Tuesday, December 4, 2007

MUSYAWARAH

MUSYAWARAH

Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang pada
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna
ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang
dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk
pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau
mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya
digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna
dasarnya.

Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak
penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu
sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun.

Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah
mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin,
kerjasamanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan
hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak.
Ia takkan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun
dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan
demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi
Saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah.

AYAT-AYAT TENTANG MUSYAWARAH

Ada tiga ayat Al-Quran yang akar katanya menunjukkan
musyawarah.

a. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 233

Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak
mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan
permusyawarahan antar mereka, maka tidak ada dosa atas
keduanya.

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami
istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah
tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Pada ayat di
atas, Al-Quran memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga
persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawaraLkan
antara suami-istri.

b. Dalam surat Ali 'Imran (3): 159

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap
lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau
bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu,
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu).
Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad,
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.

Ayat ini dan segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad
Saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan
sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, seperti yang akan
dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada
setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar
bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.

c. dalam surat Al-Syura (42): 38, Allah menyatakan bahwa orang
mukmin akan mendapat ganjaran yang lebih baik dan kekal di
sisi Allah. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang mukmin itu
adalah:

Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka,
melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan
mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan
mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka.

Ayat ketiga ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim
Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Saw. dan
menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka
laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat
ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan
musyawarah.

Dari ketiga ayat di atas saja, maka sepintas dapat diduga
bahwa Al-Quran tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap
persoalan musyawarah. Namun dugaan tersebut akan sirna, jika
menyadari cara Al-Quran memberi petunjuk serta menggali lebih
jauh kandungan ayat-ayat tersebut.

PETUNJUK AL-QURAN MENYANGKUT PERKEMBANGAN MASYARAKAT

Secara umum dapat dikatakan bahwa petunjuk Al-Quran yang rinci
lebih banyak tertuju terhadap persoalan-persoalan yang tak
terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau
perubahan. Dari sini dipahami kenapa uraian Al-Quran mengenai
metafisika, seperti surga dan neraka, amat rinci karena ini
merupakan soal yang tak terjangkau nalar. Demikian juga soal
mahram (yang terlarang dikawini), karena ia tak mengalami
perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin
memiliki birahi terhadap orang tuanya, saudara, atau keluarga
dekat tertentu, demikian seterusnya.

Adapun persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan
perubahan, Al-Quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk
global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat
menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya
manusia.

Memang amat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan
pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan ciri kondisi
sosial budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang
sama untuk masyarakat lain, baik di tempat yang sama pada masa
yang berbeda, apalagi di tempat yang lain pada masa yang
berlainan.

Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya. Karena
itu pula, petunjuk kitab suci Al-Quran menyangkut hal ini amat
singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja.

Jangankan Al-Quran, Nabi Saw. yang dalam banyak ha1
menjabarkan petunjuk-petunjuk umum Al-Quran, periha1
musyawarah ini tidak meletakkan rinciannya. Bahkan tidak juga
memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara
suksesi yang dilakukan oleh empat khalifah beliau --Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan Ali r. a.-- berbeda-beda di antara satu
dengan lainnya.

Demikianlah, Rasul Saw. tidak meletakkan petunjuk tegas yang
rinci tentang cara dan pola syura. Karena jika beliau sendiri
yang meletakkan hukumnya, ini bertentangan dengan prinsip
syura yang diperintahkan Al-Quran --bukankah Al-Quran
memerintahkan agar persoalan umat dibicarakan bersama?
Sedangkan apabila beliau bersama sahabat yang lain menetapkan
sesuatu, itu pun berlaku untuk masa beliau saja. Tidak berlaku
--rincian itu-- untuk masa sesudahnya. Bukankah Rasul Saw.
telah memberi kebebasan kepada umat Islam agar mengatur
sendiri urusan dunianya dengan sabda beliau yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim,

"Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian."

Dan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad,

"Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka
kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan dengan urusan
dunia kalian, maka kalian lebih mengetahuinya."

Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha:

Allah telah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan
penuh dan kebebasan sempurna di dalam urusan dunia dan
kepentingan masyarakat dengan jalan memberi petunjuk
untuk melakukan musyawarah. Yakni yang dilakukan oleh
orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai,
untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap
periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan
masyarakat... Kita sering mengikat diri sendiri dengan
berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian
kita namakan syarat itu ajaran agama. Namun, pada
akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita.

Demikian lebih kurang tulisan Rasyid Ridha ketika menafsirkan
surat Al-Nisa' (4): 59.

MUSYAWARAH DALAM AL-QURAN

Memang banyak persoalan yang dapat diambil jawabannya dari
ketiga ayat musyawarah itu. Namun, tidak sedikit dari jawaban
tesebut merupakan pemahaman para sahabat Nabi atau ulama.
Meskipun ada juga yang merupakan petunjuk-petunjuk umum yang
bersumber dari Sunnah Nabi Saw., tetapi petunjuk-petunjuk
tersebut masih dapat dikembangkan atau tidak sepenuhnya
mengikat.

Berbagai masalah yang dibahas para ulama mengenai musyawarah
antara lain: (a) orang yang diminta bermusyawarah; (b) dalam
hal-hal apa saja musyawarah dilaksanakan; dan (c) dengan siapa
sebaiknya musyawarah dilakukan.

Sebelum menguraikan sekilas tentang hal-hal tesebut, terlebih
dahulu periu dikemukakan petunjuk yang diisyaratkan Al-Quran
mengenai beberapa sikap yang harus dilakukan seseorang untuk
mensukseskan musyawarah. Petunjuk-petunjuk tersebut secara
tersurat ditemukan dalam surat Ali 'Imran ayat 159 yang
terjemahannya telah dikutip di atas.

Pada ayat itu disebutkan tiga sikap yang secara berurutan
diperintahkan kepada Muhammad Saw. untuk beliau lakukan
sebelum datangnya perintah bermusyawarah. Penyebutan ketiga
sikap tersebut --menurut hemat penulis-- walaupun dikemukakan
sesuai konteks turunnya ayat, serta mempunyai makna tersendiri
berkaitan dengan sikap atau pandangan para sahabat
--sebagaimana akan diutarakan kemudian-- namun, dari segi
pelaksanaan dan esensi musyawarah agaknya sifat-sifat tersebut
sengaja dikemukakan agar ketiganya menghiasi diri Nabi dan
setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu disebutkan
satu lagi sikap yang harus dilakukan setelah musyawarah, yakni
kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan
dalam musyawarah. Sikap-sikap tersebut sebagian terbaca pada
ayat Ali 'Imran di atas.

Pertama, adalah sikap lemah lembut.

Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin,
harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras
kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan bertebaran
pergi. Petunjuk ini dikandung oleh frase,

Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras,
niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.

Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Dalam ayat di
atas disebutkan sebagai fa'fu anhum (maafkan mereka).

Maaf, secara harfiah, berarti "menghapus". Memaafkan adalah
menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang
dinilai tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa
pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan
dengan sirnanya kekeruhan hati.

Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental
untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika
bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar
kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila hal itu
masuk ke dalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh
jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah
kandungan pesan fa'fu anhum.

Kemudian orang yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa
kecerahan atau ketajaman analisis saja, tidaklah cukup.
William James, filosof Amerika kenamaan, menegaskan,

Akal memang mengagumkan. Ia mampu membatalkan suatu
argumen dengan argumen lain. Ini akan dapat
mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan
etika dan nilai-nilai hidup kita.

Nah, jika demikian, kita masih membutuhkan "sesuatu" di
samping akal. Terserah Anda, apa nama "sesuatu" itu. Namailah
"indera keenam" sebagaimana filosof dan psikolog menamainya,
atau "bisikan atau gerak hati" seperti kata orang kebanyakan,
atau "ilham, hidayat, dan firasat" menurut nama yang diberikan
agamawan.

Tidak jelas cara kerja "sesuatu" itu, karena datangnya
sekejap, sekadar untuk mencampakkan informasi yang diduga
"kebetulan" oleh sebagian orang, dan kepergiannya pun tanpa
izin orang yang dikunjungi.

Biasanya, "sesuatu" itu mengunjungi orang-orang yang jiwanya
dihiasi kesucian, karena Allah tidak akan memberi hidayat
kepada orang yang berlaku aniaya (QS Al-Haqarah [2]: 258),
kafir (QS Al-Baqarah [2]: 264), bergelimang dosa atau fasik
(QS Al-Ma-idah [5]: 108), melampaui batas lagi pendusta (QS A1
Mu'min [40]: 28), pengkhianat (QS Yusuf [12]: 52), dan
pembohong (QS Al-Zumar [39]: 3).

Jika demikian, untuk mencapai hasil yang terbaik ketika
musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Itulah
sebabnya, hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah
permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan
oleh pesan surat Ali 'Imran ayat 159 di atas, wa istaghfir
lahum.

Pesan terakhir Ilahi di dalam konteks musyawarah adalah
setelah musyawarah usai, yaitu

Apabila telah bulat tekad (laksanakanlah) dan berserah
dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berserah diri.

ORANG-ORANG YANG DIMINTA BERMUSYAWARAH

Secara tegas dapat terbaca bahwa perintah musyawarah pada ayat
159 surat Ali 'Imran ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal
ini dengan mudah dipahami dari redaksi perintahnya yang
berbentuk tunggal. Namun demikian, pakar-pakar Al-Quran
sepakat berpendapat bahwa perintah musyawarah ditujukan kepada
semua orang. Bila Nabi Saw. saja diperintahkan oleh Al-Quran
untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma'shum
(terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi
manusia-manusia selain beliau.

Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami
berlaku untuk Semua orang, walaupun redaksinya ditujukan
kepada Nabi Saw. Di sini Nabi berperan sebagai pemimpin umat,
yang berkewajiban menyampaikan kandungan ayat kepada seluruh
umat, sehingga sejak semula kandungannya telah ditujukan
kepada mereka semua.

Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah
peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang
pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk
memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang
dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk
bertahan di kota Madinah, dan tidak ke luar menghadapi musuh
yang datang dari Makkah. Sahabat-sahabat beliau terutama kaum
muda yang penuh semangat mendesak agar kaum Muslim di bawah
pimpinan Nabi Saw "keluar" menghadapi musuh. Pendapat mereka
itu memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi Saw.
menyetujuinya. Tetapi, peperangan berakhir dengan gugurnya
tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi Saw.

Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang
dialami Nabi Saw. dan sahabat beliau setelah turunnya ayat
ini, amat perlu digarisbawahi untuk melihat bagaimana
pandangan Al-Quran tentang musyawarah.

Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi Saw. bahwa
musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun
terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru.
Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi
tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan
seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.

Dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan:

"Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk [kepada
Allah] tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga
akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah."
LAPANGAN MUSYAWARAH

Apakah Al-Quran memberikan kebebasan melakukan musyawarah
untuk segala persoalan? Jawabannya secara tegas: Tidak.

Ayat Ali 'Imran di atas, yang menyuruh Nabi Saw. melakukan
musyawarah, menggunakan kata al-amr: ketika memerintahkan
bermusyawarah (syawirhum fil amr) yang diterjemahkan penulis
dengan "persoalan/urusan tertentu". Sedangkan ayat Al-Syura
menggunakan kata amruhun yang terjemahannya adalah "urusan
mereka".

Kata amr dalam Al-Quran ada yang dinisbahkan kepada Tuhan dan
sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga tidak ada campur
tangan manusia pada urusan tersebut, seperti misalnya:

Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah "Ruh
adalah urusan Tuhan-Ku" (QS Al-Isra' [17]: 85).

Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya bentuk
yang ditujukan kepada orang kedua seperti dalam QS Al-Kahf
[18]: 16.

Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu,
dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam
urusan kamu (QS Al-Kahf [18]: 16).

Atau ada juga yang dinisbahkan kepada orang ketiga seperti
dalam surat Al-Syura yang sedang dibicarakan ini (urusan
mereka).

Sebagaimana ada juga kata "amr" yang tidak dinisbahkan itu
yang berbentuk indefinitif, sehingga secara umum dapat
dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam QS Al-Baqarah
(2): 117.

Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya
berkata: "Jadilah", maka jadilah ia (QS Al-Baqarah [2]:
117).

Sedangkan yang berbentuk definitif, maka pengertiannya dapat
mencakup semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Sebagaimana
surat Al-Isra' ayat 85 yang mengkhususkan hal-hal tertentu
sebagai urusan Allah. Bahkan Al-Quran surat Ali 'Imran ayat
128 secara tegas menafikan pula urusan-urusan tertentu dari
wewenang Nabi Saw.,

Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka
(itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa
mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang berlaku aniaya (QS Ali 'Imran [3]: l28).

Ayat ini turun berkaitan dengan ucapan Nabi Saw. ketika beliau
dilukai oleh kaum musyrikin pada perang Uhud. "Bagaimana Allah
akan mengampuni mereka, sedangkan mereka telah mengotori wajah
Nabi Saw. dengan darah"? Dari riwayat lain dikemukakan, bahwa
ayat ini turun untuk menegur Nabi Saw. yang mengharapkan agar
Tuhan menyiksa orang-orang tertentu dan memaafkan orang-orang
1ain.

Betapapun, dari ayat-ayat Al-Quran, tampak jelas adanya
hal-hal yang merupakan urusan Allah semata sehingga manusia
tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada juga urusan
yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.

Dalam konteks ketetapan Allah dan ketetapan Rasul yang
bersumber dari wahyu, Al-Quran menyatakan secara tegas:

Tidaklah wajar bagi seorang mukmin atau mukminah,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
hukum, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka (QS Al-Ahzab [33]: 36).

As-Sunnah juga menginformasikan bahwa sahabat-sahabat Nabi
Saw. menyadari benar hal tersebut, sehingga mereka tidak
mengajukan saran terhadap hal-hal yang telah mereka ketahui
bersumber dari petunjuk wahyu. Umpamanya, ketika Nabi Saw.
memilih suatu lokasi untuk pasukan Islam menjelang
berkecamuknya perang Badar, sahabat beliau Al-Khubbab bin
Al-Munzir yang memiliki pandangan berbeda tidak mengajukan
usulnya kecuali setelah bertanya:

+ "Apakah ini tempat yang ditujukan untuk engkau pilih,
ataukah ini berdasarkan nalarmu, strategi perang, dan
tipu muslihat?" tanya Al-Khubbab.

- "Tempat ini adalah pilihan berdasar nalar, strategi
perang, dan tipu muslihat," jawab Nabi Saw.

Mendengar jawaban itu, barulah Al-Khubbab mengajukan usul
untuk memilih lokasi lain di dekat sumber air, dan kemudian
disetujui oleh Nabi Saw. Demikian diriwayatkan oleh Al-Hakim.

Ketika terjadi perundingan Hudaibiyah, sebagian besar sahabat
Nabi Saw. terutama Umar bin Khaththab, amat berat hati
menerima rinciannya, namun semuanya terdiam ketika Nabi
bersabda. "Aku adalah Rasulullah Saw."

Sebagian pakar tafsir membatasi masalah permusyawarahan hanya
untuk yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan persoalan
agama. Pakar yang lain memperluas hingga membenarkan adanya
musyawarah di samping untuk urusan dunia, juga untuk sebagian
masalah keagamaan. Alasannya, karena dengan adanya perubahan
sosial, sebagian masalah keagamaan belum ditentukan
penyelesaiannya di dalam Al-Quran maupun sunnah Nabi Saw.

Dari sini disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada
petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik langsung
maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti
misalnya tata cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada
hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta
persoalan-persoalan kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya
bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami
perkembangan dan perubahan.

Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan
masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi, dan
sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau
pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam
beberapa persoalan pribadi atau keluarga. Salah satu kasus
keluarga yang beliau musyawarahkan adalah kasus fitnah
terhadap istri beliau Aisyah r.a. yang digosipkan telah
menodai kehormatan rumah tangga. Ketika gosip tersebut
menyebar, Rasulullah Saw. bertanya kepada sekian orang
sahabat/keluarganya.

Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat
dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk
agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan
kehidupan duniawi.

Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan
ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat
dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia tidak
dan belum sampai ke sana?

BERMUSYAWARAH DENGAN SIAPA?

Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan
pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam ayat
pertama tentang musyawarah di atas, Nabi Saw. diperintahkan
bermusyawarah dengan "mereka". Mereka siapa? Tentu saja mereka
yang dipimpin oleh Nabi Saw., yakni yang disebut umat atau
anggota masyarakat.

Sedangkan ayat yang lain menyatakan,

Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka (QS Syura
[42]: 38).

Ini berarti yang dimusyawarahkan adalah persoalan yang khusus
berkaitan dengan masyarakat sebagai satu unit. Tetapi,
sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Saw. dan para
sahabatnya, tidak tertutup kemungkinan memperluas jangkauan
pengertiannya sehingga mencakup persoalan individu sebagai
anggota masyarakat.

Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas tidak menetapkan
sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah, tidak juga
jumlahnya. Namun demikian, dari As-Sunnah dan pandangan ulama,
diperoleh informasi tentang sifat-sifat umum yang hendaknya
dimiliki oleh yang diajak bermusyawarah. Satu dari sekian
riwayat menyatakan bahwa Rasul Saw. pernah berpesan kepada
Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:

Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena
dia mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan yang
kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu. Juga
tidak dengan yang berambisi, karena dia akan
memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai
Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan
yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk
terhadap Allah.

Imam Ja'far Ash-Shadiq pun berpesan,

Bermuyawarahlah dalam persoalan-persoalanmu dengan
seseorang yang memiliki lima hal: akal, lapang dada,
pengalaman, perhatian, dan takwa.

Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat,
praktek yang dilakukan Nabi Saw. cukup beragam. Terkadang
beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang
yang dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka
masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat di
dalam masalah yang dihadapi.

Sebagian pakar tafsir membicarakan musyawarah dan orang-orang
yang terlibat di dalamnya ketika mereka menafsirkan firman
Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa'(4): 59:

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amr di antara kamu.
Kemudian jika kamu berbeda pendapat mengenai suatu hal,
kembalikanlah kepada (jiwa ajaran) Allah (Al-Quran) dan
(jiwa ajaran) Rasul (sunnahnya). Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS
Al-Nisa [4]: 59).

Dalam ayat itu terdapat kalimat u1u1 amr, yang diperintahkan
untuk ditaati. Kata amr di sini berkaitan dengan kata amr yang
disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Syura ayat 38 (persoalan
atau urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan). Tentunya
tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam
musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan
melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh
para pakar diberi nama berbeda-beda sekali Ahl Al-Hal wa
Al-'Aqd, dikali lain Ahl Al-Ijtihad, dan kali ketiga Ahl
Al-Syura.

Dapat disimpulkan bahwa Ahl Al-Syura merupakan istilah umum,
yang kepada mereka para penguasa dapat meminta pertimbangan
dan saran. Jika demikian, tidak perlu ditetapkan secara rinci
dan ketat sifat-sifat mereka, tergantung pada persoalan apa
yang sedang dimusyawarahkan.

Sebagian pakar kontemporer memahami istilah Ahl Al-Hal wa
Al-'Aqd sebagai orang-orang yang mempunyai pengaruh di tengah
masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat
atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat pada hal
yang sama.

Muhammad Abduh memahami Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd sebagai orang
yang menjadi rujukan masyarakat untuk kebutuhan dan
kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun
non-formal, sipil maupun militer.

Adapun Ahl Al-Ijtihad adalah kelompok ahli dan para teknokrat
dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu.

SYURA DAN DEMOKRASI

Al-Quran dan Sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok
berkaitan dengan kehidupan politik, seperti al-syura,
keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, jaminan haq
al-'ibad (hak-hak manusia), dan lain-lain, yang kesemuanya
memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi.

Apabila kita bermaksud membandingkan syura dengan demokrasi,
tentunya perlu juga dijelaskan apa yang disebut demokrasi.
Namun, untuk tidak memasuki perincian tentang makna demokrasi
yang beraneka ragam, dapat dikatakan bahwa manusia mengenal
tiga cara menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat, yaitu:

1. Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.

2. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan
minoritas.

3. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan
mayoritas, dan ini biasanya menjadi ciri umum
demokrasi.

Syura yang diwajibkan oleh Islam tidak dapat dibayangkan
berwujud seperti bentuk pertama, karena hal itu justru
menjadikan syura lumpuh. Bentuk kedua pun tidak sesuai dengan
makna syura, sebab apakah keistimewaan pendapat minoritas yang
mengalahkan pandangan mayoritas?

Memang ada sebagian pakar Islam kontemporer yang menolak
kewenangan mayoritas berdasar firman Allah:

Tidak sama yang buruk dengan yang baik, walaupun
banyaknya yang buruk itu menyenangkan kamu (QS
Al-Ma-idah [51: 100).

Dan firman Allah:

Kebanyakan kamu tidak menyenangi kebenaran (QS
Al-Zukhruf [43]: 78).

Tetapi pandangan mereka sulit diterima, karena ayat-ayat itu
bukan berbicara dalam konteks musyawarah melainkan dalam
konteks petunjuk Ilahi yang diberikan kepada para Nabi dan
ditolak oleh sebagian besar anggota masyarakatnya ketika itu.
Ayat-ayat tersebut berbicara tentang sikap masyarakat Makkah
ketika itu, serta umat manusia dalam kenyataannya dewasa ini.

Namun demikian, walaupun syura di dalam Islam membenarkan
keputusan pendapat mayoritas, tetapi menurut sementara pakar
ia tidaklah mutlak. Demikian Dr. Ahmad Kamal Abu Al-Majad,
seorang pakar Muslim Mesir kontemporer dalam bukunya Hiwar la
Muwayahah (Dialog Bukanlah Konfrontasi). Agaknya yang dimaksud
adalah bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasar
pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali
musyawarah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai
kesepakatan.

Ini karena syura dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang
memiliki sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki kepentingan
pribadi atau golongan, dan dilaksanakan sewajarnya agar
disepakati bersama. Sekalipun ada di antara mereka yang tidak
menerima keputusan, itu dapat menjadi indikasi adanya
sisi-sisi yang kurang berkenan di hati dan pikiran orang-orang
pilihan walaupun mereka minoritas, sehingga masih perlu
dibicarakan lebih lanjut agar mencapai mufakat (untuk
menemukan "madu" atau yang terbaik).

Ini merupakan salah satu perbedaan antara syura di dalam Islam
dengan demokrasi secara umum.

Memang, apabila pembicaraan berlarut tanpa menemukan mufakat,
dan tidak ada jalan lain kecuali memilih pandangan mayoritas,
saat itu dapat dikatakan bahwa kedua pandangan masing-masing
baik, tetapi yang satu jauh lebih baik. Di dalam kaidah agama
diajarkan apabila terdapat dua pilihan yang sama-sama baik,
pilihlah yang lebih banyak sisi baiknya, dan jika keduanya
buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya.

Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan, terdapat juga
perbedaan. Walaupun keduanya --syura dan demokrasi--
menetapkan bahwa pimpinan diangkat melalui kontrak sosial,
namun syura di dalam Islam mengaitkannya dengan "Perjanjian
Ilahi". Ini diisyaratkan oleh Al-Quran dalam firman-Nya ketika
mengaangkat Nabi Ibrahim a.s. sebagai imam

Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
Imam (pemimpin) bagi manusia." Ibrahim berkata, "Saya
bermohon agar pengangkatan ini dianugerahkan juga
kepada sebagian keturunanku." Dia (Allah) berfirman,
"Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim"
(QS Al-Baqarah [2]: 124)

Dari sini lahir perbedaan ketiga, yaitu bahwa dalam demokrasi
sekular persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi
dalam syura yang diajarkan Islam, tidak dibenarkan untuk
memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya
dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan
menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran
Ilahi.

***

Demikian sekilas mengenai wawasan musyawarah di dalam
Al-Quran. Agaknya dapat disimpulkan, bahwa musyawarah
diperintahkan oleh Al-Quran, serta dinilai sebagai salah satu
prinsip hukum dan politik untuk umat manusia.

Namun demikian, Al-Quran tidak merinci atau meletakkan pola
dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat
disimpulkan dari teks-teks Al-Quran hanyalah bahwa Islam
menuntut adanya keterlibatan masyarakat di dalam urusan yang
berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola, dan
caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena
satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan
masyarakat tertentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari
suatu masa ke masa yang lain.

Sikap Al-Quran seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap
masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan
kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya.

Mengikat diri atau masyarakat kita dengan fatwa ulama dan
pakar-pakar masa lampau, bahkan pendapat para sahabat Nabi
Saw. dalam persoalan syura, atau pandangan dan pengalaman
masyarakat lain, serta membatasi diri dengan istilah dan
pengertian tertentu, bukanlah sesuatu yang tepat, baik
ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama.

Memang setiap masyarakat di setiap masa memiliki budaya dan
kondisi yang khas, sehingga wajar jika masing-masing mempunyai
pandangan dan jalan yang berbeda-beda. Hakikat ini agaknya
merupakan salah satu kandungan makna firman Allah.

Setiap umat (masyarakat) di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang (QS Al-Maidah [5]: 48).

Mahabenar Allah Yang Mahaagung dalam segala firman-Nya.[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

No comments: