENGAH jalan kafilah yang berhadapan dengan Laut
Merah - antara Yaman dan Palestina - membentang bukit-bukit
barisan sejauh kira-kira delapanpuluh kilometer dari pantai.
Bukit-bukit ini mengelilingi sebuah lembah yang tidak begitu
luas, yang hampir-hampir terkepung samasekali oleh bukit-bukit
itu kalau tidak dibuka oleh tiga buah jalan: pertama jalan
menuju ke Yaman, yang kedua jalan dekat Laut Merah di
pelabuhan Jedah, yang ketiga jalan yang menuju ke Palestina.

Dalam lembah yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak
Mekah. Untuk mengetahui sejarah dibangunnya kota ini sungguh
sukar sekali. Mungkin sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun
yang lalu. Yang pasti, lembah itu digunakan sebagai tempat
perhentian kafilah sambil beristirahat, karena di tempat itu
terdapat sumber mata air. Dengan demikian rornbongan kafilah
itu membentangkan kemah-kemah mereka, baik yang datang dari
jurusan Yaman menuju Palestina atau yang datang dari Palestina
menuju Yaman. Mungkin sekali Ismail anak Ibrahim itu orang
pertama yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, yang
sebelum itu hanya dijadikan tempat kafilah lalu saja dan
tempat perdagangan secara tukar-menukar antara yang datang
dari arah selatan jazirah dengan yang bertolak dari arah
utara.

Kalau Ismail adalah orang pertama yang menjadikan Mekah
sebagai tempat tinggal, maka sejarah tempat ini sebelum itu
gelap sekali. Mungkin dapat juga dikatakan, bahwa daerah ini
dipakai tempat ibadat juga sebelum Ismail datang dan menetap
di tempat itu. Kisah kedatangannya ketempat itupun memaksa
kita membawa kisah Ibrahim a.s. secara ringkas.

Ibrahim dilahirkan di Irak (Chaldea) dari ayah seorang tukang
kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual kepada
masyarakatnya sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja betapa
ia melihat patung-patung yang dibuat oleh ayahnya itu kemudian
disembah oleh masyarakat dan betapa pula mereka memberikan
rasa hormat dan kudus kepada sekeping kayu yang pernah
dikerjakan ayahnya itu. Rasa syak mulai timbul dalam hatinya.
Kepada ayahnya ia pernah bertanya, bagaimana hasil kerajinan
tangannya itu sampai disembah orang?

Kemudian Ibrahim menceritakan hal itu kepada orang lain.
Ayahnyapun sangat memperhatikan tingkah-laku anaknya itu;
karena ia kuatir hal ini akan rnenghancurkan perdagangannya.
Ibrahim sendiri orang yang percaya kepada akal pikirannya. Ia
ingin membuktikan kebenaran pendapatnya itu dengan
alasan-alasan yang dapat diterima. Ia mengambil kesempatan
ketika orang sedang lengah. Ia pergi menghampiri sang dewa,
dan berhala itu dihancurkan, kecuali berhala yang paling
besar. Setelah diketahui orang, mereka berkata kepadanya:

"Engkaukah yang melakukan itu terhadap dewa-dewa kami, hai
Ibrahim?" Dia menjawab: "Tidak. Itu dilakukan oleh yang paling
besar diantara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau memang
mereka bisa bicara." (Qur'an, 21: 62-63)

Ibrahim melakukan itu sesudah ia memikirkan betapa sesatnya
mereka menyembah berhala, sebaliknya siapa yang seharusnya
mereka sembah.

"Bila malam sudah gelap, dilihatnya sebuah bintang. Ia
berkata: Inilah Tuhanku. Tetapi bilamana bintang itu kemudian
terbenam, iapun berkata: 'Aku tidak menyukai segala yang
terbenam.' Dan setelah dilihatnya bulan terbit, iapun berkata:
'Inilah Tuhanku.' Tetapi bilamana bulan itu kemudian terbenam,
iapun berkata: 'Kalau Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku akan jadi sesat.' Dan setelah dilihatnya matahari
terbit, iapun berkata: 'Ini Tuhanku. Ini yang lebih besar.'
Tetapi bilamana matahari itu juga kemudian terbenam, iapun
berkata: 'Oh kaumku. Aku lepas tangan terhadap apa yang kamu
persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku hanya kepada yang
telah menciptakan semesta langit dan bumi ini. Aku tidak
termasuk mereka yang mempersekutukan Tuhan." (Qur'an 6: 76-79)

Ibrahim tidak berhasil mengajak masyarakatnya itu. Malah
sebagai balasan ia dicampakkan ke dalam api. Tetapi Tuhan
masih menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama isterinya
Sarah. Dari Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir.
Pada waktu itu Mesir di bawah kekuasaan raja-raja Amalekit
(Hyksos).

Sarah adalah seorang wanita cantik. Pada waktu itu raja-raja
Hyksos biasa mengambil wanita-wanita bersuami yang
cantik-cantik. Ibrahim memperlihatkan, seolah Sarah adalah
saudaranya. Ia takut dibunuh dan Sarah akan diperisterikan
raja. Dan raja memang bermaksud akan memperisterikannya.
Tetapi dalam tidurnya ia bermimpi bahwa Sarah bersuami.
Kemudian dikembalikan kepada Ibrahim sambil dimarahi. Ia
diberi beberapa hadiah di antaranya seorang gadis belian
bernama Hajar- Olelm karena Sarah sesudah bertahun-tahun
dengan Ibrahim belum juga beroleh keturunan, maka oleh Sarah
disuruhnya ia bergaul dengan Hajar, yang tidak lama kemudian
telah beroleh anak, yaitu Ismail. Sesudah Ismail besar
kemudian Sarahpun beroleh keturunan, yaitu Ishaq.

Beberapa ahli berselisih pendapat tentang penyembelihan Ismail
serta kurban yang telah dipersembahkan oleh Ibrahim. Adakah
sebelum kelahiran Ishaq atau sesudahnya? Adakah itu terjadi di
Palestina atau di Hijaz? Ahli-ahli sejarah Yahudi berpendapat,
bahwa yang disembelih itu adalah Ishaq, bukan Ismail. Disini
kita bukan akan menguji adanya perselisihan pendapat itu.
Dalam Qishash'l-Anbia' Syaikh Abd'l Wahhab an-Najjar
berpendapat, bahwa yang disembelih itu adalah Ismail.
Argumentasi ini diambilnya dari Taurat sendiri bahwa yang
disembelih itu dilukiskan sebagai anak Ibrahim satu-satunya.
Pada waktu itu Ismail adalah anak satu-satunya sebelum Ishaq
dilahirkan. Setelah Sarah melahirkan, maka anak Ibrahim tidak
lagi tunggal, melainkan sudah ada Ismail dan Ishaq. Dengan
mengambil cerita itu seharusnya kisah penyembelihan dan
penebusan itu terjadi di Palestina. Hal ini memang bisa
terjadi demikian kalau yang dimaksudkan itu terjadi terhadap
diri Ishaq. Selama itu Ishaq dengan ibunya hanya tinggal di
Palestina, tidak pernah pergi ke Hijaz. Akan tetapi cerita
yang mengatakan bahwa penyembelihan dan penebusan itu terjadi
diatas bukit Mina, maka ini tentu berlaku terhadap diri
Ismail. Oleh karena di dalam Qur'an tidak disebutkan nama
person korban itu, maka ahli-ahli sejarah kaum Muslimin
berlain-lainan pendapat.

Tentang pengorbanan dan penebusan itu kisahnya ialah bahwa
Ibrahim bermimpi, bahwasanya Tuhan memerintahkan kepadanya
supaya anaknya itu dipersembahkan sebagai kurban dengan
menyembelihnya. Pada suatu pagi berangkatlah ia dengan
anaknya. "Bila ia sudah mencapai usia cukup untuk berusaha, ia
(Ibrahim) berkata: 'O anakku, dalam tidur aku bermimpi, bahwa
aku menyembelihmu. Lihatlah, bagaimanakah pendapatmu?' Ia
menjawab: 'Wahai ayahku. Lakukanlah apa yang diperintahkan
kepadamu. Jika dikehendaki Tuhan, akan kaudapati aku dalam
kesabaran.' Setelah keduanya menyerahkan diri dan
dibaringkannya ke sebelah keningnya, ia Kami panggil: 'Hai
Ibrahim. Engkau telah melaksanakan mimpi itu.' Dengan begitu,
Kami memberikan balasan kepada mereka yang berbuat kebaikan.
Ini adalah suatu ujian yang nyata. Dan kami menebusnya dengan
sebuah kurban besar." (Qur'an, 37: 103-107)

Beberapa cerita melukiskan kisah ini dalam bentuk puisi yang
indah sekali, sehingga disini perlu kita kemukakan, sekalipun
tidak membawa kisah tentang Mekah. Kisahnya, setelah Ibrahim
bermimpi dalam tidurnya bahwa ia harus menyembelih anaknya dan
memastikan bahwa itu adalah perintah Tuhan, ia berkata kepada
anaknya itu: 'Anakku, bawalah tali dan parang itu, mari kita
pergi ke bukit mencari kayu untuk keluarga kita.' Anak itupun
menurut perintah ayahnya. Ketika itu datang setan dalam bentuk
seorang laki-laki, mendatangi ibu anak itu seraya berkata:
'Tahukah engkau ke mana Ibrahim membawa anakmu?' 'Ia pergi
mencari kayu dari lereng bukit itu,' jawab ibunya. 'Tidak,'
kata setan lagi, 'ia pergi akan menyembelihnya.' Ibu itu
menjawab lagi: 'Tidak. Ia lebih sayang kepada anaknya.' 'Ia
mendakwakan bahwa Tuhan yang memerintahkan itu.'

'Kalau itu memang perintah Tuhan biarkan dia menaati
perintahNya,' jawab ibu itu. Setan itu lalu pergi dengan
perasaan kecewa. Ia segera menyusul anak yang sedang mengikuti
ayahnya itu. Kepada anak itupun ia berkata seperti terhadap
ibunya tadi. Tapi jawabannyapun sama dengan jawaban ibunya
juga. Kemudian setan mendatangi Ibrahim dan mengatakan, bahwa
mimpinya itu hanya tipu-muslihat setan supaya ia menyembelih
anaknya dan akhirnya akan menyesal. Tetapi oleh Ibrahim ia
ditinggalkan dan dilaknatnya. Dengan rasa jengkel Iblis itu
mundur teratur, karena maksudnya tidak berhasil, baik dari
Ibrahim, dari isterinya atau dari anaknya.

Kemudian itu Ibrahim menyatakan kepada anaknya tentang
mimpinya itu dan minta pendapatnya. 'Ayah, lakukanlah apa yang
diperintahkan.' Lalu katanya lagi dalam ballada itu: 'Ayah,
kalau ayah akan menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya
darahku nanti tidak kena ayah dan akan mengurangi pahalaku.
Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila dilaksanakan.
Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus memotongku. Bila
ayah sudah merebahkan aku untuk disembelih, telungkupkan aku
dan jangan dimiringkan. Aku kuatir bila ayah kelak melihat
wajahku ayah akan jadi lemah, sehingga akan menghalangi maksud
ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau ayah berpendapat
akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan
baginya, lakukanlah, ayah.'

'Anakku,' kata Ibrahim, 'ini adalah bantuan besar dalam
melaksanakan perintah Allah.'

Kemudian ia siap melaksanakan. Diikatnya kuat-kuat tangan anak
itu lalu dibaringkan keningnya untuk disembelih. Tetapi
kemudian ia dipanggil: 'Hai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan
mimpi itu.' Anak itu kemudian ditebusnya dengan seekor domba
besar yang terdapat tidak jauh dari tempat itu. Lalu
disembelihnya dan dibakarnya.

Demikianlah kisah penyembelihan dan penebusan itu. Ini adalah
kisah penyerahan secara keseluruhan kepada kehendak Allah.

Ishaq telah menjadi besar disamping Ismail. Kasih-sayang ayah
sama terhadap keduanya. Akan tetapi Sarah menjadi gusar
melihat anaknya itu dipersamakan dengan anak Hajar dayangnya
itu. Ia bersumpah tidak akan tinggal bersama-sama dengan Hajar
dan anaknya tatkala dilihatnya Ismail memukul adiknya itu.
Ibrahim merasa bahwa hidupnya takkan bahagia kalau kedua
wanita itu tinggal dalam satu tempat. Oleh karena itu pergilah
ia dengan Hajar dan anak itu menuju ke arah selatan. Mereka
sampai ke suatu lembah, letak Mekah yang sekarang. Seperti
kita sebutkan di atas, lembah ini adalah tempat para kafilah
membentangkan kemahnya pada waktu mereka berpapasan dengan
kafilah dari Syam ke Yaman, atau dari Yaman ke Syam. Tetapi
pada waktu itu adalah saat yang paling sepi sepanjang tahun.
Ismail dan ibunya oleh Ibrahim ditinggalkan dan
ditinggalkannya pula segala keperluannya. Hajar membuat sebuah
gubuk tempat ia berteduh dengan anaknya. Dan Ibrahimpun
kembali ke tempat semula.

Sesudah kehabisan air dan perbekalan, Hajar melihat ke kanan
kiri. Ia tidak melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun ke
lembah mencari air. Dalam berlari-lari itu - menurut cerita
orang - antara Shafa dan Marwa, sampai lengkap tujuh kali, ia
kembali kepada anaknya dengan membawa perasaan putus asa.
Tetapi ketika itu dilihatnya anaknya sedang mengorek-ngorek
tanah dengan kaki, yang kemudian dari dalam tanah itu keluar
air. Dia dan Ismail dapat melepaskan dahaga. Disumbatnya mata
air itu supaya jangan mengalir terus dan menyerap ke dalam
pasir.

Anak yang bersama ibunya itu membantu orang-orang Arab yang
sedang dalam perjalanan, dan merekapun mendapat imbalan yang
akan cukup menjamin hidup mereka sampai pada musim kafilah
yang akan datang.

Mata air yang memancar dari sumur Zamzam itu menarik hati
beberapa kabilah akan tinggal di dekat tempat itu. Beberapa
keterangan mengatakan, bahwa kabilah Jurhum adalah yang
pertama sekali tinggal di tempat itu, sebelum datang Hajar dan
anaknya. Sementara yang lain berpendapat, bahwa mereka tinggal
di tempat itu setelah adanya sumber sumur Zamzam, sehingga
memungkinkan mereka hidup di lembah gersang itu.

Ismail sudah semakin besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis
kabilah Jurhum. Ia dengan isterinya tinggal bersama-sama
keluarga Jurhum yang lain. Di tempat itu rumah suci sudah
dibangun, yang kemudian berdiri pula Mekah sekitar tempat itu.

Juga disebutkan bahwa pada suatu hari Ibrahim minta ijin
kepada Sarah akan mengunjungi Ismail dan ibunya. Permintaan
ini disetujui dan ia pergi. Setelah ia mencari dan menemui
rumah Ismail ia bertanya kepada isterinya: "Mana suamimu?"

"Ia sedang berburu untuk hidup kami," jawabnya.

Kemudian ditanya lagi, dapatkah ia menjamu makanan atau
minuman, dijawab bahwa dia tidak mempunyai apa-apa untuk
dihidangkan.

Ibrahim pergi, setelah mengatakan: "Kalau suamimu datang
sampaikan salamku dan katakan kepadanya: "Ganti ambang
pintumu."

Setelah pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismail,
ia segera menceraikan isterinya, dan kemudian kawin lagi
dengan wanita Jurhum lainnya, puteri Mudzadz bin 'Amr. Wanita
ini telah menyambut Ibrahim dengan baik setelah beberapa waktu
kemudian ia pernah datang. "Sekarang ambang pintu rumahmu
sudah kuat," (kata Ibrahim).

Dari perkawinan ini Ismail mempunyai duabelas orang anak, dan
mereka inilah yang menjadi cikal-bakal Arab al-Musta'-riba,
yakni orang-orang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum
dengan Arab al-'Ariba keturunan Ya'rub ibn Qahtan. Sedang ayah
mereka, Ismail anak Ibrahim, dari pihak ibunya erat sekali
bertalian dengan Mesir, dan dari pihak bapa dengan Irak
(Mesopotamia) dan Palestina, atau kemana saja Ibrahim
menginjakkan kaki.
Cerita ini diambil dari sejarah yang hampir merupakan
konsensus dalam garis besarnya tentang kepergian Ibrahim dan
Ismail ke Mekah, meskipun terdapat perbedaan dalam detail. Dan
yang memajukan kritik atas peristiwa secara mendetail itu
berpendapat, bahwa Hajar dan Ismail telah pergi ke lembah yang
sekarang terletak Mekah itu dan bahwa di tempat itu terdapat
mata air yang ditempati oleh kabilah Jurhum. Hajar disambut
dengan senang hati oleh mereka ketika ia datang bersama
Ibrahim dan anaknya ke tempat itu. Sesudah Ismail besar ia
kawin dengan wanita Jurhum dan mempunyai beberapa orang anak.
Dari percampuran perkawinan antara Ismail dengan unsur-unsur
Ibrani-Mesir di satu pihak dan unsur Arab di pihak lain,
menyebabkan keturunannya itu membawa sifat-sifat Arab, Ibrani
dan Mesir. Mengenai sumber yang mengatakan tentang Hajar yang
kebingungan setelah melihat air yang habis menyerap serta
tentang usahanya berlari tujuh kali dari Shafa dan Marwa dan
tentang sumur Zamzam dan bagaimana air menyembur, oleh mereka
masih diragukan.

Sebaliknya William Muir menyangsikan kepergian Ibrahim dan
Ismail itu ke Hijaz dan ia menolak dasar cerita itu.
Dikatakannya, bahwa itu adalah Israiliat (Yudaica) yang
dibuat-buat orang Yahudi beberapa generasi sebelum Islam, guna
mengikat hubungan dengan orang Arab yang sama-sama sebapa
dengan lbrahim, kalau Ishaq itu yang menjadi nenek-moyang
orang Yahudi. Jadi apabila saudaranya, Ismail itu moyang orang
Arab, maka mereka adalah saudara sepupu yang akan menjadi
kewajiban orang Arab pula menerima baik emigran orang-orang
Yahudi ke tengah-tengah mereka, dan akan memudahkan
perdagangan orang Yahudi di seluruh jazirah Arab. Pengarang
Inggris ini mendasarkan pendapatnya pada cara-cara peribadatan
di negeri-negeri Arab yang tak ada hubungannya dengan agama
Ibrahim, sebab mereka sudah benar-benar hanyut dalam
paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.

Kita tidak melihat bahwa argumentasi demikian itu sudah cukup
kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah. Jauh beberapa abad
sesudah meninggalnya Ibrahim dan Ismail paganisma Arab tidak
menunjukkan bahwa mereka memang sudah demikian tatkala Ibrahim
datang ke Hijaz dan tatkala ia dan Ismail bersama-sama
membangun Ka'bah. Andaikata waktu itu paganisma sudah ada,
tentu itu akan memperkuat pendapat Sir William Muir.
Masyarakat Ibrahim sendiri waktu itu menyembah berhala dan ia
berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar, tapi tidak
berhasil. Apabila ia mengajak masyarakat Arab seperti mengajak
masyarakatnya sendiri, lalu tidak berhasil, dan orang-orang
Arab itu tetap menyembah berhala, tentu hal itu tidak sesuai
dengan kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah. Keterangan
sejarah itu secara logika bahkan lebih kuat. Ibrahim yang
telah keluar dari Irak karena mau menghindar dari keluarganya,
ia pergi ke Palestina dan Mesir, adalah orang yang mudah
bepergian dan biasa mengarungi sahara. Sedang jalan antara
Palestina dan Mekah sejak dahulu kala sudah merupakan
lalu-lintas terbuka bagi para kafilah. Dengan demikian tidak
pula pada tempatnya orang meragukan kenyataan sejarah yang
dalam garis besamya sudah menjadi konsensus itu.

Sir William Muir dan mereka yang menunjang pendapatnya itu
mengatakan tentang kemungkinan adanya segolongan anak-anak
Ibrahim dan Ismail sesudah itu yang pindah dari Palestina ke
negeri-negeri Arab serta adanya pertalian mereka dalam arti
hubungan darah. Kita tidak mengerti, kalau kemungkinan
mengenai anak-anak Ibrahim dan Ismail ini bagi mereka dapat
diterima, sedang kemungkinan mengenai kedua orang itu sendiri
tidak! Bagaimana akan dikatakan belum dapat dipastikan padahal
peristiwa sejarah sudah memperkuatnya. Bagaimana pula takkan
terjadi padahal sumbernya sudah tak dapat diragukan lagi dan
sudah disebutkan dalam Quran dan dibicarakan juga dalam
kitab-kitab suci lainnya!

Ibrahim dan Ismail lalu mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu
dan "Bahwa rumah pertama dibuat untuk manusia beribadat ialah
yang di Mekah itu, sudah diberi berkah dan bimbingan bagi
semesta alam. Disitulah terdapat keterangan-keterangan yang
jelas sebagai Maqam (tempat) Ibrahim; barangsiapa memasukinya
menjadi aman." (Qur'an, 3: 96-97)

"Dan ingatlah, Kami jadikan Rumah itu tempat berkumpul bagi
manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah Maqam Ibrahim itu
tempat bersembahyang, dan kami serahkan kepada Ibrahim dan
Ismail menyucikan RumahKu bagõ mereka yang bertawaf, mereka
yang tinggal menetap dan mereka yang ruku' dan sujud. Dan
ingatlah tatkala Ibrahim berkata: 'Tuhanku, jadikan tempat ini
Kota yang aman dan berikanlah buah-buahan kepada penduduknya,
mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.' Ia
berkata: 'Dan bagi barangsiapa yang menolak iman akan Kuberi
juga kesenangan sementara, kemudian Kutarik ia ke dalam siksa
api, tujuan yang paling celaka,. Dan ingatlah tatkala Ibrahim
dan Ismail mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu (mereka
berdoa): 'Tuhan, terimalah ini dari kami. Sesungguhnyalah
Engkau Maha mendengar, Maha mengetahui." (Qur,an, 2: 125-127)

Bagaimana Ibrahim mendirikan Rumah itu sebagai tempat tujuan
dan tempat yang aman, untuk mengantarkan manusia supaya
beriman hanya kepada Allah Yang Tunggal lalu kemudian menjadi
tempat berhala dan pusat penyembahannya? Dan bagaimana pula
cara-cara peribadatan itu dilakukan sesudah lbrahim dan
Ismail, dan dalam bentuk bagaimana pula dilakukan? Dan sejak
kapan cara-cara itu berubah lalu dikuasi oleh paganisma? Hal
ini tidak diceritakan kepada kita oleh sejarah yang kita
kenal. Semua itu baru merupakan dugaan-dugaan yang sudah
dianggap sebagai suatu kenyataan. Kaum Sabian1 yang menyembah
bintang mempunyai pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya
mereka - menurut beberapa keterangan - tidak menyembah bintang
itu sendiri, melainkan hanya menyembah Allah dan mereka
mengagungkan bintang-bintang itu sebagai ciptaan dan
manifestasi kebesaranNya. Oleh karena lebih banyak yang tidak
dapat memahami arti ketuhanan yang lebih tinggi, maka
diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan. Beberapa macam
batu gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dan langit,
berasal dan beberapa macam bintang. Dari situ mula-mula
manifestasi tuhan itu diartikan dan dikuduskan, kemudian
batu-batu itu yang disembah, kemudian penyembahan itu dianggap
begitu agung, sehingga tidak cukup bagi seorang orang Arab
hanya menyembah hajar aswad (batu hitam) yang di dalam Ka'bah,
bahkan dalam setiap perjalanan ia mengambil batu apa saja dan
Ka'bah untuk disembah dan dimintai persetujuannya: akan
tinggal ataukah akan melakukan perjalanan. Mereka melakukan
cara-cara peribadatan yang berlaku bagi bintang-bintang atau
bagi pencipta bintang-bintang itu. Dengan cara-cara demikian
menjadi kuatlah kepercayaan paganisma itu, patung-patung
dikuduskan dan dibawanya sesajen-sesajen untuk itu sebagai
kurban.

Ini adalah suatu gambaran tentang perkembangan agama itu di
tanah Arab sejak Ibrahim membangun rumah sebagai tempat
beribadat kepada Tuhan, sebagaimana dilukiskan oleh beberapa
ahli sejarah dan bagaimana pula hal itu kemudian berbalik dan
menjadi pusat berhala. Herodotus, bapa sejarah, menerangkan
tentang penyembahan Lat itu di negeri Arab. Demikian juga
Diodorus Siculus mcnyebutkan tentang rumah di Mekah yang
diagungkan itu. Ini menunjukkan tentang paganisma yang sudah
begitu tua di jazirah Arab dan bahwa agama yang dibawa Ibrahim
di sana bertahan tidak begitu lama.

Dalam abad-abad itu sudah datang pula para nabi yang mengajak
kabilah-kabilah jazirah itu supaya menyembah Allah
semata-mata. Tetapi mereka menolak dan tetap bertahan pada
paganisma. Datang Hud mengajak kaum 'Ad yang tinggal di
sebelah utara Hadzramaut supaya menyembah hanya kepada Allah;
tapi hanya sebagian kecil saja yang ikut. Sedang yang sebagian
besar malah menyombongkan diri dan berkata: "O Hud, kau datang
tidak membawa keterangan yang jelas, dan kami tidak akan
meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena perkataanmu itu.
Kami tidak percaya kepadamu." (Qur'an, 11: 53) Bertahun-tahun
lamanya Hud mengajak mereka. Hasilnya malah mereka bertambah
buas dan congkak. Demikian juga Saleh datang mengajak kaum
Thamud supaya beriman. Mereka ini tinggal di Hijr yang
terletak antara Hijaz dengan Syam di Wadi'l-Qura ke arah timur
daya dari Mad-yan (Midian) dekat Teluk 'Aqaba. Sama saja,
hasil ajakan Saleh itu tidak lebih seperti ajakan Hud juga.
Kemudian datang Syu'aib kepada bangsa Mad-yan yang terletak di
Hijaz, mengajak supaya mereka menyembah Allah. Juga tidak
didengar Merekapun mengalami kehancuran seperti yang terjadi
terhadap golongan 'Ad dan Thamud.

Selain para nabi itu juga Qur'an telah menceritakan tentang
ajakan mereka supaya menyembah Allah yang Esa. Sikap golongan
itu begitu sombong. Mereka tetap bersikeras hendak menyembah
berhala dan bermohon kepada berhala-berhala dalam Ka'bah itu.
Mereka berziarah ke tempat itu setiap tahun; mereka datang
dari segenap pelosok jazirah Arab. Dalam hal ini turun firman
Tuhan: "Dan Kami tidak akan mengadakan siksaan sebelum Kami
mengutus seorang rasul."(Qur'an 17: 15)

Sejak didirikannya Mekah di tempat itu sudah ada
jabatan-jabatan penting seperti yang dipegang oleh Qushayy bin
Kilab pada pertengahan abad kelima Masehi. Pada waktu itu para
pemuka Mekah berkumpul. Jabatan-jabatan hijaba, siqaya,
rifada, nadwa, liwa' dan qiyada dipegang semua oleh Qushay.
Hijaba ialah penjaga pintu Ka'bah atau yang memegang kuncinya.
Siqaya ialah menyediakan air tawar - yang sangat sulit waktu
itu bagi mereka yang datang berziarah serta menyediakan
minuman keras yang dibuat dari kurma. Rifada ialah memberi
makan kepada mereka semua. Nadwa ialah pimpinan rapat pada
tiap tahun musim. Liwa' ialah panji yang dipancangkan pada
tombak lalu ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang
menghadapi musuh, dan qiyada ialah pimpinan pasukan bila
menuju perang. Jabatan-jabatan demikian itu di Mekah sangat
terpandang. Dalam masalah ibadat seolah pandangan orang-orang
Arab semua tertuju ke Ka'bah itu.

Saya kira semua itu datangnya bukan sekaligus ketika rumah itu
dibangun, melainkan satu demi satu, pada satu pihak tak ada
hubungannya satu sama lain dengan Ka'bah serta kedudukannya
dalam arti agama, di pihak lain sedikit banyak memang ada juga
hubungannya.

Tatkala Ka'bah dibangun menurut gambaran yang ada dalam khayal
kita - tidak lebih Mekah hanya terdiri dari kabilah-kabilah
Amalekit dan Jurhum. Sesudah Ismail menetap di sana dan
bersama-sama dengan ayahnya memasang sendi-sendi rumah itu,
barulah Mekah mengalami perkembangan. Untuk beberapa waktu
yang cukup lama kemudian ia menjadi sebuah kota atau yang
menyerupai kota. Kita katakan menyerupai kota, karena Mekah
dengan penduduknya waktu itu masih membawa sifat sisa-sisa
keterbelakangan dalam arti yang sangat bersahaja. Beberapa
penulis sejarah tidak keberatan dalam menyebutkan, bahwa Mekah
itu masih terbelakang sebelum semua urusan berada di tangan
Qushayy pada pertengahan abad kelima Masehi itu. Sukar bagi
kita akan dapat membayangkan suatu daerah seperti Mekah dengan
Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap berada dalam
suasana hidup pengembaraan. Padahal sejarah membuktikan bahwa
persoalan Rumah Suci itu berada di tangan Ismail dalam
lingkungan keluarga Jurhum selama beberapa generasi kemudian.
Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di samping Mekah masa
itu memang tempat pertemuan kafilah-kafilah dalam perjalanan
ke Yaman, Hira, Syam dan Najd. Juga hubungannya dengan Laut
Merah yang tidak jauh dari tempat itu merupakan hubungan
langsung dengan perdagangan dunia. Sukar akan dapat
dibayangkan adanya suatu daerah dalam keadaan demikian itu
akan tetap tanpa ada pendekatan dari dunia lain dari segi
peradabannya. Beralasan sekali dugaan kita, bahwa Mekah, yang
sudah didoakan oleh Ibrahim dan ditetapkan Allah akan menjadi
suatu daerah yang aman sentosa, sudah mengenal hidup stabil
selama beberapa generasi sebelum Qushayy.

Meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit, Mekah masih di tangan
Jurhum sampai pada masa Mudzadz bin 'Amr ibn Harith. Selama
dalam masa generasi ini perdagangan Mekah mengalami
perkembangan yang pesat sekali di bawah kekuasaan orang-orang
yang biasa hidup mewah, sehingga mereka lupa bahwa mereka
berada di tanah tandus dan bahwa mereka perlu selalu berusaha
dan selalu waspada. Demikian lalainya mereka itu sehingga
Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuza'a merasa perlu
memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di tanah suci
itu.

Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya tentang akibat hidup
berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa hal ini
akan menghanyutkan mereka semua. Kemudian ia berusaha menggali
Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana
emas dari dalam Ka'bah beserta harta yang dibawa orang sebagai
sesajen ke dalam Rumah Suci itu. Dimasukkannya semua itu ke
dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya
dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan
menemukannya kembali. Ia keluar dengan anak-anak Ismail dari
Mekah. Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuza'a. Demikian
seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushayy bin Kilab,
nenek (kakek) Nabi Muhammad yang kelima.

Fatimah bint Sa'd bin Sahl kawin dengan Kilab dan mempunyai
anak bernama Zuhra dan Qushayy. Kilab meninggal dunia ketika
Qushayy masih bayi. Kemudian Fatimah kawin lagi dengan Rabi'a
bin Haram. Kemudian mereka pergi ke Syam dan di sana Fatimah
melahirkan Darraj. Qushayy semakin besar juga dan ia hanya
mengenal Rabi'a sebagai ayahnya. Lambat-laun antara Qushayy
dengan pihak kabilah Rabi'a terjadi permusuhan. Ia dihina dan
dikatakan berada di bawah perlindungan mereka, padahal bukan
dari pihak mereka Qushayy mengadukan penghinaan itu kepada
ibunya.

"Ayahmu lebih mulia dari mereka," kata ibunya kepada Qushayy.
"Engkau anak Kilab bin Murra, dan keluargamu di Mekah
menempati Rumah Suci."

Qushayy lalu pergi ke Mekah, dan menetap di sana. Karena
pandangannya yang baik dan mempunyai kesungguhan, orang-orang
di Mekah sangat menghormatinya. Pada waktu itu pengawasan
Rumah Suci di tangan Hulail bin Hubsyia - orang yang
berpandangan tajam dari kabilah Khuza'a. Tatkala Qushayy
melamar puterinya, Hubba, ternyata lamarannya diterima baik
dan kawinlah mereka. Qushayy terus maju dalam usaha dan
perdagangannya, yang membuat ia jadi kaya, harta dan
anak-anaknya pun banyak pula. Di kalangan masyarakatnya ia
makin terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan wasiat
supaya kunci Rumah Suci di tangan Hubba puterinya. Tetapi
Hubba menolak dan kunci itu dipegang oleh Abu Ghibsyan dari
kabilah Khuza'a. Tetapi Abu Ghibsyan ini seorang pemabuk.
Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman keras kunci itu
dijualnya kepada Qushayy dengan cara menukarnya dengan minuman
keras.

Khuza'a sudah memperhitungkan betapa kedudukannya nanti bila
pimpinan Ka'bah itu berada di tangan Qushayy sebagai orang
yang banyak hartanya dan orang yang mulai berpengaruh di
kalangan Quraisy. Mereka merasa keberatan bilamana masalah
pimpinan Rumah Suci berada di tangan pihak lain selain mereka
sendiri. Pada waktu Qushayy meminta bantuan Quraisy, beberapa
kabilah memang sudah berpendapat bahwa dialah penduduk yang
paling kuat dan sangat dihargai di Mekah. Mereka mendukung
Qushayy dan berhasil mengeluarkan Khuza'a dari Mekah. Sekarang
seluruh pimpinan Rumah Suci itu sudah di tangan Qushayy dan
dia diakui sebagai pemimpin mereka.

Seperti sudah kita kemukakan, beberapa orang berpendapat,
bahwa sampai pada waktu pimpinan Mekah berada di tangan
Qushayy, bangunan apapun belum ada di tempat itu, selain Ka
bah. Alasannya ialah, karena baik Khuza'a atau Jurhum tidak
ingin melihat ada bangunan lain di sekitar Rumah Tuhan itu,
juga karena pada malam hari mereka tidak pernah tinggal di
tempat itu, melainkan pergi ke tempat-tempat terbuka.
Ditambahkan pula bahwa setelah Qushayy memegang pimpinan Mekah
ia mengumpulkan Quraisy dan menyuruh mereka membangun di
tempat itu. Dengan dipelopori oleh Qushayy sendiri dibangunnya
Dar'n-Nadwa sebagai tempat pertemuan pembesar-pembesar Mekah
yang dipimpin oleh Qushayy sendiri. Di tempat ini mereka
bermusyawarah mengenai masalah-masalah negeri itu. Menurut
kebiasaan mereka, setiap persoalan yang mereka hadapi selalu
diselesaikan dengan persetujuan bersama. Baik wanita atau
laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan harus di tempat
ini pula.

Dengan perintah Qushayy orang-orang Quraisy lalu membangun
tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka'bah itu, dengan
meluangkan tempat yang cukup luas untuk mengadakan tawaf
sekitar Rumah itu dan pada setiap dua rumah disediakan jalan
yang menembus ke tempat tawaf tersebut.

Anak Qushayy yang tertua ialah Abd'd-Dar. Akan tetapi Abd
Manaf adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum dan sudah
mendapat tempat pula.

Sesudah usianya makin lanjut, kekuatannyapun sudah berkurang
dan sudah tidak kuat lagi ia mengurus Mekah sebagaimana
mestinya, kunci Rumah itupun diserahkannya kepada Abd'd-Dar,
demikian juga soal air minum, panji dan persediaan makanan.
Setiap tahun Quraisy memberikan sumbangan dari harta mereka
yang diserahkannya kepada Qushayy guna membuatkan makanan pada
musim ziarah. Makanan ini kemudian diberikan kepada mereka
yang datang tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang yang
pertama mewajibkan kepada Quraisy menyiapkan persediaan
makanan. Dikumpulkannya mereka itu dan ia sangat merasa bangga
terhadap mereka ketika bersama-sama mereka berhasil
mengeluarkan Khuza'a dari Mekah. Ketika mewajibkan itu ia
berkata kepada mereka:

"Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian adalah tetangga Tuhan,
keluarga RumahNya dan Tempat yang Suci. Mereka yang datang
berziarah adalah tamu Tuhan dan pengunjung RumahNya. Mereka
itulah para tamu yang paling patut dihormati. Pada musim
ziarah itu sediakanlah makanan dan minuman sampai mereka
pulang kembali."
Seperti ayahnya, Abd'd-Dar juga telah memegang pimpinan Ka'bah
dan kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi
anak-anak Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih
baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh
karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu Hasyim, Abd Syams,
Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada
di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy
berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain
membela golongan yang lain lagi.

Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian Mutayyabun dengan
memasukkan tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan
wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka'bah. Mereka bersumpah
takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd,d-Dar
mengadakan pula Perjanjian Ahlaf: Antara kedua golongan itu
hampir saja pecah perang yang akan memusnakan Quraisy, kalau
tidak cepat-cepat diadakan perdamaian. Keluarga Abd Manaf
diberi bagian mengurus persoalan air dan makanan, sedangkan
kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd'd-Dar.
Kedua belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan tetap
demikian, sampai pada waktu datangnya Islam.

Hasyim termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan.
Dialah yang memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak
masyarakatnya seperti yang dilakukan oleh Qushayy kakeknya,
yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk memberi
makanan kepada pengunjung pada musim ziarah. Pengunjung
Baitullah, tamu Tuhan inilah yang paling berhak mendapat
penghormatan. Kenyataannya memang para tamu itu diberi makan
sampai mereka pulang kembali.

Peranan yang dipegang Hasyim tidak hanya itu saja, bahkan
jasanya sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi musim tandus,
dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga kembali
penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim
jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin
dan musim panas. Perjalanan musim dingin ke Yaman, dan
perjalanan musim panas ke Suria.

Dengan adanya semua kenyataan ini keadaan Mekah jadi
berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh jazirah,
sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah diakui. Dengan
perkembangan serupa itu tidak ragu-ragu lagi anak-anak Abd
Manaf membuat perjanjian perdamaian dengan
tetangga-tetangganya. Hasyim sendiri membuat perjanjian
sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Rumawi
dan dengan penguasa Ghassan. Pihak Rumawi mengijinkan
orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian juga
Abd Syams membuat pula perjanjian dagang dengan Najasyi
(Negus). Selanjutnya Naufal dan Muttalib juga membuat
persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak
Himyar di Yaman.

Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah makmur. Demikian
pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan sehingga tak ada
pihak lain yang semasa yang dapat menyainginya. Rombongan
kafilah datang ke tempat itu dari segenap penjuru dan
berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas. Di sekitar
tempat itu didirikan pasar-pasar guna menjalankan perdagangan
itu. Itu pula sebabnya mereka jadi cekatan sekali dalam
utang-piutang dan riba serta segala sesuatu yang berhubungan
dengan perdagangan. Tak ada yang teringat akan menyaingi
Hasyim yang kini sudah makin lanjut usianya itu dalam
kedudukannya sebagai penguasa Mekah. Hanya kemudian terbayang
oleh Umayya anak Abd Syams -sepupunya - bahwa sudah tiba
masanya kini ia akan bersaing. Tetapi dia tidak berdaya, dan
kedudukan itu tetap dipegang Hasyim. Sementara itu Umayya
telah meninggalkan Mekah dan selama sepuluh tahun tinggal di
Suria.

Pada suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Suria, ketika
Hasyim melalui Jathrib dilihatnya seorang wanita baik-baik dan
terpandang, muncul di tengah-tengah orang yang sedang
mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah Salma anak
'Amr dari kabilah Khazraj. Hasyim merasa tertarik.
Ditanyakannya, adakah ia sedang dalam ikatan dengan laki-laki
lain? Setelah diketahui bahwa dia seorang janda dan tidak mau
kawin lagi kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri, Hasyim
lalu melamarnya. Dan wanita itupun menerima, karena dia
mengetahui kedudukan Hasyim di tengah-tengah masyarakatnya.

Beberapa waktu lamanya ia tinggal di Mekah dengan suaminya.
Kemudian ia kembali ke Jathrib. Di kota ini ia melahirkan
seorang anak yang diberi nama Syaiba.

Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim panas ke
Ghazza (Gaza). Hasyim meninggal dunia. Kedudukannya digantikan
oleh adiknya, Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini masih adik Abd
Syams. Tetapi dia sangat dihormati oleh masyarakatnya. Karena
sikapnya yang suka menenggang dan murah hati oleh Quraisy ia
dijuluki Al-Faidz', ("Yang melimpah"). Dengan keadaan Muttalib
yang demikian itu di tengah-tengah masyarakatnya, sudah tentu
segalanya akan berjalan tenteram sebagaimana mestinya.

Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak
Hasyim itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan karena anak itu sudah
besar, dimintanya kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan
kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas untanya
dan dengan begitu ia memasuki Mekah. Orang-orang Quraisy
menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka
lalu memanggilnya: Abd'l Muttalib (Budak Muttalib). "Hai,"
kata Muttalib. "Dia kemenakanku anak Hasyim yang kubawa dari
Jathrib." Tetapi sebutan itu sudah melekat pada pemuda
tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaiba
yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.

Pada mulanya Muttalib ingin sekali mengembalikan harta Hasyim
untuk kemenakannya. Tetapi Naufal menolak, lalu menguasainya.
Sesudah Abd'l-Muttalib mempunyai kekuatan ia meminta bantuan
kepada saudara-saudara ibunya di Jathrib terhadap tindakan
saudara ayahnya itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan
kepadanya. Untuk memberikan bantuan itu pihak Khazraj di
Jathrib mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang. Dengan
demikian Naufal terpaksa mengembalikan harta itu.

Sekarang Abd'l-Muttalib sudah menempati kedudukan Hasyim.
Sesudah pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian air
dan persediaan makanan. Dalam mengurus dua jabatan ini
terutama urusan air - ia menemui kesulitan yang tidak sedikit.
Sampai saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang
persediaan air untuk tamu - sejak terserapnya sumur Zamzam
didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar sekitar
Mekah, yang kemudian diletakkan di sebuah kolam di dekat
Ka'bah. Anak yang banyak itu akan merupakan bantuan besar dan
memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya sekaligus.
Sebaliknya, kalau Abd'l-Muttalib harus memikul jabatan
penyediaan air dan makanan sedang anak hanya Harith
satu-satunya, tentu hal ini akan terasa berat sekali. Ini
jugalah yang lama menjadi pikiran.

Orang-orang Arab masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang
telah dicetuskan oleh Mudzadz bin Amr beberapa abad yang lalu.
Menjadi harapan mereka selalu andaikata sumur itu masih tetap
ada. Dan sesuai dengan kedudukannya Abd'l-Muttalib pun tentu
lebih banyak lagi memikirkan dam mengharapkan hal itu.
Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam tidurnya
seolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang
pernah menyembur di kaki Ismail neneknya dulu itu. Demikian
mendesaknya suara itu dengan menunjukkan sekali letak sumur
itu. Dan diapun memang gigih sekali ingin mencari letak Zamzam
tersebut, sampai achirnya diketemukannya juga, yaitu terletak
antara dua patung: Isaf dan Na'ila.

Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith.
Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas
dan pedang Mudzadz mulai tampak. Sementara itu orang-orang
lalu mau mencampuri Abd'l-Muttalib dalam urusan sumur itu
serta apa yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi
Abd'l-Muttalib berkata:

"Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku
dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan
qid-h (anak panah). Dua anak panah buat Ka'bah, dua buat aku
dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat
bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa."

Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada
juru qid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di
tengah-tengah Ka'bah. Anak panah Quraisy ternyata tidak
keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd'l-Muttalib dan dua
buah pangkal pelana emas buat Ka'bah. Pedang-pedang itu oleh
Abd'l-Muttalib dipasang di pintu Ka'bah, sedang kedua pelana
emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abd'l Muttalib
meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu, sesudah
sumur Zamzam dapat berjalan lancar.

Karena tidak banyak anak, Abd'l-Muttalib di tengah-tengah
masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan
dapat membantunya. Ia bernadar; kalau sampai beroleh sepuluh
anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak
lagi seperti ketika ia menggali sumur Zamzam dulu, salah
seorang di antaranya akan disembelih di Ka'bah sebagai kurban
untuk Tuhan. Tepat juga anaknya yang laki-laki akhirnya
mencapai sepuluh orang dan takdirpun menentukan pula sesudah
itu tidak beroleh anak lagi.

Dipanggilnya semua anak-anaknya dengan maksud supaya dapat
memenuhi nadarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi
kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing
di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh
Abd'l-Muttalib dan dibawanya kepada juru qid-h di tempat
berhala Hubal di tengah-tengah Ka'bah.

Apabila sedang menghadapi kebingungan yang luarbiasa,
orang-orang Arab masa itu lalu minta pertolongan juru qid-h
supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan
(mengadu nasib) melalui qid-h. Abdullah bin Abd'l-Muttalib
adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai.

Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi
nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal
untuk kemudian disembelih oleh sang ayah, maka yang keluar
adalah nama Abdullah. Dituntunnya anak muda itu oleh
Abd'l-Muttalib dan dibawanya untuk disembelih ditempat yang
biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang
terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila.

Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy serentak sepakat
melarangnya supaya jangan berbuat, dan atas pembatalan itu
supaya memohon ampun kepada Hubal. Sekalipun mereka begitu
mendesak, namun Abd'l-Muttalib masih ragu-ragu juga.
Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat supaya
sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku
Makhzum berkata: "Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan
harta kita, kita tebuslah."

Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat
akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib yang sudah biasa
memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan
mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya
menangguhkan sampai besok.

"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun.

"Sepuluh ekor unta."

"Kembalilah ke negeri kamu sekalian," kata dukun itu.
"Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu
diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak
kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan."

Merekapun menyetujui.

Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata anak panah itu
keluar atas nama Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu
sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah
keluar atas nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy
berkata kepada Abd'l-Muttalib - yang sedang berdoa kepada
tuhannya: "Tuhan sudah berkenan."

"Tidak," kata Abd'l-Muttalib. "Harus kulakukan sampai tiga
kali." Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap
keluar atas nama unta itu juga. Barulah Abd'l-Muttalib merasa
puas setelah ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta
itu dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia atau
binatang.

Dengan begitu itulah buku-buku biografi melukiskan.
Digambarkannya beberapa macam adat-istiadat orang Arab,
kepercayaan serta cara-cara mereka melakukan upacara
kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya
kedudukan Mekah dengan Rumah Sucinya itu di tengah-tengah
tanah Arab. At-Tabari menceritakan - sehubungan dengan kisah
penebusan ini - bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernadar
bahwa bila maksudnya terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia
akan menyembelih anaknya. Ternyata kemudian maksudnya
terkabul. Ia pergi kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak
memberikan pendapat. Kemudian ia pergi kepada Abdullah bin
Abbas yang ternyata memberikan fatwa supaya ia menyembelih
seratus ekor unta, seperti halnya dengan penebusan Abdullah
anak Abd'l-Muttalib. Tetapi Marwan - penguasa Medinah ketika
itu - merasa heran sekali setelah mengetahui hal itu. "Nadar
tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa," katanya.

Kedudukan Mekah dengan status Rumah Sucinya itu menyebabkan
beberapa daerah lain yang jauh-jauh juga membuat rumah-rumah
ibadat sendiri-sendiri, dengan maksud mengalihkan perhatian
orang dari Mekah dan Rumah Sucinya. Di Hira pihak Ghassan
mendirikan rumah suci, Abraha al-Asyram membangun rumah suci
di Yaman. Tetapi bagi orang Arab itu tak dapat menggantikan
Rumah Suci yang di Mekah, juga tak dapat memalingkan mereka
dari Kota Suci itu. Bahkan sampai demikian rupa Abraha
menghiasi rumah sucinya yang di Yaman, dengan membawa
perlengkapan yang paling mewah yang kira-kira akan menarik
orang-orang Arab - bahkan orang-orang Mekah sendiri - ke
tempat itu.

Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan orang-orang Arab itu
hanya Rumah Purba itu juga, dan orang-orang Yaman sendiripun
meninggalkan rumah yang dibangunnya itu serta menganggap
ziarah mereka tidak sah kalau tidak ke Mekah, maka sekarang
tak ada jalan lain bagi penguasa Negus itu kecuali ia harus
menghancurkan rumah Ibrahim dan Ismail itu. Dengan pasukan
yang besar didatangkan dari Abisinia dia sudah mempersiapkan
perang dan dia sendiri di depan sekali di atas seekor gajah
besar.

Tatkala pihak Arab mendengar hal itu, besar sekali
kekuatirannya akan akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya.
Suatu hal yang luarbiasa bagi mereka, kedatangan seorang
laki-laki Abisinia akan menghancurkan rumah suci mereka dan
tempat berhala-berhala mereka. Seorang laki-laki bernama
Dhu-Nafar - salah seorang bangsawan dan terpandang di Yaman -
tampil ke depan mengerahkan masyarakatnya dan orang Arab
lainnya yang bersedia berjuang melawan Abraha serta maksudnya
yang hendak menghancurkan Baitullah. Tetapi dia tak dapat
menghalangi Abraha. Malah dia sendiri terpukul dan menjadi
tawanan. Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail bin
Habib al-Khath'ami ketika ia mengerahkan masyarakatnya dari
kabilah Syahran dan Nahis, malah dia sendiri yang tertawan,
yang kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk
jalan. Ketika Abraha sampai di Ta'if penduduk tempat itu
mengatakan, bahwa rumah suci mereka bukanlah rumah suci yang
dimaksudkan Abraha. Itu adalah rumah Lat. Kemudian ia diantar
oleh orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Mekah.

Bila Abraha sudah mendekati Mekah dikirimnya pasukan berkuda
sebagai kurir. Dari Tihama mereka dapat membawa harta benda
Quraisy dan yang lain-lain, di antaranya seratus ekor unta
kepunyaan Abd'l-Muttalib bin Hasyim. Pada mulanya orang-orang
Quraisy bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi kemudian
berpendapat, bahwa mereka takkan mampu. Sementara itu Abraha
sudah mengirimkan salah seorang pengikutnya sebagai utusan
bernama Hunata dan Himyar untuk menemui pemimpin Mekah. Ia
diantar menghadap Abd'l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia
menyampaikan pesan Abraha, bahwa kedatangannya bukan akan
berperang melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Mekah
tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.

Begitu Abd'l-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak bermaksud
berperang, ia pergi ke markas pasukan Abraha bersama Hunata,
bersama anak-anaknya dan beberapa pemuka Mekah lainnya.
Kedatangan delegasi Abd'l-Muttalib ini disambut baik oleh
Abraha, dengan menjanjikan akan mengembalikan unta
Abd'l-Muttalib. Akan tetapi segala pembicaraan mengenai Ka'bah
serta supaya menarik kembali maksudnya yang hendak
menghancurkan tempat suci itu ditolaknya belaka. Juga tawaran
delegasi Mekah yang akan mengalah sampai sepertiga harta
Tihama baginya, ditolak. Abd'l-Muttalib dan rombongan kembali
ke Mekah. Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu
dan pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari Abraha dan
pasukannya yang akan memasuki kota suci dan menghancurkan
Rumah Purba itu.
Malam gelap gelita tatkala mereka memikirkan akan meninggalkan
kota itu dan di mana pula akan tinggal. Malam itulah
Abd'l-Muttalib pergi dengan beberapa orang Quraisy, berkumpul
sekeliling pintu Ka'bah. Dia bermohon, mereka pun bermohon
minta bantuan berhala-berhala terhadap agresor yang akan
menghancurkan Baitullah itu.

Ketika mereka sudah pergi dan seluruh Mekah sunyi dan tiba
waktunya bagi Abraha mengerahkan pasukannya menghancurkan
Ka'bah dan sesudah itu akan kembali ke Yaman, ketika itu pula
wabah cacar datang berkecamuk menimpa pasukan Abraha dan
membinasakan mereka. Serangan ini hebat sekali, belum pernah
dialami sebelumnya. Barangkali kuman-kuman wabah itu yang
datang dibawa angin dari jurusan laut, dan. menular menimpa
Abraha sendiri. Ia merasa ketakutan sekali. Pasukannya
diperintahkan pulang kembali ke Yaman, dan mereka yang tadinya
menjadi penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula yang mati.
Bencana wabah ini makin hari makin mengganas dan
anggota-anggota pasukan yang mati sudah tak terbilang lagi
banyaknya.

Sampai juga Abraha ke Shan'a' tapi badannya sudah dihinggapi
penyakit. Tidak berselang lama kemudian diapun mati seperti
anggota pasukannya yang lain. Dan dengan demikian orang Mekah
mencatatnya sebagai Tahun Gajah. Dan ini yang diabadikan dalam
Qur'an:

"Tidakkah kau perhatikan, bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap
pasukan orang-orang bergajah? Bukankah Dia gagalkan rencana
mereka? Dan dilepaskan di atas mereka pasukan-pasukan burung.
Melempari mereka dengan batu yang keras membakar. Sehingga
mereka seperti daun-daun kering yang binasa berserakan. "(
Qur'an 105: 1-4)

Peristiwa yang luarbiasa ini lebih memperkuat kedudukan Mekah
dalam arti agama, di samping itu telah memperkuat pula
kedudukannya dalam arti perdagangan. Juga menyebabkan
penduduknya lebih banyak memperhatikan dan memelihara
kedudukan yang tinggi dan istimewa itu serta mempertahankannya
dari segala usaha yang akan mengurangi arti atau akan
menye,rang kota ini. Orang-orang Mekah lebih bersemangat lagi
mempertahankan kota mereka, mengingat kehidupan yang mereka
peroleh karenanya, hidup makmur dan mewah sejauh yang dapat
kita bayangkan kemewahan hidup mereka di daerah padang-pasir
ini, gersang dan tandus.

Kegemaran penduduk daerah ini yang luarbiasa ialah minum
nabidh (minuman keras). Dalam keadaan mabuk itu mereka
menemukan suatu kenikmatan yang tak ada taranya! Suatu
kenikmatan yang akan memudahkan mereka melampiaskan hawa
nafsu, akan menjadikan dayang-dayang dan budak-budak belian
yang diperjual-belikan sebagai barang dagangan itu lebih
memikat hati mereka. Yang demikian ini mendorong semangat
mereka mempertahankan kebebasan pribadi dan kebebasan kota
mereka serta kesadaran mempertahankan kemerdekaan dan
menangkis segala serangan yang mungkin datang dari musuh. Yang
paling enak bagi mereka bersenang-senang waktu malam sambil
minum-minum hanyalah di pusat kota sekeliling bangunan Ka'bah.

Di tempat itu - di samping tiga ratus buah berhala atau lebih,
masing-masing kabilah dengan berhalanya - pembesar-pembesar
Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah duduk-duduk; masing-masing
menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan
pedalaman, dengan Yaman, orang-orang Mundhir di Hira dan
orang-orang Ghassan di Suria, tentang datangnya kafilah serta
lalu-lintas orang-orang pedalaman.

Kejadian demikian itu sampai kepada mereka dalam bentuk
cerita, dari suatu kabilah kepada kabilah yang lain. Setiap
kabilah mempunyai "pemancar" dan "pesawat radio" yang menerima
berita-berita kemudian disiarkan kembali. Masing-masing
membawa cerita yang ada hubungannya dengan berita-berita orang
pedalaman, kisah-kisah tetangga dan handai-tolan sambil
minum-minum nabidh. Dan sesudah mereka bermalam suntuk di
Ka'bah mereka menyiapkan diri untuk hal yang sama guna lebih
memuaskan kehendak hawa-nafsu. Dengan mata batu permata
berhala-berhala itu menjenguk melihat kepada mereka yang
sedang berdagang itu, dan mereka merasa mendapat perlindungan,
karena Ka'bah itu dijadikan Rumah Suci dan Mekah menjadi kota
aman sentosa. Demikian juga berhala-berhala mendapat jaminan
mereka, bahwa tak seorangpun Ahli Kitab akan memasuki Mekah
kecuali tenaga kerja yang takkan bicara tentang agama atau
kitabnya.

Itulah sebabnya di sana tak ada koloni-koloni Yahudi seperti
di Jathrib atau Nasrani seperti di Najran. Bahkan :Ka'bah yang
dijadikan tempat paganisma yang paling suci ketika itu mereka
lindungi dari semua yang akan menghinanya, dan merekapun
berlindung ke sana dari segala serangan. Begitulah seterusnya
Mekah itu bebas berdiri sendiri, seperti kabilah-kabilah Arab
yang bebas pula berdiri sendiri-sendiri. Mereka tidak mau
kalau kebebasannya itu diganti, dan mereka tidak pedulikan
cara hidup lain selain kebebasannya ini di bawah perlindungan
berhala-berhala. Masing-masing kabilah tidak pula terganggu,
dan tidak pula terpikir oleh mereka akan mengadakan suatu
kesatuan bangsa yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Rumawi
dan Persia dalam meluaskan kekuasaan dan melakukan peperangan.

Oleh karena itu tetaplah kabilah-kabilah itu semua tidak
mempunyai sesuatu bentuk apapun selain cara-cara hidup
pedalaman, tempat mereka mencari padang rumput untuk ternak,
kemudian hidup di tengah-tengah itu dengan cara hidup yang
kasar, tertarik oleh segala kebebasan, kemerdekaan, kebanggaan
dan kepahlawanan.

Pada dasarnya tempat-tempat tinggal di Mekah mengelilingi
lingkungan Ka'bah. Jauh dekatnya rumah-rumah itu dari Ka'bah
tergantung dari penting dan tingginya kedudukan sesuatu
keluarga atau suku. Kaum Quraisy adalah yang terdekat letaknya
dan paling banyak berhubungan dengan Rumah Suci itu. Merekalah
yang memegang kuncinya dan kepengurusan air Zamzam, juga
segala gelar-gelar kebangsawanan menurut paganisma ada pada
mereka, yang sampai menimbulkan perang karenanya, menyebabkan
adanya persekutuan, atau perjanjian-perjanjian perdamaian
antar kabilah, yang tetap tersimpan di dalam Ka'bah, supaya
dapat disaksikan oleh sang berhala untuk kemudian menurunkan
murkanya bagi mereka yang melanggar.

Di belakang rumah-rumah Quraisy itu menyusul pula rumah0rumah
kabilah yang agak kurang penting kedudukannya, diikuti oleh
yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal
kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Termasuk umat
Kristen dan Yahudi di Mekah, seperti kita sebutkan tadi -
adalah juga budak. Tempat-tempat tinggal mereka jauh dari
Ka'bah malah sudah berbatasan dengan sahara. Oleh karena itu
percakapan mereka tentang kisah-kisah agama, baik Kristen atau
Yahudi, tidak sampai mendekati telinga pemuka-pemuka Quraisy
dan penduduk Mekah umumnya. Letak mereka yang lebih jauh itu
benar-benar membuat mereka lebih rapat lagi menutup telinga.
Mereka tidak mau menyibukkan diri dengan itu. Dalam perjalanan
mereka melalui biara-biara dan tempat-tempat para rahib sudah
biasa mereka mendengar cerita serupa itu.

Hanya saja apa yang sudah mulai diperkatakan orang tentang
akan datangnya seorang nabi di tengah-tengah orang Arab waktu
itu, sudah cukup menimbulkan heboh. Abu Sufyan pernah marah
kepada Umayya bin Abi'sh-Shalt karena arang ini sering
mengulang-ulang cerita para rahib tentang hal serupa itu. Dan
barangkali sesuai dengan kedudukan Abu Sufyan juga ketika itu
ketika ia berkata kepada kawannya itu: Para rahib itu suka
membawa cerita semacam itu karena mereka tidak mengerti soal
agama mereka sendiri. Mereka memerlukan sekali adanya seorang
nabi yang akan memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi kita
yang sudah punya berhala-berhala, yang akan mendekatkan kita
kepada Tuhan, tidak memerlukan lagi hal serupa itu. Kita harus
menentang semua pembicaraan semacam itu.

Dapat saja ia bicara begitu. Dia, yang begitu fanatik kepada
Mekah dan kehidupan paganismanya, tak pernah membayangkan
bahwa saatnya sudah di ambang pintu, bahwa kenabian Muhammad
a.s. sudah dekat dan bahwa dari tanah Arab pagan yang beraneka
ragam itu cahaya Tauhid dan sinar kebenaran akan memancar ke
seluruh dunia.

Abdullah bin Abd'l-Muttalib sebenarnya adalah pemuda yang
berwajah tampan dan menarik. Menarik perhatian gadis-gadis dan
wanita-wanita Mekah. Lebih-lebih lagi yang menarik perhatian
mereka ialah kisah penebusan, dan kisah seratus ekor unta yang
tidak mau diterima oleh Hubal kurang dari itu. Tetapi takdir
sudah menentukan Abdullah akan menjadi seorang ayah yang
paling mulia yang pernah dikenal sejarah. Demikian juga Aminah
bint Wahb akan menjadi ibu bagi anak Abdullah itu. Ia kawin
dengan wanita itu dan selang beberapa bulan kemudian iapun
meninggal. Tak ada lagi penebusan berupa apapun yang akan
melepaskan dia dari maut. Tinggal lagi Aminah kemudian akan
melahirkan Muhammad dan akan mati semasa yang dilahirkan itu
masih bayi.

Pada gambar berikut ini silsilah keturunan Nabi yang
menerangkan perkiraan tahun-tahun kelahiran mereka
masing-masing.

SILSILAH MUHAMMAD SAW

Qushayy
(lahir 400M)
|
+----------------------+----------------------+
| | |
'Abd'l-'Uzza 'Abd Manaf 'Abd'd-Dar
| (lahir 430M)
| |
| +----------+-----------+----------+
Asad | | | |
| Muttalib Hasyim Naufal 'Abd Syams
| (lahir 464M) |
Khuwailid | Umayya
| 'Abd'l-Muttalib |
+----+----+ (lahir 497M) Harb
| | | |
'Awwam Khadijah | Abu Sufyan
| | |
Zubair | Mu'awiya
|
+--------+----------+-------+--+-----------+----------+
| | | | | |
Hamzah 'Abbas 'Abdullah Abu Lahab Abu Talib Harith
(lahir 545M) |
| +----------+----------+
| | | |
MUHAMMAD 'Aqil 'Ali Ja'far
(lahir 570M) | |
| +---+---+
| | |
Muslim Hasan Husain

Catatan kaki:

1 Kaum Sabian yang dimaksudkan di sini bukan yang dimaksudkan
dalam Qur'an (2: 62), yaitu sekta Nasrani yang berpegang pada
Taurat dan Injil yang belum mengalami perubahan, melainkan
orang-orang Harran yang disebut oleh Ibn Taimia sebagai pusat
golongan ini dan sebagai tempat kelahiran Ibrahim atau tempat
ia pindah dan Irak (Mesopotamia). Di tempat ini terdapat
kuil-kuil tempat menyembah bintang-bintang. Kepercayaan mereka
ini sebelum datangnya agama Nasrani. Setelah datang Agama
Nasrani, kepercayaan mereka menjadi campur-baur dan dikenal
sebagai pseudo-Sabian. (Dikutip oleh al-Qasimi dalam
Mahasin't-Ta'wil, jilid 2 hal. 154-147). Juga mereka tidak
sama dengan kaum Sabaean yang berasal dari Saba di Arab
Selatan (A)



BAGIAN KETIGA: MUHAMMAD DARI KELAHIRAN (1/3)
SAMPAI PERKAWINANNYA
Muhammad Husain Haekal

Perkawinan Abdullah dengan Aminah - Abdullah wafat -
Muhammad lahir disusukan oleh Keluarga Sa'd - Kisah
dua malaikat - Lima tahun selama tinggal di pedalaman
- Aminah wafat - Di bawah asuhan Abd'l-Muttalib -
Abd'l-Muttalib wafat - Di bawah asuhan Abu Talib -
Pergi ke Suria dalam usia dua belas tahun- Perang
Fijar - Menggembala kambing - Ke Suria membawa
dagangan Khadijah - Perkawinannya dengan Khadijah

USIA Abd'l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun
atau lebih tatkala Abraha mencoba menyerang Mekah dan
menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya
sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan.
Pilihan Abd'l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd
Manaf bin Zuhra, - pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai
pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah
anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia dengan
anaknya menemui Wahb dan melamar puterinya. Sebagian penulis
sejarah berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman
Aminah, sebab waktu itu ayahnya sudah meninggal dan dia di
bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan
Aminah itu, Abd'l-Muttalib juga kawin dengan Hala, puteri
pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan
yang seusia dengan dia.

Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah
Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan
dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu
mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abd'l-Muttalib. Tak
seberapa lama kemudian Abdullahpun pergi dalam suatu usaha
perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam
keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan
yang berbeda-beda: adakah Abdullah kawin lagi selain dengan
Aminah; adakah wanita lain yang datang menawarkan diri
kepadanya? Rasanya tak ada gunanya menyelidiki
keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah
adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang
luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi isterinya
selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu
hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa
tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari
perjalanannya ke Syam untuk menjadi isterinya di samping
Aminah.

Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa
bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi.
Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di
Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam
perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah
ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat
saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih
dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita
sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.

Begitu berita sampai kepada Abd'l-Muttalib ia mengutus Harith
- anaknya yang sulung - ke Medinah, supaya membawa kembali
bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia
mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan
pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah.
Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan
pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa
hati Abd'l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan
seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan
hidupnya. Demikian juga Abd'l-Muttalib sangat sayang kepadanya
sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa
belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.

Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor
unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan,
yaitu Umm Ayman - yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh
jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda
kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di
samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia,
sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada
itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih
hidup itu.

Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain iapun
melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd'l
Muttalib di Ka'bah, bahwa ia melahirkan seorang anak
laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima
berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira
sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada.
Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu
lalu dibawanya ke Ka'bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini
tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian
dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang
menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa'd
(Banu Sa'd), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada
salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum
bangsawan Arab di Mekah.

Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli
berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah
(570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun
Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu limabelas
tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan
ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga
beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga
puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuhpuluh
tahun.

Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya.
Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada
yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat
dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab,
sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.

Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan.
Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau
malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya
mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas Rabiul
Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.

Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu
kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai
tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai
sur l'Histoire des Arabes menyatakan, bahwa Muhammad
dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia
dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd'l-Muttalib.

Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd'l-Muttalib minta
disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan
mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui
bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya
mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. "Kuinginkan
dia akan menjadi orang yang Terpuji,1 bagi Tuhan di langit
dan bagi makhlukNya di bumi," jawab Abd'l Muttalib.

Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada
salah seorang Keluarga Sa'd yang akan menyusukan anaknya,
sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab
di Mekah. Adat demikian ini masih berlaku pada
bangsawan-bangsawan Mekah. Pada hari kedelapan sesudah
dilahirkan anak itupun dikirimkan ke pedalaman dan baru
kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh
tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal
dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa'd.
Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah
menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya,
Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah
yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara
susuan.

Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun
ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya.
Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia
hijrah ke Medinah, untuk meneruskan hubungan baik itu ia
menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara susuan.
Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah
meninggal sebelum ibunya.

Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa'd yang akan
menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan
mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak
yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari
sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang
dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu
tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat
hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka
harapkan.

Akan tetapi Halimah bint Abi-Dhua'ib yang pada mulanya menolak
Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat
bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang
seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lainpun tidak
menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan
Mekah. Halimah berkata kepada Harith bin Abd'l-'Uzza suaminya:
"Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa
membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu
dan akan kubawa juga."

"Baiklah," jawab suaminya. "Mudah-mudahan karena itu Tuhan
akan memberi berkah kepada kita."

Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi
bersama-sama dengan teman-temannya ke pedalaman. Dia
bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat
berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun
bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh
Halimah dan diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan
kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali
menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan
badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih,
Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu
membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena
kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain
mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali
supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya
serangan wabah Mekah.

Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara
pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu
ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika
itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni,
bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama
anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar
pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa'd
itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada
ibu-bapanya: "Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil
oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan,
perutnya dibedah, sambil di balik-balikan."

Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai
diri dan suaminya ia berkata: "Lalu saya pergi dengan ayahnya
ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya
pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami
tanyakan: "Kenapa kau, nak?" Dia menjawab: "Aku didatangi oleh
dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu
perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu
aku apa yang mereka cari."

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat
ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu,
dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas
peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi sesudah
kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq
nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab
dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua
malaikat itu, melainkan - seperti cerita Halimah kepada Aminah
- ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada
beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan
menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya
belakang anak itu, lalu mereka berkata:

"Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami.
Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui
keadaannya." Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari
mereka dengan membawa anak itu. Demikian juga cerita yang
dibawa oleh Tabari, tapi ini masih di ragukan; sebab dia
menyebutkan Muhammad dalam usianya itu, lalu kembali
menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelum
kenabiannya dan usianya empatpuluh tahun.
Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin
sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan
menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua
laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu
hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya.
Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber
itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah
Keluarga Sa'd itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata
peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun,
dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada
ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita
itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis
berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
kalinya.

Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita
tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan,
bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu
gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu
gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai
mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang
baik. Barangkali yang lainpun akan berkata: Baginya tidak
diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau
dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya
supaya menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa
cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui
orang dari teks ayat yang berbunyi: "Bukankah sudah Kami
lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang
telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3)

Apa yang telah diisyaratkan Qur'an itu adalah dalam arti
rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan)
dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian
meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala
beban karena Risalah yang berat itu.

Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan
pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup
Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri
kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu
memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa
dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.
Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan
penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi
yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh
Qur'an supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa
undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai
dengan ekspresi Qur'an tentang kaum Musyrik yang tidak mau
mendalami dan tidak mau mengerti juga.

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia lima
tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara
sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar
mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia
mengatakan kepada teman-temannya kemudian: "Aku yang paling
fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di
tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr."

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan
yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu
Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih
sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik
sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah
kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta
Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor
kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda
penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan
bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta'if dikepung, kemudian
dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati
dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan
wanita itu.

Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang
membawanya pulang ketempat keluarganya tapi tidak
menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan memberitahukan
bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota
Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya, yang
akhirnya dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian
setengah orang berkata.

Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu.
Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala
kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu -
pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah - diletakkannya
hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka'bah, dan
anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai
penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang
datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu
sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya
rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika
Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk
diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak
Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah
kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal
dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali
ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya
pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta
itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama,
kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak
ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada
sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah
dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah
yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah
bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang
dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di
tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa',2 ibunda
Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan
pula di tempat itu.

Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang
menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa
olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa
hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka
kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia
melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali
lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini
dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih lagi kecintaan Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi
sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu
bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam
Qur'anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan
nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau
dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan
melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu
ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak
meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih dapat
hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal,
dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung
kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah
dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia,
sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda
jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun
sesudah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat
perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat
perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian
sampai pamannya itupun achirnya meninggal.

Sebenarnya kematian Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada
yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan,
pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan
Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka
yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk
Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada
lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang
dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang
kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga
Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan
yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan
ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.

Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia
bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua
adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas
yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena
itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus
rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu
Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di
kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau
Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu
Talib.

Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti
Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan
kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad
yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang
lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan
pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru
duabelas tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi
padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad.
Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan
menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap
ragu-ragu dalam hati Abu Talib.

Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga
sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku
riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan
inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu
telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan
petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan,
bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan
terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan
orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan
berbuat jahat terhadap dia.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu
melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang
berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya
daerah-daerah Madyan, Wadit'l-Qura serta peninggalan
bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang
tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman
tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun
yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan
membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita
orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya
dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di
sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui
berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya,
didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi
Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya
menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah
mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman
otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan
yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang
diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima
risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat
ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak
puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya
kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari
perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan
demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah
diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya
yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa.
Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada.
Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang
seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di
Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke
pekan-pekan yang berdekatan dengan 'Ukaz, Majanna dan
Dhu'l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh
penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat.3 Pendengarannya
terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta
dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka,
peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka.
Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi
dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara
tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada
kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu
dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada
paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi
tidak sepenuhnya ia merasa lega.

Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya
ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat
mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia
menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan
petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir
dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair,
ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato
dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama
bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul
senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang
Fijar. Dan Perang Fijar itulah di antaranya yang telah
menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di
kalangan kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini karena
ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah
seharusnya tidak boleh berperang. Pada waktu itulah
pekan-pekan dagang diadakan di 'Ukaz, yang terletak antara
Ta'if dengan Nakhla dan antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz,
tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling tukar menukar
perdagangan, berlumba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian
berziarah ke tempat berhala-berhala mereka di Ka'bah. Pekan
'Ukaz adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan
Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka
membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, di tempat itu Quss
(bin Sa'ida) berpidato dan di tempat itu pula orang-orang
Yahudi, Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing
mengemukakan pandangan dengan bebas, sebab bulan itu bulan
suci.

Akan tetapi Barradz bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi
menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan
membunuh 'Urwa ar-Rahhal bin 'Utba dari kabilah Hawazin.
Kejadian ini disebabkan oleh karena Nu'man bin'l-Mundhir
setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke 'Ukaz
membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan
membawa kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba
Barradz tampil sendiri dan membawa kafilah itu ke bawah
pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga 'Urwa lalu tampil
pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.

Adapun pilihan Nu'man terhadap 'Urwa (Hawazin) ini telah
menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana), yang kemudian
mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil
kabilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz memberitahukan
kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut
balas kepada Quraisy. Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy
sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah perang antara
mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi peringatan
bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz.

Perang demikian ini berlangsung antara kedua belah pihak
selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu
perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban
manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah
kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian
Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang
Hawazin. Nama Barradz ini kemudian menjadi peribahasa yang
menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian
mengenai umur Muhammad pada waktu Perang Fijar itu terjadi.
Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang
mengatakan duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena
perang tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun
permulaan ia berumur limabelas tahun dan pada tahun
berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.
Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang
Muhammad dalam perang itu. Ada yang mengatakan tugasnya
mengumpulkan anak-anak panah yang datang dari pihak Hawazin
lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali
kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia
sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan
tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka kebenaran
kedua pendapat itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya
ia mengumpulkan anak-anak panah itu untuk pamannya dan
kemudian dia sendiripun ikut melemparkan. Beberapa tahun
sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang
Fijar itu dengan berkata: "Aku mengikutinya bersama dengan
paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu;
sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan."

Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana yang
menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan
oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan 'Abd'l-Muttalib wafat, dan
masing-masing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau
tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut
mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin 'Abd'l-Muttalib di rumah
Abdullah bin Jud'an diadakan pertemuan dengan mengadakan
jamuan makan, dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra
dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha
Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya
sampai orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu
yang oleh mereka disebut Hilf'l-Fudzul. Ia mengatakan, "Aku
tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an
itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak
pasti kukabulkan."

Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya
beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat
Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya
peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan
menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan
hiburan sepuas-puasnya

Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini?
Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang
terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua
itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi
tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah
cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena
tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran
Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam
kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu.
Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Mekah
dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke
dalam kesenangan demikian itu.

Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat,
ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut
sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari
anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin
memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian
pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang
selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan
dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama
pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir
dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya
hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh
julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada
dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala
kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak,
sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya
'yang dapat dipercaya').

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah
pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya
itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing
penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat
yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia
berkata: "Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing."
Dan katanya lagi: "Musa diutus, dia gembala kambing, Daud
diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing
keluargaku di Ajyad."

Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang
bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam
sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk
pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam
demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua
itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu
penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya
sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia
melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah
juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti
kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh sinar matahari,
bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya berhubungan dengan
bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan
semesta alam yang tampak membentang di depannya, berhubungan
satu dengan yang lain dalam susunan yang sudah ditentukan,
matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan
mendahului siang. Apabila kelompok kambing yang ada di depan
Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya
jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan
sampai - selama tugasnya di pedalaman itu - ada domba yang
sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan
alam yang begitu kuat ini?

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala
pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari
itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas
di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan
tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama
yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang
begitu adanya: Al-Amin.

Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya
kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala kambing
dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata,
bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal
ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia
ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di
gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing
ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya
tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat
itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya
datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar
olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia
duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.

Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya penarik Mekah itu
terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan
renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik yang
kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang
martabatnya jauh di bawah Muhammad?

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar
nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan
kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja
sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara
hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan
memang tidak pernah Muhammad mempedulikan hal itu. Dalam
hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh
materi. Apa gunanya ia mcngejar itu padahal sudah menjadi
bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam
hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.

Bukankah dia juga yang pernahh berkata: "Kami adalah golongan
yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak
sampai kenyang?" Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang
hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang
bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara orang mengejar
harta dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya, sama
sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya.
Kenikmatan jiwa yang paling besar, ialah merasakan adanya
keindahan alam ini dan mengajak orang merenungkannya. Suatu
kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya
yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa
mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang
mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini
dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam
kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian
kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta
kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa
yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia
memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.

Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu
takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan
tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala pemikir,
yang telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah
pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.

Akan tetapi Abu Talib pamannya - seperti sudah kita sebutkan
tadi -hidup miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia
mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki yang akan
diperoleh dari pemilik-pemilik kambing yang kambingnya
digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa Khadijah
bint Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan
perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang
kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan
hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah
kaya setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum,
sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia
menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid
dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy
pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu
melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu
usahanya itu terus dikembangkan.

Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan
perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia
memanggil kemenakannya - yang ketika itu sudah berumur
duapuluh lima tahun.

"Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang berpunya. Keadaan
makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah
mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak
setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah
kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"

"Terserah paman," jawab Muhammad.

Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah:

"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Talib.
"Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta
Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."

"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak
kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan
kusukai." Demikian jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan
peristiwa itu. "Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan
kepadamu," katanya.

Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan
Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir
kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui
Wadi'l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang
dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala
umurnya baru duabelas tahun.

Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya
tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah dia
lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala
yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang
peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di
pasar-pasar sekeliling Mekah.

Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam.
Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu,
dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali
dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Muhammad
berdebat tentang agama Isa, agama yang waktu itu sudah
berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta -
seperti sudah kita uraikan di atas.

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu
benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara
perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang
dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter
yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik
kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba
waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang
dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.

Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di
Marr'-z-Zahran. Ketika itu Maisara berkata: "Muhammad,
cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan
pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."

Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Mekah.
Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila
dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman
rumahnya. ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad
bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang
perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga
mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira
dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarapun
datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa
halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini
menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah
diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah
berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah berusia
empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran
pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy - tertarik juga
hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan
matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal
itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah sumber,
atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber
lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: "Kenapa
kau tidak mau kawin?"

"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan," jawab
Muhammad.

"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?"

"Siapa itu?"

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah."

"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri
berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi
memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak
permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal
itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak lama
kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri
oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga
Khadijah guna menentukan hari perkawinan.

Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman
Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah
meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya
telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada
tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah
memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu
perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad.
Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa,
suami-isten yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak,
dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan
anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan
ibu-bapa semasa ia masih kecil.

Catatan kaki:

1 Muhammad atau Mahmud artinya yang terpuji (A).

2 Abwa' ialah sebuah desa antara Medinah dengan Juhfa,
jaraknya 23 mil (37 km) dari Medinah.

3 Al-Mu'allaqat nama yang diberikan kepada tujuh buah kumpulan
puisi Arab pra Islam yang dianggap terbaik, oleh tujuh
penyair: Imr'l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid, 'Antara, 'Amr ibn
Kulthum dan Harith ibn Hilizza. Mu'allaqat berarti 'yang
digantungkan' yakni sajak-sajak yang ditulis dengan tinta emas
(almudhahhab) di atas kain lina (A).

4 Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku (A).



BAGIAN KEEMPAT: DARI PERKAWINAN SAMPAI MASA KERASULANNYA (1/2)
Muhammad Husain Haekal

Perawakan dan sifat-sifat Muhammad - Penduduk Mekah
membangun Ka'bah - Putusan Muhammad tentang Hajar Aswad
- Pemikir-pemikir Quraisy dan paganisma - Putera-puteri
Muhammad - Kematian putera-puterinya - Perkawinan
putera-puterinya - Kecenderungan Muhammad menyendiri -
Menjauhi dosa ke Gua Hira'- Mimpi Hakiki - Wahyu
pertama.

DENGAN duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad
melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke
rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup
suami-isteri dan ibu-bapa, saling mencintai cinta sebagai
pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu
muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta
yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk
kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh
beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua
anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib1 telah
menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih
hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap
anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun sangat setia
dan hormat kepadanya.

Paras mukanya manis dan indah, Perawakannya sedang, tidak
terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang
besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus.
Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung
lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di
tepi-tepi putih matanya agak ke merah-merahan, tampak lebih
menarik dan kuat: pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata
yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan
gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher
panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang
bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak
tangan dan kakinya yang tebal.

Bila berjalan badannya agak condong kedepan, melangkah
cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan
penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan,
membuat orang patuh kepadanya.

Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah
cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila
Muhammad dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri yang
memegangnya seperti keadaannya semula dan membiarkannya
menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.

Muhammad yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya
dengan Khadijah itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan
harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan
rasa gembira dan hormat. Mereka melihat karunia Tuhan yang
diberikan kepadanya serta harapan akan membawa turunan yang
baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi
pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup hari-hari dengan
mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih
dihormati lagi di tengah-tengah mereka itu. Sifatnya yang
sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang
mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa
menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang
mengajaknya bicara, bahkan ia rnemutarkan seluruh badannya.
Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia mendengarkan. Bila
bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun
tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau, tapi
yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia
tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah
sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya
tampak sedikit berkeringat. Ini disebabkan ia menahan rasa
amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa
oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan
menghargai orang lain. Bijaksana ia, murah hati dan mudah
bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan
keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya.
Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam dirinya dan
meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang
bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba,
sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul
dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.

Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup
kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai isteri yang
sungguh setia itu.

Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga
partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada
waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar
yang turun dari gunung, pernah menimpa dan meretakkan
dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun
pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak
beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang
berharga di dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau
bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi
beratap, dewa Ka'bah yang suci itu akan menurunkan bencana
kepada mereka. Sepanjang zaman Jahiliah keadaan mereka
diliputi oleh pelbagai macam legenda yang mengancam
barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan
demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.

Tetapi sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu
adalah suatu keharusan, walaupun masih serba takut-takut dan
ragu-ragu. Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi sebuah
kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang
dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini
seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal
perdagangan. Sesudah Quraisy mengetahui hal ini, maka
berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira dengan beberapa orang dari
Quraisy ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang
sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Mekah
guna membantu mereka membangun Ka'bah kembali. Baqum
menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang
Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan
tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan
Baqum.

Sudut-sudut Ka'bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap
kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun
kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka
masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian
al-Walid bin'l-Mughira tampil ke depan dengan sedikit
takut-takut. Setelah ia berdoa kepada dewa-dewanya mulai ia
merombak bagian sudut selatan.3 Tinggal lagi orang
menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap
al-Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi
apa-apa, merekapun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan
batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.

Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di
situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu
sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu
sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu
granit berwarna biru, dan pembangunanpun segera dimulai.
Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya
meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di
sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy,
siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu
di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga
hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keluarga
Abd'd-Dar dan keluarga 'Adi bersepakat takkan membiarkan
kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar
ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga
Abd'd-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka
dimasukkan ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka.
Karena itu lalu diberi nama La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan
darah.'

Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang
tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah
melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:

"Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama
sekali memasuki pintu Shafa ini."

Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki
tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin; kami dapat menerima
keputusannya."

Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Iapun
mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa
berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu
katanya: "Kemarikan sehelai kain," katanya. Setelah kain
dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu
diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya;
"Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."

Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu
akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain
dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan
itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.

Quraisy menyelesaikan bangunan Ka'bah sampai setinggi
delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah
sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang
orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang
dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang
sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan
Hubal di dalam Ka'bah. Juga di tempat itu diletakkan
barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan
diberi beratap menjadi sasaran pencurian.

Mengenai umur Muhammad waktu membina Ka'bah dan memberikan
keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan
pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn
Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat
itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang
jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama
memasuki pintu Shafa, disusul dengan tindakannya mengambil
batu dan diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain
dan diletakkan di tempatnya dalam Ka'bah, menunjukkan betapa
tingginya kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya
penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.

Adanya pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan
La'aqat'd-Dam ('Jilatan Darah'), dan menyerahkan putusan
kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan
bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.

Kekuasaan yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan
Abd'l-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi. Adanya
pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga
Umayya sesudah matinya Abd'l-Muttalib besar sekali
pengaruhnya.

Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan
membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja tidak karena
adanya rasa kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah
Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara
wajar pula, yakni menambah adanya kemerdekaan berpikir dan
kebebasan menyatakan pendapat, dan menimbulkan keberanian
pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang
masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani
mereka lakukan sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir
dengan hilangnya pemujaan berhala-berhala itu dalam hati
penduduk Mekah dan orang-orang Quraisy sendiri, meskipun
pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan
adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini
sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa agama
yang berlaku itu adalah salah satu alat yang akan menjaga
ketertiban serta menghindarkan adanya kekacauan berpikir.
Dengan adanya penyembahan-penyembahan berhala dalam Ka'bah,
ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat keagamaan dan
perdagangan. Dan memang demikianlah sebenarnya, dibalik
kedudukan ini Mekah dapat juga menikmati kemakmuran dan
hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah
hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.

Ada beberapa keterangan yang menyebutkan, bahwa pada suatu
hari masyarakat Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan
berhala 'Uzza; empat orang di antara mereka diam-diam
meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah: Zaid b. 'Amr,
Usman bin'l-Huwairith, 'Ubaidullah b. Jahsy dan Waraqa b.
Naufal.

Mereka satu sama lain berkata: "Ketahuilah bahwa masyarakatmu
ini tidak punya tujuan; mereka dalam kesesatan. Apa artinya
kita mengelilingi batu itu: memdengar tidak, melihat tidak,
merugikan tidak, menguntungkanpun juga tidak. Hanya darah
korban yang mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara,
marilah kita mencari agama lain, bukan ini."

Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani.
Konon katanya dia yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa
Arab. 'Ubaidullah b. Jahsy masih tetap kabur pendiriannya.
Kemudian masuk Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia
pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya
- Umm Habiba bint Abi Sufyan - tetap dalam Islam, sampai
kemudian ia menjadi salah seorang isteri Nabi dan
Umm'l-Mu'minin.

Zaid b. 'Amr malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab
pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi.
Tetapi dia tidak mau menganut salah satu agama, baik Yahudi
atau Nasrani. Juga dia meninggalkan agama masyarakatnya dan
menjauhi berhala. Dialah yang berkata, sambil bersandar ke
dinding Ka'bah: "Ya Allah, kalau aku mengetahui, dengan cara
bagaimana yang lebih Kausukai aku menyembahMu, tentu akan
kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya."

Usman bin'l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan Khadijah,
pergi ke Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat
kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu. Disebutkan juga,
bahwa ia mengharapkan Mekah akan berada di bawah kekuasaan
Rumawi dan dia berambisi ingin menjadi Gubernurnya. Tetapi
penduduk Mekah mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu
Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke Mekah.
Tetapi hadiah-hadiah penduduk Mekah sampai juga kepada Banu
Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.

Selama bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk
Mekah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan
dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang subur
dan penuh kasih, menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan
telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang
dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti
Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan
Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa
mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan
sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu
meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian
juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.

Pada tiap kematian itu dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah
pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa berhalanya
itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak
melimpahkan rasa kasihan, sehingga dia mendapat kemalangan,
ditimpa kesedihan berulang-ulang!? Perasaan sedih karena
kematian anak demikian sudah tentu dirasakan juga oleh
suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya, yang hidup
terbayang pada istennya, terlihat setiap ia pulang ke rumah
duduk-duduk di sampingnya

Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa
sedih demikian itu, pada suatu zaman yang membenarkan
anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan
laki-laki sama dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan
lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi contoh betapa besarnya
kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan
tersebut, sehingga ketika Zaid b. Haritha didatangkan
dimintanya kepada Khadijah supaya dibelinya kemudian
dimerdekakannya. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin
Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia
menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad
merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal
pula. Kesedihan demikian ini timbul juga sesudah Islam
mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan
sesudah menentukan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki
ibu.

Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian
kedua anaknya berpengaruh juga dalam kehidupan dan
pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya
tertuju pada kemalangan yang datang satu demi satu itu
menimpa, yang oleh Khadijah dilakukan dengan membawakan
sesajen buat berhala-berhala dalam Ka'bah, menyembelih hewan
buat Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4

Ia ingn menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan
tetapi, semua kurban-kurban dan penyembelihan itu tidak
berguna sama sekali.

Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan
perhatian, dengan mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya
memenuhi syarat (kufu'). Zainab yang sulung dikawinkan dengan
Abu'l-'Ash bin'r-Rabi' b.'Abd Syams - ibunya masih bersaudara
dengan Khadijah - seorang pemuda yang dihargai masyarakat
karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan.
Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah
datangnya Islam - ketika Zainab akan hijrah dan Mekah ke
Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat lebih
terperinci nanti. Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan
'Utba dan 'Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri
ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab
menyuruh kedua anaknya itu menceraikan isteri mereka, yang
kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5

Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali
baru sesudah datangnya Islam.
Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu ternyata tenteram
adanya. Kalau tidak karena kehilangan kedua anaknya itu tentu
itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan bersama Khadijah,
yang setia dan penuh kasih, hidup sebagai ayah-bunda yang
bahagia dan rela. Oleh karena itu wajar sekali apabila
Muhammad membiarkan dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya,
bawaan berpikir dan bermenung, dengan mendengarkan percakapan
masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta apa pula yang
dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri mereka
itu. Ia berpikir dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya
dialah orang yang paling banyak berpikir dan merenung. Jiwa
yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai
persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhan kepada umat
manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang
hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat
manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah
seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini,
sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan
menerima risalahNya. Begitu besar dan kuatnya kecenderungan
rohani yang ada padanya, ia tidak ingin menjadikan dirinya
sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli pikir
seperti , dilakukan oleh Waraqa b. Naufal dan sebangsanya.
Yang dicarinya hanyalah kebenaran semata. Pikirannya penuh
untuk itu, banyak sekali ia bermenung. Pikiran dan renungan
yang berkecamuk dalam hatinya itu sedikit sekali dinyatakan
kepada orang lain.

Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa
golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun
menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan
mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan
berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan.
Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan
tahannuf dan tahannuth.6

Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling
baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam
dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam
dinnya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri,
ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin
besar, ingin mencapai ma'rifat serta mengetahui rahasia alam
semesta.

Di puncak Gunung Hira, - sejauh dua farsakh7 sebelah utara
Mekah -terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat
menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun
ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan
bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun dalam renungan dan
ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan
manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.

Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu,
sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang
ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam
kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di
situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang
disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala prasangka
yang pernah dikejar-kejar orang.

Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat
dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan para
pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit
dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang
pasir di kala panas membakar di bawah sinar matahari yang
berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan indah,
bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut,
atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada
di balik itu, yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta
diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia mencari
Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia
menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai
hubungan dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang
menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan yang
panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya
dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan
sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak
membawa kebenaran samasekali. Berhala-berhala yang tidak
berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki,
tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang ditimpa
bahaya. Hubal, Lat dan 'Uzza, dan semua patung-patung dan
berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar
Ka'bah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau
akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.

Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana
kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas dengan
buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya?
Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang
memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana
pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua
makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya
dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain
adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau
barangkali di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak
terbatas, tak berkesudahan?

Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang, dan
besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya?
Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita
di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai
ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak mungkin
bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia,
kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri,
ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia
memilih yang lain?

Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga
yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan
bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran itu dan
melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu memenuhi
jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya.
Siang dan malam hal ini menderanya terus menerus. Bilamana
bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah,
pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah
menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila
sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.

Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah
Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini
ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir
menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai
syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang
mengatakan menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan menurut
Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada yang
mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang
lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan
diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih
tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar
renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.

Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan
Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi
sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah
beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu
dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki yang memancarkan
cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya Bersamaan dengan
itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan
segala macam kemewahan yang tiada berguna.

Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari
jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka telah rusak
karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta
kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula
sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi
dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu.
Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang benar;
tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai
macam cara paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan
kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang sederhana, tidak
mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang
menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan
Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan
selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam.
Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa
manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. "Barangsiapa
mengerjakan kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan
barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan
dilihatNya pula." (Qur'an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar
adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan
selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan
kediaman yang paling durhaka.

Muhammad sudah menjelang usia empatpuluh tahun. Pergi ia ke
Hira' melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas
segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia
telah membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah
mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh kalbu
ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang
Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh
jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada
masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam,
kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa,
dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari
gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali
ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang
berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat
dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan selama enam bulan,
sampai-sampai ia merasa kuatir akan membawa akibat lain
terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa
kekuatirannya itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang
telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau itu adalah gangguan
jin.

Tetapi isteri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya.
dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan
mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran
isteri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah telah
mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani
sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang
dahsyat, yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia
dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.

Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika
itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata
kepadanya: "Bacalah!" Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya
tak dapat membaca". Ia merasa seolah malaikat itu
mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi:
"Bacalah!" Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad
menjawab: "Apa yang akan saya baca." Seterusnya malaikat itu
berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan.
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu
Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada
manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)

Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah
kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8

Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya
kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah
kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia
menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia
diam sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir ia akan apa yang
terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba
membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah
dilihatnya itu.

Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil
bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya
membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara
dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang memancar dari
sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di
hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di
mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan
masyarakat Quraisy ke dalam lembah paganisma dan penyembahan
berhala, jadi terbuka.

Sinar terang-benderang yang memancar di hadapannya dan
kebenaran yang telah menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah
Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah yang telah memberi
peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan manusia
dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan kepada
manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?

Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih
bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya.
Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit.
Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia.
Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun
ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu.
Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit.
Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa
malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya.
Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian. Dalam pada itu
Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua tapi
tidak menjumpainya.

Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah
berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut,
hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil
ia berkata: "Selimuti aku!" Ia segera diselimuti. Tubuhnya
menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu
berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata
ingin mendapat kekuatan.

"Khadijah, kenapa aku?" katanya. Kemudian diceritakannya apa
yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya
akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru
nujum saja.

Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana
ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa
kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan
tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam
kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa
kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan
penuh hormat, seraya berkata:

"O putera pamanku.9 Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi
Dia Yang memegang hidup Khadijah,10 aku berharap kiranya
engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah
takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali
kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul
beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang
dalam kesulitan atas jalan yang benar."

Muhammad sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah
dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya
sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun
tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu
kehidupan rohaniyang kuat, yang luarbiasa kuatnya. Suatu
kellidupan yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi
kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata
untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah
Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat
manusia dengan cara yang lebih baik, sehingga sempurnalah
cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.

Catatan kaki:

1 Berdasarkan pada sebagian besar ahli genekologi,
bahwa putera-putera Nabi s.a.w. dari Khadijah dua
orang: al-Qasim dan Abdullah, yang diberi julukan
at-Tahir dan at-Tayyib. Ada juga yang mengatakan tiga,
ada pula yang mengatakan empat orang.

2 Mungkin nama ini sudah diarabkan (A)

3 Bangunan itu terdiri dari empat sudut dikenal dengan
nama-nama sudut utara, ar-rukn'l-iraqi (Irak), sudut
selatan, ar-rukn'l-yamani, sudut barat, ar-rukn'l-syami
dan sudut timur, ar-rukn'l-aswad (A)

4 Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat adalah berhala-berhala
sembahan Arab pagan. Konon kabarnya Hubal berhala
terbesar yang tinggal dalam Ka'bah, dibuat dari batu
akik dalam bentuk manusia (lihat halaman 21-22).
Keterangan tentang tuhan-tuhan wanita Lat. 'Uzza dan
Manat berbeda-beda mengenai bentuknya. Katanya Lat
dalam bentuk manusia juga, 'Uzza berhala kaum Thaqif.
'Uzza pada mulanya adalah pohon suci, terletak di
antara Mekah dengan Ta'if. Manat merupakan batu putih,
berhala kaum Hudhail dan Khuza'a. Ketiga-tiganya itu
berbentuk wanita. (A)

5 Usman b. 'Affan, Khalifah ketiga. Setelah Ruqayya
diceraikan oleh 'Utba diambil isteri oleh Usman b.
'Affan. Setelah Umm Kulthum dewasa kawin dengan
'Utaiba, lalu diceraikan pula. Sesudah dalam tahun ke-2
H. Ruqayya wafat, Usman kawin dcngan Umm Kulthum. Ia
meninggal dalam tahun ke-9 H. di Medinah (A).

6 Tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya seakar
dengan hanif, yang berarti 'cenderung kepada kebenaran'
'meninggalkan berhala dan beribadat kepada Allah' (LA)
atau sebaliknya dari perbuatan syirik. (Bandingkan
Qur'an, 2: 135; 10: 105). Tahannuth atau tahannatha,
beribadat dan menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada
Tuhan' (N). 'Beribadat dan menjauhi berhala, seperti
tahannatha (LA). Dalam terjemahan selanjutnya kedua
kata ini tidak diterjemahkan (A).

7 Bahasa Persia, parsang, ukuran panjang dahulu kala,
kira-kira 3.5 mil atau hampir 6 km. (A).

8 Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula
menceritakan. Ibn Ishaq juga ke sana dasarnya. Demikian
juga yang datang kemudian banyak yang menceritakan
begitu. Hanya saja sebagian mereka berpendapat bahwa
permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di
waktu siang, dengan menyebutkan sebuah keterangan
melalui Jibril yang menenteramkan hati Muhammad ketika
dilihatnya dalam ketakutan. Ibn Kathir dalam Tarikh-nya
menyebutkan sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na'im
al-Ashbahani dalam bukunya Dala'il'n-Nubawa dari
'Alqama bin Qais, bahwa "Yang mula-mula didatangkan
kepada para nabi itu mereka dalam keadaan tidur (dengan
maksud) supaya hati mereka tenteram. Sesudah itu
kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan: "Ini yang
dikatakan 'Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan
yang baik, diperkuat oleh yang datang sebelum dan
sesudahnya."

9 Suatu kebiasaan orang Arab memanggil orang yang
dianggap seturunan. Muhammad dan Khadijah dari nenek
moyang yang sama, yakni Qushayy (A).

10 Suatu pernyataan sumpah yang biasa diucapkan pada
masa itu, maksudnya "Demi Allah" (A)


BAGIAN KELIMA: DARI MASA KERASULAN SAMPAI ISLAMNYA UMAR (1/4)
Muhammad Husain Haekal

Percakapan Khadijah dengan Waraqa b. Naufal - Wahyu
terhenti - Islamnya Abu Bakr - Muslimin yang mula-mula
- Ajakan Muhammad kepada keluarganya - Quraisy
menghasut penyair-penyairnya terhadap Muhammad -
Muhammad menista dewa-dewa Quraisy - Utusan Quraisy
kepada Abu Talib - Kedudukan Muhammad terhadap
pamannya - Quraisy menyiksa kaum Muslimin - Kaum
Muslimin hijrah ke Abisinia - Islamnya Umar.

MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh
kasih dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi
mengajaknya bicara itu.

Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang
sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar,
dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah
menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari
yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami
itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam
kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama yang
benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi,
sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa
kuatir sekali, kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh
kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah
diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang
begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah
menyampaikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi
seluruh ruangan itu. Selalu ia melihat malaikat itu kemana
saja ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata
yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.

Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah di depan mata
hatinya Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu
harapan; kadang kecut juga rasanya, karena takut akan nasib
yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak.

Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya
berpindah-pindah dari harapan yang manis sedap kepada
kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan
mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah
dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.

Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak
paman), Waraqa b. Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraqa
adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal
Bible dan sudah pula menterjemahkannya sebagian ke dalam
bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan
didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan
Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan
harapan yang ada dalam dirinya. Waraqa menekur sebentar,
kemudian katanya: "Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang
memegang hidup Waraqa. Khadijah, percayalah, dia telah
menerima Namus Besar1 seperti yang pernah diterima Musa. Dan
sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya
tetap tabah."

Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya
suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur
harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia
menggigil, napasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah
membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya
malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:

"O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan.
Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmupun bersihkan. Dan hindarkan
perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima
lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (Qur'an 74:
17)

Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih
besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya
kembali ia tidur dan beristirahat.

"Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah,"
jawabnya. "Jibril membawa perintah supaya aku memberi
peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya
mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan
kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"

Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia
menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqa tadi. Dengan
penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan
dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila
Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya
benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang
berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa
kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar
kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran
semata-mata. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa,
kalbu dan pikiran yang sudah begitu tinggi, membubung
melampaui jangkauan yang akan dapat dibayangkan manusia,
manusia yang menyembah patung dan membawakan kurban-kurban ke
sana; mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat
mendatangkan bencana dan keuntungan. Mereka membayangkan,
bahwa itu patut disembah dan diagungkan. Wanita itu sudah
melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masa tahannuth
itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala
pertama kali ia kembali dari gua Hira', sesudah kerasulannya.
Ia bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat
itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.

Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang,
didudukannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di
paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itupun masih juga
dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya.
Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya. Khadijah
tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.

Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan
mengelilingi Ka'bah. Di tempat itu Waraqa b. Naufal
menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqa
berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa. Engkau adalah
Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti
yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan
didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan
diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti
aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang
sudah diketahuiNya pula." Lalu Waraqa mendekatkan kepalanya
dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammadpun segera merasakan
adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqa itu, dan merasakan
pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.

Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy
supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat kuat
mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan
mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan
sanak famili yang dekat.

Sungguhpun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa
yang dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia
mengajak mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih
tinggi sehingga dapat berhubungan dengan Allah Yang telah
menciptakan mereka dan menciptakan nenek-moyang mereka; agar
mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas, dengan
jiwa yang bersih, untuk agama. Ia mengajak mereka supaya
mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan yang
baik, dengan memberikan kepada orang berdekatan, hak-hak
mereka, begitu juga kepada orang yang dalam perjalanan; agar
mereka menjauhkan diri dari menyembah batu-batu yang mereka
buat jadi berhala yang menurut dugaan mereka akan mengampuni
segala dosa mereka dari perbuatan angkara-murka yang mereka
lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta anak piatu.
Penyembahan mereka demikian itu membuat jiwa dan hati mereka
lebih keras dan lebih membatu dari patung-patung itu. Ia
memperingatkan mereka agar mereka mau melihat ciptaan Tuhan
yang ada di langit dan di bumi; supaya semua itu menjadi
tamsil dalam jiwa mereka serta kemudian menyadari betapa
dahsyat dan agungnya semua itu. Dengan kesadaran demikian
mereka akan memahami kebesaran undang-undang Ilahi yang
berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya, dengan ibadatnya
itu akan memahami pula kebesaran Al Khalik Pencipta alam
semesta ini, Yang Tunggal, tiada bersekutu. Dengan demikian
mereka akan lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka akan diisi
oleh rasa kasih-sayang terhadap mereka yang belum mendapat
petunjuk Tuhan, dan akan berusaha ke arah itu. Mereka akan
berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap semua orang
yang malang dan lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan
memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka.

Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu keras, jiwa yang
sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala
seperti yang dilakukan oleh nenek-moyang mereka dahulu. Di
tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat
kunjungan penyembah berhala! Akan mereka tinggalkankah agama
nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka
yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak ada lagi orang
yang akan menyembah berhala? Lalu bagaimana pula akan
membersihkan jiwa serupa itu dan melepaskan diri dari noda
hawa-nafsu, hawa-nafsu yang akan menjerumuskan mereka, sampai
kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingatkan
manusia supaya mengatasi nafsunya, menempatkan diri di atas
berhala-berhala itu? Kalau mereka sudah tidak mau percaya
kepadanya, apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi
masalah besar itu.

Ia sedang menantikan bimbingan wahyu dalam menghadapi
masalahnya itu, menantikan adanya penyuluh yang akan menerangi
jalannya. Tetapi, wahyu itu sekarang terputus! Jibrilpun tidak
datang lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu.
Ia merasa terasing dari orang, dan dari dirinya. Kembali ia
merasa dalam ketakutan seperti sebelum turunnya wahyu. Konon
Khadijah pernah mengatakan kepadanya: "Mungkin Tuhan tidak
menyukai engkau."

Ia masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang mendorongnya
lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi dalam gua
Hira'. Ia ingin membubung tinggi dengan seluruh jiwanya,
menghadapkan diri kepada Tuhan, akan menanyakan: Kenapa ia
lalu ditinggalkan sesudah dipilihNya? Kecemasan Khadijahpun
tidak pula kurang rasanya.

Ia mengharap mati benar-benar kalau tidak karena merasakan
adanya perintah yang telah diberikan kepadanya. Kembali lagi
ia kepada dirinya, kemudian kepada Tuhannya. Konon katanya:
Pernah terpikir olehnya akan membuang diri dari atas Hira'
atau dari atas puncak gunung Abu Qubais. Apa gunanya lagi
hidup kalau harapannya yang besar ini jadi kering lalu
berakhir?

Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian itu - sesudah
sekian lama terhenti - tiba-tiba datang wahyu membawa firman
Tuhan:

"Demi pagi cerah yang gemilang. Dan demi malam bila senyap
kelam. Tuhanmu tidak meninggalkan kau, juga tidak merasa
benci. Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau
daripada yang sekarang. Dan akan segera ada pemberian dari
Tuhan kepadamu. Maka engkaupun akan bersenang hati. Bukankah
Ia mendapati kau seorang piatu, lalu diberiNya tempat
berlindung? Dan Ia mendapati kau tak tahu jalan, lalu
diberiNya kau petunjuk? Karena itu, terhadap anak piatu,
jangan kau bersikap bengis. Dan tentang orang yang meminta,
jangan kau tolak. Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau
sebarkan."(Qur'an, 93: 1-11)

Maha Mulia Allah. Betapa damainya itu dalam jiwa. Betapa
gembira dalam hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad
semuanya hilang sudah. Terbayang senyum di wajahnya.
Bibirnyapun mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan
penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut, bahwa Tuhan
sudah tidak menyukai Muhammad dan iapun tidak lagi merasa
takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka berdua
dengan rahmatNya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang
sama sekali dari hatinya. Tak ada lagi bunuh diri.

Yang ada sekarang ialah hidup dan ajakan kepada Allah, dan
hanya kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha Besar
menundukkan kepala. Segala yang ada di langit dan di bumi
bersujud belaka kepadaNya. Hanya Dialah Yang Hak, dan yang
selain itu batil adanya. Hanya kepadaNya hati manusia
dihadapkan, seluruh hidup kesana juga bergantung dan kepadaNya
pula ruh akan kembali. "Sungguh, hari kemudian itu lebih baik
buat kau daripada yang sekarang."

Ya, hari kemudian tempat berkumpulnya jiwa dengan segala
bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang dan waktu,
dan semua cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan
adanya. Hari kemudian yang akan disinari cahaya pagi,
berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang di
langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh jiwa
yang pasrah menyerah. Kehidupan inilah yang akan menjadi
tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu hanya
bayangan belaka, yang tiada berguna. Kebenaran inilah yang
cahayanya disinari oleh jiwa Muhammad, dan yang baru akan
dipantulkan kembali guna memikirkan bagaimana mengajak orang
ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada Tuhan, ia
harus membersihkan pakaiannya serta menjauhi perbuatan
mungkar. Ia harus tabah menghadapi segala gangguan demi
menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada
ilmu yang belum mereka ketahui; jangan menolak orang meminta,
jangan berlaku bengis terhadap anak piatu. Cukuplah Tuhan
telah memilihnya sebagai pengemban amanat. Maka katakanlah
itu. Cukup sudah, bahwa Tuhan telah menemukannya sebagai
seorang piatu, lalu dilindungiNya di bawah asuhan kakeknya
Abd'l-Muttalib, dan pamannya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin,
telah diberi kekayaan dengan amanat Tuhan kepadanya.
Dipermudah pula dengan Khadijah sebagai kawan semasa mudanya,
kawan semasa dalam tahannuth, kawan semasa kerasulannya, kawan
yang penuh cinta kasih, yang memberi nasehat dengan rasa
kasih-sayangnya. Tuhan telah mendapatinya tak tahu jalan, lalu
diberiNya petunjuk berupa risalah. Cukuplah semua itu.
Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat
mungkin.

Begitulah ketentuan Tuhan terhadap seorang nabi yang telah
dipilihNya. Ia tidak ditinggalkanNya, juga tidak dibenciNya.

Tuhan telah mengajarkan Nabi bersembahyang, maka iapun
bersembahyang, begitu juga Khadijah ikut pula sembahyang.
Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali bin
Abi Talib sebagai anak muda yang belum balig. Pada waktu itu
suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang luarbiasa. Abu
Talib adalah keluarga yang banyak anaknya. Muhammad sekali
berkata kepada Abbas, pamannya - yang pada masa itu adalah
yang paling mampu di antara Keluarga Hasyim: "Abu Talib
saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang yang
mengalami krisis. Baiklah kita ringankan dia dari anak-anaknya
itu. Aku akan mengambilnya seorang kaupun seorang untuk
kemudian kita asuh."

Karena itu Abbas lalu mengasuh Ja'far dan Muhammad mengasuh
Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa kerasulannya.

Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba Ali
menyeruak masuk. Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku' dan
sujud serta membaca beberapa ayat Qur'an yang sampai pada
waktu itu sudah diwahyukan kepadanya. Anak ifu tertegun
berdiri: "Kepada siapa kalian sujud?" tanyanya setelah
sembahyang selesai.

"Kami sujud kepada Allah," jawab Muhammad, "Yang mengutusku
menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah
Allah"

Lalu Muhammadpun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah
semata tiada bersekutu serta menerima agama yang dibawa nabi
utusanNya dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan
'Uzza. Muhammad lalu membacakan beberapa ayat Qur'an. Ali
sangat terpesona karena ayat-ayat itu luarbiasa indahnya.
Ia minta waktu akan berunding dengan ayahnya lebih dulu.
Semalaman itu ia merasa gelisah. Tetapi besoknya ia memberi
tahukan kepada suami-isteri itu, bahwa ia akan mengikuti
mereka berdua, tidak perlu minta pendapat Abu Talib. "Tuhan
menjadikan saya tanpa saya perlu berunding dengan Abu Talib.
Apa gunanya saya harus berunding dengan dia untuk menyembah
Allah."

Jadi Ali adalah anak pertama yang menerima Islam. Kemudian
Zaid b. Haritha, bekas budak Nabi. Dengan demikian Islam masih
terbatas hanya dalam lingkungan keluarga Muhammad: dia
sendiri, isterinya, kemenakannya dan bekas budaknya. Masih
juga ia berpikir-pikir, bagaimana akan mengajak kaum Quraisy
itu. Tahu benar ia, betapa kerasnya mereka itu dan betapa pula
kuatnya mereka berpegang pada berhala yang disembah-sembah
nenek moyang mereka itu.

Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa dari kabilah Taim adalah
teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena sudah
diketahuinya benar ia sebagai orang yang bersih, jujur dan
dapat dipercaya. Oleh karena itu orang dewasa pertama yang
diajaknya menyembah Allah Yang Esa dan meninggalkan
penyembahan berhala, adalah dia. Juga dia laki-laki pertama
tempat dia membukakan isi hatinya akan segala yang dilihat
serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakr tidak ragu-ragu lagi
memenuhi ajakan Muhammad dan beriman pula akan ajakannya itu.
Jiwa yang mana lagi yang memang mendambakan kebenaran masih
akan ragu-ragu meninggalkan penyembahan berhala dan untuk
kemudian menyembah Allah Yang Esa! Jiwa yang mana lagi yang
masih disebut jiwa besar di samping menyembah Allah masih mau
menyembah batu yang bagaimanapun bentuknya! Jiwa yang mana
lagi yang sudah bersih masih akan ragu-ragu membersihkan
pakaian dan jiwanya, berderma kepada orang yang membutuhkan
dan berbuat kebaikan kepada anak piatu!

Keimanannya kepada Allah dan kepada RasulNya itu segera
diumumkan oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia memang
seorang pria yang rupawan. "Menjadi kesayangan masyarakatnya
dan amikal sekali. Dari kalangan Quraisy ia termasuk orang
Quraisy yang berketurunan tinggi dan yang banyak mengetahui
segala seluk-beluk bangsa itu, yang baik dan yang jahat.
Sebagai pedagang dan orang yang berakhlak baik ia cukup
terkenal. Kalangan masyarakatnya sendiri yang terkemuka
mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka mengenalnya karena
ilmunya, karena perdagangannya dan karena pergaulannya yang
baik."

Dari kalangan masyarakatnya yang dipercayai oleh Abu Bakr
diajaknya mereka kepada Islam. Usman b. 'Affan, Abdurrahman b.
'Auf, Talha b. 'Ubaidillah, Sa'd b. Abi Waqqash dan Zubair
bin'l-'Awwam mengikutinya pula menganut Islam. Kemudian
menyusul pula Abu 'Ubaida bin'l-Djarrah, dan banyak lagi yang
lain dari penduduk Mekah. Mereka yang sudah Islam itu lalu
datang kepada Nabi menyatakan Islamnya, yang selanjutnya
menerima ajaran-ajaran agama itu dari Nabi sendiri.

Mengetahui adanya permusuhan yang begitu bengis dari pihak
Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisma, maka
kaum Muslimin yang mula-mula masih sembunyi-sembunyi. Apabila
mereka akan melakukan salat, mereka pergi ke celah-celah
gunung di Mekah. Keadaan serupa ini berjalan selama tiga
tahun, sementara Islam tambah meluas juga di kalangan penduduk
Mekah. Wahyu yang datang kepada Muhammad selama itu makin
memperkuat iman kaum Muslimin.

Yang menambah pula dakwah itu berkembang sebenarnya karena
teladan yang diberikan Muhammad sangat baik sekali: ia penuh
bakti dan penuh kasih-sayang, sangat rendah hati dan penuh
kejantanan, tutur-katanya lemah-lembut dan selalu berlaku
adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan. Pandangannya
terhadap orang yang Iemah, terhadap piatu, orang yang sengsara
dan miskin adalah pandangan seorang bapa yang penuh kasih,
lemah-lembut dan mesra. Malam haripun, dalam ia bertahajud,
malam ia tidak cepat tidur, membaca wahyu yang disampaikan
kepadanya, renungannya selalu tentang langit dan bumi, mencari
pertanda dari segenap wujud ini, permohonannya selalu
dihadapkan hanya kepada Allah. Dia. yang menyerapkan hidup
semesta ini ke dalam dirinya dan kedalam jantung kehidupannya
sendiri, adalah suatu teladan yang membuat mereka yang sudah
beriman dan menyatakan diri Islam itu, makin besar cintanya
kepada Islam dan makin kukuh pula imannya. Mereka sudah
berketetapan hati meninggalkan anutan nenek-moyang mereka
dengan menanggung segala siksaan kaum musyrik yang hatinya
belum lagi disentuh iman.

Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Mekah yang sudah mengenal
arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran, pengampunan dan
arti rahmat, mereka beriman kepada ajaran Muhammad. Semua kaum
yang lemah, semua orang yang sengsara dan semua orang yang
tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran Muhammad sudah tersebar
di Mekah, orang sudah berbondong-bondong memasuki Islam, pria
dan wanita.

Orang banyak bicara tentang Muhammad dan tentang
ajaran-ajarannya. Akan tetapi penduduk Mekah yang masih
berhati-hati, yang masih tertutup hatinya, pada mulanya tidak
menghiraukannya. Mereka menduga, bahwa kata-katanya tidakkan
lebih dan kata-kata pendeta atau ahli-ahli pikir semacam Quss,
Umayya, Waraqa dan yang lain. Orang pasti akan kembali kepada
kepercayaan nenek-moyangnya; yang akhirnya akan menang ialah
Hubal, Lat dan 'Uzza, begitu juga Isaf dan Na'ila yang dibawai
kurban. Mereka lupa bahwa iman yang murni tak dapat
dikalahkan, dan bahwa kebenaran pasti akan mendapat
kemenangan.

Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah
datang supaya ia mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan
itu, perintah Allah supaya disampaikan. Ketika itu wahyu
datang:

"Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat.
Limpahkanlah kasih-sayang kepada orang-orang beriman yang
mengikut kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau,
katakanlah, 'Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu.'"
(Qur'an 26: 214-216)

"Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak
usah kauhiraukan orang-orang musyrik itu."(Qur'an 15: 94)

Muhammadpun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke
rumahnya, dicobanya bicara dengan mereka dan mengajak mereka
kepada Allah. Tetapi Abu Talib, pamannya, lalu menyetop
pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan
tempat. Keesokan harinya sekali lagi Muhammad mengundang
mereka.

Selesai makan, katanya kepada mereka: "Saya tidak melihat ada
seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan sesuatu
ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang saya bawakan
kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan
akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu
sekalian. Siapa di antara kamu ini yang mau mendukungku dalam
hal ini?"

Mereka semua menolak, dan sudah bersiap-siap akan
meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangkit - ketika itu ia
masih anak-anak, belum lagi balig.

"Rasulullah, saya akan membantumu," katanya. "Saya adalah
lawan siapa saja yang kautentang."

Banu Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa
terbahak-bahak. Mata mereka berpindah-pindah dari Abu Talib
kepada anaknya. Kemudian mereka semua pergi meninggalkannya
dengan ejekan.

Sesudah itu Muhammad kemudian mengalihkan seruannya dari
keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah.
Suatu hari ia naik ke Shafa2 dengan berseru: "Hai masyarakat
Quraisy." Tetapi orang Quraisy itu lalu membalas: "Muhammad
bicara dari atas Shafa." Mereka lalu datang berduyun-duyun
sambil bertanya-tanya, "Ada apa?"

"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa
pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah
kamu?"

"Ya," jawab mereka. "Engkau tidak pernah disangsikan. Belum
pernah kami melihat engkau berdusta."

"Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang
sungguh berat," katanya, "Banu Abd'l-Muttalib, Banu Abd Manaf,
Banu Zuhra, Banu Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad Allah
memerintahkan aku memberi peringatan kepada
keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau
akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan yang dapat
kuberikan kepada kamu, selain kamu ucapkan: Tak ada tuhan
selain Allah."

Atau seperti dilaporkan: Abu Lahab - seorang laki-laki
berbadan gemuk dan cepat naik darah - kemudian berdiri sambil
meneriakkan: "Celaka kau hari ini. Untuk ini kau kumpulkan
kami?"

Muhammad tak dapat bicara. Dilihatnya pamannya itu. Tetapi
kemudian sesudah itu datang wahyu membawa firman Tuhan:

"Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia. Tak ada
gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang menjilat-jilat
akan menggulungnya" (Qur'an 102:1-8)

Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang
lain tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di
kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari niscaya akan ada saja
orang yang Islam - menyerahkan diri kepada Allah. Lebih-lebih
mereka yang tidak terpesona oleh pengaruh dunia perdagangan
untuk sekedar melepaskan renungan akan apa yang telah
diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang
berkecukupan, baik dari harta Khadijah atau hartanya sendiri.
Tidak dipedulikannya harta itu, juga tidak akan
memperbanyaknya lagi. Ia mengajak orang hidup dalam
kasih-sayang, dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan tasamuh
(lapang dada, toleransi). Ya, bahkan dia yang menerima wahyu
menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan adalah suatu kutukan
terhadap jiwa.

"Kamu telah dilalaikan oleh perlombaan saling memperbanyak.
Sampai nanti kamu menuju kubur. Sekali lagi, jangan! Akan kamu
ketahui juga nanti. Jangan. Kalau kamu mengetahui dengan
meyakinkan. Niscaya akan kamu lihat neraka. Kemudian, tentu
akan kamu lihat itu dengan mata yang meyakinkan. Hari itu
kemudian baru kamu akan ditanyai tentang kesenangan itu."
(Qur'an 111: 1-3)

Apalagi yang lebih baik daripada yang dianjurkan Muhammad itu!
Bukankah ia menganjurkan kebebasan? Kebebasan mutlak yang tak
ada batasnya. Kebebasan yang sungguh bernilai bagi setiap
manusia Arab itu, sama dengan nilai hidupnya sendiri! Ya!
Bukankah orang mau melepaskan diri dari belenggu dengan
pengabdian yang bagaimanapun selain pengabdiannya kepada
Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak ada
Hubal, tak ada Lat, 'Uzza. Tak ada api Majusi, matahari orang
Mesir, tak ada bintang penyembah bintang, tak ada hawariyin
(pengikut-pengikut Isa), tak ada seorang manusiapun, atau
malaikat ataupun jin yang akan menjadi batas antara Allah
dengan manusia. Di hadapan Allah, hanya di hadapanNya Yang
Tunggal tak bersekutu, manusia akan dimintai
pertanggung-jawabannya atas perbuatannya yang telah dilakukan,
yang baik dan yang buruk. Hanya perbuatan manusia itu sajalah
yang menjadi perantaranya. Hati kecilnya yang akan menimbang
semua perbuatan. Hanya itulah yang berkuasa atas dirinya.
Dengan itulah dipertanggungkan ketika setiap jiwa mendapat
balasan sesuai dengan perbuatannya. Kebebasan mana lagi yang
lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad itu? Adakah Abu
Lahab dan kawan-kawannya mengajarkan yang semacam itu -
sedikit sekalipun? Ataukah mereka mengajarkan supaya manusia
tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan, yang sudah ditimbuni
oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat dan takhayul, yang sudah
menutupi mereka dari segala cahaya kebenaran?

Akan tetapi Abu Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan
Quraisy terkemuka lainnya, hartawan-hartawan yang gemar
bersenang-senang, mulai merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu
merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Jadi yang
mula-mula harus mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara
mendiskreditkannya, dan mendustakan segala apa yang
dinamakannya kenabian itu.

Langkah pertama yang mereka lakukan dalam hal ini ialah
membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin'l-Harith, 'Amr
bin'l-'Ash dan Abdullah ibn'z-Ziba'ra, supaya mengejek dan
menyerangnya. Dalam pada itu penyair-penyair Muslimin juga
tampil membalas serangan mereka tanpa Muhammad sendiri yang
harus melayani.

Sementara itu, selain penyair-penyair itu beberapa orang
tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mujizat yang akan
dapat membuktikan kerasulannya: mujizat-mujizat seperti pada
Musa dan Isa. Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak
disulapnya menjadi emas, dan kitab yang dibicarakannya itu
dalam bentuk tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa
Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul
di hadapan mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang
yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama ini membuat
Mekah terkurung karenanya? Kenapa ia tidak memancarkan mata
air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu
betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?

Tidak hanya sampai disitu saja kaum musyrikin itu mau
mengejeknya dalam soal-soal mujizat, malahan ejekan mereka
makin menjadi-jadi, dengan menanyakan: kenapa Tuhannya itu
tidak memberikan wahyu tentang harga barang-barang dagangan
supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari depan?

Debat mereka itu berkepanjangan. Tetapi wahyu yang datang
kepada Muhammad menjawab debat mereka

"Katakanlah: 'Aku tak berkuasa membawa kebaikan atau menolak
bahaya untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan kehendak
Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib-gaib, niscaya
kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahayapun tidak menyentuhku.
Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa berita gembira
bagi mereka yang beriman." (Qur'an 7: 188)

Ya, Muhammad hanya mengingatkan dan membawa berita gembira.
Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan hal-hal yang tak
masuk akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali
yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal?
! Bagaimana mereka menuntutnya dengan hal-hal yang
bertentangan dengan kodrat jiwa yang tinggi padahal yang
diharapkannya dari mereka agar mereka mau menerima suara yang
sesuai dengan kodrat jiwa yang tinggi itu?! Bagaimana pula
mereka masih menuntutnya dengan beberapa mujizat, padahal
kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan
yang benar itu adalah mujizat dari segala mujizat? Kenapa
mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat lagi
dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu
nanti merekapun akan ragu-ragu lagi, akan mengikutinyakah
mereka atau tidak?

Dan ini, yang mereka katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak
lebih adalah batu-batu atau kayu yang disangga atau
berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah padang pasir, yang
tidak dapat membawa kebaikan ataupun menolak bahaya.
Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut
pembuktian sifat-sifat ketuhanannya. Dan kalaupun itu yang
dituntut, pasti ia akan tetap batu atau kayu, tanpa hidup,
tanpa gerak; untuk dirinyapun ia tak dapat menolak bahaya atau
membawa kebaikan. Dan jika ada yang datang menghancurkannya
iapun takkan dapat mempertahankan diri.

Muhammadpun sudah terang-terangan menyebut berhala-berhala
mereka, yang sebelum itu tidak pernah disebut-sebutnya. Ia
mencelanya, yang juga sebelum itu tidak pernah dilakukan
demikian. Hal ini menjadi soal besar bagi Quraisy dan
dirasakan menusuk hati mereka. Tentang laki-laki itu, serta
apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari dia,
sekarang mulai sungguh-sungguh menjadi perhatian mereka.
Sampai sebegitu jauh mereka baru sampai memperolok
kata-katanya. Apabila mereka duduk-duduk di Dar'n Nadwa,3 atau
disekitar Ka'bah dengan berhala-berhala yang ada, membuallah
mereka dengan sikap tidak lebih dari senyuman mengejek dan
berolok-olok. Akan tetapi, jika yang dihina dan diejek itu
sekarang dewa-dewa mereka yang mereka sembah dan disembah
nenek-moyang mereka, termasuk Hubal, Lat, 'Uzza dan semua
berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan cemoohan,
melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan. Atau,
andaikata orang itu sampai dapat menghasut penduduk Mekah
melawan mereka dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil
apa yang akan diperolehnya dari perdagangan Mekah itu? Dan
bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti agama?

Abu Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia
sebagai pelindung dan penjaga kemenakannya itu. Ia sudah
menyatakan kesediaannya akan membelanya. Atas dasar itu
pemuka-pemuka bangsawan Quraisy - dengan diketahui oleh Abu
Sufyan b. Harb - pergi menemui Abu Talib.

"Abu Talib," kata mereka, "kemenakanmu itu sudah memaki
berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai
harapan-harapan kita dan menganggap sesat nenek-moyang kita.
Soalnya sekarang, harus kauhentikan dia; kalau tidak biarlah
kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga
seperti kami tidak sejalan, maka cukuplah engkau dari pihak
kami menghadapi dia."

Akan tetapi Abu Talib menjawab mereka dengan baik sekali.
Sementara itu Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas
dakwahnya dan dakwa itupun mendapat pengikut bertambah banyak.

Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi
mereka pergi menemui Abu Talib. Sekali ini disertai 'Umara
bin'l-Walid bin'l-Mughira, seorang pemuda yang montok dan
rupawan, yang akan diberikan kepadanya sebagai anak angkat,
dan sebagai gantinya supaya Muhammad diserahkan kepada mereka.
Tetapi inipun ditolak. Muhammad terus juga berdakwah, dan
Quraisypun terus juga berkomplot.

Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu Talib.

"Abu Talib'" kata mereka, "Engkau sebagai orang yang
terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta
supaya menghentikan kemenakanmu itu, tapi tidak juga
kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang
memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan
kita dan mencela berhala-berhala kita - sebelum kausuruh dia
diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak
nanti binasa."

Berat sekali bagi Abu Talib akan berpisah atau bermusuhan
dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan atau
membuat kemenakannya itu kecewa. Gerangan apa yang harus
dilakukannya?

Dimintanya Muhammad datang dan diceritakannya maksud seruan
Quraisy. Lalu katanya: "Jagalah aku, begitu juga dirimu.
Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul."

Muhammad menekur sejenak, menekur berhadapan dengan sebuah
sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang tertegun tak tahu
hendak ke mana tujuannya. Dalam kata-kata yang kemudian
menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu keputusan bagi
dunia: adakah dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus
dijerumuskan, lalu datang Majusi menekan Kristen yang sudah
gagal dan kacau, dan dengan demikian paganisma dengan
kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah rapuk dan
busuk? Atau ia harus memancarkan terus sinar kebenaran itu,
memproklamirkan kata-kata Tauhid, membebaskan pikiran manusia
dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai ilusi dan
mengangkatnya kemartabat yang lebih tinggi, sehingga jiwa
manusia itu dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?

Pamannya, ini pamannya seolah sudah tak berdaya lagi membela
dan memeliharanya. Ia sudah mau meninggalkan dan
melepaskannya. Sedang kaum Muslimin masih lemah, mereka tak
berdaya akan berperang, tidak dapat mereka melawan Quraisy
yang punya kekuasaan, punya harta, punya persiapan dan jumlah
rmanusia. Sebaliknya dia tidak punya apa-apa selain kebenaran.
Dan atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak orang.
Tak punya apa-apa ia selain imannya kepada kebenaran itu
sebagai perlengkapan. Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian
itu baginya lebih baik daripada yang sekarang. Ia akan
meneruskan misinya, akan mengajak orang seperti yang
diperintahkan Tuhan kepadanya. Lebih baik mati ia membawa iman
kebenaran yang telah diwahyukan kepadanya daripada menyerah
atau ragu-ragu.

Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan, ia
menoleh kepada pamannya seraya berkata:

"Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di
tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan
maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan
kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan
kemenangan itu ditanganku, atau aku binasa karenanya."

Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman
itu! Gemetar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad,
tertegun ia. Ternyata ia berdiri dihadapan tenaga kudus dan
kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga
hidup yang ada.

Muhammad berdiri. Airmatanya terasa menyumbat karena sikap
pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas
kesangsian dalam hatinya sedikitpun akan jalan yang
ditempuhnya itu.

Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan terpesona. Ia
masih dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya dengan
sikap kemanakannya itu. Tetapi kemudian dimintanya Muhammad
datang lagi, yang lalu katanya: "Anakku, katakanlah
sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun
juga!"
Sikap dan kata-kata kemenakannya itu oleh Abu Talib
disampaikan kepada Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib.
Pembicaranya tentang Muhammad itu terpengaruh oleh suasana
yang dilihat dan dirasakannya ketika itu. Dimintanya supaya
Muhammad dilindungi dari tindakan Quraisy. Mereka semua
menerima usul ini, kecuali Abu Lahab. Terang-terangan ia
menyatakan permusuhannya. Ia menggabungkan diri pada pihak
lawan mereka. Permintaan mereka supaya ia dilindungi itu sudah
tentu karena terpengaruh oleh fanatisma golongan dan
permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya. Tetapi
bukan fanatisma itu saya yang mendorong Quraisy bersikap
demikian. Ajarannya itu sungguh berbahaya bagi kepercayaan
yang biasa dilakukan oleh leluhur mereka. Kedudukan Muhammad
di tengah-tengah mereka, pendiriannya yang teguh serta
ajarannya pada kebaikan supaya orang hanya menyembah Zat Yang
Tunggal, yang pada waktu itu memang sudah meluas juga di
kalangan kabilah-kabilah Arab, bahwa agama Allah itu bukanlah
seperti yang ada pada mereka sekarang, membuat mereka dapat
membenarkan juga sikap kemenakan mereka itu, Muhammad, dalam
menyatakan pendiriannya, seperti yang pernah dilakukan oleh
Umayya b. Abi'sh-Shalt dan Waraqa b. Naufal dan yang lain.
Kalau Muhammad memang benar - dan ini yang tidak dapat mereka
pastikan - maka kebenaran itu akan tampak juga dan merekapun
akan merasakan pula kemegahannya. Sebaliknya, kalau tidak atas
dasar kebenaran, maka orangpun akan meninggalkannya seperti
yang sudah terjadi sebelum itu. Akhirnya ajaran demikian ini
tidak akan meninggalkan bekas dalam mengeluarkan mereka dari
tradisi yang ada dan dia sendiripun akan diserahkan kepada
musuh supaya dibunuh.

Terhadap gangguan Quraisy ia dapat berlindung kepada
goIongannya, seperti kepada Khadijah bila ia mengalami
kesedihan. Baginya - dengan imannya yang sungguh-sungguh dan
cinta-kasihnya yang besar - Khadijah adalah lambang kejujuran
yang dapat menghilangkan segala kesedihan hatinya, yang dapat
menguatkan kembali setiap ciri kelemahan yang mungkin timbul
karena siksaan musuh-musuhnya yang begitu keras menentangnya
serta melakukan penyiksaan terus-menerus terhadap
pengikut-pengikutnya.

Sebelum itu sebenarnya Quraisy memang tidak pernah mengenal
hidup tenteram. Bahkan setiap kabilah itu langsung menyerbu
kaum Muslimin yang ada di kalangan mereka: disiksa dan dipaksa
melepaskan agamanya; sehingga di antara mereka ada yang
mencampakkan budaknya, Bilal, ke atas pasir di bawah terik
matahari yang membakar, dadanya ditindih dengan batu dan akan
dibiarkan mati. Soalnya karena ia teguh bertahan dalam Islam!
Dalam kekerasan semacam itu Bilal hanya berkata: "Ahad, Ahad,
Hanya Yang Tunggal!" Ia memikul semua siksaan itu demi
agamanya.

Ketika pada suatu hari oleh Abu Bakr dilihatnya Bilal
mengalami siksaan begitu rupa, ia dibelinya lalu dibebaskan.
Tidak sedikit budak-budak yang mengalami kekerasan serupa itu
oleh Abu Bakr dibeli - diantaranya budak perempuan Umar
bin'l-Khattab, dibelinya dari Umar [sebelum masuk Islam]. Ada
pula seorang wanita yang disiksa sampai mati karena ia tidak
mau meninggalkan Islam kembali kepada kepercayaan leluhurnya.

Kaum Muslimin di luar budak-budak itu, dipukuli dan dihina
dengan berbagai cara. Muhammad juga tidak terkecuali mengalami
gangguan-gangguan - meskipun sudah dilindungi oleh Banu Hasyim
dan Banu al-Muttalib. Umm Jamil, isteri Abu Jahl, melemparkan
najis ke depan rumahnya. Tetapi cukup Muhammad hanya
membuangnya saja. Dan pada waktu sembayang, Abu Jahl
melemparinya dengan isi perut kambing yang sudah disembelih
untuk sesajen kepada berhala-berhala. Ditanggungnya gangguan
demikian itu dan ia pergi kepada Fatimah, puterinya, supaya
mencucikan dan membersihkannya kembali. Ditambah lagi, di
samping semua itu, kaum Muslimin harus menerima kata-kata
biadab dan keji kemana saja mereka pergi.

Cukup lama hal serupa itu berjalan. Tetapi kaum Muslimin
tambah teguh terhadap agama mereka. Dengan dada terbuka mereka
menerima siksaan dan kekerasan itu - demi akidah dan iman
mereka.

Perioda yang telah dilalui dalam hidup Muhammad a.s. ini
adalah perioda yang paling dahsyat yang pernah dialami oleh
sejarah umat manusia. Baik Muhammad atau mereka yang menjadi
pengikutnya, bukanlah orang-orang yang menuntut harta
kekayaan, kedudukan atau kekuasaan, melainkan orang-orang yang
menuntut kebenaran serta keyakinannya akan kebenaran itu.
Muhammad adalah orang yang mengharapkan bimbingan bagi mereka
yang mengalami penderitaan, dan membebaskan mereka dari
belenggu paganisma yang rendah, yang menyusup kedalam jiwa
manusia sampai ke lembah kehinaan yang sangat memalukan.

Demi tujuan rohani yang luhur itulah - tidak untuk tujuan yang
lain - ia mengalami siksaan. Penyair-penyair memakinya,
orang-orang Quraisy berkomplot hendak membunuhnya di Ka'bah.
Rumahnya dilempari batu, keluarga dan pengikut-pengikutnya
diancam. Tetapi dengan semua itu malah ia makin tabah, makin
gigih meneruskan dakwah. Jiwa kaum mukmin yang mengikutinya
itu sudah padat oleh ucapannya: "Demi Allah, kalaupun mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di
tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas
ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang
akan membuktikan kemenangan itu; di tanganku atau aku binasa
karenanya."

Segala pengorbanan yang besar-besar itu tak ada artinya bagi
mereka, mautpun sudah tak berarti lagi demi kebenaran, dan
membimbing Quraisy ke arah itu. Kadang orang heran, iman sudah
begitu mempersonakan jiwa penduduk Mekah pada waktu agama ini
belum lengkap, pada waktu ayat-ayat Qur'an yang turun masih
sedikit. Kadang juga orang mengira, bahwa pribadi Muhammad,
sifatnya yang lemah-lembut, keindahan akhlaknya serta
kejujurannya yang sudah cukup dikenal, di samping kemauan yang
keras dan pendiriannya yang teguh, adalah sebab dari semua
itu. Sudah tentu ini juga ada pengaruhnya. Akan tetapi ada
sebab-sebab lain yang juga patut diperhatikan yang tidak
sedikit pula ikut memegang peranan.

Muhammad tinggal dalam suatu daerah yang merdeka mirip-mirip
sebuah republik Dari segi keturunan ia menempati puncak yang
tinggi. Hartapun sudah cukup seperti yang dikehendakinya. Ia
dari Keluarga Hasyim pula, juru kunci Ka'bah dan penguasa
urusan air. Gelar-gelar keagamaan yang tinggi-tinggi ada pada
mereka. Jadi dalam keadaan itu ia tidak lagi membutuhkan harta
kekayaan, pangkat atau sesuatu kedudukan politik atau agama.
Dalam hal ini ia berbeda pula dengan para rasul dan nabi-nabi
sebelumnya. Musa yang dilahirkan di Mesir bertemu dengan
Firaun yang oleh penduduk sudah dituhankan, dan Firaun juga
yang berkata: "Aku adalah tuhanmu yang tertinggi," yang
dibantu pula oleh pemuka-pemuka agama melakukan tekanan kepada
orang dengan pelbagai macam kekejaman, pemerasan dan
pemaksaan. Revolusi yang dilakukan Musa atas perintah Tuhan
adalah revolusi dalam struktur politik dan agama sekaligus.
Bukankah keinginannya supaya Firaun dan orang yang menimba air
dengan syaduf dari sungai Nil itu dihadapan Tuhan sama
sederajat? Jadi dimana ketuhanan Firaun itu dan dimana pula
ketentuan yang berlaku! Harus dihancurkan semua itu dan
revolusi itupun terlebih dulu harus bersifat politik.

Oleh karena itu, dari semula ajaran Musa itu sudah mendapat
perlawanan hebat dari Firaun. Dengan demikian, supaya orang
menerima seruannya itu, ia diperkuat oleh mujizat-mujizat. Ia
melemparkan tongkatnya, dan tongkat itu menjadi seekor ular
yang bergerak-gerak, menelan semua hasil pekerjaan tukang
tukang sihir Firaun itu. Itupun tidak memberi hasil apa-apa
buat Musa. Terpaksa ia meninggalkan Mesir tanah airnya. Dalam
hijrahnya itupun diperkuat pula ia dengan sebuah mujizat yaitu
terbelahnya jalan di tengah-tengah air lautan itu.

Juga Isa, yang dilahirkan di Nazareth di bilangan Palestina,
yang pada waktu itu merupakan wilayah Rumawi yang berada di
bawah kekuasaan kaisar-kaisar dengan segala kekejamannya
sebagai pihak penjajah dan kekuasaan dewa-dewa Rumawi,
mengajak orang supaya sabar menghadapi kekejaman itu dan
bertobat bagi yang menyesal dan macam-macam perasaan
belaskasih lagi, yang oleh pihak penguasa justru dianggap
pemberontakan terhadap kekuasaan mereka. Maka Isa juga
diperkuat dengan mujizat-mujizat: menghidupkan orang mati dan
menyembuhkan orang sakit; dan yang lain diperkuat oleh Ruh
Kudus. Memang benar, bahwa inti ajaran-ajaran mereka itu pada
dasarnya bertemu dengan inti ajaran-ajaran Muhammad juga,
lepas dari detail yang bukan tempatnya untuk dijelaskan di
sini. Akan tetapi motif yang berbagai macam ini, dan yang
terutama motif politik, adalah yang menjadi tujuannya juga.

Sebaliknya Muhammad, keadaannya seperti yang kita sebutkan di
atas, sifat ajarannya adalah intelektual dan spiritual.
Dasarnya adalah mengajak kepada kebenaran, kebaikan dan
keindahan. Suatu ajakan yang berdiri sendiri dari mula sampai
akhir. Karena jauhnya dari segala pertentangan politik,
struktur republik yang sudah ada di Mekah itu tidak pernah
mengalami sesuatu kekacauan.

Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa antara
dakwah Muhammad dengan metoda ilmiah modern mempunyai
persamaan yang besar sekali. Metoda ilmiah ini ialah
mengharuskan kita - apabila kita hendak mengadakan suatu
penyelidikan - terlebih dulu membebaskan diri dari segala
prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada pada
diri kita yang berhubungan dengan penyelidikan itu. Di situlah
kita memulai dengan mengadakan observasi dan eksperimen,
mengadakan perbandingan yang sistematis, kemudian baru dengan
silogisma yang sudah didasarkan kepada premisa-premisa tadi.
Apabila semua itu sudah dapat disimpulkan, maka kesimpulan
demikian itu dengan sendirinya masih perlu dibahas dan
diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun juga ini sudah merupakan
suatu data ilmiah selama penyelidikan tersebut belum
memperlihatkan kekeliruan. Metoda ilmiah demikian ini ialah
yang terbaik yang pernah dicapai umat manusia demi kemerdekaan
berpikir. Metoda dan dasar-dasar dakwah demikian inilah pula
yang menjadi pegangan Muhammad.

Bagaimana pula mereka yang menjadi pengikutnya itu puas dan
beriman sungguh-sungguh akan ajarannya? Segala kepercayaan
lama terkikis habis dari jiwa mereka, dan sekarang mereka
mulai memikirkan masa depan mereka.

Waktu itu setiap kabilah Arab mempunyai berhala
sendiri-sendiri. Mana pula gerangan berhala yang benar dan
mana yang sesat? Di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri
sekitarnya ketika itu memang sudah ada penganut-penganut
Sabian dan Majusi penyembah api, juga ada yang menyembah
matahari. Mana diantara mereka itu yang benar dan mana pula
yang sesat?

Baiklah kita kesampingkan dulu semua ini, kita hapuskan
jejaknya dari jiwa kita. Kita bebaskan dulu diri kita dari
segala konsepsi dan kepercayaan lama. Baiklah kita renungkan.
Merenungkan dan meninjau pada dasarnya sama. Yang pasti ialah
bahwa seluruh alam ini satu sama lain saling berhubungan.
Manusia, puak-puak dan bangsa-bangsa saling berhubungan.
Manusia berhubungan juga dengan hewan dan dengan benda, bumi
kita berhubungan dengan matahari, dengan bulan dan tata-surya
lainnya. Dan semua itupun berhubungan pula dengan
undang-undang yang sudah tali-temali, tak dapat ditukar-tukar
atau diubah-ubah lagi. Matahari tidak seharusnya akan mengejar
bulan, malampun takkan dapat mendahului siang. Andaikata di
antara isi alam ini ada yang berubah atau berganti, niscaya
akan berganti pulalah segala yang ada dalam alam ini.
Andaikata matahari tidak lagi menyinari dan memanasi bumi,
menurut undang-undang yang sudah berjalan sejak jutaan tahun
yang lalu, niscaya bumi dan langit ini sudah akan berubah
pula. Dan oleh karena yang demikian ini tidak terjadi, maka
atas semua itu sudah tentu ada zat yang menguasainya. Dari
situ ia tumbuh, dengan itu ia berkembang dan ke situ pula ia
kembali. Hanya kepada Zat ini sajalah semata manusia menyerah.
Demikian juga, segala yang ada dalam alam ini menyerah semata
kepada Zat ini, persis seperti manusia. Baik manusia, alam,
ruang dan waktu adalah suatu kesatuan. Maka Zat itulah inti
dan sumbernya. Jadi, hanya kepada Zat itu sajalah semata
ibadat dilakukan. Hanya kepada Zat itu sajalah jantung dan
jiwa manusia dihadapkan. Ke dalam alam itu juga kita harus
melihat dan merenungkan undang-undang alam yang kekal abadi
itu. Jadi segala yang disembah manusia selain Allah berupa
berhala-berhala, raja-raja, firaun-firaun, api dan matahari,
hanyalah suatu ilusi batil saja, tidak sesuai dengan martabat
dan kehormatan manusia, tidak sesuai dengan akal pikiran
manusia serta dengan kemampuan yang ada dalam dirinya; yang
dapat membuat kesimpulan atas undang-undang Tuhan terhadap
ciptaanNya itu, dengan jalan merenungkannya.

Inilah rasanya esensi ajaran Muhammad seperti yang diketahui
kaum Muslimin yang mula-mula itu. Ajaran yang disampaikan
wahyu kepada mereka melalui Muhammad itu adalah puncak dari
bahasa sastra yang telah menjadi mujizat dan akan terus
berlaku demikian. Terpadunya kebenaran dan cara melukiskannya
dengan keindahan yang luarbiasa itu kini tampak di hadapan
mereka. Di sini jiwa dan kalbu mereka meningkat lebih tinggi,
berhubungan dengan Zat Yang Maha Mulia. Lalu datang Muhammad
menuntun mereka bahwa kebaikan itulah jalan yang akan sampai
ke tujuan. Mereka akan mendapat balasan atas kebaikan itu
bilamana mereka sudah menunaikan kewajiban dalam hidup dengan
tekun. Setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan
perbuatannya.

"Barangsiapa berbuat kebaikan seberat atompun akan dilihatnya;
dan barangsiapa berbuat kejahatan seberat atompun akan
dilihatnya pula." (Qur'an 99: 7-8)

Dalam menjunjung pikiran manusia ke tempat yang lebih tinggi
kiranya tak ada yang lebih tinggi dari ini! Juga menghancurkan
belenggu yang senantiasa mengikatnya itu! Terserah kepada
manusia. Ia mau memahami ini, mau beriman dan mengerjakannya
untuk mencapai puncak ketinggian martabat manusia itu! Demi
mencapai tujuan, segala pengorbanan terasa ringan bagi orang
yang sudah beriman itu.

Karena posisi Muhammad dan pengikut-pengikutnya yang begitu
agung, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib tambah ketat
menjaganya dari setiap gangguan. Pada suatu hari Abu Jahl
bertemu dengan Muhammad, ia mengganggunya, memaki-makinya dan
mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dialamatkan kepada
agama ini. Tetapi Muhammad tidak melayaninya. Ditinggalkannya
ia tanpa diajak bicara. Hamzah, pamannya dan saudaranya
sesusu, yang masih berpegang pada kepercayaan Quraisy, adalah
seorang laki-laki yang kuat dan ditakuti. Ia mempunyai
kegemaran berburu. Bila ia kembali dan berburu, terlebih dulu
mengelilingi Ka'bah sebelum langsung pulang ke rumahnya.

Hari itulah, bilamana ia datang dan mengetahui bahwa
kemenakannya itu mendapat gangguan Abu Jahl, ia meluap marah.
Ia pergi ke Ka'bah, tidak lagi ia memberi salam kepada yang
hadir di tempat itu seperti biasanya, melainkan terus masuk
kedalam mesjid menemui Abu Jahl. Setelah dijumpainya,
diangkatnya busurnya lalu dipukulkannya keras-keras di
kepalanya. Beberapa orang dan Banu Makhzum mencoba mau membela
Abu Jahl. Tapi tidak jadi. Kuatir mereka akan timbul bencana
dan membahayakan sekali, dengan mengakui bahwa ia memang
mencaci maki Muhammad dengan tidak semena-mena.

Sesudah itulah kemudian Hamzah menyatakan masuk Islam. Ia
berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkurban di
jalan Allah sampai akhir hayatnya.

Pihak Quraisy merasa sesak dada melihat Muhammad dan
kawan-kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu, gangguan
dan siksaan yang dialamatkan kepada mereka, tidak dapat
mengurangi iman mereka dan menyatakannya terus-terang, tidak
dapat menghalangi mereka melakukan kewajiban agama. Terpikir
oleh Quraisy akan membebaskan diri dari Muhammad, dengan cara
seperti yang mereka bayangkan, memberikan segala keinginannya.
Mereka rupanya lupa bahwa keagungan dakwah Islam, kemurnian
esensi ajaran rohaninya yang begitu tinggi, berada di atas
segala pertentangan ambisi politik. 'Utba b. Rabi'a, seorang
bangsawan Arab terkemuka, mencoba membujuk Quraisy ketika
mereka dalam tempat pertemuan dengan mengatakan bahwa ia akan
bicara dengan Muhammad dan akan menawarkan kepadanya hal-hal
yang barangkali mau menerimanya. Mereka mau memberikan apa
saja kehendaknya, asal ia dapat dibungkam.

Ketika itulah 'Utba bicara dengan Muhammad.

"Anakku," katanya, "seperti kau ketahui, dari segi keturunan,
engkau mempunyai tempat di kalangan kami. Engkau telah membawa
soal besar ketengah-tengah masyarakatmu, sehingga mereka
cerai-berai karenanya. Sekarang, dengarkanlah, kami akan
menawarkan beberapa masalah, kalau-kalau sebagian dapat
kauterima Kalau dalam hal ini yang kauinginkan adalah harta,
kamipun siap mengumpulkan harta kami, sehingga hartamu akan
menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki
pangkat, kami angkat engkau diatas kami semua; kami takkan
memutuskan suatu perkara tanpa ada persetujuanmu. Kalau
kedudukan raja yang kauinginkan, kami nobatkan kau sebagai
raja kami. Jika engkau dihinggapi penyakit saraf4 yang tak
dapat kautolak sendiri, akan kami usahakan pengobatannya
dengan harta-benda kami sampai kau sembuh."

Selesai ia bicara, Muhammad membacakan Surah as-Sajda (41 = Ha
Mim). 'Utba diam mendengarkan kata-kata yang begitu indah itu.
Dilihatnya sekarang yang berdiri di hadapannya itu bukanlah
seorang laki-laki yang didorong oleh ambisi harta, ingin
kedudukan atau kerajaan, juga bukan orang yang sakit,
melainkan orang yang mau menunjukkan kebenaran, mengajak orang
kepada kebaikan. Ia mempertahankan sesuatu dengan cara yang
baik, dengan kata-kata penuh mujizat.

Selesai Muhammad membacakan itu 'Utba pergi kembali kepada
Quraisy. Apa yang dilihat dan didengarnya itu sangat
mempesonakan dirinya. Ia terpesona karena kebesaran orang itu.
Penjelasannya sangat menarik sekali.

Persoalannya 'Utba ini tidak menyenangkan pihak Quraisy, juga
pendapatnya supaya Muhammad dibiarkan saja, tidak
menggembirakan mereka, sebaliknya kalau mengikutinya, maka
kebanggaannya buat mereka.

Maka kembali lagilah mereka memusuhi Muhammad dan
sahabat-sahabatnya dengan menimpakan bermacam-macam bencana,
yang selama ini dalam kedudukannya itu ia berada dalam
perlindungan golongannya dan dalam penjagaan Abu Talib, Banu
Hasyim dan Banu al-Muttalib.

Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi,
sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya. Waktu
itu Muhammad menyarankan supaya mereka terpencar-pencar.
Ketika mereka bertanya kepadanya kemana mereka akan pergi,
mereka diberi nasehat supaya pergi ke Abisinia yang rakyatnya
menganut agama Kristen. "Tempat itu diperintah seorang raja
dan tak ada orang yang dianiaya disitu. Itu bumi jujur; sampai
nanti Allah membukakan jalan buat kita semua."

Sebagian kaum Muslimin ketika itu lalu berangkat ke Abisinia
guna menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan
dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan
dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria
dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari
Mekah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat
yang baik di bawah Najasyi.5

Bilamana kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di Mekah
sudah selamat dari gangguan Quraisy, merekapun lalu kembali
pulang, seperti yang akan diceritakan nanti. Tetapi setelah
ternyata kemudian mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy
melebihi yang sudah-sudah, kembali lagi mereka ke Abisinia.
Sekali ini terdiri dari delapanpuluh orang pria tanpa kaum
isteri dan anak-anak. Mereka tinggal di Abisinia sampai
sesudah hijrah Nabi ke Yathrib.

Hijrah ke Abisinia ini adalah hijrah pertama dalam Islam.6

Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad akan
bertanya: Adakah tujuan hijrah yang dilakukan kaum Muslimin
atas saran dan anjurannya itu karena akan melarikan diri dari
orang-orang kafir Mekah beserta gangguan yang mereka lakukan,
ataukah karena suatu tujuan politik Islam, yang di balik itu
dimaksudkan oleh Muhammad dengan tujuan yang lebih luhur?
Sudah pada tempatnya pula apabila penulis sejarah Muhammad itu
akan bertanya tentang hal ini, setelah terbukti dari sejarah
Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh fase kehidupannya, bahwa
dia seorang politikus yang berpandangan jauh, seorang pembawa
risalah dan moral jiwa yang begitu luhur, sublim dan agung
yang tak ada taranya. Dan yang menjadi alasan dalam hal ini
ialah apa yang disebutkan dalam sejarah, bahwa penduduk Mekah
tidak suka hati ada kaum Muslimin yang pergi ke Abisinia.
Bahkan mereka kemudian mengutus dua orang menemui Najasyi.
Mereka membawa hadiah-hadiah berharga guna meyakinkan raja
supaya dapat mengembalikan kaum Muslimin itu ke tanah air
mereka. Pada waktu itu penduduk Abisinia dan penguasanya
adalah orang-orang Nasrani. Dari segi agama orang-orang
Quraisy tidak kuatir bahwa mereka akan ikut Muhammad.

Disebabkan oleh rasa kegelisahan terhadap peristiwa itukah
maka mereka lalu mengutus orang, meminta supaya kaum Muslimin
itu dikembalikan? Mereka menganggap, bahwa perlindungan
Najasyi terhadap mereka setelah mendengar keterangan mereka
itu akan membawa pengaruh juga kepada penduduk jazirah Arab
sehingga mereka akan mau menerima agama Muhammad dan mau
menjadi pengikutnya. Ataukah mereka kuatir, kalau kaum
Muslimin menetap di Abisinia, mereka akan bertambah kuat,
sehingga bila kelak mereka pulang kembali membantu Muhammad,
mereka kembali dengan kekuatan, harta dan tenaga?
Kedua orang utusan itu ialah 'Amr bin'l-'Ash dan Abdullah bin
Abi Rabi'a. Kepada Najasyi dan kepada para pembesar istana
mereka mempersembahkan hadiah-hadiah dengan maksud supaya
mereka sudi mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Mekah
itu kepada mereka.

"Paduka Raja," kata mereka, "mereka datang ke negeri paduka
ini adalah budak-budak kami yang tidak punya malu. Mereka
meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama
paduka; mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri,
yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka. Kami diutus
kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin masyarakat mereka, oleh
orang-orang tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri,
supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu kepada
mereka. Mereka lebih mengetahui betapa orang-orang itu
mencemarkan dan memaki-maki."

Sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan
dengan pembesar-pembesar istana kerajaan, setelah mereka
menerima hadiah-hadiah dari penduduk Mekah, bahwa mereka akan
membantu usaha mengembalikan kaum Muslimin itu kepada pihak
Quraisy. Pembicaraan mereka ini tidak sampai diketahui raja.
Tetapi baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan
dari pihak Muslimin. Lalu dimintanya mereka itu datang
menghadap

"Agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan
masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan
menganut agamaku, atau agama lain?" tanya Najasyi setelah
mereka datang.

Yang diajak bicara ketika itu ialah Ja'far b. Abi b. Talib.

"Paduka Raja," katanya, "ketika itu kami masyarakat yang
bodoh, kami menyembah berhala, bangkaipun kami makan, segala
kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat,
dengan ketanggapun kami tidak baik; yang kuat menindas yang
lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan mengutus seorang
rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal-usulnya,
dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula. Ia mengajak kami
menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan
batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami dan
nenek-moyang kami menyembahnya. Ia menganjurkan kami untuk
tidak berdusta untuk berlaku jujur serta mengadakan hubungan
keluarga dan tetangga yang baik, serta menyudahi pertumpahan
darah dan perbuatan terlarang lainnya. Ia melarang kami
melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta,
memakan harta anak piatu atau mencemarkan wanita-wanita yang
bersih. Ia minta kami menyembah Allah dan tidak
mempersekutukanNya. Selanjutnya disuruhnya kami melakukan
salat, zakat dan puasa. [Lalu disebutnya beberapa ketentuan
Islam]. Kami pun membenarkannya. Kami turut segala yang
diperintahkan Allah. Lalu yang kami sembah hanya Allah Yang
Tunggal, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun
juga. Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan
kami lakukan. Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami,
menyiksa kami dan menghasut supaya kami meninggalkan agama
kami dan kembali menyembah berhala; supaya kami membenarkan
segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh karena
mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, mereka
menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kamipun keluar
pergi ke negeri tuan ini. Tuan jugalah yang menjadi pilihan
kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan, dengan harapan
di sini takkan ada penganiayaan."

"Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan
bacakan kepada kami?" tanya Raja itu lagi.

"Ya," jawab Ja'far; lalu ia membacakan Surah Mariam dari
pertama sampai pada firman Allah:

"Lalu ia memberi isyarat menunjuk kepadanya. Kata mereka:
Bagaimana kami akan bicara dengan anak yang masih muda belia?
Dia (Isa) berkata: 'Aku adalah hamba Allah, diberiNya aku
Kitab dan dijadikanNya aku seorang nabi. DijadikanNya aku
pembawa berkah dimana saja aku berada, dan dipesankanNya
kepadaku melakukan sembahyang dan zakat selama hidupku. Dan
berbaktilah aku kepada ibuku, bukan dijadikanNya aku orang
congkak yang celaka. Bahagialah aku tatkala aku dilahirkan,
tatkala aku mati dan tatkala aku hidup kembali!'" (Qur'an 19:
29-33)

Setelah mendengar bahwa keterangan itu membenarkan apa yang
tersebut dalam Injil, pemuka-pemuka istana itu terkejut:
"Kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata
Yesus Kristus'" kata mereka.

Najasyi lalu berkata: "Kata-kata ini dan yang dibawa oleh
Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama. Tuan-tuan (kepada
kedua orang utusan Quraisy) pergilah. Kami takkan menyerahkan
mereka kepada tuan-tuan!"

Keesokan harinya 'Amr bin'l-'Ash kembali menghadap Raja dengan
mengatakan, bahwa kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang
luarbiasa terhadap Isa anak Mariam. Panggillah mereka dan
tanyakan apa yang mereka katakan itu.

Setelah mereka datang, Ja'far berkata: Tentang dia pendapat
kami seperti yang dikafakan Nabi kami: 'Dia adalah hamba Allah
dan UtusanNya, RuhNya dan FirmanNya yang disampaikan kepada
Perawan Mariam."

Najasyi lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di
tanah. Dan dengan gembira sekali baginda berkata:

"Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih
dari garis ini."

Setelah dari kedua belah pihak itu didengarnya, ternyatalah
oleh Najasyi, bahwa kaum Muslimin itu mengakui Isa, mengenal
adanya Kristen dan menyembah Allah.

Selama di Abisinia itu kaum Muslimin merasa aman dan tenteram.
Ketika kemudian disampaikan kepada mereka, bahwa permusuhan
pihak Quraisy sudah berangsur reda, mereka lalu kembali ke
Mekah untuk pertama kalinya - dan Muhammadpun masih di Mekah.

Akan tetapi, setelah kemudian ternyata, bahwa penduduk Mekah
masih juga mengganggunya dan mengganggu sahabat-sahabatnya,
merekapun kembali lagi ke Abisinia. Mereka terdiri dari
delapanpuluh orang tanpa wanita dan anak-anak. Adakah kedua
kali hijrah mereka itu hanya semata-mata melarikan diri dari
gangguan ataukah meskipun dalam perencanaan Muhammad sendiri -
mereka mempunyai tujuan politik? Sebaiknya ahli sejarah akan
dapat mengungkapkan hal ini.

Sudah pada tempatnya bagi penulis sejarah hidup Muhammad akan
bertanya: bagaimana Muhammad dapat tenang membiarkan
sahabat-sahabatnya pergi ke Abisinia, padahal agama penduduk
itu adalah agama Nasrani, agama ahli kitab, Nabi mereka Isa
yang diakui kerasulannya oleh Islam? Lalu ia tidak kuatir
mereka akan tergoda seperti yang dilakukan oleh Quraisy
walaupun dengan cara lain? Bagaimana pula ia akan merasa
tenang terhadap godaan itu, mengingat Abisinia adalah negeri
makmur; yang tidak sama dengan Mekah; dan lebih dapat
mempengaruhi daripada Quraisy? Kenyataannya, dari kalangan
Muslimin yang pergi ke Abisinia itu sudah ada seorang yang
masuk Kristen. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa kekuatiran
akan adanya godaan ini seharusnya selalu ada pada Muhammad
mengingat keadaannya yang masih lemah dan mereka yang menjadi
pengikutnya masih menyangsikan kemampuannya melindungi diri
mereka sendiri atau akan dapat mengalahkan musuh mereka. Besar
sekali dugaan bahwa hal demikian memang sudah terlintas dalam
pikiran Muhammad, melihat tingkat kecerdasannya yang begitu
tinggi dengan ketajaman pikiran dan pandangannya yang jauh,
yang semuanya itu seimbang dengan jiwa besarnya, dengan
kemurnian rohaninya, budi pekerti yang luhur serta perasaannya
yang halus sekali itu.

Tetapi sungguhpun begitu, dari segi ini ia yakin dan tenang
sekali. Pada waktu itu - dan sampai pada waktu pembawa risalah
itu wafat - inti ajaran Islam masih bersih sekali,
kemurniannya masih belum ternodakan. Seperti ajaran Nasrani di
Najran, Hira dan Syam, begitu juga paham Nasrani di Abisinia
sudah dijangkiti oleh noda, perselisihan antara mereka yang
menuhankan Ibu Mariam dengan mereka yang menuhankan Isa.
Disamping ada lagi yang berlainan dengan kedua golongan itu,
mereka yang masih mengambil dari sumber ajaran yang murni,
yang tidak perlu dikuatirkan.

Sebenarnya, kebanyakan agama-agama itu sesudah beberapa
generasi saja berjalan, sudah dijangkiti oleh semacam
paganisma, meskipun bukan dari jenis rendahan, yang waktu itu
berkembang di negeri-negeri Arab; tetapi bagaimanapun
paganisma juga.

Kedatangan Islam merupakan musuh berat buat paganisma dalam
segala bentuk dan coraknya. Ditambah lagi, bahwa agama Nasrani
waktu itu sudah mengakui adanya suatu golongan klas khusus di
kalangan pemuka-pemuka agama - yang oleh Islam samasekali
tidak dikenal - yang pada waktu itu merupakan golongan
tertinggi dan paling suci. Juga pada waktu itu - dan dasar ini
tetap berlaku - Islam merupakan agama yang menjunjung jiwa
manusia ke puncak tertinggi. Tak ada peluang yang akan dapat
menghubungkan manusia dengan Tuhannya selain daripada baktinya
dan perbuatan yang baik, dan orang harus mencintai sesamanya
seperti mencintai dirinya. Tidak ada berhala-berhala, tidak
ada pendeta-pendeta, tidak ada dukun-dukun dan tidak ada
apapun yang akan merintangi jiwa manusia itu untuk berhubungan
dengan seluruh wujud ini dengan perbuatan dan kelakuan yang
baik. Allah juga yang akan membalas segala perbuatan itu
dengan berlipat ganda.

Dan ruh! Soal ruh adalah urusan Tuhan. Ruh yang berhubungan
dengan kekekalan dan keabadian zaman. Segala perbuatan baik
bagi ruh ini tak ada tabir yang akan menutupinya dari Tuhan,
dan tak ada kekuasaan apapun selain Allah. Orang-orang yang
kaya, yang kuat atau yang jahat dapat saja menyiksa jasad ini,
dapat saja memisahkannya dari segala kesenangan dan hawa nafsu
dan dapat saja menghancurkan semua itu, tetapi ruh atau jiwa
itu takkan dapat mereka kuasai selama yang bersangkutan mau
menempatkannya lebih tinggi di atas segala kekuasaan materi
dan waktu, dan tetap berhubungan dengan seluruh alam ini.

Manusia itu akan mendapat balasan atas segala perbuatannya
bilamana kelak setiap jiwa menerima balasan menurut apa yang
telah dikerjakannya. Ketika itu seorang ayah takkan dapat
menolong anaknya, dan seorang anak takkan pula dapat menolong
ayahnya sedikitpun. Ketika itu harta si kaya. sudah tak
berguna lagi, tidak juga si kuat dengan kekuatannya, atau
ahli-ahli teologi itu dengan ilmu ketuhanannya. Tetapi yang
penting hanyalah perbuatan mereka, yang nanti akan menjadi
saksi. Ketika itulah seluruh alam wujud berpadu semua dalam
kekekalan dan keabadiannya. Tuhan tidak akan memperlakukan
tidak adil terhadap siapapun. "Dan balasan yang kamu terima
hanya menurut apa yang kamu perbuat."

Bagaimana Muhammad akan merasa kuatir akan adanya godaan
terhadap mereka yang sudah diajarkan semua arti ini, sudah
ditanamkan ke dalam jiwa mereka dan sudah pula akidah dan iman
itu terpateri dalam lubuk hati mereka! Bagaimana pula ia akan
merasa kuatir akan adanya godaan, sedang teladan yang
diberikannya itu hidup dihadapan mereka, dengan pribadinya
yang begitu dicintai, sehingga kecintaan mereka kepadanya
melebihi cintanya kepada diri sendiri kepada anak keluarganya!
Pribadi, yang telah menempatkan akidah itu diatas semua raja
di muka bumi ini, di langit, dengan matahari dan bulan,
tatkala ia mengatakan kepada pamannya: "Demi Allah, kalaupun
mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan
bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan
tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah
yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku, atau aku
binasa karenanya."

Pribadi inilah, pribadi yang telah disinari cahaya iman
kebijaksanaan dan keadilan, kebaikan, kebenaran serta
keindahan; di samping itu adalah pribadi yang penuh rasa
rendah hati, rasa kesetiaan serta keakraban dan kasih-sayang.

Karena itulah, sedikitpun tidak goyah hatinya melepaskan
sahabat-sahabatnya berangkat hijrah ke Abisinia. Keadaan
mereka yang sudah merasa aman di dekat Najasyi, merasa tenang
dengan agama mereka di tengah-tengah masyarakat yang tidak
punya hubungan famili atau pertalian batin itu, membuat pihak
Quraisy lebih menyadari, bahwa gangguan mereka terhadap kaum
Muslimin - sebagai masyarakat dari sesama mereka, dari
keluarga mereka dan seketurunan pula - adalah suatu
penganiayaan, suatu perbuatan kekerasan dan demoralisasi yang
tak berkesudahan. Itu semua adalah suatu tekanan dengan
pelbagai macam siksaan kepada mereka yang sudah begitu kuat
jiwanya untuk menerima siksaan demikian itu. Tetapi mereka
sekarang sudah tidak lagi mendapat sesuatu gangguan. Mereka
sudah menganggap, bahwa ketabahan menghadapi segala
penderitaan itu adalah suatu pendekatan kepada Tuhan, dan
suatu ampunan.

Waktu itu 'Umar ibn'l-Khattab adalah pemuda yang gagah
perkasa, berusia antara tigapuluh dan tigapuluh lima tahun.
Tubuhnya kuat dan tegap, penuh emosi dan cepat naik darah.
Kesenangannya foya-foya dan minum-minuman keras. Tetapi
terhadap keluarga ia bijaksana dan lemah-lembut. Dari kalangan
Quraisy dialah yang paling keras memusuhi kaum Muslimin.

Akan tetapi sesudah ia mengetahui, bahwa mereka sudah hijrah
ke Abisinia dan mengetahui pula rajanya memberikan
perlindungan kepada mereka, iapun merasa kesepian berpisah
dengan mereka itu. Ia merasakan betapa pedihnya hati, betapa
pilunya perasaan mereka berpisah dengan tanah air.

Tatkala itu Muhammad sedang berkumpul dengan
sahabat-sahabatnya yang tidak ikut hijrah, dalam sebuah rumah
di Shafa. Di antara mereka ada Hamzah pamannya, Ali bin Abi
Talib sepupunya, Abu Bakr b. Abi Quhafa dan Muslimin yang
lain. Pertemuan mereka ini diketahui 'Umar. Iapun pergi
ketempat mereka, ia mau membunuh Muhammad. Dengan demikian
bebaslah Quraisy dan kembali mereka bersatu, setelah mengalami
perpecahan, sesudah harapan dan berhala-berhala mereka hina.

Di tengah jalan ia bertemu dengan Nu'aim b. Abdullah. Setelah
mengetahui maksudnya, Nuiaim berkata:

"Umar, engkau menipu diri sendiri. Kaukira keluarga 'Abd
Manaf. akan membiarkan kau merajalela begini sesudah engkau
membunuh Muhammad? Tidak lebih baik kau pulang saja ke rumah
dan perbaiki keluargamu sendiri?!"

Pada waktu itu Fatimah, saudaranya, beserta Sa'id b. Zaid
suami Fatimah sudah masuk Islam. Tetapi setelah mengetahui hal
ini dari Nu'aim, Umar cepat-cepat pulang dan langsung menemui
mereka. Di tempat itu ia mendengar ada orang membaca Qur'an.
Setelah mereka merasa ada orang yang sedang mendekati, orang
yang membaca itu sembunyi dan Fatimah menyembunyikan kitabnya.

"Aku mendengar suara bisik-bisik apa itu?!" tanya Umar.

Karena mereka tidak mengakui, Umar membentak lagi dengan suara
lantang: "Aku sudah mengetahui, kamu menjadi pengikut Muhammad
dan menganut agamanya!" katanya sambil menghantam Sa'id
keras-keras. Fatimah, yang berusaha hendak melindungi
suaminya, juga mendapat pukulan keras. Kedua suami isteri itu
jadi panas hati.

"Ya, kami sudah Islam! Sekarang lakukan apa saja," kata
meteka.

Tetapi Umar jadi gelisah sendiri setelah melihat darah di muka
saudaranya itu. Ketika itu juga lalu timbul rasa iba dalam
hatinya. Ia menyesal. Dimintanya kepada saudaranya supaya
kitab yang mereka baca itu diberikan kepadanya. Setelah
dibacanya, wajahnya tiba-tiba berubah. Ia merasa menyesal
sekali atas perbuatannya itu. Menggetar rasanya ia setelah
membaca isi kitab itu. Ada sesuatu yang luarbiasa dan agung
dirasakan, ada suatu seruan yang begitu luhur. Sikapnya jadi
lebih bijaksana.

Ia keluar membawa hati yang sudah lembut dengan jiwa yang
tenang sekali. Ia langsung menuju ke tempat Muhammad dan
sahabat-sahabatnya itu sedang berkumpul di Shafa. Ia minta
ijin akan masuk, lalu menyatakan dirinya masuk Islam. Dengan
adanya Umar dan Hamzah dalam Islam, maka kaum Muslimin telah
mendapat benteng dan perisai yang lebih kuat.

Dengan Islamnya Umar ini kedudukan Quraisy jadi lemah sekali.
Sekali lagi mereka mengadakan pertemuan guna menentukan
langkah lebih lanjut. Sebenarnya peristiwa ini telah
memperkuat kedudukan kaum Muslimin, telah memberikan unsur
baru berupa kekuatan yang luarbiasa yang menyebabkan kedudukan
Quraisy terhadap kaum Muslimin dan kedudukan mereka terhadap
Quraisy sudah tidak seperti dulu lagi. Keadaan kedua belah
pihak ini kemudian diteruskan oleh suatu perkembangan politik
baru, penuh dengan peristiwa-peristiwa, dengan
pengorbanan-pengorbanan dan kekerasan-kekerasan baru lagi,
yang sampai menyebabkan terjadinya hijrah dan munculnya
Muhammad sebagai politikus di samping Muhammad sebagai Rasul.

Catatan kaki

1 Pada umumnya kata 'namus besar' (an-namus'l-akbar)
oleh beberapa penulis yang datang kemudian diberi
anotasi, bahwa kata namus berarti 'Jibnl.' Mungkin ini
didasarkan kepada (N) dan (LA) yang juga mengartikan
demikian. Mengenai kata-kata ini Dr. Haekal tidak
memberikan catatan. Demikian juga Ibn Ishaq dan ibn
Hisyam. Salah seorang Orientalis - Montgomery Watt
misalnya - memberikan catatan bahwa kata namus
biasanya diambil dan bahasa Yunani nomos, dan ini
berarti undang-undang atau kitab suci yang diwahyukan,
(Muhammad at Mecca, p. 51). Sebaliknya pemakaian kata
namus bukan istilah Qur'an, sebab Qur'an menggunakan
kata Taurat apabila yang dimaksud dengan namus itu
undang-undang Nabi Musa (A).
2 ash-Shafa ialah sebuah bukit dekat Mekah (A).
3 Semacam gedung pertemuan (A).
4 Menurut kepercayaan mereka penyakit yang disebabkan
oleh gangguan jin, aslinya ra'i (A).
5 Dalam literatur Barat umumnya disebut Negus (A)
6 Peristiwa ini terjadi dalam tahun 615 Masehi (tahun
kelima sesudah kerasulan) (A).


BAGIAN KEENAM: CERITA GHARANIQ (1/5)

------------------------------------------------------------
Kembalinya mereka yang hijrah ke Abisinia - Gharaniq yang
luhur - Orientalis-orientalis bertahan pada cerita ini -
Pegangan mereka dalam hal ini - Lemahnya pegangan tersebut -
Cerita yang nyata-nyata dusta ini dibantah oleh penyelidikan
ilmiah
------------------------------------------------------------

KAUM Muslimin yang hijrah ke Abisinia tinggal selama tiga
bulan di sana. Sementara itu Umar ibn'l-Khattab sudah pula
masuk Islam. Setelah para pengungsi ini mengetahui bahwa
pihak Quraisy sudah mulai surut dari mengganggu Muhammad dan
pengikut-pengikutnya - setelah Umar masuk Islam - menurut
sebuah sumber, banyak diantara mereka itu yang kembali, dan
sumber lain mengatakan semua mereka itu kembali ke Mekah.
Tetapi setelah mereka sampai di Mekah, ternyata pihak
Quraisy kembali menyiksa kaum Muslimin, bahkan lebih keras
lagi dari pada yang pernah dialami kaum pengungsi itu dulu.
Sebahagian mereka ada yang kembali ke Abisinia, ada pula
yang memasuki Mekah atau di dekat-dekatnya dengan
sembunyi-sembunyi. Konon katanya, bahwa mereka yang kembali
itu membawa pula sejumlah kaum Muslimin dan mereka ini
tinggal di Abisinia sampai sesudah Hijrah dan sesudah
keadaan Muslimin di Medinah jadi lebih stabil.

Apa pula motif yang mendorong kaum Muslimin di Abisinia itu
kembali sesudah tiga bulan mereka tinggal di sana? Di
sinilah munculnya cerita gharaniq itu yang dilangsir oleh
Ibn Sa'd dalam At-Tabaqat'l-Kubra dan oleh At-Tabari dalam
Tarikh'r-Rusul-wal-Muluk, yang juga sama dilangsir oleh
ahli-ahli tafsir kalangan Muslimin dan penulis-penulis
sejarah Nabi, dan lalu diambil pula oleh sekelompok
Orientalis-orientalis yang dalam sekian lama oleh mereka
tetap dipertahankan.

Adapun timbulnya cerita gharaniq itu ialah, setelah Muhammad
melihat pihak Quraisy menjauhinya dan sahabat-sahabatnya di
siksa. Ia berharap-harap sambil mengatakan: Coba aku tidak
mendapat perintah apa-apa yang kiranya akan menjauhkan
mereka dari aku. Ia mengumpulkan golongannya dan mereka
bersama-sama pada suatu hari duduk-duduk dalam sebuah tempat
pertemuan di sekitar Mekah. Kepada mereka dibacakannya Surah
An-Najm sampai pada firman Allah: "Adakah kamu perhatikan
Lat dan 'Uzza. Dan itu Manat, ketiga, yang terakhir?"
(Qur'an, 53:19-20) Sesudah itu lalu dibacakannya pula: "Itu
gharaniq yang luhur, perantaraannya sungguh dapat
diharapkan."

Kemudian ia meneruskan membaca Surah itu seluruhnya sampai
pada akhirnya ia sujud. Ketika itu semua orang ikut sujud,
tak ada yang ketinggalan. Pihak Quraisy menyatakan
kepuasannya atas apa yang telah dibaca Muhammad itu.

Kata mereka: "Kami tahu sudah bahwa Allah itu menghidupkan
dan mematikan, menciptakan dan memberi rejeki. Tetapi dewa
kami ini menjadi perantara kami kepadaNya. Kalau ternyata
dia juga kauberi tempat, maka kamipun setuju dengan kau."

Dengan demikian hilanglah perselisihan dengan mereka itu.
Peristiwa tersebut lalu tersebar di kalangan umum hingga
sampai juga ke Abisinia. Pihak Muslimin lalu berkata: Di
sana ada keluarga-keluarga dekat kami yang sangat kami
cintai. Lalu merekapun pulang kembali. Apabila pada tengah
hari mereka sampai ke dekat Mekah mereka bertemu dengan
rombongan kafilah Kinana yang lalu dan rombongan itupun
menjawab: Ia menyebutkan dewa-dewa mereka dengan baik dan
merekapun lalu mengikutinya. Kemudian ia berbalik lagi
mencela dewa-dewa mereka itu dan merekapun lalu memusuhinya
lagi. Perbuatan mereka itu dibicarakan oleh pihak Muslimin.
Tidak tahan lagi mereka ingin menemui keluarga, dan mereka
lalu memasuki Mekah.

Sebabnya maka Muhammad berbalik tidak mau menyebutkan
dewa-dewa Quraisy dengan baik - menurut beberapa sumber yang
mencatat berita ini - ialah karena ia sudah tidak tahan atas
ucapan Quraisy: "Kalau ternyata dewa-dewa kami juga kauberi
tempat, maka kami pun setuju dengan kau," dan karena ketika
dia sedang duduk-duduk di rumahnya hingga sore Jibril datang
dan bertanya:

"Aku membawakan dua anak kalimat ini kepadamu?" dengan
menunjuk kepada "Itu gharaniq yang luhur, perantaraannya
dapat diharapkan."

Muhammad pun menjawab: "Aku mengatakan sesuatu yang tidak
dikatakan oleh Allah."

Kemudian Allah mewahyukan:

"Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau tentang apa
yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas
nama Kami memalsukannya dengan yang lain."
"Ketika itulah mereka mengambil engkau menjadi kawan mereka.
Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau
hampir cenderung juga kepada mereka barang sedikit. Dalam
hal ini, akan Kami timpakan kepadamu hukuman berlipat ganda,
dalam hidup dan mati. Selanjutnya engkau tiada akan
mempunyai penolong menghadapi Kami." (Qur'an 17:73-75)

Dengan begitu kembali ia memburuk-burukkan dewa-dewa
Quraisy itu, dan Quraisypun kembali lagi memusuhinya dan
mengganggu sahabat-sahabatnya.

Demikianlah cerita gharaniq ini, yang bukan seorang saja
dari penulis-penulis biografi Nabi yang menceritakannya,
demikian juga ahli-ahli tafsir turut menyebutkan, dan tidak
sedikit pula kalangan Orientalis yang memang sudah sekian
lama mau bertahan. Jelas sekali dalam cerita ini ada
kontradiksi. Dengan sedikit pengamatan saja hal ini sudah
dapat digugurkan.

Di samping itu cerita ini berlawanan pula dengan segala
sifat kesucian setiap nabi dalam menyampaikan risalah Tuhan.
Memang mengherankan sekali apabila ada beberapa penulis
sejarah Nabi dan ahli tafsir dari kalangan Islam sendiri
yang masih mau menerimanya. Oleh karena itu Ibn Ishaq tidak
ragu-ragu lagi ketika menjawab pertanyaan dengan mengatakan
bahwa cerita itu bikinan orang-orang atheis.

Akan tetapi mereka yang berpegang pada alasan ini berusaha
membenarkannya dengan berpegang pada ayat-ayat:

"Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau ..." sampai
pada firman Tuhan: "Dan tiada seorang rasul atau seorang
nabi yang Kami utus sebelum kau, apabila ia bercita-cita,
setan lalu memasukkan gangguan ke dalam cita-citanya itu.
Tetapi Allah menghapuskan apa yang dimasukkan setan itu.
Kemudian Allah menguatkan keterangan-keterangaNya itu. Dan
Allah Maha mengetahui dan Bijaksana. Apa yang dimasukkan
setan itu adalah ujian bagi mereka yang berpenyakit dalam
hatinya dan berhati batu. Dan mereka yang melakukan
kesalahan akan berada dalam pertentangan yang tak
berkesudahan." (Qur'an, 22: 52 - 53)

Ada orang yang menafsirkan kata "bercita-cita" itu dengan
arti "membaca," ada pula yang menafsirkannya dengan arti
"bercita-cita," seperti yang sudah umum dikenal. Kedua
mereka ini masing-masing berpendapat - diikuti oleh
Orientalis-orientalis - bahwa Quraisy telah sampai di
puncaknya menyiksa sahabat-sahabat Nabi, ada yang mereka
bunuh, ada pula yang dilemparkan ke padang pasir, dijilat
oleh terik matahari yang membakar, ditindih pula dengan batu
seperti yang dialami oleh Bilal. Karena itu terpaksa ia
menyuruh mereka hijrah ke Abisinia. Demikian juga
masyarakatnya sendiripun begitu kasar terhadap dirinya yang
juga kemudian memboikotnya. Tetapi karena ia begitu menjaga
keislaman mereka yang sudah lepas dari penyembahan berhala,
ia pun lalu mendekati kaum musyrik dan membacakan Surah
an-Najm dengan menambahkan lagi cerita gharaniq. Sesudah ia
sujud merekapun ikut pula sujud. Mereka lalu memperlihatkan
suatu kecenderungan hendak mengikutinya, karena ia sudah
memberi tempat kepada dewa-dewa mereka itu disamping Allah.

Atas peristiwa ini yang juga disebutkan dalam beberapa buku
biografi dan buku-buku tafsir - Sir William Muir
menganggapnya sebagai suatu argumen yang kuat tentang adanya
cerita gharaniq itu. Selanjutnya kaum Muslimin yang telah
berangkat ke Abisinia itu belum lagi selang tiga bulan sejak
mereka mengungsi, yang dalam pada itu mereka telah diberi
suaka dengan baik sekali oleh pihak Najasyi. Kalau tidak
karena tersiarnya berita, bahwa antara Muhammad dengan
Quraisy sudah tercapai kompromi, tentu tak ada motif lain
yang akan mendorong mereka itu kembali, ingin berhubungan
dengan keluarga dan kerabat mereka. Dan dari mana pula akan
ada kompromi antara Muhammad dengan Quraisy itu, kalau bukan
Muhammad juga yang mengusahakannya. Di Mekah ia termasuk
minoritas dengan tenaga yang masih lemah. Juga
sahabat-sahabatnya masih lemah sekali untuk dapat
mempertahankan diri dari gangguan dan penyiksaan Quraisy.

Alasan-alasan yang dikemukakan mereka, dengan mengatakan,
bahwa cerita gharaniq itu benar adanya, adalah suatu alasan
yang lemah sekali dan tidak tahan uji. Baiklah kita mulai
dulu dengan menolak Muir. Kembalinya kaum Muslimin ke Mekah
dari Abisinia, pada dasarnya karana dua sebab:

Pertama, karena 'Umar ibn'l-Khattab masuk Islam tidak lama
setelah mereka hijrah. Umar masuk Islam dengan semangat yang
sama seperti ketika ia menentang agama ini dahulu. Ia masuk
Islam tidak sembunyi-sembunyi. Malah terang-terangan ia
mengumumkan di depan orang banyak dan untuk itu ia bersedia
melawan mereka. Ia tidak mau kaum Muslimin sembunyi-sembunyi
dan mengendap-endap di celah-celah pegunungan Mekah dalam
melakukan ibadat, menjauhkan diri jauh dari gangguan
Quraisy. Bahkan ia terus melawan Quraisy sampai nanti dia
beserta kaum Muslimin itu dapat melakukan ibadat dalam
Ka'bah.
Disinilah pihak Quraisy menyadari, bahwa penderitaan yang
dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya, hampir-hampir
menimbulkan perang saudara, yang akibat-akibatnya tidak akan
dapat dibayangkan, dan siapa pula yang akan binasa. Ada
orang-orang dari kabilah-kabilah Quraisy dan dari
keluarga-keluarga bangsawannya yang sudah menerima Islam,
mereka akan lalu berontak bila siapa saja dari kabilahnya
itu ada yang terbunuh sekalipun orang itu berlainan agama.
Jadi, dalam memerangi Muhammad ini, mereka harus memempuh
suatu cara yang tidak akan membawa akibat yang begitu
berbahaya. Di samping itu supaya cara ini dapat pula
disepakati oleh Quraisy mereka mengadakan genjatan senjata
dengan pihak Muslimin, sehingga dengan demikian tiada
seorangpun dari mereka itu yang boleh diganggu.

Inilah yang telah sampai kepada kaum pengungsi di Abisinia
itu, dan membuat mereka berpikir-pikir akan kembali ke Mekah

Kedua. Sungguhpun begitu, barangkali mereka masih
maju-mundur juga akan kembali, kalau tidak karena adanya
sebab kedua yang telah menguatkan niat mereka, yakni pada
waktu itu di Abisinia sedang berkecamuk suatu pemberontakan
melawan Najasyi, yang dilancarkan karena adanya suatu
tuduhan yang ditujukan kepadanya. Ia melaksanakan janjinya
dan memperlihatkan rasa kasih-sayangnya kepada kaum
Muslimin. Kaum Muslimin sendiri menyatakan harapannya
sekiranya Tuhan akan memenangkan Negus terhadap lawannya
itu. Tetapi mereka sendiri tidak sampai melibatkan diri
dalam pemberontakan, karena mereka adalah orang-orang asing,
dan lagi mereka belurn begitu lama tinggal di Abisinia.
Bahwa yang telah sampai kepada mereka itu berita-berita
perdamaian antara Muhammad dengan Quraisy, perdamaian yang
menyelamatkan Muslimin dari gangguan yang pernah mereka
alami, maka bagi mereka akan lebih baik meninggalkan
kekacauan yang ada sekarang dan kembali bergabung kepada
keluarga mereka sendiri.

Inilah yang telah mereka lakukan semua, atau sebagian dari
mereka.

Hanya saja, sebelum mereka sampai ke Mekah, pihak Quraisy
sudah berkomplot lagi terhadap Muhammad dan
sahabat-sahabatnya. Kabilah-kabilah mereka sudah mengadakan
persetujuan tertulis bersama; mereka berjanji mengadakan
pemboikotan total terhadap Banu Hasyim: tidak akan saling
berjual-beli .

Dengan adanya perjanjian itu perang yang tak berkesudahan
antara kedua belah pihak itupun segera berkecamuk lagi.
Sekarang mereka yang telah pulang dari Abisinia itu kembali
lagi ke sana. Bersama mereka ikut pula orang-orang yang
masih dapat pergi bersama-sama. Sekali ini mereka menghadapi
kekerasan dari Quraisy, yang berusaha hendak merintangi
mereka itu hijrah.

Jadi, bukanlah kompromi seperti yang disebutkan Muir itu
yang menyebabkan Muslimin kembali dari Abisinia, melainkan
karena adanya perjanjian perdamaian sebagai akibat Umar yang
telah masuk Islam serta semangatnya yang berapi-api hendak
membela agama ini. Jadi dukungan mereka atas adanya cerita
gharaniq dengan alasan kompromi itu, adalah dukungan yang
samasekali tidak punya dasar.

Adapun alasan yang dikemukakan oleh penulis-penulis biografi
dan ahli-ahli tafsir dengan ayat-ayat: "Dan hampir-hampir
saja mereka itu menggoda kau ...," dan "Dan tiada seorang
rasul atau seorang nabi yang Kami utus sebelum kau,
apabila ia bercita-cita, setan lalu memasukkan gangguan
ke dalam cita-citanya itu ..." adalah alasan yang lebih
kacau lagi dari argumen Sir Muir. Cukup kita sebutkan ayat
pertama itu saja dalam firman Tuhan: "Dan kalaupun
tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir
cenderung juga kepada mereka barang sedikit," untuk
kita lihat, bahwa setan telah memasukkan gangguan ke
dalam cita-cita Rasul itu, sehingga hampir saja ia
cenderung kepada mereka sedikit-sedikit; tetapi Tuhan
menguatkan hatinya sehingga tidak sampai dilakukannya,
dan kalau dilakukan juga, Tuhan akan menimpakan
hukuman berlipat-ganda dalam hidup dan mati.

Jadi, dengan membawa ayat-ayat ini sebagai alasan, jelaslah
alasan itu terbalik adanya.

Jalan cerita gharaniq ini ialah bahwa Muhammad telah
benar-benar berpihak kepada Quraisy dan Quraisypun sudah
benar-benar pula menggodanya sehingga ia mau mengatakan
sesuatu yang tidak difirmankan Tuhan. Sedang ayat-ayat di
sini menegaskan, bahwa Tuhan telah menguatkan hatinya,
sehingga dia tidak melakukan hal itu. Bilamana disebutkan
demikian, bahwa buku-buku tafsir dan sebab-sebabnya turun
Qur'an membuat ayat-ayat ini dapat mengubah masalah
gharaniq, kita lihat bahwa alasan ini berlawanan sekali
dengan kesucian para rasul dalam menyampaikan tugas mereka,
dan bertentangan dengan seluruh sejarah Muhammad. Suatu
alasan yang kacau, bahkan lemah samasekali.
Sedang bunyi ayat-ayat "Dan tiada seorang rasul dan seorang
nabi yang Kami utus sebelum kauÉ" sama sekali tak ada
hubungannya dengan cerita gharaniq itu. Apalagi yang
menyebutkan bahwa Tuhan telah menghapuskan gangguan yang
dimasukkan setan dan akan menjadikan godaan bagi mereka yang
berpenyakit dalam hatinya dan berhati batu; kemudian Allah
menguatkan keterangan-keteranganNya. Dan Allah Maha
mengetahui dan Bijaksana.

Bilamana cerita ini diteliti dengan penyelidikan ilmiah
ternyata ia tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang
pertama sekali sebagai bukti ialah adanya beberapa sumber
yang beraneka-ragam. Pernah diceritakan seperti disebutkan
di atas - bahwa ungkapan itu ialah "Itu gharaniq yang luhur,
perantaraannya sungguh dapat diharapkan." Sumber lain
menyebutkan: "Gharaniqa yang luhur, perantaraannya dapat
diharapkan." Sumber selanjutnya menyebutkan: "perantaraannya
dapat diharapkan," tanpa menyebutkan gharaniqa atau
gharaniq. Sumber keempat mengatakan: "Dan sebenarnya itulah
gharaniq yang luhur." Sumber kelima menyebutkan: "Dan
sebenamya mereka itulah gharaniq yang luhur, dan perantaraan
mereka bagi mereka yang diharapkan."1 Dalam beberapa buku
hadis disebutkan adanya sumber-sumber lain di samping yang
lima tadi. Adanya keaneka-ragaman dalam sumber-sumber
tersebut menunjukkan, bahwa hadis itu palsu adanya, dan
bikinan golongan atheis, seperti kata Ibn Ishaq, dan
tujuannya ialah hendak menanamkan kesangsian tentang
kebenaran ajakan Muhammad dan risalah Tuhan itu

Bukti lain yang lebih kuat dan pasti, ialah konteks atau
susunan Surah an-Najm yang sama sekali tidak menyinggung
soal gharaniq ini. Konteks itu seperti dalam firman Tuhan;
"Sungguh dia telah melihat keterangan-keterangan yang amat
besar dan Tuhan. Adakah kamu perhatikan Lat dan 'Uzza? Dan
Manat ketiga, yang terakhir? Adakah untuk kamu itu yang
laki-laki dan untuk Dia yang perempuan? Kalau begitu ini
adalah pembagian yang tak seimbang. Ini hanyalah nama-nama
yang kamu buat sendiri, kamu dan nenek-moyang kamu. Allah
tidak memberikan kekuasaan karenanya; yang mereka turuti
hanyalah prasangka dan kehendak nafsu belaka. Dan pada
mereka pimpinan yang benar dari Tuhan sudah pernah ada."
(Qur'an, 53:18-23)

Susunan ini jelas sekali, bahwa Lat dan 'Uzza adalah
nama-nama yang dibuat-buat oleh kaum musyrik, mereka dan
nenek-moyang mereka, sedang Allah tidak memberikan kekuasaan
untuk itu. Bagaimana mungkin susunan itu akan berjalan
sebagai berikut: "Adakah kamu perhatikan Lat dan 'Uzza. Dan
Manat ketiga, yang terakhir. Itu gharaniq yang luhur,
perantaraannya dapat diharapkan. Adakah untuk kamu itu yang
laki-laki dan untuk Dia yang perempuan? Kalau begitu ini
adalah pembagian yang tak seimbang. Ini hanyalah nama-nama
yang kamu buat sendiri, kamu dan nenek-moyang kamu. Allah
tidak memberikan kekuasaan karenanya."

Susunan ini rusak, kacau dan bertentangan satu sama lain.
Dan pujian kepada Lat, 'Uzza dan Manat ketiga yang terakhir
dan celaan dalam empat ayat berturut-turut tak dapat
diterima akal dan tak tak ada orang yang akan berpendapat
begitu.

Yang demikian ini sudah tak dapat diragukan lagi, dan bahwa
hadis tentang gharaniq itu adalah palsu dan bikinan golongan
atheis dengan maksud-maksud tertentu. Orang yang suka pada
yang aneh-aneh dan tidak berpikir logis, tentu percaya akan
hadis ini.

Argumen lain ialah seperti yang dikemukakan oleh almarhum
Syaikh Muhammad Abduh dalam tulisannya yang jelas membantah
cerita gharaniq ini, yaitu bahwa belum pernah ada orang Arab
menamakan dewa-dewa mereka dengan gharaniq, baik dalam
sajak-sajak atau dalam pidato-pidato mereka. Juga tak ada
berita yang dibawa orang mengatakan, bahwa nama demikian itu
pernah dipakai dalam percakapan mereka. Tetapi yang ada
ialah sebutan ghurnuq dan ghirniq sebagai nama sejenis
burung air, entah hitam atau putih, dan sebutan untuk pemuda
yang putih dan tampan. Dari semua itu, tak ada yang cocok
untuk diberi arti dewa, juga orang-orang Arab dahulu tak ada
yang menamakannya demikian.

Tinggal lagi sebuah argumen yang dapat kita kemukakan
sebagai bukti bahwa cerita gharaniq ini mustahil akan ada
dalam sejarah hidup Muhammad sendiri. Sejak kecilnya, semasa
anak-anak dan semasa mudanya, belum pernah terbukti ia
berdusta, sehingga ia diberi gelar Al-Amin, "yang dapat
dipercaya," pada waktu usianya belum lagi mencapai duapuluh
lima tahun. Kejujurannya sudah merupakan hal yang tak perlu
diperbantahkan lagi di kalangan umum, sehingga ketika suatu
hari sesudah kerasulannya ia bertanya kepada Quraisy:
"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kukatakan, bahwa pada
permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?"
Jawab mereka: "Ya, engkau tidak pernah disangsikan. Belum
pernah kami melihat kau berdusta."
Jadi orang yang sudah dikenal sejak kecil hingga tuanya
begitu jujur, bagaimana orang akan percaya bahwa ia
mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan oleh Allah, ia akan
takut kepada orang dan bukan kepada Allah! Hal ini tidak
mungkin. Mereka yang sudah mempelajari jiwanya yang begitu
kuat, begitu cemerlang, jiwa yang begitu membenteng
mempertahankan kebenaran dan tidak pula pernah mencari muka
dalam soal apapun, akan mengetahui ketidak mungkinan cerita
itu. Betapa kita melihat Muhammad berkata: Kalau Quraisy
meletakkan matahari di sebelah kanannya, dan meletakkan
bulan di sebelah kirinya dengan maksud supaya ia melepaskan
tugasnya, akan mati sekalipun dia tidak akan melakukan hal
itu - bagaimana pula akan mengatakan sesuatu yang tidak
diwahyukan Allah kepadanya, dan mengatakan itu untuk
meruntuhkan sendi agama yang oleh karenanya ia diutus Allah
sebagai petunjuk dan berita gembira bagi seluruh umat
manusia!

Dan kapan pula ia kembali kepada Quraisy guna memuji-muji
dewa-dewa mereka? Ataukah sesudah sepuluh tahun atau sekian
tahun dari kerasulannya, demi tugas yang besar itu ia
sanggup memikul pelbagai macam siksaan, berupa-rupa
pengorbanan, sesudah Allah memperkuat Islam dengan Hamzah
dan Umar dan sesudah kaum Muslimin mulai menjadi kuat di
Mekah, dengan berita yang sudah meluas pula ke seluruh
jazirah, ke Abisinia dan semua penjuru?! Pendapat demikian
ini adalah suatu legenda, suatu kebohongan yang sudah tak
berlaku.

Mereka yang menciptakan cerita ini sebenarnya sudah
merasakan bahwa hal ini akan mudah terbongkar. Mereka lalu
berusaha menutupinya dengan mengatakan, bahwa begitu
Muhammad mendengar kata-kata Quraisy bahwa dewa-dewa mereka
sudah mendapat tempat sebagai perantara, hal itu berat
sekali dirasanya, sehingga ia kembali kepada Tuhan bertobat,
dan begitu ia pulang ke rumah sore itu Jibrilpun datang.
Tetapi tabir ini akan terbuka juga kiranya. Kalau hal itu
oleh Muhammad sudah sangat luar biasa, ketika ia mendengar
kata-kata Quraisy itu, apalagi ia sampai akan mengoreksi
wahyu pada waktu itu juga.

Jadi masalah gharaniq ini memang tidak punya dasar, selain
sebagai karangan yang dibikin-bikin oleh suatu golongan yang
mau melakukan tipu muslihat terhadap Islam, yang terjadi
sesudah permulaan sejarah Islam. Yang lebih mengherankan
lagi ialah karena kecerobohan mereka yang telah melakukan
pemalsuan-pemalsuan itu melemparkan pemalsuan mereka justru
ke dalam jantung Islam, yaitu ke dalam Tauhid! Yang justru
karena itu pulalah Muhammad diutus, supaya meneruskannya
kepada umat manusia sejak dari semula, dan yang sejak itu
pula tidak kenal arti mengalah. Juga segala yang ditawarkan
kepadanya oleh Quraisy apa saja yang dikehendakinya berupa
harta, bahkan akan dijadikannya ia raja atas mereka, tidak
sampai membuatnya jadi berpaling. Semua itu ditawarkan
kepadanya, pada waktu penduduk Mekah yang menjadi
pengikutnya masih sedikit sekali jumlahnya. Waktu itu
gangguan-gangguan Quraisy kepada sahabat-sahabatnya tidak
sampai membuat ia surut dari dakwah yang diperintahkan Tuhan
kepadanya, yaitu supaya diteruskan kepada umat manusia. Jadi
sasaran mereka yang telah melakukan pemalsuan terhadap
masalah yang begitu teguh menjadi pegangan Muhammad yang tak
ada taranya itu, hanya menunjukkan suatu kecerobohan yang
tidak rasional, dan yang sekaligus menunjukkan pula, bahwa
mereka yang masih cenderung mau mempercayainya ternyata
telah tertipu; suatu hal yang sebenarnya tidak perlu sampai
ada orang akan tertipu karenanya.

Jadi masalah gharaniq ini memang samasekali tidak punya
dasar, dan samasekali tak ada hubungannya pula dengan
kembalinya Muslimin dari Abisinia. Seperti disebutkan di
atas, mereka kembali karena Umar sudah masuk Islam dan
dengan semangatnya yang sama seperti sebelum itu ia membela
Islam, sampai menyebabkan Quraisy terpaksa mengadakan
perjanjian perdamaian dengan Muslimin. Juga mereka kembali
pulang ketika di Abisinia sedang berkecamuk pemberontakan.
Mereka kuatir akan akibatnya. Tetapi setelah Quraisy
mengetahui mereka kembali, kekuatirannya makin bertambah
akan besarnya pengaruh Muhammad di kalangan mereka.
Quraisypun lalu membuat rencana mengatur langkah berikutnya,
yang berakhir dengan dibuatnya piagam yang menentukan
diantaranya tidak akan saling mengawinkan, berjual-beli dan
bergaul dengan Banu Hasyim, dan yang juga sudah sepakat
diantara mereka, akan membunuh Muhammad jika dapat.

Catatan kaki:

1 Sekedar gambaran terjemahan ini hanya dari segi ungkapan
sedang perbedaan atau persamaan yang lebih jelas hanya dari
segi semantik menurut bahasa aslinya (A).


BAGIAN KETUJUH: PERBUATAN-PERBUATAN QURAISY YANG KEJI (1/3)
Muhammad Husain Haekal

Umar mengumumkan keislamannya dan Muslimin beribadat di
Ka'bah - Piagam pemboikotan - Daya-upaya Quraisy
memerangi Muhammad - Alat propaganda bahasa yang
mempesonakan - Jabr orang Nasrani - Terpengaruhnya
Quraisy pada ajakan yang baru - At-Tufail ad-Dausi -
Delegasi Nasrani - Kekuatiran-kekuatiran Quraisy:
persaingan, kehilangan kedudukan di Mekah, hari
kebangkitan.

ISLAMNYA Umar telah membawa kelemahan ke dalam tubuh Quraisy
karena ia masuk agama ini dengan semangat yang sama seperti
ketika ia menentangnya dahulu. Ia masuk Islam tidak
sembunyi-sembunyi, malah terang-terangan diumumkan di depan
orang banyak dan untuk itu ia bersedia melawan mereka. Ia
tidak mau kaum Muslimin sembunyi-sembunyi dan mengendap-endap
di celah-celah pegunungan Mekah, mau melakukan ibadat jauh
dari gangguan Quraisy. Bahkan ia terus melawan Quraisy, sampai
nanti dia beserta Muslimin itu dapat melakukan ibadat dalam
Ka'bah. Disini pihak Quraisy menyadari, bahwa penderitaan yang
dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya, takkan mengubah
kehendak orang menerima agama Allah, untuk kemudian berlindung
kepada Umar dan Hamzah, atau ke Abisinia atau kepada siapa
saja yang mampu melindungi mereka.

Quraisy lalu membuat rencana lagi mengatur langkah berikutnya.
Setelah sepakat, mereka membuat ketentuan tertulis dengan
persetujuan bersama mengadakan pemboikotan total terhadap Banu
Hasyim dan Banu Abd'l-Muttalib: untuk tidak saling
kawin-mengawinkan, tidak saling berjual-beli apapun. Piagam
persetujuan ini kemudian digantungkan di dalam Ka'bah sebagai
suatu pengukuhan dan registrasi bagi Ka'bah. Menurut perkiraan
mereka, politik yang negatif, politik membiarkan orang
kelaparan dan melakukan pemboikotan begini akan memberi hasil
yang lebih efektif daripada politik kekerasan dan penyiksaan,
sekalipun kekerasan dan penyiksaan itu tidak mereka hentikan.
Blokade-blokade yang dilakukan Quraisy terhadap kaum Muslimin
dan terhadap Banu Hasyim dan Banu Abd'l Muttalib sudah
berjalan selama dua atau tiga tahun, dengan harapan sementara
itu Muhammadpun akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.
Dengan demikian dia dan ajarannya itu tidak lagi berbahaya.

Akan tetapi ternyata Muhammad sendiri malah makin teguh
berpegang pada tuntunan Allah, juga keluarganya, dan mereka
yang sudah berimanpun makin gigih mempertahankannya dan
mempertahankan agama Allah. Menyebarkan seruan Islam sampai
keluar perbatasan Mekah itu pun tak dapat pula
dihalang-halangi. Maka tersiarlah dakwah itu ke tengah-tengah
masyarakat Arab dan kabilah-kabilah, sehingga membuat agama
yang baru ini, yang tadinya hanya terkurung ditengah-tengah
lingkaran gunung-gunung Mekah, kini berkumandang gemanya ke
seluruh jazirah. Orang-orang Quraisy makin tekun memikirkan
bagaimana caranya memerangi orang yang sudah melanggar adat
kebiasaannya dan menista dewa-dewanya itu, bagaimana caranya
menghentikan tersiarnya ajarannya itu di kalangan
kabilah-kabilah Arab, kabilah-kabilah yang tak dapat hidup
tanpa Mekah dan juga Mekah tak dapat hidup tanpa mereka dalam
perdagangan, dalam kegiatan impor dan ekspor dari dan ke
Ibukota itu.

Quraisy mencurahkan semua kegiatannya dalam memerangi orang
yang dianggapnya sudah melanggar kebiasaan mereka, melanggar
kepercayaan mereka dan kepercayaan leluhur mereka itu. Dengan
tabah dan secara terus-menerus selama bertahun-tahun, apa yang
telah mereka lakukan untuk menghancurkan ajaran baru ini,
sungguh di luar yang dapat kita bayangkan. Muhammad diancam,
keluarga dan ninik-mamaknya, diancam. Ia diejek, ajarannya
diejek. Ia diperolok, dan orang yang jadi pengikutnya juga
diperolok. Penyair-penyair mereka didatangkan supaya
mengejeknya, supaya memburuk-burukkannya. Ia diganggu, dan
orang yang jadi pengikutnya dinista dan disiksa. Ia mau
disuap, ditawari kerajaan, ditawari segala yang menjadi
kedambaan orang. Kawan-kawan seperjuangannya diusir dari tanah
air, perdagangan dan pintu rejeki mereka dibekukan. Ia dan
sahabat-sahabatnya diancam dengan perang serta segala
akibatnya yang mengerikan.

Akhirnya blokade, akan dibiarkan mati kelaparan jika mungkin.

Tetapi, sungguhpun begitu, Muhammad tetap tabah. Dengan cara
yang amat baik tetap ia mengajak orang menerima kebenaran,
yang hanya karena itu ia diutus Tuhan kepada umat manusia,
sebagai pembawa berita gembira, dan peringatan. Bukankah sudah
tiba waktunya Quraisy meletakkan senjatanya, dan mempercayai
Al-Amin, orang yang dikenalnya sejak masa anak-anak, sejak
masa muda belia, sebagai orang yang jujur, tak pernah
berdusta!? Ataukah mereka sudah mencari alat lain selain
senjata perang seperti disebutkan, dan lalu terbayang oleh
mereka, bahwa dengan demikian mereka akan menang perang, lalu
kedudukan berhala-berhala mereka akan dapat dipertahankan
sebagai pusat ketuhanan mereka seperti yang mereka duga, dan
Mekahpun akan dapat dipertahankan sebagai museum
berhala-berhala dan tempat yang disucikan karena
berhala-berhala itu akan tetap berada di Mekah?!

Tidak! Belum tiba saatnya bagi Quraisy akan tunduk dan
menyerah. Mereka sekarang sedang dalam puncak kekuatirannya
bila seruan Muhammad ini nanti akan tersebar di kalangan
kabilah-kabilah Arab sesudah terlebih dulu tersebar di Mekah.

Tinggal satu senjata lagi pada mereka sekarang yang sejak
semula sudah menjadi pegangan dan kekuatan mereka, yaitu
senjata propaganda: propaganda dengan segala implikasinya
berupa perdebatan, argumentasi-argumentasi, caci maki,
penyebaran desas-desus serta sifat merendahkan argumen lawan
dengan menganggap alasan-alasannya sendiri yang lebih baik.
Propaganda melawan akidah dan pembawa akidah disertai
tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Propaganda yang
tidak hanya terbatas pada Mekah saja - sebenarnya buat Mekah
ini sudah tidak lagi diperlukan dibandingkan dengan daerah
pedalaman lain serta kabilah-kabilahnya, semenanjung jazirah
serta semua penduduknya. Dengan mengadakan ancaman bujukan,
teror dan penyiksaan, propaganda tidak diperlukan lagi buat
Mekah. Tapi buat ribuan orang yang datang ke Mekah tiap tahun
masih tetap diperlukan. Mereka datang dalam urusan perdagangan
dan berziarah. Mereka berkumpul di pasar-pasar 'Ukaz, Majanna
dan Dhul-Majaz, yang kemudian berziarah sambil menyembelih
kurban, mengharapkan berkah dan ampunan.

Oleh karena itu, sejak memuncaknya permusuhan antara Quraisy
dengan Muhammad terpikir oleh mereka akan menyusun suatu alat
propaganda anti Muhammad. Lebih gigih lagi mereka memikirkan
hal ini sesudah orang-orang yang berziarah itu diajaknya
supaya beribadat hanya kepada Allah yang Esa dan tidak
bersekutu. Hal ini sudah terpikir olehnya sejak tahun-tahun
pertama dari kerasulannya itu. Pada mulanya, sejak masa
kerasulannya, ia adalah seorang nabi, sampai datangnya wahyu
menyuruh ia memperingatkan keluarga-keluarganya yang dekat.
Setelah ia memperingatkan keluarga-keluarga Quraisy dan ada di
antara mereka yang menerima Islam, di samping banyak juga yang
masih kepala batu dan mau berpikir-pikir dulu, ia masih
berkewajiban mengajak bangsanya sendiri, seluruh masyarakat
Arab, untuk kemudian meneruskan kewajibannya itu mengajak
seluruh umat manusia.

Setelah terpikir akan mengajak orang yang datang berziarah
dari berbagai macam kabilah Arab itu beribadat kepada Allah,
beberapa orang dari kalangan Quraisy datang berunding dan
mengadakan pertemuan di rumah Walid bin'l-Mughira: Maksudnya
supaya dalam menghadapi persoalan Muhammad itu satu sama lain
mereka tidak bertentangan, dan tidak saling mendustakan
mengenai apa yang harus mereka katakan kepada orang-orang Arab
yang datang musim ziarah itu. Ada yang mengusulkan, supaya
dikatakan saja, bahwa Muhammad itu dukun. Tetapi al-Walid
menolak pendapat ini, sebab apa yang dikatakan Muhammad bukan
kumat-kamit seorang dukun. Yang lain mengusulkan lagi, bahwa
Muhammad itu orang gila. Walidpun menolak pendapat ini, sebab
gejala atas tuduhan demikian tidak tampak. Ada lagi yang
menyarankan supaya Muhammad dikatakan sebagai tukang sihir.
Juga di sini Walid menolak, sebab Muhammad tidak mengerjakan
rahasia juru tenung atau sesuatu pekerjaan tukang-tukang
sihir.

Sesudah terjadi diskusi akhirnya Walid mengusulkan supaya
kepada peziarah-peziarah orang-orang Arab itu dikatakan bahwa
dia (Muhammad) seorang juru penerang yang mempesonakan,1 apa
yang dikatakannya merupakan pesona yang akan memecah-belah
orang dengan orangtuanya, dengan saudaranya, dengan isteri dan
keluarganya. Dan apa yang dituduhkan itu pada orang-orang Arab
pendatang itu merupakan bukti, sebab penduduk Mekah sudah
ditimpa perpecahan dan permusuhan. Padahal sebelum itu
penduduk Mekah merupakan suatu contoh solidaritas dan ikatan
yang paling kuat

Pihak Quraisy pada musim ziarah itu segera menyongsong
orang-orang yang datang berziarah dengan memperingatkan mereka
jangan mendengarkan orang itu dan pesona bahasanya. Jangan
sampai mereka itu mengalami bencana seperti yang dialami
penduduk Mekah dan menjadi api fitnah yang akan membakar
seluruh jazirah Arab.

Akan tetapi propaganda begini tidak dapat berdiri sendiri,
juga tidak dapat melawan penerangan yang mempesonakan yang
sudah dipercayai orang itu. Kalau memanglah kebenaran yang
dibawa oleh penerangan yang mempesonakan itu, apa salahnya
orang mempercayainya? Adakah bila sewaktu-waktu orang mengakui
kelemahannya dan menyatakan perlawanannya merupakan suatu
propaganda yang ampuh? Di samping propaganda itu Quraisy harus
punya propaganda lain lagi. Untuk propaganda itu Quraisy akan
mendapatkannya pada Nadzr b. Harith. Manusia Nadzr ini adalah
setannya Quraisy, orang yang pernah pergi ke Hira dan
mempelajari cerita raja-raja Persia, peraturan-peraturan
agamanya, ajaran-ajarannya tentang kebaikan dan kejahatan
serta tentang asal-usul alam semesta. Setiap dalam suatu
pertemuan Muhammad mengajak orang kepada Allah, serta
memperingatkan mereka tentang akibat-akibat yang telah menimpa
bangsa-bangsa sebelumnya yang menentang peribadatan kepada
Allah, ia lalu datang menggantikan tempat Muhammad dalam
pertemuan itu. Maka berceritalah ia kepada Quraisy tentang
sejarah dan agamanya, lalu katanya: Dengan cara apa Muhammad
membawakan ceritanya lebih baik daripada aku? Bukankah
Muhammad membacakan cerita-cerita orang dahulu seperti yang
kubacakan juga? Quraisypun lalu menyebarkan kisah-kisah Nadzr
itu dengan jalan bercerita lagi sebagai propaganda atas
peringatan dan ajakan Muhammad kepada mereka itu.

Dalam pada itu di Marwa Muhammad sering duduk-duduk dengan
seorang budak Nasrani yang konon bernama Jabr. Orang-orang
Quraisy menuduh, bahwa sebagian besar apa yang dibawa Muhammad
itu, Jabr inilah yang mengajarnya. Apabila ada orang yang mau
meninggalkan kepercayaan nenek-moyangnya, maka agama Nasrani
inilah yang lebih utama. Jadi tuduhan inilah yang di
desas-desuskan oleh Quraisy. Untuk itulah datang Firman Tuhan:

"Kami sungguh mengetahui bahwa mereka berkata; yang
mengajarkan itu adalah seorang manusia. Bahasa orang yang
mereka tuduhkan itu bahasa asing, sedang ini adalah bahasa
Arab yang jelas sekali." (Qur'an: 16: 103)

Dengan propaganda semacam itu dan sebangsanya Quraisy
memerangi Muhammad lagi dengan harapan akan lebih ampuh
daripada gangguan yang dialaminya dan siksaan yang dialami
pengikut-pengikutnya. Akan tetapi kuatnya kebenaran dalam
bentuk yang jelas dan sederhana yang dilukiskan melalui ucapan
Muhammad, lebih tinggi dari yang mereka katakan. Makin sehari
makin tersebar juga itu di kalangan orang-orang Arab. Tufail
b. 'Amr ad-Dausi, seorang bangsawan dan penyair cendikiawan,
ketika datang di Mekah segera dihubungi oleh Quraisy dengan
memperingatkannya dari Muhammad dan kata-katanya yang
mempesonakan itu, yang hendak memecah-belah orang dengan
keluarganya, bahkan dengan dirinya sendiri. Mereka kuatir
kalau peristiwa seperti Mekah itu akan menimpa mereka juga.
Jadi sebaiknya jangan mengajak dan jangan mendengarkan dia
bicara.

Hari itu Tufail pergi ke Ka'bah. Muhammad sedang di sana.
Ketika ia mendengarkan kata-kata Muhammad, ternyata itu
kata-kata yang baik sekali. "Biar aku mati, aku seorang
cendekiawan, penyair," katanya dalam hati. "Aku dapat mengenal
mana yang baik dan mana pula yang buruk. Apa salahnya kalau
aku mendengarkan sendiri apa yang akan dikatakan orang itu!
Jika ternyata baik akan kuterima, kalau buruk akan
kutinggalkan."

Diikutinya Muhammad sampai di rumah. Lalu dikatakannya apa
yang terlintas dalam hatinya itu. Muhammad menawarkan Islam
kepadanya dan dibacakannya ayat-ayat Quran. Laki-laki itu
segera menerima Islam dan dinyatakannya kebenaran itu dengan
mengucapkan kalimat Syahadat.
BAGIAN KETUJUH: PERBUATAN-PERBUATAN QURAISY YANG KEJI (2/3)
Muhammad Husain Haekal

Bilamana kemudian ia kembali lagi kepada masyarakatnya sendiri
diajaknya mereka itu menerima Islam. Merekapun ada yang segera
menerima, tapi ada juga yang masih lambat-lambat. Dalam pada
itu, beberapa tahun berikutnya sebagian besar mereka sudah
pula menerima Islam. Setelah pembebasan Mekah dan sesudah
susunan politik dengan bentuk tertentu sudah mulai terarah,
merekapun menggabungkan diri kepada Nabi.

Peristiwa Tufail ad-Dausi ini tidak lebih adalah sebuah contoh
saja dari sekian-banyak peristiwa. Yang telah menerima ajakan
Muhammad ini bukan terdiri dari hanya penyembah-penyembah
berhala saja. Sewaktu dia di Mekah dulu pernah datang
kepadanya duapuluh orang Nasrani, setelah mereka mendengar
berita itu. Lalu mereka menanyainya, mendengarkan
kata-katanya. Merekapun menerima,mereka beriman dan
mempercayainya. Inilah pula yang membuat Quraisy makin geram,
sehingga mereka juga dimaki-maki.

"Kamu utusan yang gagal. Kamu sekalian disuruh oleh masyarakat
seagamamu mencari berita tentang orang itu. Sebelum kamu kenal
benar-benar siapa dia agama kamu sudah kamu tinggalkan dan
lalu percaya saja apa yang dikatakannya."

Tetapi kata-kata Quraisy itu tidak membuat utusan itu mundur
menjadi pengikut Muhammad, juga tidak lalu meninggalkan Islam.
Bahkan imannya kepada Allah lebih kuat daripada ketika mereka
masih dalam agama Nasrani. Mereka sudah menyerahkan diri
kepada Tuhan sebelum mereka mendengarkan Muhammad.

Tetapi apa yang terjadi terhadap diri Muhammad lebih hebat
lagi dari itu. Orang Quraisy yang paling keras memusuhinya
sudah mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri: benarkah ia
mengajak orang kepada agama yang benar? Dan apa yang
dijanjikan dan diperingatkan kepada mereka, itu pula yang
benar?

Abu Sufyan b. Harb, Abu Jahl b. Hisyam dan al-Akhnas b. Syariq
malam itu pergi ingin mendengarkan Muhammad ketika sedang
membaca Qur'an di rumahnya. Mereka masing-masing mengambil
tempat sendiri-sendiri untuk mendengarkan, dan tempat satu
sama lain tidak saling diketahui. Muhammad yang biasa bangun
tengah malam, malam itu juga ia sedang membaca Qur'an dengan
tenang dan damai. Dengan suaranya yang sedap itu ayat-ayat
suci bergema ke dalam telinga dan kalbu.

Tetapi sesudah fajar tiba, mereka yang mendengarkan itu
terpencar pulang ke rumah masing-masing. Di tengah jalan,
ketika mereka bertemu, masing-masing mau saling menyalahkan:
Jangan terulang lagi. Kalau kita dilihat oleh orang-orang yang
masih bodoh, ini akan melemahkan kedudukan kita dan mereka
akan berpihak kepada Muhammad.

Tetapi pada malam kedua, masing-masing mereka membawa perasaan
yang sama seperti pada malam kemarin. Tanpa dapat menolak,
seolah kakinya membawanya kembali ke tempat yang semalam itu
juga, untuk mendengarkan lagi Muhammad membaca Qur'an. Hampir
fajar, ketika mereka pulang, bertemu lagi mereka satu sama
lain dan saling menyalahkan pula. Tetapi sikap mereka demikian
itu tidak mengalangi mereka untuk pergi lagi pada malam
ketiga.

Setelah kemudian mereka menyadari, bahwa dalam menghadapi
dakwah Muhammad itu mereka merasa lemah, berjanjilah mereka
untuk tidak saling mengulangi lagi perbuatan mereka demikian
itu. Apa yang sudah mereka dengar dari Muhammad itu, dalam
jiwa mereka tertanam suatu kesan, sehingga mereka satu sama
lain saling menanyakan pendapat mengenai yang sudah mereka
dengar itu. Dalam hati mereka timbul rasa takut. Mereka kuatir
akan jadi lemah, mengingat masing-masing adalah pemimpin
masyarakat, sehingga dikuatirkan masyarakatnyapun akan jadi
lemah pula dan menjadi pengikut Muhammad juga.

Gerangan apa keberatan mereka menjadi pengikut-pengikut
Muhammad? Padahal ia tidak mengharapkan harta dari mereka,
tidak ingin menjadi pemimpin mereka, menjadi raja mereka atau
penguasa di atas mereka? Disamping itu dia adalah laki-laki
yang sungguh rendah hati, sangat mencintai masyarakatnya,
setia kepada mereka dan ingin sekali membimbing mereka. Sangat
halus perasaannya, sehingga kalau akan merugikan orang miskin
atau yang lemahpun ia merasa takut. Setiap ia mengalami
penderitaan, hatinya baru merasa tenang bila ia sudah merasa
mendapat pengampunan. Bukankah tatkala suatu hari ia sedang
dengan al-Walid bin'l-Mughira, salah seorang pemimpin Quraisy
yang diharapkan keislamannya, tiba-tiba lewat Ibn Umm Maktum
yang buta, dan minta diajarkan Qur'an kepadanya. Begitu
mendesak ia, sehingga Muhammad merasa kesal karenanya,
mengingat ia sedang sibuk menghadapi Walid. Ditinggalkannya
orang buta itu dengan muka masam.

Tetapi setelah ia kembali seorang diri hati kecilnya
memperhitungkan perbuatannya tadi itu sambil bertanya-tanya
kepada dirinya sendiri: Salahkah aku? Tiba-tiba datang wahyu
dengan ayat-ayat berikut:

"Bermasam dan membuang muka ia. Tatkala si buta mendatanginya.
Dan apa yang memberitahukan kau, barangkali ia orang yang
bersih? Atau ia dapat menerima teguran dan teguran itu berguna
baginya. Tetapi kepada orang yang serba cukup itu. Engkau
menghadapkan diri. Padahal itu bukan urusanmu kalau dia tidak
bersih hati. Tetapi orang yang bersungguh-sungguh datang
kepadamu. Dengan rasa penuh takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu
adalah sebuah peringatan. Barangsiapa yang sudi, biarlah
memperhatikan peringatan itu. Dalam kitab-kitab yang
dimuliakan. Dijunjung tinggi dan disucikan. Yang ditulis
dengan tangan. Orang-orang terhormat, orang-orang yang
bersih." (Qur'an: 80: 1-16)

Kalau memang itu soalnya, apalagi yang mengalangi Quraisy
menjadi pengikutnya dan mendukung dakwahnya? Terutama sesudah
hati mereka jadi lembut, sesudah mereka melupakan masa masa
silam dengan bertahan pada warisan lapuk yang membuat jiwa
mereka jadi beku, dan sesudah mereka melihat bahwa ajaran
Muhammad itu sempurna, dan penuh keagungan?

Tetapi! Benarkah masa yang sudah bertahun-tahun itu membuat
orang lupa akan kebekuan jiwanya, akan sikapnya yang
konservatif terhadap masa lampau yang sudah lapuk? Ini dapat
terjadi pada orang-orang istimewa, yang dalam hatinya selalu
terdapat kerinduan pada yang sempurna. Dalam hidup mereka,
mereka masih mau mempelajari adanya kebenaran yang sebelumnya
sudah mereka percayai untuk kemudian membuang segala kepalsuan
yang masih melekat, betapapun tingginya tingkat kebudayaan
orang itu. Hati dan pikiran mereka sudah seperti kuali tempat
melebur logam yang selalu mendidih, menerima setiap pendapat
baru yang dilemparkan kedalamnya, lalu dilebur dan disaring.
Mana yang bernoda dibuang, dan tinggal yang baik, yang benar
dan yang indah. Mereka itu mencari kebenaran tentang apa saja,
di mana saja dan dari siapa saja. Oleh karena pada setiap
bangsa, setiap zaman, mereka ini merupakan inti yang terpilih,
maka jumlah mereka selalu sedikit. Mereka selalu mendapat
perlawanan, yang datangnya terutama dari orang-orang kaya,
orang orang berkedudukan dan orang-orang berkuasa. Mereka
takut setiap corak pembaruan itu akan menelan harta mereka,
akan menghilangkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Selain
dengan cara hidup mereka yang demikian itu, kenyataan lain
yang sudah begitu jelas tidak mereka kenal. Semua itu bagi
mereka adalah benar apabila ia dapat menambah kekuatan mereka,
dan tidak benar apabila ia dapat menimbulkan kesangsian,
sedikit sekalipun. Pemilik harta menganggap, bahwa moral itu
benar adanya bilamana ia dapat memberikan tambahan ke dalam
hartanya, dan tidak benar bilamana ia merintanginya. Agama
adalah benar, bilamana ia dapat membukakan jalan buat
hawa-nafsunya, dan tidak benar kalau ia menjadi penghalang
hawa-nafsu itu. Yang memiliki kedudukan, yang memiliki
kekuasaan dalam hal ini sama saja seperti pemilik harta itu.

Dalam perlawanan mereka terhadap segala pembaharuan yang
mereka takuti itu, mereka menghasut orang awam yang rejekinya
tergantung kepada mereka, supaya memusuhi penganjur
pembaharuan itu. Mereka minta bantuan awam supaya menyucikan
bangunan-bangunan kuno yang sudah dimakan kutu setelah minggat
ruh yang ada di dalamnya. Benteng-benteng itu mereka jadikan
kuil-kuil dari batu, untuk menimbulkan kesan kepada awam yang
tak bersalah itu, bahwa ruh suci yang mereka bungkus dengan
kain putih, masih dalam keagungannya dalam kurungan kuil-kuil
itu. Pada umumnya awam itu membela mereka, sebab, yang penting
ia melihat pencariannya. Baginya tidak mudah akan dapat
memahami, bahwa kebenaran itu tidak akan tahan tinggal
terkurung dalam tembok-tembok kuil betapapun indah dan
agungnya tempat itu, dan bahwa sifat kebenaran itu akan selalu
bebas menyerbu dan mengisi jiwa orang. Baginya tidak beda jiwa
seorang tuan atau jiwa seorang budak. Juga tak ada sebuah
peraturan betapapun kerasnya yang dapat merintangi hal itu.

Bagaimana orang dapat mengharapkan dari mereka, mereka yang
pernah datang sembunyi-sembunyi mendengarkan pembacaan Qur'an
itu, akan mau beriman kepadanya, karena ia menegur mereka yang
banyak melakukan pelanggaran itu, karena ia tidak
membeda-bedakan si buta miskin dengan orang yang hartanya
berlimpah-limpah, kecuali dari kebersihan jiwanya. Kepada
seluruh umat manusia diserukannya, bahwa:

"Yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah
yang paling dapat menjaga diri (yang paling takwa)." (Qur' an,
49: 13)

Kalaupun Abu Sufyan dan kawan-kawannya masih bertahan dengan
kepercayaan leluhur mereka, bukanlah hal itu karena dilandasi
oleh iman atau kebenaran yang ada, tapi karena mereka sudah
terlalu mencintai pada cara lama yang mereka adakan itu.
Kemudian nasib membantu mereka pula. Mereka bertahan hanya
karena kedudukan dan harta yang sudah berlimpah-limpah, dan
untuk itu pula mereka bertempur mati-matian.

Di samping kecenderungan ini juga karena rasa dengki dan
persaingan yang keras membuat Quraisy tidak mau menjadi
pengikut Nabi. Sebelum kedatangan Muhammad, Umayya b.
Abi'sh-Shalt memang termasuk salah seorang yang pernah bicara
tentang seorang nabi yang akan tampil di tengah-tengah
masyarakat Arab itu, dan dia sendiri berhasrat sekali ingin
jadi nabi. Perasaan dengki itu rasa membakar jantungnya
tatkala ternyata kemudian wahyu tidak datang kepadanya. Jadi
dia tidak mau menjadi pengikut orang yang dianggapnya
saingannya. Apalagi, karena (sebagai penyair) sajak-sajaknya
penuh berisi pikiran, sehingga pernah suatu hari Nabi .a.s.
menyatakan ketika sajaknya dibacakan di hadapannya: "Umayya,
sajaknya sudah beriman, tapi hatinya ingkar."

Atau seperti kata al-Walid bin'l-Mughira: "Wahyu didatangkan
kepada Muhammad, bukan kepadaku, padahal aku kepala dan
pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas'ud 'Amr b. 'Umair
ath-Thaqafi sebagai pemimpin Thaqif. Kami adalah
pembesar-pembesar dua kota."

Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat:

"Dan mereka berkata: 'Kenapa Qur'an ini tidak diturunkan
kepada orang besar dari dua kota itu?' Adakah mereka
membagi-bagikan kurnia Tuhanmu? Kamilah yang membagikan
penghidupan mereka itu, dalam hidup dunia ini." (Qur'an 43:
13-32)

Setelah Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas selama tiga malam
berturut-turut mendengarkan pembacaan Qur'an, seperti dalam
cerita di atas, Akhnas lalu pergi menemui Abu Jahl di
rumahnya. "Abu'l-Hakam,2 bagaimana pendapatmu tentang yang
kita dengar dari Muhammad?" tanyanya kepada Abu Jahl.

"Apa yang kaudengar?" kata Abu Jahl. "Kami sudah saling
memperebutkan kehormatan itu dengan Keluarga 'Abd Manaf.
Mereka memberi makan, kamipun memberi makan, mereka menanggung
kamipun begitu, mereka memberi kami juga memberi sehingga kami
dapat sejajar dan sama tangkas dalam perlumbaan itu. Tiba-tiba
kata mereka: "Di kalangan kami ada seorang nabi yang menerima
"wahyu dari langit." Kapan kita akan menjumpai yang semacam
itu? Tidak! Kami sama sekali tidak akan percaya dan tidak akan
membenarkannya."

Jadi yang dalam sekali berpengaruh dalam jiwa orang-orang
badui itu ialah rasa dengki, saling bersaing dan saling
bertentangan. Dalam hal ini salah sekali bila orang mencoba
mau menutup mata atau tidak menilainya sebagaimana mestinya.
Cukup kalau kita sebutkan saja adanya kekuasaan nafsu yang
begitu besar dalam jiwa tiap orang. Untuk dapat mengatasi
pengaruh ini memang diperlukan suatu latihan yang cukup
panjang, latihan jiwa dengan mengutamakan hukum akal diatas
dorongan nafsu, jiwa dan pikiran kita harus cukup tinggi
sehingga dapat ia melihat bahwa kebenaran yang datang dari
lawan bahkan dari musuh itu, itu jugalah kebenaran yang datang
dari kawan karibnya. Ia harus yakin, bahwa dengan kebenaran
yang dimilikinya itu kekayaannya sudah lebih besar dari harta
karun, dari kebesaran Iskandar (Agung) dan dari kerajaan
seorang kaisar. Tidak banyak orang yang dapat mencapai tingkat
ini kalau tidak karena Tuhan sudah membukakan hatinya untuk
kebenaran itu.
Diluar itu, untuk mencapai tingkat pengertian yang lebih
tinggi, orang sudah dibutakan oleh harta benda duniawi, oleh
kenikmatan hidup sejenak yang dirasakannya. Untuk kepentingan
duniawi itu, untuk memburu saat sejenak itu, mereka berperang
dan bertempur. Tak ada sesuatu yang akan dapat menghambat
mereka menancapkan kuku dan gigi mereka ke batang leher
kebenaran, kebaikan dan pengertian moral yang tinggi itu.
Lalu, kesempurnaan yang paling suci artinya itu oleh mereka
akan diinjak-injak di bawah telapak kaki yang sudah kotor.

Bagaimana pendapat kita tentang orang-orang Arab Quraisy itu
yang melihat Muhammad makin sehari makin banyak pengikutnya?
Mereka kuatir, kebenaran yang sudah diproklamirkan itu suatu
ketika akan menguasai mereka, akan menguasai orang-orang yang
sudah setia kepada mereka, yang lalu akan menjalar sampai
kepada orang-orang Arab di seluruh jazirah. Sebelum melakukan
itu mereka harus memotong leher orang itu dulu jika dapat
mereka lakukan. Lebih dulu mereka harus melakukan propaganda,
pemboikotan, blokade, penyiksaan dan kekerasan terhadap
musuh-musuh besar mereka itu.

Sebab ketiga keberatan mereka menjadi pengikut Muhammad ialah
mereka takut sekali pada hari kebangkitan serta siksa neraka
pada Hari Perhitungan kelak. Kita sudah melihat masyarakat
yang begitu hanyut dalam hidup bersenang-senang dengan cara
yang berlebih-lebihan. Mereka menganggap perdagangan dan riba
itu wajar. Bagi orang kaya di kalangan mereka itu tak ada
sesuatu yang dipandang hina, yang harus dijauhi. Disamping
itu, dengan membawakan sesajen segala kejahatan dan dosa
mereka itu sudah dapat ditebus. Seseorang cukup mengadu
nasibnya dengan qidh (anak panah) di depan Hubal, sebelum ia
melakukan sesuatu tindakan. Tanda yang diberikan oleh anak
panah, itulah perintah yang datang dari Hubal. Supaya
kejahatan-kejahatan dan dosa-dosanya itu diampuni oleh
berhala-berhala, cukup ia menyembelih binatang untuk
berhala-berhala itu. Ia dapat dibenarkan melakukan pembunuhan,
perampokan, melakukan kejahatan, ia tidak dilarang menjalankan
pelacuran selama ia mampu memberi suap kepada dewa-dewa itu
berupa kurban-kurban dan penyembelihan-penyembelihan.

Sekarang datang Muhammad membawakan ayat-ayat yang begitu
menakutkan, membuat jantung mereka rasakan pecah karena
ngerinya, sebab Tuhan selalu mengawasi mereka. Pada Hari
Kemudian mereka akan dibangkitkan kembali sebagai kejadian
baru, dan bahwa yang akan menjadi penolong mereka hanyalah
perbuatan mereka sendiri.

"Apabila datang suara dahsyat yang memekakkan. Tatkala
seseorang lari meninggalkan saudaranya. Ibunya dan bapanya.
Isterinya dan anak-anaknya. Setiap orang hari itu dengan
urusannya sendiri. Wajah-wajah pada hari itu ada yang berseri.
Tertawa dan bergembira. Dan ada pula wajah-wajah kelabu pada
hari itu. Tertutup kegelapan. Mereka itulah orang-orang yang
ingkar, orang-orang yang sudah rusak." (Qur'an, 80: 33-42)

Dan suara dahsyat itu datang.

"Apabila langit sudah bagaikan hancuran logam. Dan
gunung-gunung bagaikan gumpalan bulu. Dan tak akan ada kawan
akrab menanyakan kawannya. Padahal mereka menampakkan diri
kepada mereka. Ingin sekali orang jahat itu akan dapat menebus
diri dari siksaan hari itu dengan memberikan anak-anaknya.
Isterinya, saudaranya. Dan keluarganya yang melindunginya. Dan
semua yang ada di bumi; kemudian ia hendak menyelamatkan diri.
Tidak sekali-kali. Itu adalah api menyala. Lapisan kepalapun
tercabut. Dipanggilnya orang yang telah pergi membelakangi dan
yang berpaling. Yang telah menyimpan kekayaan dan
menyembunyikannya." (Qur'an, 70: 8-18)

"Hari itulah kamu dihadapkan akan diadili. Perbuatanmu takkan
ada yang tersembunyi. Barangsiapa yang suratnya diberikan
kepadanya dengan tangan kanan, ia akan berkata ini dia!
Bacakan suratku. Sudah percaya benar aku bahwa aku akan
nmenemui perhitungan. Lalu ia berada dalam kenikmatan hidup.
Dalam taman yang tinggi. Buah-buahannyapun dekat sekali.
Makanlah, dan minumlah sepuas hati, sesuai dengan amalmu yang
kamu sediakan masa lampau. Tetapi, barangsiapa yang suratnya
diberikan dengan tangan kiri, ia akan berkata: Ah, coba aku
tidak diberi surat! Dan tidak lagi aku mengetahui, bagaimana
perhitunganku! Ah, sekiranya aku mati saja. Kekayaanku tidak
dapat menolong aku. Hancurlah sudah kekuasaanku. Sekarang
bawalah dia dan belenggukan. Sesudah itu, campakkan ia kedalam
api neraka. Lalu masukkan ia ke dalam mata rantai, panjangnya
tujuhpuluh hasta. Tadinya ia tiada beriman kepada Tuhan yang
Maha Agung. Dan tiada pula mendorong memberikan makanan kepada
orang miskin. Maka, sekarang disini tak ada lagi kawan
setianya. Tiada makanan baginya selain daripada kotoran. Yang
hanya dimakan oleh mereka yang penuh dosa."(Qur'an, 69: 18-37)

Sudahkah orang membacanya? Sudahkah mendengarnya? Tidakkah
merasa ngeri, merasa takut? Ini hanya sebahagian kecil dari
yang pernah diperingatkan Muhammad kepada masyarakatnya. Kita
membacanya sekarang, dan sebelum itupun sudah pula membacanya,
mendengarnya, berulang kali. Segala gambaran neraka yang
terdapat dalam Qur'an hidup lagi dalam pikiran kita, ketika
kita membacanya kembali.

"... Setiap kulit-kulit mereka itu sudah matang, Kami ganti
dengan kulit lain lagi, supaya siksaan itu mereka rasakan."
(Qur'an, 4: 56)

Dengan merasakan adanya kengerian itu, orang akan mudah
memperkirakan betapa sebenarnya perasaan Quraisy dan terutama
orang-orang kayanya, tatkala mendengarkan kata-kata semacam
itu, sebab sebelum mereka mendapat peringatan tentang siksa,
mereka sudah merasa dirinya jauh dan aman dari itu, dalam
lindungan dewa-dewa dan berhala-berhala mereka.

Juga sesudah itu orang akan mudah pula memperkirakan betapa
meluapnya semangat mereka mendustakan Muhammad, mengadakan
tantangan dan penghinaan. Mereka memang tidak pernah mengenal
arti Hari Kebangkitan, juga mereka tidak pernah mengakui apa
yang didengarnya itu. Tidak ada diantara mereka itu yang
membayangkan, bahwa setelah orang meninggalkan hidup ini, ia
akan mendapat balasan atas segala perbuatan selama hidupnya.
Tetapi apa yang mereka takutkan dalam hidup mereka pada hari
kemudian itu, ialah mereka takut akan penyakit, takut akan
mengalami bencana pada harta benda, pada turunan, kedudukan
dan kekuasaannya. Hidup sekarang ini bagi mereka ialah seluruh
tujuan hidupnya. Seluruh perhatian mereka hanya tertuju untuk
memupuk segala macam kesenangan dan menolak segala macam yang
mereka takuti. Bagi mereka hari kemudian ialah masalah gaib
yang masih tertutup. Dalam hati mereka sudah merasa bahwa
apabila perbuatan mereka itu jahat dunia gaib itu boleh jadi
akan mendatangkan bencana kepada mereka. Lalu mereka
menantikan adanya alamat baik atau alamat buruk. Segera mereka
mengadukan nasib itu dengan permainan anak panah, dengan
mengocok batu-batu kerikil dan menolak burung3 serta
menyembelih kurban. Semua itu merupakan penangkal terhadap
segala yang mereka takuti dalam hidup mereka di kemudian hari.

Sebaliknya, segala yang mengenai adanya balasan sesudah mati,
mengenai hari kebangkitan tatkala sangkakala ditiup, mengenai
surga yang disediakan untuk mereka yang takwa, neraka untuk
mereka yang aniaya, mengenai semua itu memang tak pernah
terlintas dalam pikiran mereka.

Pada dasarnya mereka sudah pernah mendengar semua itu dalam
agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi mereka belum pernah mendengar
dengan gambaran yang begitu kuat dan menakutkan seperti yang
mereka dengar melalui wahyu kepada Muhammad itu, dan yang
memberi peringatan kepada mereka - akan siksa abadi dalam
perut neraka, yang sangat menggamakkan hati karena rasa takut
hanya dengan mendengar gambarannya saja - kalau mereka masih
juga seperti keadaan itu, bersukaria dan berlumba-lumba
memperbanyak harta dengan melakukan penindasan terhadap si
lemah, makan harta anak piatu, membiarkan kemiskinan dan
melakukan riba secara berlebih-lebihan. Apalagi kalau orang
dapat melihat dengan hati nuraninya jalan yang ditempuh
manusia dengan langkah yang begitu sempit selama hidupnya
menuju mati, sesudah kebangkitan kembali kelak dengan segala
suka dan dukanya.

Sebaliknya surga yang dijanjikan Tuhan yang luasnya seperti
langit dan bumi, disitu takkan terdengar cakap kosong, juga
tak ada perbuatan dosa. Yang ada hanyalah ucapan "selamat."
Segala yang menyenangkan hati, menyedapkan mata itulah yang
ada. Tetapi Quraisy menyangsikan semua itu. Dan yang menambah
lagi kesangsian mereka karena mereka menginginkan segala yang
segera. Mereka ingin melihat kenikmatan itu nyata dalam
kehidupan dunia ini. Mereka tidak betah menunggu sampai hari
pembalasan, sebab mereka memang tidak percaya pada hari
pembalasan itu.

Boleh jadi orang akan merasa heran bagaimana jantung
orang-orang Arab itu sampai begitu rapat tertutup tidak mau
menerima persepsi hidup akhirat serta balasan yang ada.
Padahal perjuangan antara yang baik dengan yang jahat itu
sudah berkecamuk dalam sejarah manusia sejak dunia ini
berkembang, tak pernah berhenti dan tak pernah diam.
Orang-orang Mesir purbakala, ribuan tahun sebelum kerasulan
Muhammad melengkapi mayat mereka dengan segala perbekalan
untuk keperluan akhirat, dalam kafannya diletakkan pula "Kitab
Orang Mati" lengkap dengan nyanyian-nyanyian dan
peringatan-peringatan. Pada kuil-kuil mereka dilukiskan pula
gambar-gambar timbangan, perhitungan, taubat dan siksaan.
Orang-orang India menggambarkan jiwa bahagia itu dalam
Nirwana. Sedang penitisan ruh jahat dilukiskan dalam bentuk
makhluk-makhluk yang sejak ribuan dan jutaan tahun tersiksa
sampai ia ditelan oleh kebenaran, supaya menjadi suci.
Kemudian ia kembali lagi melakukan kebaikan, karena ingin
mencapai Nirwana.

Juga orang-orang Majusi di Persia. Mereka tidak menolak adanya
perjuangan yang baik dan yang jahat, Dewa Gelap dan Dewa
Cahaya. Juga agama yang dibawa Musa, agama yang dibawa
Kristus, sama-sama melukiskan adanya kehidupan yang kekal,
adanya kesukaan Tuhan dan kemurkaanNya. Sekarang orang-orang
Arab. Tidakkah semua itu pernah sampai kepada mereka? Mereka
adalah pedagang-pedagang yang dalam perjalanan mereka pernah
mengadakan hubungan dengan agama-agama itu semua. Bagaimana
mereka tidak mengenalnya? Bagaimana tidak mungkin itu akan
menimbulkan suatu persepsi khusus pada mereka? Mereka adalah
orang-orang pedalaman yang banyak sekali berhubungan dengan
alam lepas tak terbatas. Lebih mudah bagi mereka melukiskan
ruh-ruh yang terdapat dalam wujud ini, menjelma pada siang
hari yang terang menyala atau pada senja menjelang malam
gulita. Ruh-ruh yang baik dan yang jahat, ruh-ruh yang mereka
anggap bersemayam dalam diri berhala-berhala yang akan
mendekatkan mereka kepada Tuhan itu.

Jadi sudah tentu mereka juga mempunyai konsep tentang alam
gaib yang ada di sekitar mereka. Akan tetapi, mereka sebagai
masyarakat pedagang, jiwa mereka lebih cenderung pada yang
nyata saja. Juga karena kegemaran mereka hidup
bersenang-senang, minum minuman keras, sama sekali mereka
menolak adanya balasan hari kemudian. Apa yang diperoleh orang
dalam hidupnya, menurut anggapan mereka, baik atau buruk
adalah balasan atas perbuatannya. Dan tak ada balasan lagi
sesudah hidup ini. Oleh karena itu wahyu yang berisi
peringatan dan berita gembira pada mula kerasulan itu
kebanyakannya turun di Mekah; karena ia ingin menyelamatkan
ruh mereka, tempat Muhammad diutus itu. Sudah sepatutnya pula
bila ia mengingatkan mereka atas dosa dan kesesatan yang telah
mereka lakukan itu. Sudah sepatutnya pula bila ia ingin
mengangkat mereka dari lembah penyembahan berhala kepada
penyembahan Allah Yang Tunggal, Maka Kuasa.

Demi keselamatan rohani keluarga dan umat manusia seluruhnya,
Muhammad serta orang-orang yang beriman sudi memikul segala
macam siksaan dan pengorbanan, memikul penderitaan rohani dan
jasmani, dan kemudian pergi meninggalkan tanah tumpah darah,
menjauhi permusuhan sanak-keluarga, yang sepintas-lalu sudah
kita lihat di atas. Dan seolah cinta Muhammad makin dalam
kepada mereka, makin besar hasratnya ingin menyelamatkan
mereka, setiap ia mengalami penderitaan dan siksaan yang lebih
besar lagi dari mereka itu. Hari Kebangkitan dan Hari
Perhitungan adalah ayat-ayat yang harus diperingatkan kepada
mereka guna menolong mereka dari penyakit paganisma dan
gelimang dosa yang.menimpa mereka itu. Pada tahun-tahun
permulaan itu tiada henti-hentinya wahyu memperingatkan dan
membukakan mata mereka.

Sungguhpun begitu mereka tetap gigih tidak mau mengakui, tetap
menolak, sampai-sampai mereka terdorong mengobarkan perang
mati-matian. Bahaya dan bencana peperangan itu baru padam
sesudah Islam mendapat kemenangan, sesudah Allah
menempatkannya diatas segala agama.

Catatan kaki:

1 Juru penerang yang mempesonakan, Juru pesona bahasa
atau pesona bahasa hampir merupakan terjemahan harfiah
dari ungkapan Sahir'-bayan atau Sihr'l-bayan, yang
sukar diterjemahkan, yakni suatu retorika, yang karena
kefasihan dan keindahan bahasanya, orang yang
mendengarnya terpesona seperti kena sihir lalu cepat
sekali menerima (A).

2 Nama panggilan Abu Jahl (A).

3 Menolak burung artinya melempari burung dengan batu
kerikil atau mengusirnya dengan suara. Kalau burung
terbang ke arah kanan, maka itu alamat buruk.


BAGIAN KEDELAPAN: DARI PEMBATALAN PIAGAM SAMPAI KEPADA ISRA'
Muhammad Husain Haekal (1/3)

Muslimin lari dari Mekah ke celah-celah gunung - Tidak
bergaul dengan orang kecuali dalam bulan-bulan suci
Zuhair dan kawan-kawannya membatalkan piagam -Abu Talib
dan Khadijah wafat - Gangguan Quraisy kepada Muhammad -
Kepergian Muhammad ke Ta'if dan penolakan Thaqif -
Isra' dan Mi'raj.

SELAMA tiga tahun berturut-turut piagam yang dibuat pihak
Quraisy untuk memboikot Muhammad dan mengepung Muslimin itu
tetap berlaku. Dalam pada itu Muhammad dan keluarga serta
sahabat-sahabatnya sudah mengungsi ke celah-celah gunung di
luar kota Mekah, dengan mengalami pelbagai macam penderitaan,
sehingga untuk mendapatkan bahan makanan sekadar menahan rasa
laparpun tidak ada. Baik kepada Muhammad atau kaum Muslimin
tidak diberikan kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan
orang, kecuali dalam bulan-bulan suci. Pada waktu itu
orang-orang Arab berdatangan ke Mekah berziarah, segala
permusuhan dihentikan - tak ada pembunuhan, tak ada
penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas dendam.

Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab
itu kepada agama Allah, diberitahukannya kepada mereka arti
pahala dan arti siksa. Segala penderitaan yang dialami
Muhammad demi dakwah itu justru telah menjadi penolongnya dari
kalangan orang banyak. Mereka yang telah mendengar tentang itu
lebih bersimpati kepadanya, lebih suka mereka menerima
ajakannya. Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran
dan ketabahan hatinya memikul semua itu demi risalahnya, telah
dapat memikat hati orang banyak, hati yang tidak begitu
membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu Jahl, Abu Lahab
dan yang sebangsanya.

Akan tetapi, penderitaan yang begitu lama, begitu banyak
dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy - padahal
mereka masih sekeluarga: saudara, ipar. sepupu - banyak
diantara mereka itu yang merasakan betapa beratnya kekerasan
dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Dan sekiranya tidak ada
dari penduduk yang merasa simpati kepada kaum Muslimin,
membawakan makanan ke celah-celah gunung1 tempat mereka
mengungsi itu, niscaya mereka akan mati kelaparan. Dalam hal
ini Hisyam ibn 'Amr termasuk salah seorang dari kalangan
Quraisy yang paling simpati kepada Muslimin.

Tengah malam ia datang membawa unta yang sudah dimuati makanan
atau gandum. Bilamana ia sudah sampai di depan celah gunung
itu, dilepaskannya tali untanya lalu dipacunya supaya terus
masuk ke tempat mereka dalam celah itu.

Merasa kesal melihat Muhammad dan sahabat-sahabatnya dianiaya
demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair b. Abi Umayya (Banu
Makhzum). Ibu Zuhair ini adalah Atika bint Abd'l-Muttalib
(Banu Hasyim).

"Zuhair," kata Hisyam "Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan
wanita-wanita, padahal, seperti kau ketahui, keluarga ibumu
demikian rupa tidak boleh berhubungan dengan orang,
berjual-beli, tidak boleh saling mengawinkan? Aku bersumpah,
bahwa kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibu, keluarga
Abu'l-Hakam ibn Hisyam, lalu aku diajak seperti mengajak kau,
tentu akan kutolak."

Keduanya kemudian sepakat akan sama-sama membatalkan piagam
itu. Tapi meskipun begitu harus mendapat dukungan juga dari
yang lain, dan secara rahasia mereka harus diyakinkan.
Pendirian kedua orang itu kemudian disetujui oleh Mut'im b.
'Adi (Naufal), Abu'l-Bakhtari b. Hisyam dan Zamia bin'l-Aswad
(keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat akan
mengatasi persoalan piagam itu dan akan membatalkannya.

Dengan tujuh kali mengelilingi Ka'bah keesokannya pagi-pagi
Zuhair b. Umayya berseru kepada orang banyak: "Hai penduduk
Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian padahal
Banu Hasyim binasa tidak dapat mengadakan hubungan dagang!
Demi Allah saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini
dirobek!"

Tetapi Abu Jahl, begitu mendengar ucapan itu, iapun berteriak:
"Bohong! Tidak akan kita robek!"

Saat itu juga terdengar suara-suara Zam'a, Abu'l-Bakhtari,
Mut'im dan 'Amr ibn Hisyam mendustakan Abu Jahl dan mendukung
Zuhair.

Abu Jahl segera menyadari bahwa peristiwa ini akan
terselesaikan juga malam itu dan orangpun sudah menyetujui.
Kalau dia menentang mereka juga, tentu akan timbul bencana.
Merasa kuatir, lalu cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika
Mut'im bersiap akan merobek piagam tersebut, dilihatnya sudah
mulai dimakan rayap, kecuali pada bagian pembukaannya yang
berbunyi: "Atas namaMu ya Allah..."

Dengan demikian terdapat kesempatan pada Muhammad dan
sahabat-sahabat pergi meninggalkan celah bukit yang curam itu
dan kembali ke Mekah. Kesempatan berjual-beli dengan Quraisy
juga terbuka, sekalipun hubungan antara keduanya seperti dulu
juga, masing-masing siap-siaga bila permusuhan itu kelak
sewaktu-waktu memuncak lagi.

Beberapa penulis biografi dalam hal ini berpendapat, bahwa
diantara mereka yang bertindak menghapuskan piagam itu
terdapat orang-orang yang masih menyembah berhala. Untuk
menghindarkan timbulnya bencana, mereka mendatangi Muhammad
dengan permintaan supaya ia mau saling mengulurkan tangan
dengan Quraisy dengan misalnya memberi hormat kepada dewa-dewa
mereka sekalipun cukup hanya dengan jari-jarinya saja
dikelilingkan. Agak cenderung juga hatinya atas usul itu,
sebagai pengharapan atas kebaikan hati mereka. Dalam hatinya
seolah ia berkata: "Tidak apa kalau saya lakukan itu. Allah
mengetahui bahwa saya tetap taat."

Atau karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan beberapa
orang lagi itu, pada suatu malam mengadakan pertemuan dengan
Muhammad sampai pagi. Dalam perbicaraan itu mereka sangat
menghormatinya, menempatkannya sebagai yang dipertuan atas
mereka, mengajaknya kompromi, seraya kata mereka:

"Tuan adalah pemimpin kami ..."

Sementara mereka masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai
hampir saja ia mengalah atas beberapa hal menurut kehendak
mereka. Ini adalah dua sumber hadis, yang pertama sebagian
diceritakan oleh Sa'id b. Jubair, sedang yang kedua oleh
Qatada. Kata mereka kemudian Allah melindungi Muhammad dari
kesalahan, dengan firmanNya:

"Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau tentang yang
sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami
memalsukan dengan yang lain. Ketika itulah mereka mengambil
engkau menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan
hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga kepada mereka
barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami timpakan kepadamu
hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya
engkau tiada mempunyai penolong menghadapi Kami." (Qur'an, 17:
73-75)

Ayat-ayat ini turun - menurut dugaan mereka yang membawa
cerita gharaniq - sehubungan dengan cerita bohong itu seperti
yang sudah kita lihat. Sedang kedua ahli hadis ini
menghubungkannya pada cerita pembatalan piagam. Sebaliknya
menurut hadis 'Ata, lewat Ibn 'Abbas, ayat-ayat ini turun
sehubungan dengan delegasi Thaqif, yang datang meminta kepada
Muhammad supaya lembah mereka dianggap suci seperti pohon,
burung dan binatang di Mekah. Dalam hal ini Nabi a.s. masih
maju-mundur sebelum ayat-ayat tersebut turun.

Apapun juga yang sebenarnya terjadi, terhadap peristiwa yang
menyebabkan turunnya ayat-ayat itu sumber-sumber tersebut
tidak berbeda, yaitu melukiskan salah satu segi kebesaran jiwa
Muhammad, di samping kejujuran dan keikhlasannya dengan suatu
lukisan yang sungguh kuat sekali. Segi ini yang juga
dilukiskan oleh ayat-ayat yang sudah kita kutipkan dari Surah
"Abasa" (80) dan pula seluruh sejarah kehidupan Muhammad
membuktikannya pula. Secara terus-terang dikatakan, bahwa dia
adalah manusia biasa seperti yang lain, tapi yang telah
mendapat wahyu Tuhan guna memberikan bimbingan, dan bahwa dia,
sebagai manusia biasa, tidak luput dari kesalahan kalau tidak
karena mendapat perlindungan Tuhan. Ia telah bersalah ketika
bermuka masam dan berpaling dari Ibn Umm Maktum, dan hampir
pula salah sehubungan dengan turunnya Surah "Isra" (17), juga
hampir pula ia tergoda tentang apa yang telah diwahyukan
kepadanya untuk dipalsukan dengan yang lain.

Apabila wahyu turun kepadanya memberi peringatan atas
perbuatannya terhadap orang buta itu, dan terhadap godaan
Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam
menyampaikan wahyu itu kepada orang sama pula seperti ketika
menyampaikan amanat Tuhan itu. Tak ada sesuatu yang akan
menghalanginya ia menyatakan apa yang sebenarnya tentang
dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa
tinggi hati.

Jadi kebenaranlah, dan hanya kebenaran semata yang ada dalam
-risalahnya itu. Apabila dalam menanggung siksaan orang lain
demi idea yang diyakininya, orang yang berjiwa besar masih
sanggup memikulnya, maka pengakuan orang besar itu bahwa ia
hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi kebiasaan, sekalipun
oleh orang-orang besar sendiri. Hal-hal semacam itu biasanya
oleh mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya harga
dirinya, meskipun dengan susah payah. Inilah kebesaran yang
tak ada taranya, lebih besar dari orang besar. Itulah
sebenarnya kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan kebenaran
secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur dari segala
kebesaran, dan lebih besar dari segala yang besar, yakni sifat
kenabian yang menyertai Rasul itu dengan segala keikhlasan dan
kejujurannya meneruskan Risalah Kebenaran Tertinggi.

Sesudah piagam disobek, Muhammad dan pengikut-pengikutnyapun
keluar dari lembah bukit-bukit itu. Seruannya dikumandangkan
lagi kepada penduduk Mekah dan kepada kabilah-kabilah yang
pada bulan-bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun
ajakan Muhammad sudah tersiar kepada seluruh kabilah Arab di
samping banyaknya mereka yang sudah menjadi pengikutnya, tapi
sahabat-sahabat itu tidak selamat dari siksaan Quraisy, juga
dia tidak dapat mencegahnya.

Beberapa bulan kemudian sesudah penghapusan piagam itu, secara
tiba-tiba sekali dalam satu tahun saja Muhammad mengalami
dukacita yang sangat menekan perasaan, yakni kematian Abu
Talib dan Khadijah secara berturut-turut. Waktu itu Abu Talib
sudah berusia delapanpuluh tahun lebih. Setelah Quraisy
mengetahui ia dalam keadaan sakit yang akan merupakan akhir
hayatnya, mereka merasa kuatir apa yang akan terjadi nanti
antara mereka dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apalagi
sesudah ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras.
Karena itu pemuka-pemuka Quraisy segera mendatangi Abu Talib,
untuk kemudian mengatakan:

"Abu Talib, seperti kau ketahui, kau adalah dari keluarga kami
juga. Keadaan sekarang seperti kau ketahui sendiri, sangat
mencemaskan kami. Engkau juga sudah mengetahui keadaan kami
dengan kemenakanmu itu. Panggillah dia. Kami akan saling
memberi dan saling menerima. Dia angkat tangan dari kami,
kamipun akan demikian. Biarlah kami dengan agama kami dan dia
dengan agamanya sendiri pula."

Muhammad datang tatkala mereka masih berada di tempat pamannya
itu. Setelah diketahuinya maksud kedatangan mereka, iapun
berkata:

"Sepatah kata saja saya minta, yang akan membuat mereka
merajai semua orang Arab dan bukan Arab."

"Ya, demi bapamu," jawab Abu Jahl. "Sepuluh kata sekalipun
silakan!"

Kata Muhammad: "Katakan, tak ada tuhan selain Allah, dan
tinggalkan segala penyembahan yang selain Allah."

"Muhammad, maksudmu supaya tuhan-tuhan itu dijadikan satu
Tuhan saja?" kata mereka.

Kemudian mereka berkata satu sama lain: "Orang ini tidak akan
memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Pergilah
kalian!"

Ketika Abu Talib meninggal hubungan Muhammad dengan pihak
Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah.

Dan sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian Khadijah,
Khadijah yang menjadi sandaran Muhammad, Khadijah yang telah
mencurahkan segala rasa cinta dan kesetiaannya, dengan
perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang bersih, dengan
kekuatan iman yang ada padanya. Khadijah, yang dulu
menghiburnya bila ia mendapat kesedihan, mendapat tekanan dan
yang menghilangkan rasa takut dalam hatinya. Ia adalah
bidadari yang penuh kasih sayang. Pada kedua mata dan bibirnya
Muhammad melihat arti yang penuh percaya kepadanya, sehingga
ia sendiripun tambah percaya kepada dirinya. Abu Talibpun
meninggal, orang yang menjadi pelindung dan perisai terhadap
segala tindakan musuh. Pengaruh apakah yang begitu sedih,
begitu pedih menusuk jiwa Muhammad 'alaihissalam?! Yang pasti,
dua peristiwa itu akan meninggalkan luka parah dalam jiwa
orang - yang bagaimanapun kuatnya - akan menusukkan racun
putus asa kedalam hatinya. Ia akan dikuasai perasaan sedih dan
duka, akan dirundung kepiluan dan akan membuatnya jadi lemah,
tak dapat berpikir lain diluar dua peristiwa yang sangat
mengharukan itu.

Sesudah kehilangan dua orang yang selalu membelanya itu
Muhammad melihat Quraisy makin keras mengganggunya. Yang
paling ringan diantaranya ialah ketika seorang pandir Quraisy
mencegatnya di tengah jalan lalu menyiramkan tanah ke atas
kepalanya. Tahukah orang apa yang dilakukan Muhammad? Ia
pulang ke rumah dengan tanah yang masih diatas kepala. Fatimah
puterinya lalu datang mencucikan tanah yang di kepala itu. Ia
membersihkannya sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu
rasanya dalam hati seorang ayah dari pada mendengar tangis
anaknya, lebih-lebih anak perempuan. Setitik air mata
kesedihan yang mengalir dari kelopak mata seorang puteri
adalah sepercik api yang membakar jantung, membuatnya kaku
karena pilu, dan karena pilunya ia akan menangis kesakitan.
Juga secercah duka yang menyelinap kedalam hati adalah
rintihan jiwa yang sungguh keras, terasa mencekik leher dan
hampir pula menggenangi mata.

Sebenarnya Muhammad adalah seorang ayah yang sungguh bijaksana
dan penuh kasih kepada puteri-puterinya. Apakah yang kita
lihat ia lakukan terhadap tangisan anak perempuan yang baru
saja kehilangan ibunya itu? Yang menangis hanya karena
malapetaka yang menimpa ayahnya? Tidak lebih dan semua itu ia
hanya menghadapkan hatinya kepada Allah dengan penuh iman akan
segala pertolonganNya.

"Jangan menangis anakku," katanya kepada puterinya yang sedang
berlinang air mata itu. "Tuhan akan melindungi ayahmu."

Kemudian diulangnya: "Sebelum wafat Abu Talib orang-orang
Quraisy itu tidak seberapa mengganggu saya."

Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad makin
menjadi-jadi. Ia merasa tertekan sekali.
Terasing seorang diri, ia pergi ke Ta'if,2 dengan tiada orang
yang mengetahuinya. Ia pergi ingin mendapatkan dukungan dan
suaka dari Thaqif terhadap masyarakatnya sendiri, dengan
harapan merekapun akan dapat menerima Islam. Tetapi ternyata
mereka juga menolaknya secara kejam sekali. Kalaupun sudah
begitu, ia masih mengharapkan mereka jangan memberitahukan
kedatangannya minta pertolongan itu, supaya jangan ia disoraki
oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya itupun tidak
didengar. Bahkan mereka menghasut orang-orang pandir agar
bersorak-sorai dan memakinya.

Ia pergi lagi dari sana, berlindung pada sebuah kebun
kepunyaan 'Utba dan Syaiba anak-anak Rabi'a. Orang-orang yang
pandir itu kembali pulang. Ia lalu duduk di bawah naungan
pohon anggur. Ketika itu keluarga Rabi'a sedang
memperhatikannya dan melihat pula kemalangan yang dideritanya.
Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia
hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat
mengharukan:

"Allahumma yang Allah, kepadaMu juga aku mengadukan
kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di
hadapan manusia. O Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah Pelindungku.
Kepada siapa hendak Kauserahkan daku? Kepada orang yang
jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada musuh yang
akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku,
aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang
Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang
menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi
dunia dan akhirat - daripada kemurkaanMu yang akan Kautimpakan
kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur hingga berkenan
pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan Engkau juga."3

Dalam memperhatikan keadaan itu hati kedua orang anak Rabi'a
itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat
nasib buruk yang dialaminya itu. Budak mereka, seorang
beragama Nasrani bernama 'Addas, diutus kepadanya membawakan
buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas
buah-buahan itu Muhammad berkata: "Bismillah!" Lalu buah itu
dimakannya.

'Addas memandangnya keheranan.

"Kata-kata ini tak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini,"
kata 'Addas.

Lalu Muhammad menanyakan negeri asal dan agama orang itu.
Setelah diketahui bahwa orang tersebut beragama Nasrani dari
Nineveh, katanya:

"Dari negeri orang baik-baik, Yunus anak Matta."

"Dari mana tuan kenal nama Yunus anak Matta!" tanya 'Addas.

"Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku juga Nabi," jawab
Muhammad.

Saat itu 'Addas lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan
kaki Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan keheranan
keluarga Rabi'a yang melihatnya. Sungguhpun begitu mereka
tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka. Dan tatkala
'Addas sudah kembali mereka berkata:

"'Addas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu,
yang masih lebih baik daripada agamanya."

Gangguan orang yang pernah dialami Muhammad seolah dapat
meringankan perbuatan buruk yang dilakukan Thaqif itu,
meskipun mereka tetap kaku tidak mau mengikutinya. Keadaan itu
sudah diketahui pula oleh Quraisy sehingga gangguan mereka
kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Tetapi hal ini tidak
mengurangi kemauan Muhammad menyampaikan dakwah Islam. Kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia memperkenalkan
diri, mengajak mereka mengenal arti kebenaran.
Diberitahukannya kepada mereka, bahwa ia adalah Nabi yang
diutus, dan dimintanya mereka mempercayainya.

Namun sungguhpun begitu, Abu Lahab pamannya tidak
membiarkannya, bahkan dibuntutinya ke mana ia pergi.
Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.

Muhammad sendiri tidak cukup hanya memperkenalkan diri kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah di Mekah saja, bahkan
ia mendatangi Banu Kinda4 ke rumah-rumah mereka, mendatangi
Banu Kalb,5 juga ke rumah-rumah mereka, Banu Hanifa6 dan Banu
'Amir bin Sha'sha'a.7 Tapi tak seorangpun dari mereka yang mau
mendengarkan. Banu Hanifa bahkan menolak dengan cara yang
buruk sekali. Sedang Banu 'Amir menunjukkan ambisinya, bahwa
kalau Muhammad mendapat kemenangan, maka sebagai penggantinya,
segala persoalan nanti harus berada di tangan mereka. Tetapi
setelah dijawab, bahwa masalah itu berada di tangan Tuhan,
merekapun lalu membuang muka dan menolaknya seperti yang
lain-lain.

Adakah kegigihan kabilah-kabilah yang mengadakan oposisi
terhadap Muhammad itu karena sebab-sebab yang sama seperti
yang dilakukan oleh Quraisy? Kita sudah melihat, bahwa Banu
'Amir ini mempunyai ambisi ingin memegang kekuasaan bila
bersama-sama mereka nanti ia mendapat kemenangan. Sebaliknya
kabilah Thaqif pandangannya lain lagi. Ta'if di samping
sebagai tempat musim panas bagi penduduk Mekah karena udaranya
yang sejuk dan buah anggurnya yang manis-manis, juga kota ini
merupakan pusat tempat penyembahan Lat. Ke tempat itu orang
berziarah dan menyembah berhala. Kalau Thaqif ini sampai
menjadi pengikut Muhammad, maka kedudukan Lat akan hilang.
Permusuhan mereka dengan Quraisypun akan timbul, yang sudah
tentu akibatnya akan mempengaruhi perekonomian mereka pada
musim dingin. Begitu juga halnya dengan yang lain, setiap
kabilah mempunyai penyakit sendiri yang disebabkan oleh
keadaan perekonomian setempat. Dalam menentang Islam itu,
pengaruh ini lebih besar terhadap mereka daripada pengaruh
kepercayaan mereka dan kepercayaan nenek-moyang mereka,
termasuk penyembahan berhala-berhala.

Makin besar oposisi yang dilakukan kabilah-kabilah itu,
Muhammad makin mau menyendiri. Makin gigih pihak Quraisy
melakukan gangguan kepada sahabat-sahabatnya, makin pula ia
merasakan pedihnya.

Masa berkabung terhadap Khadijah itupun sudah pula berlalu.
Terpikir olehnya akan beristeri, kalau-kalau isterinya itu
kelak akan dapat juga menghiburnya, dapat mengobati luka dalam
hatinya, seperti dilakukan Khadijah dulu. Tetapi dalam hal ini
ia melihat pertaliannya dengan orang-orang Islam yang
mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi. Itu
sebabnya ia segera melamar puteri Abu Bakr, Aisyah. Oleh
karena waktu itu ia masih gadis kecil yang baru berusia tujuh
tahun, maka yang sudah dilangsungkan baru akad nikah, sedang
perkawinan berlangsung dua tahun kemudian, ketika usianya
mencapai sembilan tahun.

Sementara itu ia kawin pula dengan Sauda, seorang janda yang
suaminya pernah ikut mengungsi ke Abisinia dan kemudian
meninggal setelah kembali ke Mekah. Saya rasa pembacapun akan
dapat menangkap arti kedua ikatan ini. Arti pertalian
perkawinan dan semenda yang dilakukan oleh Muhammad itu, nanti
akan lebih jelas.

Pada masa itulah Isra' dan Mi'raj terjadi. Malam itu Muhammad
sedang berada di rumah saudara sepupunya, Hindun puteri Abu
Talib yang mendapat nama panggilan Umm Hani'. Ketika itu
Hindun mengatakan:

"Malam itu Rasulullah bermalam di rumah saya. Selesai salat
akhir malam, ia tidur dan kamipun tidur. Pada waktu sebelum
fajar Rasulullah sudah membangunkan kami. Sesudah melakukan
ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata: 'Umm Hani', saya
sudah salat akhir malam bersama kamu sekalian seperti yang
kaulihat di lembah ini. Kemudian saya ke Bait'l-Maqdis
(Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya
sembahyang siang bersama-sama kamu seperti kaulihat."

Kataku: "Rasulullah, janganlah menceritakan ini kepada orang
lain. Orang akan mendustakan dan mengganggumu lagi!"

"Tapi harus saya ceritakan kepada mereka," jawabnya.

Orang yang mengatakan, bahwa Isra' dan Mi'raj Muhammad
'alaihissalam dengan ruh itu berpegang kepada keterangan Umm
Hani' ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan oleh Aisyah:
"Jasad Rasulullah s.a.w. tidak hilang, tetapi Allah menjadikan
isra'8 itu dengan ruhnya." Juga Mu'awiya b. Abi Sufyan ketika
ditanya tentang isra' Rasul menyatakan: Itu adalah mimpi yang
benar dari Tuhan. Di samping semua itu orang berpegang kepada
firman Tuhan: "Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu
adalah sebagai ujian bagi manusia." (Qur'an, 17:60)

Sebaliknya orang yang berpendapat, bahwa isra' dari Mekah ke
Bait'l-Maqdis itu dengan jasad, landasannya ialah apa yang
pernah dikatakan oleh Muhammad, bahwa dalam isra' itu ia
berada di pedalaman, seperti yang akan disebutkan ceritanya
nanti. Sedang mi'raj ke langit adalah dengan ruh. Disamping
mereka itu ada lagi pendapat bahwa isra' dan mi'raj itu
keduanya dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan pendapat ini
di kalangan ahli-ahli iImu kalam banyak sekali dan ribuan pula
tulisan-tulisan sudah dikemukakan orang. Sekitar arti isra'
ini kami sendiri sudah mempunyai pendapat yang ingin kami
kemukakan juga. Kita belum mengetahui, sudah adakah orang yang
mengemukakannya sebelum kita, atau belum. Tetapi, sebelum
pendapat ini kita kemukakan - dan supaya dapat kita kemukakan
- perlu sekali kita menyampaikan kisah isra, dan mi'raj ini
seperti yang terdapat dalam buku-buku sejarah hidup Nabi.

Dengan indah sekali Dermenghem melukiskan kisah ini yang
disarikannya dari pelbagai buku sejarah hidup Nabi, yang
terjemahannya sebagai berikut:

"Pada tengah malam yang sunyi dan hening, burung-burung
malampun diam membisu, binatang-binatang buas sudah berdiam
diri, gemercik air dan siulan angin juga sudah tak terdengar
lagi, ketika itu Muhammad terbangun oleh suara yang
memanggilnya: "Hai orang yang sedang tidur, bangunlah!" Dan
bila ia bangun, dihadapannya sudah berdiri Malaikat Jibril
dengan wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti salju,
melepaskan rambutnya yang pirang terurai, dengan mengenakan
pakaian berumbaikan mutiara dan emas. Dan dari sekelilingnya
sayap-sayap yang beraneka warna bergeleparan. Tangannya
memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu buraq yang bersayap
seperti sayap garuda. Hewan itu membungkuk di hadapan Rasul,
dan Rasulpun naik.

"Maka meluncurlah buraq itu seperti anak panah membubung di
atas pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir sahara menuju arah
ke utara. Dalam perjalanan itu ia ditemani oleh malaikat. Lalu
berhenti di gunung Sinai di tempat Tuhan berbicara dengan
Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem tempat Isa
dilahirkan. Sesudah itu kemudian meluncur di udara.

"Sementara itu ada suara-suara misterius mencoba menghentikan
Nabi, orang yang begitu ikhlas menjalankan risalahnya. Ia
melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang dapat menghentikan hewan
itu di mana saja dikehendakiNya.

"Seterusnya mereka sampai ke Bait'l-Maqdis. Muhammad
mengikatkan hewan kendaraannya itu. Di puing-puing kuil
Sulaiman ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa.
Kemudian dibawakan tangga, yang lalu dipancangkan diatas batu
Ya'qub. Dengan tangga itu Muhammad cepat-cepat naik ke langit.

"Langit pertama terbuat dari perak murni dengan
bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas.
Tiap langit itu dijaga oleh malaikat, supaya jangan ada
setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan
mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit inilah Muhammad
memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula semua makhluk
memuja dan memuji Tuhan. Pada keenam langit berikutnya
Muhammad bertemu dengan Nuh, Harun, Musa, Ibrahim, Daud,
Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa. Juga di tempat itu ia melihat
Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara kedua
matanya adalah sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena
kekuasaanNya, maka yang berada di bawah perintahnya adalah
seratus ribu kelompok. Ia sedang mencatat nama-nama mereka
yang lahir dan mereka yang mati, dalam sebuah buku besar. Ia
melihat juga Malaikat Airmata, yang menangis karena dosa-dosa
orang, Malaikat Dendam yang berwajah tembaga yang menguasai
anasir api dan sedang duduk di atas singgasana dari nyala api.
Dan dilihatnya juga ada malaikat yang besar luar biasa, separo
dari api dan separo lagi dari salju, dikelilingi oleh
malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang tiada hentinya
menyebut-nyebut nama Tuhan: O Tuhan, Engkau telah menyatukan
salju dengan api, telah menyatukan semua hambaMu setia menurut
ketentuan Mu.

"Langit ketujuh adalah tempat orang-orang yang adil, dengan
malaikat yang lebih besar dari bumi ini seluruhnya. Ia
mempunyai tujuhpuluh ribu kepala, tiap kepala tujuhpuluh ribu
mulut, tiap mulut tujuhpuluh ribu lidah, tiap lidah dapat
berbicara dalam tujuh puluh ribu bahasa, tiap bahasa dengan
tujuhpuluh ribu dialek. Semua itu memuja dan memuji serta
mengkuduskan Tuhan.

"Sementara ia sedang merenungkan makhluk-makhluk ajaib itu,
tiba-tiba ia membubung lagi sampai di Sidrat'l-Muntaha yang
terletak di sebelah kanan 'Arsy, menaungi berjuta-juta ruh
malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap matapun ia
sudah menyeberangi lautan-lautan yang begitu luas dan
daerah-daerah cahaya yang terang-benderang, lalu bagian yang
gelap gulita disertai berjuta juta tabir kegelapan, api, air,
udara dan angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh jarak 500 tahun
perjalanan. Ia melintasi tabir-tabir keindahan, kesempurnaan,
rahasia, keagungan dan kesatuan. Dibalik itu terdapat
tujuhpuluh ribu kelompok malaikat yang bersujud tidak bergerak
dan tidak pula diperkenankan meninggalkan tempat.

"Kemudian terasa lagi ia membubung ke atas ke tempat Yang Maha
Tinggi. Terpesona sekali ia. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi
satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia melihatnya, seolah-olah
sudah hilang tertelan. Keduanya tampak hanya sebesar
biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang luas.

"Begitu seharusnya manusia itu, di hadapan Raja semesta alam.

"Kemudian lagi ia sudah berada di hadapan 'Arsy, sudah dekat
sekali. Ia sudah dapat melihat Tuhan dengan persepsinya, dan
melihat segalanya yang tidak dapat dilukiskan dengan lidah, di
luar jangkauan otak manusia akan dapat menangkapnya. Maha
Agung Tuhan mengulurkan sebelah tanganNya di dada Muhammad dan
yang sebelah lagi di bahunya. Ketika itu Nabi merasakan
kesejukan di tulang punggungnya. Kemudian rasa tenang, damai,
lalu fana ke dalam Diri Tuhan yang terasa membawa kenikmatan.

"Sesudah berbicara... Tuhan memerintahkan hambaNya itu supaya
setiap Muslim setiap hari sembahyang limapuluh kali. Begitu
Muhammad kembali turun dari langit, ia bertemu dengan Musa.
Musa berkata kepadanya:

"Bagaimana kauharapkan pengikut-pengikutmu akan dapat
melakukan salat limapuluh kali tiap hari? Sebelum engkau aku
sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil
sejauh yang dapat kulakukan. Percayalah dan kembali kepada
Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang itu.

"Muhammadpun kembali. Jumlah sembahyang juga lalu dikurangi
menjadi empatpuluh. Tetapi Musa menganggap itu masih di luar
kemampuan orang. Disuruhnya lagi Nabi penggantinya itu
berkali-kali kembali kepada Tuhan sehingga berakhir dengan
ketentuan yang lima kali.

"Sekarang Jibril membawa Nabi mengunjungi surga yang sudah
disediakan sesudah hari kebangkitan, bagi mereka yang teguh
iman. Kemudian Muhammad kembali dengan tangga itu ke bumi.
Buraqpun dilepaskan. Lalu ia kembali dari Bait'l-Maqdis ke
Mekah naik hewan bersayap."
Demikian cerita Dermenghem tentang Isra' dan Mi'raj. Kitapun
dapat melihat, apa yang diceritakannya itu memang tersebar
luas dalam buku-buku sejarah hidup Nabi, sekalipun akan kita
lihat juga bahwa semua itu berbeda-beda. Di sana-sini dilebihi
atau dikurangi.

Salah satu contoh misalnya cerita Ibn Hisyam melalui ucapan
Nabi 'alaihissalam sesudah berjumpa dengan Adam di langit
pertama, ketika mengatakan: "Kemudian kulihat orang-orang
bermoncong seperti moncong unta, tangan mereka memegang
segumpal api seperti batu-batu, lalu dilemparkan ke dalam
mulut mereka dan keluar dari dubur. Aku bertanya: "Siapa
mereka itu, Jibril?". "Mereka yang memakan harta anak-anak
yatim secara tidak sah," jawab Jibril. Kemudian kulihat
orang-orang dengan perut yang belum pernah kulihat dengan cara
keluarga Fir'aun menyeberangi mereka seperti unta yang kena
penyakit dalam kepalanya, ketika dibawa ke dalam api. Mereka
diinjak-injak tak dapat beranjak dari tempat mereka. Aku
bertanya: "Siapa mereka itu, Jibril?". "Mereka itu
tukang-tukang riba," jawabnya. Kemudian kulihat orang-orang,
di hadapan mereka ada daging yang gemuk dan baik, di samping
ada daging yang buruk dan busuk. Mereka makan daging yang
buruk dan busuk itu dan meninggalkan yang gemuk dan baik. Aku
bertanya: "Siapakah mereka itu, Jibril"? "Mereka orang-orang
yang meninggalkan wanita yang dihalalkan Tuhan dan mencari
wanita yang diharamkan," jawabnya. Kemudian aku melihat
wanita-wanita yang digantungkan pada buah dadanya. Lalu aku
bertanya: "Siapa mereka itu, Jibril?" "Mereka itu wanita yang
memasukkan laki-laki lain bukan dari keluarga mereka ..."
Kemudian aku dibawa ke surga. Di sana kulihat seorang budak
perempuan, bibirnya merah. Kutanya dia: "Kepunyaan siapa
engkau?"-Aku tertarik sekali waktu kulihat. "Aku kepunyaan
Zaid ibn Haritha," jawabnya. Maka Rasulullah s.a.w. lalu
memberi selamat kepada Zaid ibn Haritha."

Selain dari buku Ibn Hisyam ini, dalam buku-buku sejarah hidup
Nabi yang lain dan dalam buku-buku tafsir orang akan melihat
bermacam-macam hal lagi di samping itu. Sudah menjadi hak
setiap penulis sejarah bila akan bertanya-tanya, sampai di
mana benar ketelitian dan penyelidikan yang mereka adakan
dalam hal ini semua; mana yang boleh dijadikan pegangan
(askripsi) sampai kepada Nabi sesuai dengan pegangan yang
sahih (otentik), dan mana pula yang hanya berupa buah khayal
orang-orang tasauf dan sebangsanya.

Kalau di sini tidak cukup ruangan untuk mengadakan ketentuan
atau penyelidikan dalam bidang tersebut, dan kalau bukan pula
di sini tempatnya untuk menyatakan apakah isra' dan mi'raj itu
keduanya dengan jasad, ataukah mi'raj dengan ruh dan isra'
dengan jasad, ataukah isra' dan mi'raj itu semuanya dengan ruh
- maka sudah tentu bahwa tiap pendapat itu akan ada dasarnya
pada ahli-ahli ilmu kalam dan tak ada salahnya, kalau atas
pendapat-pendapat itu orang menyatakan pendiriannya sendiri,
yang akan berbeda pula satu dari yang lain.

Jadi barangsiapa yang mau menyatakan pendapatnya, bahwa isra'
dan mi'raj itu keduanya dengan ruh, maka dasarnya adalah
seperti yang kita kemukakan tadi dan sudah berulang-ulang pula
disebutkan dalam Qur'an dan diucapkan Rasul.

"Sungguh aku ini manusia seperti kamu juga yang diberikan
wahyu kepadaku. Tetapi Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa,"
(Qur'an. 18: 110)

dan bahwa satu-satunya mujizat Muhammad ialah Qur'an, dan

"Bahwasanya Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang
mempersekutukanNya, tetapi Dia mengampuni segala dosa selain
(syirik) itu, siapa saja yang dikehendakiNya." (Qur'an, 4:48)

Orang yang berpendapat demikian ini -sebenarnya melebihi yang
lain- ia akan bertanya, apa sebenarnya arti isra' dan mi'raj
itu. Di sinilah letak pendapat yang ingin kita kemukakan. Kita
belum mengetahui, sudah adakah orang mengemukakan hal ini
sebelum kita, atau belum.

Isra' dan mi'raj ini dalam hidup kerohanian Muhammad mempunyai
arti yang tinggi dan agung sekali, suatu arti yang lebih besar
dari yang biasa mereka lukiskan itu, yang kadang tidak sedikit
dikacau dan dirusak oleh imajinasi ahli-ahli ilmu kalam yang
subur itu. Jiwa yang sungguh kuat itu, tatkala terjadi isra'
dan mi'raj, telah dipersatukan oleh kesatuan wujud ini, yang
sudah sampai pada puncak kesempurnaannya. Pada saat itu tak
ada sesuatu tabir ruang dan waktu atau sesuatu yang dapat
mengalangi intelek dan jiwa Muhammad, yang akan membuat
penilaian kita tentang hidup ini menjadi nisbi, terbatas oleh
kekuatan-kekuatan kita yang sensasional, yang dapat diarahkan
menurut akal pikiran. Pada saat itu semua batas jadi hanyut di
depan hati nurani Muhammad. Seluruh alam semesta ini sudah
bersatu ke dalam jiwanya, yang lalu disadarinya, sejak dari
awal yang azali sampai pada akhir yang abadi -sejak dunia
mulai berkembang sampai ke akhir zaman. Digambarkannya dalam
perkembangan kesunyian dirinya dalam mencapai kesempurnaan
itu, dengan jalan kebaikan dan keindahan dan kebenaran, dalam
mengatasi dan mengalahkan segala kejahatan, kekurangan,
keburukan dan kebatilan, dengan karunia dan ampunan Tuhan
juga. Orang tidak akan mencapai keluhuran demikian itu, kalau
tidak dengan suatu kekuatan yang berada di atas kodrat manusia
yang pernah dikenalnya.

Apabila sesudah itu kemudian datang orang-orang yang menjadi
pengikut Muhammad yang tidak sanggup mengikuti jejak
pikirannya yang begitu tinggi, dengan kesadaran yang begitu
kuat tentang kesatuan alam, kesempurnaan serta perjuangannya
mencapai kesempurnaan itu, maka hal ini tidak mengherankan dan
bukan pula aib tentunya. Orang-orang yang piawai dan jenial
memang bertingkat-tingkat. Dalam kita mencapai kebenaran
inipun selalu terbentur pada batas-batas ini; tenaga kita
sudah tidak mampu mengatasinya.

Apabila kita mau menyebutkan sebagai contoh -dengan sedikit
perbedaan tentunya, sehubungan dengan apa yang kita hadapi
sekarang ini- cerita orang-orang buta yang ingin mengetahui
gajah itu apa, maka salah seorang dari mereka itu akan
berkata, bahwa gajah itu ialah seutas tali yang panjang, sebab
kebetulan yang terpegang adalah buntutnya; yang seorang lagi
berkata, bahwa gajah itu sebatang pohon, sebab kebetulan yang
dijumpainya adalah kakinya; yang ketiga berkata, bahwa gajah
itu runcing seperti anak panah, sebab kebetulan yang
dijumpainya adalah taringnya; yang keempat berkata, bahwa
gajah itu bulat panjang dan bengkok, banyak bergerak-gerak,
sebab kebetulan yang dipegangnya adalah belalainya.

Contoh ini sebenarnya masih sejalan dengan gambaran yang
terbayang ketika orang yang tidak buta itu melihat gajah untuk
pertama kalinya. Boleh juga kiranya kita mengambil
perbandingan antara persepsi (kesadaran) Muhammad menangkap
esensi kesatuan alam ini serta penggambarannya kedalam
isra'dan mi'raj yang berhubungan dengan waktu pertama sejak
sebelum Adam sampai pada akhir hari kebangkitan dan yang akan
menghilangkan pula kesudahan ruang ini, ketika ia melihat
dengan mata batin dari Sidrat'l Muntaha ke alam semesta ini,
yang ada sekarang di hadapannya dan sudah seperti kabut
-dengan persepsi (kesadaran) kebanyakan orang yang dapat
menangkap arti isra'-mi'raj itu. Tatkala itu ia berhadapan
dengan bagian-bagian yang tidak termasuk kesatuan alam, sedang
hidupnya hanya seperti partikel-partikel tubuh, bahkan seperti
partikel-partikel yang melekat pada tubuh itu dengan
susunannya yang tidak terpengaruh karenanya. Dari mana pula
partikel-partikel daripada hidup tubuh itu, dari denyutan
jantungnya, pancaran jiwanya, pikirannya yang penuh dengan
enersi yang tak kenal batas; sebab, dari wujud hidup itulah ia
berhubungan dengan segala kehidupan alam ini.

Isra' dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra' dan
mi'raj juga yang semuanya dengan ruh. Ini adalah begitu luhur,
begitu indah dan agung. Ia merupakan suatu gambaran yang kuat
sekali dalam arti kesatuan rohani sejak dari awal yang azali
sampai pada akhir yang abadi. Ini adalah suatu pendakian ke
atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke
Bethlehem, tempat Isa dilahirkan. Pertemuan rohani demikian
ini sudah mengandung selawat bagi Muhammad, Isa, Musa dan
Ibrahim, suatu manifestasi yang kuat sekali dalam arti
kesatuan hidup agama sebagai suatu sendi kesatuan alam dalam
edarannya yang terus-menerus menuju kepada kesempurnaan.

Ilmu pengetahuan pada masa kita sekarang ini mengakui isra'
dengan ruh dan mengakui pula mi'raj dengan ruh. Apabila
tenaga-tenaga yang bersih itu bertemu, maka sinar yang
benarpun akan memancar. Dalam bentuk tertentu sama pula halnya
dengan tenaga-tenaga alam ini, yang telah membukakan jalan
kepada Marconi ketika ia menemukan suatu arus listrik tertentu
dari kapalnya yang sedang berlabuh di Venesia. Dengan suatu
kekuatan gelombang ether arus listrik itu telah dapat
menerangi kota Sydney di Australia.

IImu pengetahuan zaman kita sekarang ini membenarkan pula
teori telepati serta pengetahuan lain yang bersangkutan dengan
itu. Demikian juga transmisi suara di atas gelombang ether
dengan radio, telephotography (facsimile transmisi) dan
teleprinter lainnya, suatu hal yang tadinya masih dianggap
suatu pekerjaan khayal belaka. Tenaga-tenaga yang masih
tersimpan dalam alam semesta ini setiap hari masih selalu
memperlihatkan yang baru kepada alam kita. Apabila jiwa sudah
mencapai kekuatan dan kemampuan yang begitu tinggi seperti
yang sudah dicapai oleh jiwa Muhammad itu, lalu Allah
memperjalankan dia pada suatu malam dari Masjid'l-Haram ke
al-Masjid'l-Aqsha, yang disekelilingnya sudah diberi berkah
guna memperlihatkan tanda-tanda kebesaranNya, maka itupun oleh
ilmu pengetahuan dapat pula dibenarkan. Arti semua ini ialah
pengertian-pengertian yang begitu kuat dan luhur, begitu indah
dan agung, dan telah pula membayangkan kesatuan rohani dan
kesatuan alam semesta ini begitu jelas dan tegas dalam jiwa
Muhammad. Orang akan dapat memahami arti semua ini apabila ia
dapat berusaha menempatkan diri lebih tinggi dari bayangan
hidup yang singkat ini. Ia berusaha mencapai esensi kebenaran
tertinggi itu guna memahami kedudukannya yang sebenarnya dan
kedudukan alam ini seluruhnya.

Orang-orang Arab penduduk Mekah tidak dapat memahami semua
pengertian ini. Itulah pula sebabnya, tatkala soal isra' itu
oleh Muhammad disampaikan kepada mereka, merekapun lalu
menanggapinya dari bentuk materi - mungkin atau tidaknya isra'
itu. Apa yang dikatakannya itu kemudian menimbulkan kesangsian
juga pada beberapa orang pengikutnya, pada orang-orang yang
tadinya sudah percaya. Mereka banyak yang mengatakan: Masalah
ini sudah jelas. Perjalanan kafilah yang terus-meneruspun
antara Mekah-Syam memakan waktu sebulan pergi dan sebulan
pulang. Mana boleh jadi Muhammad hanya satu malam saja
pergi-pulang ke Mekah?!

Tidak sedikit mereka yang sudah Islam itu kemudian berbalik
murtad. Mereka yang masih menyangsikan hal ini lalu mendatangi
Abu Bakr dan keterangan yang diberikan Muhammad itu dijadikan
bahan pembicaraan.

"Kalian berdusta," kata Abu Bakr.

"Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang bicara dengan
orang banyak."

"Dan kalaupun itu yang dikatakannya," kata Abu Bakr lagi,
"tentu dia bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku,
bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu
malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu
herankan."

Abu Bakr lalu mendatangi Nabi dan mendengarkan ia melukiskan
Bait'l-Maqdis. Abu Bakr sudah pernah berkunjung ke kota itu.

Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata:

"Rasulullah, saya percaya."

Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan "AshShiddiq."9

Alasan mereka yang berpendapat bahwa isra' itu dengan jasad
ialah karena ketika Quraisy mendengar tentang kejadian Suraqa
mereka menanyakannya dan mereka yang sudah beriman juga
menanyakan tentang peristiwa yang luar biasa itu. Mereka
memang belum pernah mendengar hal semacam itu. Lalu
diceritakannya tentang adanya kafilah yang pernah dilaluinya
di tengah jalan. Ketika ada seekor unta dari kafilah tersesat,
dialah yang menunjukkan. Pernah ia minum dari sebuah kafilah
lain dan sesudah minum lalu ditutupnya bejana itu. Pihak
Quraisy menanyakan hal tersebut. Kedua kafilah itupun
membenarkan apa yang telah diceritakan Muhammad itu.

Saya kira, kalau dalam hal ini orang bertanya kepada mereka
yang berpendapat tentang isra' dengan ruh itu, tentu mereka
tidak akan merasa heran sesudah ternyata ilmu masa kita
sekarang ini dapat mengetahui mungkinnya hypnotisma
menceritakan hal-hal yang terjadi di tempat-tempat yang jauh.
Apalagi dengan ruh yang dapat menghimpun kehidupan rohani
dalam seluruh alam ini. Dengan tenaga yang diberikan Tuhan
kepadanya ia dapat mengadakan komunikasi dengan rahasia hidup
ini dari awal alam azali sampai pada akhirnya yang abadi.

Catatan kaki:

1 Biasanya tempat ini dinamai 'Syi'b Abi Talib' (A).

2 At-Ta'if sebuah kota dan pusat musim panas dengan
ketinggian 1520 m, dari permukaan laut, lebih kurang 60
km timur laut Mekah (A).

3 Doa ini dikenal dengan nama "Doa Ta'if" (A).

4 Sebuah Kabilah Arab dari bagian Selatan (A).

5 Kabilah Arab yang berdekatan dengah Suria (A).

6 Kabilah Arab di dekat Irak (A).

7 Kabilah Arab yang terpencar-pencar (A).

8 Asra, sura dan isra', harfiah berarti "perjalanan
malam hari" (LA). 'Araja berarti naik atau memanjat.
Mi'raj harfiah tangga (N) (A).

9 Yang tulus hati, yang sangat jujur (A).



BAGIAN KESEMBILAN: IKRAR1 'AQABA (1/2)
Muhammad Husain Haekal

Kabilah-kabilah menolak Muhammad secara kasar - Tanda
kemenangan dari arah Yathrib - Hubungan Yahudi dengan
Aus dan Khazraj - Beberapa orang Yathrib masuk Islam
Perang Bu'ath - Ikrar 'Aqaba tahun Pertama - Mush'ab b.
'Umair - Kembali ke Mekah sesudah setahun - Orang-orang
Islam dari Yathrib -Ikrar 'Aqaba yang Kedua - Beritanya
di kalangan Quraisy - Komplotan Quraisy mau membunuh
Muhammad - Muhammad mengijinkan Muslimin Mekah hijrah
ke Yathrib.

ORANG-ORANG Quraisy tidak dapat memahami arti isra', juga
mereka yang sudah Islam banyak yang tidak memahami artinya
seperti sudah disebutkan tadi. Itu sebabnya, ada kelompok yang
lalu meninggalkan Muhammad yang tadinya sudah sekian lama
menjadi pengikutnya. Permusuhan Quraisy terhadap Muhammad dan
terhadap kaum Muslimin makin keras juga, sehingga mereka sudah
merasa sungguh kesal karenanya. Rasanya tak ada lagi harapan
bagi Muhammad akan mendapat dukungan kabilah-kabilah sesudah
ternyata Thaqif dari Ta'if menolaknya dengan cara yang tidak
baik. Demikian juga kemudian kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu
'Amir dan Banu Hanifa semua menolaknya, ketika ia datang
mengenalkan diri kepada mereka pada musim ziarah.

Sesudah itu Muhammad merasa, bahwa tiada seorangpun dari
Quraisy itu nampaknya yang dapat diharapkan diajak kepada
kebenaran. Kabilah-kabilah lain di luar Quraisy yang berada di
sekitar Mekah dan yang datang berziarah ke tempat itu dari
segenap penjuru daerah Arab, melihat keadaannya yang
dikucilkan itu dan melihat sikap permusuhan Quraisy kepadanya
demikian rupa, membuat setiap orang yang mendukungnya jadi
memusuhi mereka. Sekarang sikap Quraisy tambah keras pula
menentangnya.

Meskipun Muhammad sudah merasa berbesar hati karena adanya
Hamzah dan 'Umar, dan meskipun ia sudah yakin, bahwa Quraisy
tidak akan terlalu membahayakan melebihi yang sudah-sudah
mengingat adanya pertahanan pihak keluarganya dari Banu Hasyim
dan Banu Abd'l-Muttalib, tapi ia melihat -sampai pada waktu
itu- bahwa risalah Tuhan itu akan terhenti hanya pada suatu
lingkaran pengikutnya saja. Mereka yang terdiri dari
orang-orang yang masih lemah dan sedikit sekali jumlahnya,
hampir-hampir saja punah atau tergoda meninggalkan agamanya
kalau tidak segera datang kemenangan dan pertolongan Tuhan.
Hal ini berjalan cukup lama. Muhammad makin dikucilkan di
tengah-tengah keluarganya, kedengkian Quraisy juga bertambah
besar.

Adakah pengasingan yang demikian ini telah melemahkan jiwanya
dan dapat mematahkan semangatnya? Sekali-kali tidak! Bahkan
kepercayaannya akan kebenaran yang datang dari Tuhan itu lebih
luhur daripada sekedar pertimbangan-pertimbangan yang akan
dapat melemahkan jiwa biasa. Bagi orang yang berjiwa luar
biasa hal ini justru akan lebih memperkuat kepercayaannya.

Dalam keadaan terasing itu - dengan sahabat-sahabat di
sekelilingnya - Muhammad yakin sekali Tuhan akan memberikan
pertolongan kepadanya dan agamanyapun akan mengatasi semua
agama. Badai kedengkian tidak sampai menggoyangkan hatinya.
Bahkan tetap ia tinggal di Mekah selama beberapa tahun. Tidak
peduli ia harta Khadijah dan hartanya sendiri akan habis.
Keadaannya yang sangat miskin tidak sampai melemahkan hatinya.
Jiwanya tak pernah gandrung kepada apapun selain dari
pertolongan Tuhan yang sudah pasti akan diberikan kepadanya.

Apabila musim ziarah sudah tiba, orang-orang dari segenap
jazirah Arab sudah berkumpul lagi di Mekah, iapun mulai
menemui kabilah-kabilah itu. Diajaknya mereka memahami
kebenaran agama yang dibawanya itu. Tidak peduli ia apakah
kabilah-kabilah tidak mau menerima ajakannya, atau akan
mengusirnya secara kasar. Beberapa orang pandir dari Quraisy
berusaha menghasut ketika diketahui ia terus menyampaikan
amanat Tuhan itu kepada orang ramai. Mereka memperlakukannya
dengan segala kejahatan. Tetapi semua itu tidak mengubah
ketenangan jiwanya dan ia yakin sekali akan hari esok. Allah
Maha Agung telah mengutusnya demi kebenaran. Sudah tentu
Dialah Pembela dan Pendukung kebenaran itu. Tuhan juga Yang
telah mewahyukan kepadanya, supaya dalam berdebat hendaknya
dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya.

"Sehingga permusuhan antara engkau dengan dia itu sudah
seperti persahabatan yang erat sekali. (Qur'an, 41: 34) Dan
supaya bicara dengan mereka dengan lemah-lembut, kalau-kalau
mereka mau sadar dan merasa gentar. Jadi, tabahkanlah hati
menghadapi siksaan mereka. Tuhan bersama mereka yang tabah
hati.

Tidak selang berapa tahun kemudian Muhammad menunggu tiba-tiba
tampak tanda permulaan kemenangan itu datang dari arah
Yathrib. Bagi Muhammad Yathrib mempunyai arti hubungan bukan
hubungan dagang, tetapi suatu hubungan yang dekat sekali. Di
tempat itu ada sebuah kuburan, dan sebelum wafat, sekali
setahun ibunya berziarah ke tempat itu. Sedang
famili-familinya, dari pihak Banu Najjar, ialah keluarga
kakeknya Abd'l-Muttalib dari pihak ibu. Kuburan itu ialah
makam ayahnya, Abdullah b. Abd'l-Muttalib. Ke makam inilah
Aminah sebagai isteri yang setia berziarah. Dulu
Abd'l-Muttalib juga sebagai ayah yang kehilangan anak yang
sedang muda belia dan tegap, pernah berziarah. Ketika berusia
enam tahun, Muhammad juga pernah ke Yathrib menemani ibunya.
Jadi bersama ibunya ia juga ziarah ke makam ayahnya itu.
Kemudian mereka berdua kembali pulang. Aminah jatuh sakit di
tengah perjalanan, sampai wafat. Lalu dikuburkan di Abwa' -
pertengahan jalan antara Yathrib dengan Mekah.

Jadi tidak heranlah apabila tanda-tanda kemenangan bagi
Muhammad itu dimulai dari jurusan sebuah kota yang mempunyai
hubungan sedemikian rupa. Ke arah ini jugalah dulu ia
menghadap, tatkala dalam sembahyang itu al-Masjid'l-Aqsha di
Bait'l-Maqdis dijadikan kiblatnya, tempat sesepuhnya Musa dan
Isa. Tidak heran apabila nasib baik itu akan jatuh di Yathrib.
Di tempat ini Muhammad akan beroleh kemenangan, di tempat ini
Islam akan beroleh kemenangan, di tempat ini pula Islam akan
memperoleh sukses dan berkembang.

Nasib baik telah jatuh di Yathrib, suatu hal yang tidak
terjadi pada kota yang lain. Waktu itu dua kabilah Aus dan
Khazraj adalah penyembah berhala di Yathrib. Mereka saling
bertetangga dengan orang-orang Yahudi. Sering pula timbul
kebencian antara mereka itu dan dari kebencian ini sampai
timbul pula peperangan.

Sejarah memperlihatkan bahwa orang-orang Masehi di Syam, yang
berada di bawah pengaruh Rumawi Timur (Bizantium) sangat
membenci orang-orang Yahudi, sebab mereka percaya bahwa mereka
inilah yang telah menyiksa dan menyalib Isa al-Masih. Mereka
menyerbu Yathrib guna memerangi orang-orang Yahudi. Akan
tetapi karena tidak berhasil mereka lalu membujuk dan meminta
bantuan Aus dan Khazraj. Tidak sedikit jumlah orang-orang
Yahudi itu kemudian yang mereka bunuh. Dengan demikian
kedudukan orang-orang Yahudi sebagai yang dipertuan
dijatuhkan, dan orang-orang Arab kabilah Aus dan Khazraj yang
tadinya terbatas hanya sebagai kuli telah dinaikkan. Sesudah
itu orang-orang Arab itu berusaha lagi akan menghantam
orang-orang Yahudi supaya kekuasaan mereka atas kota yang
makmur dan subur dengan pertanian dan air itu lebih besar
lagi. Siasat mereka ini berhasil baik sekali.

Tetapi pihak Yahudi sendiri kemudian menyadari akan bencana
yang menimpa diri mereka itu. Permusuhan dan kebencian pihak
Yahudi Yathrib terhadap Aus dan Khazraj makin mendalam, Aus
dan Khazrajpun demikian juga terhadap Yahudi.

Sekarang pengikut-pengikut Musa ini melihat, bahwa pertempuran
yang dilawan dengan pertempuran berarti akan menghabiskan
mereka sama sekali, apalagi kalau Aus dan Khazraj sampai
bersahabat baik2 dengan orang-orang Arab, yang seagama dengan
Ahli Kitab. Maka dalam siasat mereka, mereka menempuh suatu
cara bukan mencari kemenangan dalam pertempuran, melainkan
dengan menggunakan siasat memecah-belah. Mereka melakukan
intrik di kalangan Aus dengan Khazraj, menyebarkan provokasi
permusuhan dan kebencian di kalangan mereka, supaya
masing-masing pihak selalu bersiap-siap akan saling bertempur.

Dengan demikian selamatlah propaganda mereka itu. Mereka
sekarang dapat memperbesar perdagangan dan kekayaan mereka.
Kekuasaan mereka yang sudah hilang dapat mereka rebut kembali,
termasuk rumah-rumah dan harta tidak bergerak lainnya.

Di samping konflik karena berebut kedaulatan dan kekuasaan
dalam hidup bertetangga Yahudi-Arab Yathrib itu, masih ada
pengaruh lain yang lebih dalam pada pihak Aus dan Khazraj
melebihi penduduk jazirah Arab yang manapun juga - yaitu dalam
arti pengaruh rohani.

Orang-orang Yahudi sebagai Ahli Kitab dan penganjur
monotheisma sangat mencela tetangga-tetangga mereka yang
terdiri dari kaum pagan dengan penyembah berhala sebagai
pendekatan kepada Tuhan.

Mereka diperingatkan bahwa kelak akan ada seorang nabi yang
akan menghabiskan mereka dan mendukung Yahudi. Tetapi
propaganda ini tidak sampai membuat orang-orang Arab itu mau
menganut agama Yahudi. Soalnya karena dua sebab: pertama
karena selalu ada perang antara kaum Nasrani dan kaum Yahudi,
yang lalu membuat Yahudi Yathrib hanya hidup cari selamat,
yang berarti akan menjamin lancarnya perdagangan mereka.
Kedua, orang-orang Yahudi beranggapan, bahwa mereka adalah
bangsa pilihan Tuhan, dan mereka tidak mau ada bangsa lain
memegang kedudukan ini. Disamping itu mereka memang tidak
pernah mengajak orang lain menganut agamanya dan merekapun
tidak pula keluar dari lingkungan Keluarga Israil. Atas dasar
ke dua sebab tersebut, hubungan tetangga dan hubungan dagang
antara Yahudi dengan Arab -Aus dan Khazraj - membuat lebih
banyak mengetahui cerita-cerita kerohanian dan masalah-masalah
agama lainnya di banding dengan golongan Arab yang lain. Ini
menunjukkan bahwa tak ada suatu golongan dari kalangan Arab
yang dapat menerima ajakan Muhammad dalam arti spiritual
seperti yang dilakukan oleh penduduk Yathrib itu.

Suwaid bin'sh-Shamit adalah seorang bangsawan terkemuka di
Yathrib. Karena ketabahannya, pengetahuannya, kebangsawanan
dan keturunannya, masyarakatnya sendiri menamakannya al-Ramil
(yang sempurna). Pada waktu membicarakan ini Suwaid sedang
berada di Mekah berziarah. Muhammad lalu menemuinya dan
diajaknya ia mengenal Tuhan dan menganut Islam.

"Barangkali yang ada padamu itu sama dengan yang ada padaku,"
kata Suwaid.

"Apa yang ada padamu?" tanya Muhammad.

"Kata-kata mutiara oleh Luqman."

Lalu Muhammad minta supaya hal itu dikemukakan.

"Memang itu kata-kata yang baik," kata Muhammad setelah oleh
Suwaid dikemukakan. "Tapi yang ada padaku lebih utama
tentunya, yaitu Qur'an sebagai bimbingan dan cahaya."

Lalu dibacakannya ayat-ayat Qur'an itu kepadanya disertai
ajakan agar ia sudi menerima Islam. Gembira sekali Suwaid
mendengar ini.

"Memang baik sekali ini," katanya. Lalu ia pergi hendak
memikirkan hal tersebut. Ada sementara orang yang berkata
ketika ia dibunuh oleh Khazraj, bahwa ia mati sebagai Muslim.

Peristiwa Suwaid b. Shamit ini bukan contoh satu-satunya yang
menunjukkan adanya pengaruh Yahudi dan Arab di Yathrib yang
bertetangga itu, dari segi rohani.

Keadaan Aus dan Khazraj yang begitu bermusuhan sebagai akibat
provokasi pihak Yahudi seperti yang sudah kita ketahui, satu
sama lain mencari sekutu di kalangan kabilah-kabilah Arab
untuk memerangi lawannya. Dalam hal ini kedatangan Abu'l
Haisar Ans b. Rafi' ke Mekah disertai pemuda-pemuda dari Banu
Abd'l-Asyhal - termasuk Iyas b. Mu'adh - adalah dalam rangka
mencari persekutuan dengan pihak Quraisy dan golongannya
sendiri dari pihak Khazraj. Muhammad mengetahui hal ini.
Ditemuinya mereka itu, dan diperkenalkannya Islam kepada
mereka. Lalu dibacanya ayat-ayat Qur'an kepada mereka.

Pada waktu itu, Iyas b.Mu'adh sebagai pemuda remaja
mengatakan: "Kawan-kawan, ini adalah lebih baik daripada apa
yang ada pada kita semua."

Mereka kemudian kembali pulang ke Yathrib. Tak ada yang masuk
Islam diantara mereka itu, selain Iyas. Mereka semua sedang
sibuk mencari sekutu sebagai suatu persiapan karena adanya
insiden Bu'ath yang telah melibatkan Aus dan Khazraj ke dalam
api perang saudara itu, tidak lama sesudah Abu'l Haisar dan
rombongannya kembali dari Mekah. Akan tetapi kata-kata
Muhammad 'alaihissalam telah meninggalkan bekas yang dalam ke
dalam jiwa mereka setelah terjadinya insiden itu, yang lalu
membuat Aus dan Khazraj menantikan Muhammad sebagai Nabi,
sebagai Rasul, sebagai wakil dan pemuka mereka.

Memang, terjadinya insiden Bu'ath itu tidak lama sesudah
Abu'l-Haisar kembali ke Yathrib. Pada waktu itulah pertempuran
sengit antara Aus dan Khazraj terjadi, yang membawa akibat
timbulnya permusuhan yang berakar dalam sekali. Setiap
golongan lalu bertanya-tanya kalau-kalau mereka itu yang
menang: akan tetapkah mereka dengan kawan-kawan mereka itu,
ataukah akan dikikis habis. Abu Usaid Hudzair sebagai pemuka
Aus, sangat dendam sekali kepada Khazraj.

Tatkala pertempuran sudah dimulai, pihak Aus mengalami suatu
kekacauan. Mereka lari tunggang-langgang ke arah Najd, yang
oleh pihak Khazraj lalu diejek. Hudzair yang mendengarkan
ejekan itu menetakkan ujung lembingnya ke pahanya; lalu turun
dengan mengatakan:

"Sungguh luarbiasa! Tidak akan tinggal diam sebelum aku mati
terbunuh. Wahai masyarakat Aus, kalau kamu mau menyerahkan
aku, lakukanlah!"

Pihak Aus sekarang mau bertempur lagi. Pengalaman pahit yang
telah menimpa mereka menyebabkan mereka kini berjuang
mati-matian. Khazraj dapat mereka hancurkan. Rumah-rumah dan
kebun kurma Khazraj oleh Aus dibakar. Kemudian Sa'd b. Mu'adh
al-Asyhadi bertindak melindungi Khazraj. Sementara itu Hudzair
bermaksud akan mendatangi rumah demi rumah, membunuhi
satu-satu mereka sampai tak ada yang hidup lagi, kalau tidak
segera Abu Qais ibn'l-Aslat kemudian datang mencegahnya guna
menjaga solidaritas kepercayaan mereka. "Bertetangga dengan
mereka lebih baik daripada bertetangga dengan rubah."

Sejak itu orang-orang Yahudi dapat mengembalikan kedudukannya
di Yathrib. Baik yang menang maupun yang kalah dari kalangan
Aus dan Khazraj sama-sama berpendapat tentang akibat buruk
yang telah mereka lakukan itu. Hal ini yang sekarang terpikir
oleh mereka, dan mereka sudah mempertimbangkan pula akan
mengangkat seorang raja atas mereka itu. Untuk itu mereka lalu
memilih Abdullah b. Muhammad dari pihak Khazraj yang sudah
kalah, mengingat kedudukan dan pandangannya yang baik. Akan
tetapi karena perkembangan situasi yang begitu pesat,
keinginan mereka itu tidak sampai terlaksana. Soalnya ialah
karena ada beberapa orang dari Khazraj pergi ke Mekah pada
musim ziarah.

Di tempat ini Muhammad menemui mereka dan menanyakan keadaan
mereka, yang kemudian diketahuinya, bahwa mereka adalah
kawan-kawan orang-orang Yahudi. Ketika itu orang-orang Yahudi
di Yathrib mengatakan apabila mereka saling berselisih.

"Sekarang akan ada seorang nabi utusan Tuhan yang sudah dekat
waktunya. Kami akan jadi pengikutnya dan kami dengan dia akan
memerangi kamu seperti dalam perang 'Ad dan Iram."

Setelah Nabi bicara dengan mereka dan diajaknya mereka
bertauhid kepada Allah, satu sama lain mereka saling
berpandang-pandangan.

"Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan orang-orang Yahudi
kepada kita," kata mereka. "Jangan sampai mereka mendahului
kita."

Seruan Muhammad mereka sambut dengan baik dan menyatakan diri
mereka masuk Islam. Lalu kata mereka:

"Kami telah meninggalkan golongan kami - yakni Aus dan Khazraj
- dan tidak ada lagi golongan yang saling bermusuhan dan
saling mengancam. Mudah-mudahan Tuhan mempersatukan mereka
dengan tuan. Bila mereka itu sudah dapat dipertemukan dengan
tuan, maka tak adalah orang yang lebih mulia dari tuan."

Orang-orang itu lalu kembali ke Medinah. Dua orang diantara
mereka itu dari Banu'n-Najjar, keluarga Abd'l-Muttalib dari
pihak ibu - kakek Muhammad yang telah mengasuhnya sejak kecil.
Kepada masyarakatnya itu mereka menyatakan sudah menganut
Islam. Ternyata merekapun menyambut pula dengan senang hati
agama ini, yang berarti akan membuat mereka menjadi golongan
monotheis seperti orang-orang Yahudi. Bahkan membuat lebih
baik dari mereka. Dengan demikian tiada suatu keluargapun,
baik Aus atau Khazraj, yang tidak menyebut nama Muhammad
'alaihissalam.

Tiba giliran tahun berikutnya, bulan-bulan sucipun datang lagi
bersama datangnya musim ziarah ke Mekah, dan ke tempat itu
datang pula duabelas orang penduduk Yathrib. Mereka ini
bertemu dengan Nabi di 'Aqaba. Di tempat inilah mereka
menyatakan ikrar atau berjanji kepada Nabi (yang kemudian
dikenal dengan nama) Ikrar 'Aqaba pertama. Mereka berikrar
kepadanya untuk tidak menyekutukan Tuhan, tidak mencuri, tidak
berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan
memfitnah, baik di depannya atau di belakang. Jangan menolak
berbuat kebaikan. Barangsiapa mematuhi semua itu ia mendapat
pahala surga, dan kalau ada yang mengecoh, maka soalnya
kembali kepada Tuhan. Tuhan berkuasa menyiksa, juga berkuasa
mengampuni segala dosa.

Dalam hal ini Muhammad menugaskan kepada Mush'ab bin 'Umair
supaya membacakan Qur'an kepada mereka, mengajarkan Islam
serta seluk-beluk hukum agama.

Setelah adanya ikrar ini Islam makin tersebar di Yathrib.
Mush'ab bertugas memberikan pelajaran agama di kalangan
Muslimin Aus dan Khazraj. Gembira sekali ia melihat kaum
Anshar itu makin teguh kepercayaannya kepada Allah dan kepada
kebenaran. Menjelang bulan-bulan suci akan tiba, ia datang
lagi ke Mekah dan kepada Muhammad diceritakannya keadaan
Muslimin di Yathrib itu; tentang ketahanan dan kekuatan
mereka, dan bahwa pada musim haji tahun ini mereka akan datang
lagi ke Mekah dalam jumlah yang lebih besar dengan iman kepada
Tuhan yang sudah lebih kuat.

Berita-berita yang disampaikan oleh Mush'ab ini membuat
Muhammad berpikir lebih lama lagi. Pengikut-pengikutnya di
Yathrib kini makin sehari makin berkuasa dan bertambah kuat
juga. Dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik mereka
tidak mendapat gangguan seperti yang dialami oleh
kawan-kawannya di Mekah karena gangguan Quraisy. Di samping
itu Yathrib lebih makmur daripada Mekah - ada pertanian, ada
kebun kurma, ada anggur. Bukankah lebih baik sekali apabila
Muslimin Mekah itu hijrah saja ke tempat saudara-saudara
mereka di sana, yang akan terasa lebih aman? Mereka akan bebas
dari Quraisy yang selalu memfitnah agama mereka.

Selama Muhammad berpikir-pikir itu teringat olehnya akan
orang-orang dari Yathrib, mereka yang mula-mula masuk Islam
itu, dan yang menceritakan adanya permusuhan antara golongan
Aus dan Khazraj. Apabila dengan perantaraannya mereka itu
sudah dapat dipersatukan Tuhan, maka tak ada orang yang lebih
mulia dari Muhammad. Sekarang mereka sudah dipertemukan Allah
bersama dia, bukankah lebih baik apabila dia juga hijrah? Ia
tidak ingin membalas kejahatan Quraisy itu. Iapun sadar bahwa
ia lebih lemah dari mereka. Kalaupun Keluarga Hasyim dan
Keluarga Muttalib melindunginya dari penganiayaan, mereka
tidak akan membelanya dalam melakukan penganiayaan. Dan mereka
yang sudah menjadi pengikutnya juga takkan dapat melindungi
diri dari penganiayaan Quraisy dan segala macam kejahatannya.
Apabila iman itu merupakan landasan yang paling kuat, yang
akan membuat segalanya di hadapan kita menjadi kecil, dan
untuk itu dengan segala senang hati orang mengorbankan harta
bendanya, kesenangan, kebebasan dan seluruh hidupnya, apabila
penganiayaan itu dengan sendirinya akan membuat iman seseorang
bertambah dalam, maka penganiayaan dan pengorbanan yang
terus-menerus itu bagi seorang mukmin akan membuatnya ia
merenungkan lebih dalam lagi, akan memberinya ruangan yang
lebih luas serta pengertian tentang kebenaran yang lebih dalam
dan kuat. Dahulu Muhammad pernah menganjurkan kepada
pengikut-pengikutnya supaya mereka mengungsi ke Abisinia
daerah Kristen, karena di situ ada kebenaran, ada seorang raja
yang adil. Maka akan lebih baiklah bila sekarang kaum Muslimin
itu mengungsi ke Yathrib, dapat saling memperkuat diri dengan
sahabat-sahabat kaum Muslimin di sana, dapat saling
tolong-menolong dalam menahan bahaya yang mungkin menimpa
mereka. Dengan begitu mereka akan mendapat kebebasan dalam
merenungkan agama serta berterang-terang pula guna mengangkat
martabat mereka, sebagai jaminan suksesnya dakwah agama ini,
suatu dakwah yang tidak mengenal paksaan, melainkan dasarnya
adalah kasih-sayang, dapat meyakinkan dan bertukar pikiran
dengan cara yang baik.

Tahun ini - 622 M - jemaah haji dari Yathrib praktis jumlahnya
banyak sekali, terdiri dari tujuhpuluh lima orang, tujuhpuluh
tiga pria dan dua wanita. Mengetahui kedatangan mereka ini,
terpikir oleh Muhammad akan mengadakan suatu ikrar lagi, tidak
terbatas hanya pada seruan kepada Islam seperti selama ini,
yang selama tigabelas tahun ini terus-menerus dilakukannya,
dengan lemah-lembut, dengan segala kesabaran menang gung
pelbagai macam pengorbanan dan kesakitan - melainkan kini
lebih jauh lagi dari itu. Ikrar itu hendaknya menjadi suatu
pakta persekutuan, yang dengan demikian kaum Muslimin dapat
mempertahankan diri: pukulan dibalas dengan pukulan, serangan
dengan serangan. Muhammad lalu mengadakan pertemuan rahasia
dengan pemimpin-pemimpin mereka.

Setelah ada kesediaan mereka, dijanjikannya pertemuan itu akan
diadakan di 'Aqaba pada tengah malam pada hari-hari Tasyriq.3
Peristiwa ini oleh Muslimin Yathrib tetap dirahasiakan dari
kaum musyrik yang datang bersama-sama mereka. Menunggu sampai
lewat sepertiga malam dari janji mereka dengan Nabi, mereka
keluar meninggalkan kemah, pergi mengendap-endap seperti
burung ayam-ayam, sembunyi-sembunyi jangan sampai rahasia itu
terbongkar.

Sesampai mereka di gunung 'Aqaba, mereka semua memanjati
lereng-lereng gunung tersebut, demikian juga kedua wanita itu.
Mereka tinggal di tempat ini menunggu kedatangan Rasul.

Kemudian Muhammad pun datang, bersama pamannya 'Abbas b.
Abd'l-Muttalib - yang pada waktu itu masih menganut
kepercayaan golongannya sendiri. Akan tetapi sejak sebelum itu
ia sudah mengetahui dari kemenakannya ini akan adanya suatu
pakta persekutuan; dan adakalanya hal ini dapat mengakibatkan
perang. Disebutkan juga, bahwa dia sudah mengadakan perjanjian
dengan Keluarga Muttalib dan Keluarga Hasyim untuk melindungi
Muhammad. Maka dimintanya ketegasan kemanakannya itu dan
ketegasan golongannya sendiri, supaya jangan kelak timbul
bencana yang akan menimpa Keluarga Hasyim dan Keluarga
Muttalib, dan dengan demikian berarti orang-orang Yathrib itu
akan kehilangan pembela. Atas dasar itulah, maka 'Abbas yang
pertama kali bicara.

"Saudara-saudara dari Khazraj!" kata 'Abbas. "Posisi Muhammad
di tengah-tengah kami sudah sama-sama tuan-tuan ketahui. Kami
dan mereka yang sepaham dengan kami telah melindunginya dari
gangguan masyarakat kami sendiri. Dia adalah orang yang
terhormat di kalangan masyarakatnya dan mempunyai kekuatan di
negerinya sendiri. Tetapi dia ingin bergabung dengan tuan-tuan
juga. Jadi kalau memang tuan-tuan merasa dapat menepati janji
seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya itu dan dapat
melindunginya dari mereka yang menentangnya, maka silakanlah
tuan-tuan laksanakan. Akan tetapi, kalau tuan-tuan akan
menyerahkan dia dan membiarkannya terlantar sesudah berada di
tempat tuan-tuan, maka dari sekarang lebih baik tinggalkan
sajalah."

Setelah mendengar keterangan 'Abbas pihak Yathrib menjawab:
"Sudah kami dengar apa yang tuan katakan. Sekarang silakan
Rasulullah bicara. Kemukakanlah apa yang tuan senangi dan
disenangi Tuhan."

Setelah membacakan ayat-ayat Qur'an dan memberi semangat
Islam, Muhammad menjawab:

"Saya minta ikrar tuan-tuan akan membela saya seperti membela
isteri-isteri dan anak-anak tuan-tuan sendiri."

Ketika itu Al-Bara' b. Ma'rur hadir. Dia seorang pemimpin
masyarakat dan yang tertua di antara mereka. Sejak ikrar
'Aqaba pertama ia sudah Islam, dan menjalankan semua kewajiban
agama, kecuali dalam sembahyang ia berkiblat ke Ka'bah, sedang
Muhammad dan seluruh kaum Muslimin waktu itu masih berkiblat
ke al-Masjid'l-Aqsha. Oleh karena ia berselisih pendapat
dengan masyarakatnya sendiri, begitu mereka sampai di Mekah
segera mereka minta pertimbangan Nabi. Muhammad melarang
Al-Bara' berkiblat ke Ka'bah.

Setelah tadi Muhammad minta kepada Muslimin Yathrib supaya
membelanya seperti mereka membela isteri dan anak-anak mereka
sendiri, Al-Bara' segera mengulurkan tangan menyatakan
ikrarnya seraya berkata: "Rasulullah, kami sudah berikrar.
Kami adalah orang peperangan dan ahli bertempur yang sudah
kami warisi dari leluhur kami."

Tetapi sebelum Al-Bara' selesai bicara, Abu'l-Haitham
ibn't-Tayyihan datang menyela:

"Rasulullah, kami dengan orang-orang itu - yakni orang-orang
Yahudi - terikat oleh perjanjian, yang sudah akan kami
putuskan. Tetapi apa jadinya kalau kami lakukan ini lalu kelak
Tuhan memberikan kemenangan kepada tuan, tuan akan kembali
kepada masyarakat tuan dan meninggalkan kami?"

Muhammad tersenyum, dan katanya: "Tidak, saya sehidup semati
dengan tuan-tuan. Tuan-tuan adalah saya dan saya adalah
tuan-tuan. Saya akan memerangi siapa saja yang tuan-tuan
perangi, dan saya akan berdamai dengan siapa saja yang
tuan-tuan ajak berdamai."

Tatkala mereka siap akan mengadakan ikrar itu, 'Abbas b.
'Ubada datang menyela dengan mengatakan: "Saudara-saudara dari
Khazraj. Untuk apakah kalian memberikan ikrar kepada orang
ini? Kamu menyatakan ikrar dengan dia tidak melakukan perang
terhadap yang hitam dan yang merah4 melawan orang-orang itu.5
Kalau tuan-tuan merasa, bahwa jika harta benda tuan-tuan habis
binasa dan pemuka-pemuka tuan-tuan mati terbunuh, tuan-tuan
akan menyerahkan dia (kepada musuh), maka (lebih baik) dari
sekarang tinggalkan saja dia. Kalaupun itu juga yang tuan-tuan
lakukan, ini adalah suatu perbuatan hina dunia akhirat.
Sebaliknya, bila tuan-tuan memang dapat menepati janji seperti
yang tuan-tuan berikan kepadanya itu, sekalipun harta-benda
tuan-tuan akan habis dan bangsawan-bangsawan akan mati
terbunuh, maka silakan saja tuan-tuan terima dia. Itulah suatu
perbuatan yang baik, dunia akhirat."

Orang ramai itu menjawab:

"Akan kami terima, sekalipun harta-benda kami habis,
bangsawan-bangsawan kami terbunuh. Tetapi, Rasulullah, kalau
dapat kami tepati semua ini, apa yang akan kami peroleh?"

"Surga," jawab Muhammad dengan tenang dan pasti.

Mereka lalu mengulurkan tangan dan dia juga membentangkan
tangannya. Ketika itu mereka menyatakan ikrar kepadanya.

Selesai ikrar itu, Nabi berkata kepada mereka:

"Pilihkan dua belas orang pemimpin dari kalangan tuan-tuan
yang akan menjadi penanggung-jawab masyarakatnya."

Mereka lalu memilih sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang
dari Aus. Kemudian kepada pemimpin-pemimpin itu Nabi berkata:

"Tuan-tuan adalah penanggung-jawab masyarakat tuan-tuan
seperti pertanggung-jawaban pengikut-pengikut Isa bin Mariam.
Terhadap masyarakat saya, sayalah yang bertanggungjawab."

Dalam ikrar kedua ini mereka berkata:

"Kami berikrar mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di
waktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan berkata yang benar
di mana saja kami berada, dan kami tidak takut kritik siapapun
atas jalan Allah ini."

Peristiwa ini selesai pada tengah malam di celah gunung
'Aqaba, jauh dari masyarakat ramai, atas dasar kepercayaan,
bahwa hanya Allah Yang mengetahui keadaan mereka. Akan tetapi,
begitu peristiwa itu selesai, tiba-tiba mereka mendengar ada
suara berteriak yang ditujukan kepada Quraisy: "Muhammad dan
orang-orang yang pindah kepercayaan itu sudah berkumpul akan
memerangi kamu!"

Suara itu datangnya dari seseorang yang keluar untuk urusannya
sendiri. Mengetahui keadaan mereka itu sedikit dengan melalui
pendengarannya yang selintas, ia lalu bermaksud hendak
mengacaukan rencana itu dan mau menanamkan kegelisahan dalam
hati mereka, bahwa rencana mereka malam itu diketahui. Akan
tetapi pihak Khazraj dan Aus tetap pada janji mereka. Bahkan
'Abbas b. 'Ubada - setelah mendengar suara simata-mata itu -
berkata kepada Muhammad:

"Demi Allah Yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran,
kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami
habiskan dengan pedang kami."

Ketika itu Muhammad menjawab:

"Kami tidak diperintahkan untuk itu. Kembalilah ke kemah
tuan-tuan."

Merekapun kembali ke tempat mereka bermalam, lalu tidur.
Keesokan harinya pagi-pagi baru mereka bangun.

Akan tetapi pagi itu juga Quraisy sudah mengetahui berita
adanya ikrar itu. Mereka terkejut sekali. Pagi itu
pemuka-pemuka Quraisy mendatangi Khazraj di tempatnya
masing-masing. Mereka menyesalkan Khazraj dan mengatakan,
bahwa mereka tidak ingin berperang dengan Khazraj. Tetapi
kenapa mau bersekutu dengan Muhammad memerangi mereka. Ketika
itu juga orang-orang musyrik dari kalangan Khazraj
bersumpah-sumpah bahwa hal semacam itu tidak ada sama sekali.
Sedang Muslimin malah diam saja setelah dilihatnya Quraisy
lagaknya akan mempercayai keterangan orang-orang yang seagama
dengan mereka itu.

Sekarang Quraisy kembali tanpa dapat mengiakan atau meniadakan
berita tersebut. Tetapi mereka terus menyelidiki, kalau-kalau
dapat mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Sementara itu
orang-orang Yathrib sudah mengangkat perbekalan mereka dan
kembali menuju negeri mereka sebelum pihak Quraisy mengetahui
benar apa yang mereka lakukan itu.

Setelah kemudian Quraisy mengetahui, bahwa berita itu memang
benar, mereka berangkat mencari orang-orang Yathrib itu.
Tetapi sudah tak ada lagi yang akan dapat mereka jumpai selain
Sa'd b. 'Ubada, yang lalu diambil dan dibawanya ke Mekah. Ia
disiksa. Tetapi kemudian Jubair b. Mut'im b. 'Adi dan
al-Harith b. Umayya datang menolongnya. Dulu orang ini pernah
menolong mereka ketika mereka dalam perjalanan perdagangan ke
Syam lewat Yathrib.

Kalau begitu kekuatiran Quraisy kiranya tidak
berlebih-lebihan, begitu juga dalam mengejar jejak mereka yang
telah ikrar kepada Muhammad akan memerangi mereka itu. Mereka
telah mengenalnya selama tigabelas tahun terus-menerus, sejak
permulaan kenabiannya. Mereka sudah berusaha mati-matian
melancarkan perang pasif itu kepadanya, dan masing-masing
sudah pula menghadapinya. Mereka mengetahui itu adalah karena
keyakinannya kepada Tuhan, karena teguhnya ia berpegang pada
ajaran yang benar. Ia sudah tak dapat dilunakkan dan tak dapat
pula dibujuk. Ia tak pernah gentar menghadapi gangguan,
menghadapi siksaan, menghadapi pembunuhan. Sesudah ia dan
pengikut-pengikutnya disakiti dengan pelbagai macam gangguan,
sesudah ia dikepung di celah-celah bukit, seluruh penduduk
Mekah diteror dengan bermacam-macam ketakutan supaya jangan
jadi pengikutnya, terbayang oleh Quraisy bahwa mereka sudah
hampir mengalahkannya, kegiatannya hanya akan terbatas dalam
lingkaran sempit pengikut-pengikutnya yang masih berpegang
pada agama itu saja. Dia dan sahabat-sahabatnya tidak lama
lagi sudah akan jemu dalam pengasingan, dan akan kembali
tunduk menyerah di bawah kekuasaan mereka.

Tetapi sekarang, dengan adanya perjanjian persekutuan baru
ini, pintu harapan akan menang jadi terbuka didepan Muhammad
dan pengikut-pengikutnya. Setidak-tidaknya harapan kebebasan
menyebarkan agama, serta menyerang berhala-berhala dan
penyembah-penyembahnya. Siapa tahu apa yang akan terjadi kelak
terhadap masyarakat seluruh jazirah Arab itu, bila sudah
mendapat bantuan Yathrib berikut Aus dan Khazrajnya, dan
sesudah mendapat perlindungan dari serangan musuh, disertai
adanya kebebasan melakukan upacara agama serta mengajak pihak
lain turut bergabung. Kalau Quraisy tidak dapat mengikis
gerakan ini di tanah tumpah darahnya sendiri maka kekuatiran
mereka pada hari kemudiannya tetap selalu membayang, dan
kemenangan Muhammad terhadap mereka masih tetap menggelisahkan
mereka.

Oleh karena itu sungguh-sungguh mereka memikirkan apa yang
harus mereka lakukan guna menggagalkan usaha Muhammad itu,
serta menghancurkan gerakan barunya. Demikian juga dia sendiri
tidak kurang dari Quraisy dalam memikirkan hal ini. Pintu yang
telah dibukakan Tuhan di hadapannya itu ialah pintu kehormatan
bagi agama Allah, pintu yang akan memberi tempat pada arti
kebenaran. Perjuangan yang sekarang berkecamuk antara dia
dengan pihak Quraisy, adalah suatu peristiwa yang paling hebat
terjadi sejak masa kerasulannya, yakni suatu perjuangan hidup
atau mati bagi kedua belah pihak. Sudah tentu, kemenangan itu
ada pada pihak yang benar. Keputusannya sudah bulat. Bolehlah
ia minta pertolong an Tuhan. Biarlah, segala tipu-daya yang
sudah dilakukan Quraisy itu akan bersifat lebih menghina
mereka sendiri melebihi yang sudah-sudah. Ia akan terus maju,
tapi dengan sikap bijaksana, tenang dan hati-hati. Masalahnya
adalah masalah kecekatan politik dan kecerdikan seorang
pemimpin yang saksama.

Dimintanya sahabat-sahabatnya supaya menyusul kaum Anshar ke
Yathrib. Hanya saja dalam meninggalkan Mekah hendaknya mereka
terpencar-pencar, supaya jangan sampai menimbulkan kepanikan
pihak Quraisy terhadap mereka.

Mulailah kaum Muslimin melakukan hijrah secara sendiri-sendiri
atau kelompok-kelompok kecil. Akan tetapi hal itu rupanya
sudah diketahui oleh pihak Quraisy. Mereka segera bertindak,
berusaha mengembalikan yang masih dapat dikembalikan itu ke
Mekah untuk kemudian dibujuk supaya kembali kepada kepercayaan
mereka, kalau tidak akan disiksa dan dianiaya. Sampai-sampai
tindakan itu ialah dengan cara memisahkan suami dari isteri;
kalau si isteri dari pihak Quraisy ia tidak dibolehkan pergi
ikut suami. Yang tidak menurut, isterinya yang masih dapat
mereka kurung, dikurung.

Akan tetapi mereka takkan dapat berbuat lebih dari itu. Mereka
kuatir akan pecah perang saudara antar-kabilah jika mereka
mencoba membunuh salah seorang dari kabilah itu.

Berturut-turut kaum Muslimin hijrah ke Yathrib, sedang
Muhammad tetap berada di posnya. Tak ada orang yang
mengetahui, dia akan tetap tinggal di tempatnya itu atau sudah
mengambil keputusan akan hijrah juga. Dahulu juga mereka tidak
mengetahui, ketika sahabat-sahabatnya diijinkan hijrah ke
Abisinia, sedang dia sendiri tetap di Mekah menyerukan
anggota-anggota keluarganya yang lain ke dalam Islam. Bahkan
Abu Bakrpun, ketika minta ijin akan turut hijrah ke Yathrib,
ia hanya berkata: "Jangan tergesa-gesa; kalau-kalau Tuhan
menyertakan seorang kawan." Dan tidak lebih dari itu.

Sungguhpun begitu pihak Quraisy sendiri sudah seribu kali
memperhitungkan hijrah Nabi ke Yahtrib itu. Jumlah kaum
Muslimin di sana sudah begitu banyak sehingga hampir-hampir
mereka itu menjadi pihak yang menentukan. Sekarang datang pula
mereka yang hijrah dari Mekah menggabungkan diri, sehingga
mereka jadi bertambah kuat juga adanya. Dalam pada itu,
apabila Muhammad - orang yang sudah mereka kenal berpendirian
teguh dengan pendapatnya yang tepat dan berpandangan jauh -
sampai menyusul ke Yathrib, mereka kuatir penduduk Yathrib itu
kelak akan menyerbu Mekah, atau akan menutup jalur perjalanan
perdagangan mereka ke Syam atau akan membuat mereka mati
kelaparan seperti yang pernah mereka lakukan dulu terhadap
Muhammad dan sahabat-sahabatnya tatkala mereka membuat piagam
pemboikotan dan memaksa mereka tinggal di celah-celah gunung
selama tigapuluh bulan.

Apabila Muhammad masih tinggal di Mekah dan berusaha akan
meninggalkan tempat itu, maka mereka masih merasa terancam
oleh adanya tindakan pihak Yathrib dalam membela Nabi dan
Rasul. Jadi tak ada jalan keluar bagi mereka selain dengan
membunuhya. Dengan begitu mereka lepas dari malapetaka yang
terus-menerus itu. Tetapi kalau juga mereka membunuhnya, tentu
Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib akan menuntut balas.
Maka pecahlah perang saudara di Mekah, dan suatu bencana yang
sangat mereka takuti juga akan datang dari pihak Yathrib.

Sekarang mereka mengadakan pertemuan di Dar'n-Nadwa membahas
semua persoalan itu serta cara-cara pencegahannya. Salah
seorang dari mereka mengusulkan:

"Masukkan dia dalam kurungan besi dan tutup pintunya
rapat-rapat kemudian awasi biar dia mengalami nasib seperti
penyair-penyair semacamnya sebelum dia; seperti Zuhair dan
Nabigha."

Tetapi pendapat ini tidak mendapat suara.

"Kita keluarkan dia dari lingkungan kita, kita buang dari
negeri kita. Sesudah itu tidak perlu kita pedulikan lagi
urusannya," demikian terdengar suara yang lain. Tetapi mereka
kuatir ia akan terus menyusul ke Medinah dan apa yang mereka
takuti justru akan menimpa mereka.

Akhirnya mereka memutuskan, dari setiap kabilah akan diambil
seorang pemuda yang tegap, dan setiap pemuda itu akan
dipersenjatai dengan sebilah pedang yang tajam, yang secara
bersama-sama sekaligus mereka akan menghantamnya, dan darahnya
dapat dipencarkan antar-kabilah. Dengan demikian Banu 'Abd
Manaf takkan dapat memerangi mereka semua. Mereka akan menebus
darah itu kemudian dengan harta. Maka terlepaslah Quraisy dan
orang yang membuat porak-poranda dan mencerai-beraikan
kabilah-kabilah mereka itu.

Mereka menyetujui pendapat ini dan merasa cukup puas. Mereka
mengadakan seleksi di kalangan pemuda-pemuda mereka. Mereka
menganggap bahwa soal Muhammad akan sudah selesai. Beberapa
hari lagi ia akan terkubur habis ke dalam tanah, bersama
ajarannya, dan mereka yang sudah hijrah ke Yathrib akan
kembali ke tengah-tengah masyarakat, akan kembali kepada
kepercayaan dan kepada dewa-dewa mereka. Quraisy dan negeri
Arab yang sudah dipecah-belah, kedudukannya yang sudah mulai
lemah, dengan demikian akan kembali bersatu.

Catatan kaki:

1 Bai'at'l-'Aqaba, secara harfiah berarti pernyataan
dan sumpah setia yang diadakan di bukit 'Aqaba (A).

2 Hilf (amak ahlaf) pernyataan sumpah setia-kawan atau
bersahabat baik antar kabilah bersangkutan yang biasa
berlaku dalam tradisi masyarakat Arab pada masa itu.
Halif (jamak hulafa'), yakni pihak yang mengadakan
persahabatan, kawan-kawan sepersekutuan (A).

3 Hari-hari Tasyriq ialah tiga hari berturut-turut
setelah hari Raya Kurban (lebaran Haji) (A).

4 Yakni berperang habis-habisan melawan semua orang
(A).

5 Yakni Quraisy (A).



BAGIAN KESEPULUH: HIJRAH (1/2)
Muhammad Husain Haekal

Perintah hijrah - Ali di tempat tidur Nabi - Di gua
Thaur - Berangkat ke Yathrib - Cerita Suraqa b.
Ju'syum - Muslimin Medinah menantikan kedatangan Rasul
- Islam di Yathrib - Muhammad memasuki Medinah

RENCANA Quraisy akan membunuh Muhammad pada malam hari, karena
dikuatirkan ia akan hijrah ke Medinah dan memperkuat diri di
sana serta segala bencana yang mungkin menimpa Mekah dan
menimpa perdagangan mereka dengan Syam sebagai akibatnya,
beritanya sudah sampai kepada Muhammad. Memang tak ada orang
yang menyangsikan, bahwa Muhammad akan menggunakan kesempatan
itu untuk hijrah. Akan tetapi, karena begitu kuat ia dapat
menyimpan rahasia itu, sehingga tiada seorangpun yang
mengetahui, juga Abu Bakr, orang yang pernah menyiapkan dua
ekor unta kendaraan tatkala ia meminta ijin kepada Nabi akan
hijrah, yang lalu ditangguhkan, hanya sedikit mengetahui
soalnya. Muhammad sendiri memang masih tinggal di Mekah ketika
ia sudah mengetahui keadaan Quraisy itu dan ketika kaum
Muslimin sudah tak ada lagi yang tinggal kecuali sebagian
kecil. Dalam ia menantikan perintah Tuhan yang akan mewahyukan
kepadanya supaya hijrah, ketika itulah ia pergi ke rumah Abu
Bakr dan memberitahukan, bahwa Allah telah mengijinkan ia
hijrah. Dimintanya Abu Bakr supaya menemaninya dalam hijrahnya
itu, yang lalu diterima baik oleh Abu Bakr.

Di sinilah dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah
yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang
penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan iman. Sebelum itu
Abu Bakr memang sudah menyiapkan dua ekor untanya yang
diserahkan pemeliharaannya kepada Abdullah b. Uraiqiz sampai
nanti tiba waktunya diperlukan. Tatkala kedua orang itu sudah
siap-siap akan meninggalkan Mekah mereka sudah yakin sekali,
bahwa Quraisy pasti akan membuntuti mereka. Oleh karena itu
Muhammad memutuskan akan menempuh jalan lain dari yang biasa,
Juga akan berangkat bukan pada waktu yang biasa.

Pemuda-pemuda yang sudah disiapkan Quraisy untuk membunuhnya
malam itu sudah mengepung rumahnya, karena dikuatirkan ia akan
lari. Pada malam akan hijrah itu pula Muhammad membisikkan
kepada Ali b. Abi Talib supaya memakai mantelnya yang hijau
dari Hadzramaut dan supaya berbaring di tempat tidurnya.
Dimintanya supaya sepeninggalnya nanti ia tinggal dulu di
Mekah menyelesaikan barang-barang amanat orang yang dititipkan
kepadanya. Dalam pada itu pemuda-pemuda yang sudah disiapkan
Quraisy, dari sebuah celah mengintip ke tempat tidur Nabi.
Mereka melihat ada sesosok tubuh di tempat tidur itu dan
merekapun puas bahwa dia belum lari.

Tetapi, menjelang larut malam waktu itu, dengan tidak setahu
mereka Muhammad sudah keluar menuju ke rumah Abu Bakr. Kedua
orang itu kemudian keluar dari jendela pintu belakang, dan
terus bertolak ke arah selatan menuju gua Thaur. Bahwa tujuan
kedua orang itu melalui jalan sebelah kanan adalah di luar
dugaan.

Tiada seorang yang mengetahui tempat persembunyian mereka
dalam gua itu selain Abdullah b. Abu Bakr, dan kedua orang
puterinya Aisyah dan Asma, serta pembantu mereka 'Amir b.
Fuhaira. Tugas Abdullah hari-hari berada di tengah-tengah
Quraisy sambil mendengar-dengarkan permufakatan mereka
terhadap Muhammad, yang pada malam harinya kemudian
disampaikannya kepada Nabi dan kepada ayahnya. Sedang 'Amir
tugasnya menggembalakan kambing Abu Bakr' sorenya
diistirahatkan, kemudian mereka memerah susu dan menyiapkan
daging. Apabila Abdullah b. Abi Bakr keluar kembali dari
tempat mereka, datang 'Amir mengikutinya dengan kambingnya
guna menghapus jejaknya.

Kedua orang itu tinggal dalam gua selama tiga hari. Sementara
itu pihak Quraisy berusaha sungguh-sungguh mencari mereka
tanpa mengenal lelah. Betapa tidak. Mereka melihat bahaya
sangat mengancam mereka kalau mereka tidak berhasil menyusul
Muhammad dan mencegahnya berhubungan dengan pihak Yathrib.
Selama kedua orang itu berada dalam gua, tiada hentinya
Muhammad menyebut nama Allah. KepadaNya ia menyerahkan
nasibnya itu dan memang kepadaNya pula segala persoalan akan
kembali. Dalam pada itu Abu Bakr memasang telinga. Ia ingin
mengetahui adakah orang-orang yang sedang mengikuti jejak
mereka itu sudah berhasil juga.

Kemudian pemuda-pemuda Quraisy - yang dari setiap kelompok di
ambil seorang itu - datang. Mereka membawa pedang dan tongkat
sambil mundar-mandir mencari ke segenap penjuru. Tidak jauh
dari gua Thaur itu mereka bertemu dengan seorang gembala, yang
lalu ditanya.

"Mungkin saja mereka dalam gua itu, tapi saya tidak melihat
ada orang yang menuju ke sana."

Ketika mendengar jawaban gembala itu Abu Bakr keringatan.
Kuatir ia, mereka akan menyerbu ke dalam gua. Dia menahan
napas tidak bergerak, dan hanya menyerahkan nasibnya kepada
Tuhan. Lalu orang-orang Quraisy datang menaiki gua itu, tapi
kemudian ada yang turun lagi.

"Kenapa kau tidak menjenguk ke dalam gua?" tanya
kawan-kawannya.

"Ada sarang laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada
sejak sebelum Muhammad lahir," jawabnya. "Saya melihat ada dua
ekor burung dara hutan di lubang gua itu. Jadi saya mengetahui
tak ada orang di sana."

Muhammad makin sungguh-sungguh berdoa dan Abu Bakr juga makin
ketakutan. Ia merapatkan diri kepada kawannya itu dan Muhammad
berbisik di telinganya:

"Jangan bersedih hati. Tuhan bersama kita."

Dalam buku-buku hadis ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa
setelah terasa oleh Abu Bakr bahwa mereka yang mencari itu
sudah mendekat ia berkata dengan berbisik:

"Kalau mereka ada yang menengok ke bawah pasti akan melihat
kita."

"Abu Bakr, kalau kau menduga bahwa kita hanya berdua,
ketiganya adalah Tuhan," kata Muhammad.

Orang-orang Quraisy makin yakin bahwa dalam gua itu tak ada
manusia tatkala dilihatnya ada cabang pohon yang terkulai di
mulut gua. Tak ada jalan orang akan dapat masuk ke dalamnya
tanpa menghalau dahan-dahan itu. Ketika itulah mereka lalu
surut kembali. Kedua orang bersembunyi itu mendengar seruan
mereka supaya kembali ke tempat semula. Kepercayaan dan iman
Abu Bakr bertambah besar kepada Allah dan kepada Rasul.

"Alhamdulillah, Allahuakbar!" kata Muhammad kemudian.

Sarang laba-laba, dua ekor burung dara dan pohon. Inilah
mujizat yang diceritakan oleh buku-buku sejarah hidup Nabi
mengenai masalah persembunyian dalam gua Thaur itu. Dan pokok
mujizatnya ialah karena segalanya itu tadinya tidak ada.
Tetapi sesudah Nabi dan sahabatnya bersembunyi dalam gua, maka
cepat-cepatlah laba-laba menganyam sarangnya guna menutup
orang yang dalam gua itu dari penglihatan. Dua ekor burung
dara datang pula lalu bertelur di jalan masuk. Sebatang
pohonpun tumbuh di tempat yang tadinya belum ditumbuhi.
Sehubungan dengan mujizat ini Dermenghem mengatakan:

"Tiga peristiwa itu sajalah mujizat yang diceritakan oleh
sejarah Islam yang benar-benar: sarang laba-laba, hinggapnya
burung dara dan tumbuhnya pohon-pohonan. Dan ketiga keajaiban
ini setiap hari persamaannya selalu ada di muka bumi."

Akan tetapi mujizat begini ini tidak disebutkan dalam Sirat
Ibn Hisyam ketika menyinggung cerita gua itu. Paling banyak
oleh ahli sejarah ini disebutkan sebagai berikut:

"Mereka berdua menuju ke sebuah gua di Gunung Thaur sebuah
gunung di bawah Mekah - lalu masuk ke dalamnya. Abu Bakr
meminta anaknya Abdullah supaya mendengar-dengarkan apa yang
dikatakan orang tentang mereka itu siang hari, lalu sorenya
supaya kembali membawakan berita yang terjadi hari itu. Sedang
'Amir b. Fuhaira supaya menggembalakan kambingnya siang hari
dan diistirahatkan kembali bila sorenya ia kembali ke dalam
gua. Ketika itu, bila hari sudah sore Asma, datang membawakan
makanan yang cocok buat mereka ... Rasulullah s.a.w. tinggal
dalam gua selama tiga hari tiga malam. Ketika ia menghilang
Quraisy menyediakan seratus ekor unta bagi barangsiapa yang
dapat mengembalikannya kepada mereka. Sedang Abdullah b. Abi
Bakr siangnya berada di tengah-tengah Quraisy mendengarkan
permufakatan mereka dan apa yang mereka percakapkan tentang
Rasulullah s.aw. dan Abu Bakr, sorenya ia kembali dan
menyampaikan berita itu kepada mereka.

'Amir b. Fuhaira - pembantu Abu Bakr - waktu itu
menggembalakan ternaknya di tengah-tengah para gembala Mekah,
sorenya kambing Abu Bakr itu diistirahatkan, lalu mereka
memerah susu dan menyiapkan daging. Kalau paginya Abdullah b.
Abi Bakr bertolak dari tempat itu ke Mekah, 'Amir b. Fuhaira
mengikuti jejaknya dengan membawa kambing supaya jejak itu
terhapus. Sesudah berlalu tiga hari dan orangpun mulai tenang,
aman mereka, orang yang disewa datang membawa unta kedua orang
itu serta untanya sendiri... dan seterusnya."

Demikian Ibn Hisyam menerangkan mengenai cerita gua itu yang
kami nukilkan sampai pada waktu Muhammad dan sahabatnya keluar
dari sana.

Tentang pengejaran Quraisy terhadap Muhammad untuk dibunuh itu
serta tentang cerita gua ini datang firman Tuhan demikian:

"Ingatlah tatkala orang-orang kafir (Quraisy) itu berkomplot
membuat rencana terhadap kau, hendak menangkap kau, atau
membunuh kau, atau mengusir kau. Mereka membuat rencana dan
Allah membuat rencana pula. Allah adalah Perencana terbaik."
(Qur'an, 8: 30)

"Kalau kamu tak dapat menolongnya, maka Allah juga Yang telah
menolongnya tatkala dia diusir oleh orang-orang kafir
(Quraisy). Dia salah seorang dari dua orang itu, ketika
keduanya berada dalam gua. Waktu itu ia berkata kepada
temannya itu: 'Jangan bersedih hati, Tuhan bersama kita!' Maka
Tuhan lalu memberikan ketenangan kepadanya dan dikuatkanNya
dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan
seruan orang-orang kafir itu juga yang rendah dan kalam Allah
itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Kuasa dan Bijaksana."
(Qur'an, 9: 40)

Pada hari ketiga, bila mereka berdua sudah mengetahui, bahwa
orang sudah tenang kembali mengenai diri mereka, orang yang
disewa tadi datang membawakan unta kedua orang itu serta
untanya sendiri. Juga Asma, puteri Abu Bakr datang membawakan
makanan. Oleh karena ketika mereka akan berangkat tak ada
sesuatu yang dapat dipakai menggantungkan makanan dan minuman
pada pelana barang, Asma, merobek ikat pinggangnya lalu
sebelahnya dipakai menggantungkan makanan dan yang sebelah
lagi diikatkan. Karena itu ia lalu diberi nama
"dhat'n-nitaqain" (yang bersabuk dua).

Mereka berangkat. Setiap orang mengendarai untanya
sendiri-sendiri dengan membawa bekal makanan. Abu Bakr membawa
limaribu dirham dan itu adalah seluruh hartanya yang ada.
Mereka bersembunyi dalam gua itu begitu ketat. Karena mereka
mengetahui pihak Quraisy sangat gigih dan hati-hati sekali
membuntuti, maka dalam perjalanan ke Yathrib itu mereka
mengambil jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Abdullah b.
'Uraiqit - dari Banu Du'il - sebagai penunjuk jalan, membawa
mereka hati-hati sekali ke arah selatan di bawahan Mekah,
kemudian menuju Tihama di dekat pantai Laut Merah. Oleh karena
mereka melalui jalan yang tidak biasa ditempuh orang, di
bawanya mereka ke sebelah utara di seberang pantai itu, dengan
agak menjauhinya, mengambil jalan yang paling sedikit dilalui
orang.

Kedua orang itu beserta penunjuk jalannya sepanjang malam dan
di waktu siang berada di atas kendaraan. Tidak lagi mereka
pedulikan kesulitan, tidak lagi mereka mengenal lelah. Ya,
kesulitan mana yang lebih mereka takuti daripada tindakan
Quraisy yang akan merintangi mereka mencapai tujuan yang
hendak mereka capai demi jalan Allah dan kebenaran itu!
Memang, Muhammad sendiri tidak pernah mengalami kesangsian,
bahwa Tuhan akan menolongnya, tetapi "jangan kamu mencampakkan
diri ke dalam bencana." Allah menolong hambaNya selama hamba
menolong dirinya dan menolong sesamanya. Mereka telah
melangkah dengan selamat selama dalam gua.

Akan tetapi apa yang dilakukan Quraisy bagi barangsiapa yang
dapat mengembalikan mereka berdua atau dapat menunjukkan
tempat mereka, wajar sekali akan menarik hati orang yang hanya
tertarik pada hasil materi meskipun akan diperoleh dengan
jalan kejahatan. Apalagi jika kita ingat orang-orang Arab
Quraisy itu memang sudah menganggap Muhammad musuh mereka.
Dalam jiwa mereka terdapat suatu watak tipu-muslihat, bahwa
membunuh orang yang tidak bersenjata dan menyerang pihak yang
tak dapat mempertahankan diri, bukan suatu hal yang hina.
Jadi, dua orang itu harus benar-benar waspada, harus membuka
mata, memasang telinga dan penuh kesadaran selalu.

Dugaan kedua orang itu tidak meleset. Sudah ada orang yang
datang kepada Quraisy membawa kabar, bahwa ia melihat
serombongan kendaraan unta terdiri dari tiga orang lewat.
Mereka yakin itu adalah Muhammad dan beberapa orang
sahabatnya. Waktu itu Suraqa b. Malik b. Ju'syum hadir.

"Ah, mereka itu Keluarga sianu," katanya dengan maksud
mengelabui orang itu, sebab dia sendiri ingin memperoleh
hadiah seratus ekor unta. Sebentar ia masih tinggal bersama
orang-orang itu. Tetapi kemudian ia segera pulang ke rumahnya.
Disiapkannya senjatanya dan disuruhnya orang membawakan
kudanya ke tengah-tengah wadi supaya waktu ia keluar nanti
tidak dilihat orang. Selanjutnya dikendarainya kudanya dan
dipacunya ke arah yang disebutkan orang itu tadi.

Sementara itu Muhammad dan kedua temannya sudah mengaso di
bawah naungan sebuah batu besar, sekadar beristirahat dan
menghilangkan rasa lelah sambil makan-makan dan minum, dan
sekadar mengembalikan tenaga dan kekuatan baru.

Matahari sudah mulai bergelincir, Muhammad dan Abu Bakr pun
sudah pula mulai memikirkan akan menaiki untanya mengingat
bahwa jaraknya dengan Suraqa sudah makin dekat. Dan sebelum
itu kuda Suraqa sudah dua kali tersungkur karena terlampau
dikerahkan. Tetapi setelah penunggang kuda itu melihat bahwa
ia sudah hampir berhasil dan menyusul kedua orang itu - lalu
akan membawa mereka kembali ke Mekah atau membunuh mereka bila
mencoba membela diri - ia lupa kudanya yang sudah dua kali
tersungkur itu, karena saat kemenangan rasanya sudah di
tangan. Akan tetapi kuda itu tersungkur sekali lagi dengan
keras sekali, sehingga penunggangnya terpelanting dari
punggung binatang itu dan jatuh terhuyung-huyung dengan
senjatanya. Lalu diramalkan oleh Suraqa bahwa itu suatu alamat
buruk dan dia percaya bahwa sang dewa telah melarangnya
mengejar sasarannya itu dan bahwa dia akan berada dalam bahaya
besar apabila sampai keempat kalinya ia terus berusaha juga.
Sampai di situ ia berhenti dan hanya memanggil-manggil:

"Saya Suraqa bin Ju'syum! Tunggulah, saya mau bicara. Demi
Allah, tuan-tuan jangan menyangsikan saya. Saya tidak akan
melakukan sesuatu yang akan merugikan tuan-tuan."

Setelah kedua orang itu berhenti melihat kepadanya, dimintanya
kepada Muhammad supaya menulis sepucuk surat kepadanya sebagai
bukti bagi kedua belah pihak. Dengan permintaan Nabi, Abu Bakr
lalu menulis surat itu di atas tulang atau tembikar yang lalu
dilemparkannya kepada Suraqa.

Setelah diambilnya oleh Suraqa surat itu ia kembali pulang.
Sekarang, bila ada orang mau mengejar Muhajir Besar itu
olehnya dikaburkan, sesudah tadinya ia sendiri yang
mengejarnya.

Muhammad dan kawannya itu kini berangkat lagi melalui
pedalaman Tihama dalam panas terik yang dibakar oleh pasir
sahara. Mereka melintasi batu-batu karang dan lembah-lembah
curam. Dan sering pula mereka tidak mendapatkan sesuatu yang
akan menaungi diri mereka dari letupan panas tengah hari tak
ada tempat berlindung dari kekerasan alam yang ada di
sekitarnya, tak ada keamanan dari apa yang mereka takuti atau
dari yang akan menyerbu mereka tiba-tiba, selain dari
ketabahan hati dan iman yang begitu mendalam kepada Tuhan.
Keyakinan mereka besar sekali akan kebenaran yang telah
diberikan Tuhan kepada RasulNya itu.

Selama tujuh hari terus-menerus mereka dalam keadaan serupa
itu. Mengaso di bawah panas membara musim kemarau dan berjalan
lagi sepanjang malam mengarungi lautan padang pasir. Hanya
karena adanya ketenangan hati kepada Tuhan dan adanya kedip
bintang-bintang yang berkilauan dalam gelap malam itu, membuat
hati dan perasaan mereka terasa lebih aman.

Bilamana kedua orang itu sudah memasuki daerah kabilah Banu
Sahm dan datang pula Buraida kepala kabilah itu menyambut
mereka, barulah perasaan kuatir dalam hatinya mulai hilang.
Yakin sekali mereka pertolongan Tuhan itu ada.

Jarak mereka dengan Yathrib kini sudah dekat sekali.

Selama mereka dalam perjalanan yang sungguh meletihkan itu,
berita-berita tentang hijrah Nabi dan sahabatnya yang akan
menyusul kawan-kawan yang lain, sudah tersiar di Yathrib.
Penduduk kota ini sudah mengetahui, betapa kedua orang ini
mengalami kekerasan dari Quraisy yang terus-menerus
membuntuti. Oleh karena itu semua kaum Muslimin tetap tinggal
di tempat itu menantikan kedatangan Rasulullah dengan hati
penuh rindu ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur
katanya. Banyak di antara mereka itu yang belum pernah
melihatnya, meskipun sudah mendengar tentang keadaannya dan
mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya.
Semua itu membuat mereka rindu sekali ingin bertemu, ingin
melihatnya. Orangpun sudah akan dapat mengira-ngirakan, betapa
dalamnya hati mereka itu terangsang tatkala mengetahui, bahwa
orang-orang terkemuka Yathrib yang sebelum itu belum pernah
melihat Muhammad sudah menjadi pengikutnya hanya karena
mendengar dari sahabat-sahabatnya saja, kaum Muslimin yang
gigih melakukan dakwah Islam dan sangat mencintai Rasulullah
itu.

Sa'id b. Zurara dan Mush'ab b. 'Umair sedang duduk-duduk dalam
salah sebuah kebun Banu Zafar. Beberapa orang yang sudah
menganut Islam juga berkumpul di sana. Berita ini kemudian
sampai kepada Sa'd b. Mu'adh dan 'Usaid b. Hudzair, yang pada
waktu itu merupakan pemimpin-pemimpin golongannya
masing-masing.

"Temui dua orang itu," kata Said kepada 'Usaid, "yang datang
ke daerah kita ini dengan maksud supaya orang-orang yang
hina-dina di kalangan kita dapat merendahkan keluarga kita.
Tegur mereka itu dan cegah. Sebenarnya Said b. Zurara itu
masih sepupuku dari pihak ibu, jadi saya tidak dapat
mendatanginya."

'Usaidpun pergi menegur kedua orang itu. Tapi Mush'ab
menjawab:

"Maukah kau duduk dulu dan mendengarkan?" katanya. "Kalau hal
ini kau setujui dapatlah kauterima, tapi kalau tidak kausukai
maukah kau lepas tangan?"

"Adil kau," kata 'Usaid, seraya menancapkan tombaknya di
tanah. Ia duduk dengan mereka sambil mendengarkan keterangan
Mush'ab, yang ternyata sekarang ia sudah menjadi seorang
Muslim. Bila ia kembali kepada Sa'd wajahnya sudah tidak lagi
seperti ketika berangkat. Hal ini membuat Sa'd jadi marah. Dia
sendiri lalu pergi menemui dua orang itu. Tetapi kenyataannya
ia seperti temannya juga.

Karena pengaruh kejadian itu Sa'd lalu pergi menemui
golongannya dan berkata kepada mereka:

"Hai Banu 'Abd'l-Asyhal. Apa yang kamu ketahui tentang diriku
di tengah-tengah kamu sekalian?"

"Pemimpin kami, yang paling dekat kepada kami, dengan
pandangan dan pengalaman yang terpuji," jawab mereka.

"Maka kata-katamu, baik wanita maupun pria bagiku adalah suci
selama kamu beriman kepada Allah dan RasulNya."

Sejak itu seluruh suku 'Abd'l-Asyhal, pria dan wanita masuk
Islam.

Tersebarnya Islam di Yathrib dan keberanian kaum Muslimin di
kota itu sebelum hijrah Nabi ke tempat tersebut sama sekali di
luar dugaan kaum Muslimin Mekah. Beberapa pemuda Muslimin
dengan tidak ragu-ragu mempermainkan berhala-berhala kaum
musyrik di sana. Seseorang yang bernama 'Amr bin'l-Jamuh
mempunyai sebuah patung berhala terbuat daripada kayu yang
dinamainya Manat, diletakkan di daerah lingkungannya seperti
biasa dilakukan oleh kaum bangsawan. 'Amr ini adalah seorang
pemimpin Banu Salima dan dari kalangan bangsawan mereka pula.
Sesudah pemuda-pemuda golongannya itu masuk Islam malam-malam
mereka mendatangi berhala itu lalu di bawanya dan ditangkupkan
kepalanya ke dalam sebuah lubang yang oleh penduduk Yathrib
biasa dipakai tempat buang air.

Bila pagi-pagi berhala itu tidak ada 'Amr mencarinya sampai
diketemukan lagi, kemudian dicucinya dan dibersihkan lalu
diletakkannya kembali di tempat semula, sambil ia
menuduh-nuduh dan mengancam. Tetapi pemuda-pemuda itu
mengulangi lagi perbuatannya mempermainkan Manat 'Amr itu, dan
diapun setiap hari mencuci dan membersihkannya. Setelah ia
merasa kesal karenanya, diambilnya pedangnya dan
digantungkannya pada berhala itu seraya ia berkata: "Kalau kau
memang berguna, bertahanlah, dan ini pedang bersama kau."

Tetapi keesokan harinya ia sudah kehilangan lagi, dan baru
diketemukannya kembali dalam sebuah sumur tercampur dengan
bangkai anjing. Pedangnya sudah tak ada lagi.

Sesudah kemudian ia diajak bicara oleh beberapa orang
pemuka-pemuka masyarakatnya dan sesudah melihat dengan mata
kepala sendiri betapa sesatnya hidup dalam syirik dan
paganisma itu, yang hakekatnya akan mencampakkan jiwa manusia
ke dalam jurang yang tak patut lagi bagi seorang manusia,
iapun masuk Islam.

Melihat Islam yang sudah mencapai martabat begitu tinggi di
Yathrib, akan mudah sekali orang menilai, betapa memuncaknya
kerinduan penduduk kota itu ingin menyambut kedatangan
Muhammad, setelah mereka mengetahui ia sudah hijrah dari
Mekah. Setiap hari selesai sembahyang Subuh mereka pergi ke
luar kota menanti-nantikan kedatangannya sampai pada waktu
matahari terbenam dalam hari-hari musim panas bulan Juli.

Dalam pada itu ia sudah di Quba' - dua farsakh jauhnya dari
Medinah. Empat hari ia tinggal di tempat itu, ditemani oleh
Abu Bakr. Selama masa empat hari itu mesjid Quba' dibangunnya.
Sementara itu datang pula Ali b. Abi-Talib ke tempat itu
setelah mengembalikan barang-barang amanat - yang dititipkan
kepada Muhammad - kepada pemilik-pemiliknya di Mekah. Setelah
itu ia sendiri meninggalkan Mekah, menempuh perjalanannya ke
Yathrib dengan berjalan kaki. Malam hari ia berjalan, siangnya
bersembunyi. Perjuangan yang sangat meletihkan itu
ditanggungnya selama dua minggu penuh, yaitu untuk menyusul
saudara-saudaranya seagama.

Sementara kaum Muslimin Yathrib pada suatu hari sedang
menanti-nantikan seperti biasa tiba-tiba datang seorang Yahudi
yang sudah mengetahui apa yang sedang mereka lakukan itu
berteriak kepada mereka.

"Hai, Banu Qaila1 ini dia kawan kamu datang!"

Hari itu adalah hari Jum'at dan Muhammad berjum'at di Medinah.
Di tempat itulah, ke dalam mesjid yang terletak di perut Wadi
Ranuna itulah kaum Muslimin datang, masing-masing berusaha
ingin melihat serta mendekatinya. Mereka ingin memuaskan hati
terhadap orang yang selama ini belum pernah mereka lihat, hati
yang sudah penuh cinta dan rangkuman iman akan risalahnya, dan
yang selalu namanya disebut pada setiap kali sembahyang.

Orang-orang terkemuka di Medinah menawarkan diri supaya ia
tinggal pada mereka dengan segala persediaan dan persiapan
yang ada. Tetapi ia meminta maaf kepada mereka. Kembali ia ke
atas unta betinanya, dipasangnya tali keluannya, lalu ia
berangkat melalui jalan-jalan di Yathrib, di tengah-tengah
kaum Muslimin yang ramai menyambutnya dan memberikan jalan
sepanjang jalan yang diliwatinya itu. Seluruh penduduk
Yathrib, baik Yahudi maupun orang-orang pagan menyaksikan
adanya hidup baru yang bersemarak dalam kota mereka itu,
menyaksikan kehadiran seorang pendatang baru, orang besar yang
telah mempersatukan Aus dan Khazraj, yang selama itu saling
bermusuhan, saling berperang. Tidak terlintas dalam pikiran
mereka - pada saat ini, saat transisi sejarah yang akan
menentukan tujuannya yang baru itu - akan memberikan kemegahan
dan kebesaran bagi kota mereka, dan yang akan tetap hidup
selama sejarah ini berkembang.

Dibiarkannya unta itu berjalan. Sesampainya ke sebuah tempat
penjemuran kurma kepunyaan dua orang anak yatim dari
Banu'n-Najjar, unta itu berlutut (berhenti). Ketika itulah
Rasul turun dari untanya dan bertanya:

"Kepunyaan siapa tempat ini?" tanyanya.

"Kepunyaan Sahl dan Suhail b. 'Amr," jawab Ma'adh b. 'Afra'.
Dia adalah wali kedua anak yatim itu. Ia akan membicarakan
soal tersebut dengan kedua anak itu supaya mereka puas.
Dimintanya kepada Muhammad supaya di tempat itu didirikan
mesjid.

Muhammad mengabulkan permintaan tersebut dan dimintanya pula
supaya di tempat itu didirikan mesjid dan tempat-tinggalnya.

Catatan kaki:

1 Aus dan Khazraj (A).


S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D

oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980

Seri PUSTAKA ISLAM No.1

No comments: