BERAPA KALI MENJENGUK ORANG SAKIT? Apabila menjenguk orang sakit itu wajib atau sunnah bagi keluarganya, tetangganya, dan teman-temannya, maka sebaiknya berapa kalikah hal itu dilakukan? Dan berapa lama waktu menjenguk itu? Dalam hal ini, saya yakin bahwa hal itu diserahkan kepada kebiasaan, kondisi penjenguk, kondisi si sakit, dan seberapa jauhnya hubungan yang bersangkutan dengan si sakit. Orang yang lama jatuh sakit, maka dia dijenguk dari waktu ke waktu, dalam hal ini tidak terdapat batas waktu yang tertentu. Sebagian ulama mengatakan, "Hendaknya menjenguk orang sakit itu dilakukan secara berkala, jangan setiap hari, kecuali bagi yang sudah terbiasa." Sebagian lagi mengatakan, "Seminggu sekali." Imam Nawawi mengomentari hal ini sebagai berikut: "Ini bagi orang lain. Adapun bagi kerabat si sakit atau teman-temannya dan lainnya, yang kedatangannya menenangkan dan menggembirakan hati si sakit, atau menjadikan si sakit rindu kepadanya jika tidak melihatnya setiap hari, maka hendaklah orang itu selalu menjenguknya asalkan tidak dilarang, atau ia tahu bahwa si sakit sudah tidak menyukai hal itu. Selain itu, tidak disukai duduk berlama-lama ketika menjenguk orang sakit, karena hal demikian dapat menyebabkan si sakit merasa jenuh, merasa repot, dan merasa kurang bebas untuk berbuat sesuatu."25 Namun begitu, hal ini tidak berlaku bagi setiap pengunjung, karena ada kalanya si sakit menyukai orang-orang tertentu untuk berlama-lama berada di sisinya --khususnya bagi orang yang telah lama sakit-- dan kunjungan orang tersebut menyenangkan dan meringankannya, apalagi jika si sakit itu sendiri yang memintanya. Al-Hafizh berkata, "Adab menjenguk orang sakit ada sepuluh, di antaranya ada yang tidak khusus untuk menjenguk orang sakit; 1. Jangan meminta izin masuk dari depan pintu (tengah-tengah). 2. Jangan mengetuk pintu terlalu pelan. 3. Jangan menyebutkan identitas diri secara tidak jelas, misalnya dengan mengatakan "saya," tanpa menyebut namanya. 4. Jangan berkunjung pada waktu yang tidak layak untuk berkunjung, seperti pada waktu si sakit minum obat, atau waktu mengganti pembalut luka, waktu tidur, atau waktu istirahat. 5. Jangan terlalu lama (kecuali bagi orang yang mempunyai hubungan khusus dengan si sakit seperti yang saya sebutkan di atas). 6. Menundukkan pandangan (apabila di tempat itu terdapat wanita yang bukan mahramnya). 7. Jangan banyak bertanya, dan hendaklah menampakkan rasa belas kasihan. 8. Mendoakannya dengan ikhlas. 9. Menimbulkan optimisme kepada si sakit. 10. Menganjurkannya berlaku sabar, karena sabar itu besar pahalanya, dan melarangnya berkeluh kesah, karena berkeluh-kesah itu dosa."26 Sebagian adab-adab tersebut akan dijelaskan lebih lanjut. Cara menjenguk orang sakit yang jauh tempatnya --yang memang mempunyai hak untuk dijenguk-- ialah dengan menanyakan keadaannya melalui telepon, bagi orang yang punya pesawat telepon, maupun lewat telegram atau surat. Lebih-lebih jika si sakit baru saja menjalani operasi dengan selamat. Saya masih ingat ketika saya ditakdirkan menjalani operasi tulang- rawan di Bonn, Jerman, pada musim panas tahun 1985, dan ketika saya melewati masa perawatan sebagaimana biasanya, betapa telepon selalu berdering dari saudara-saudara di Dauhah, Kairo, Eropa, dan Amerika, yang menanyakan keadaan saya dan mendoakan saya. Hal ini ternyata mempunyai pengaruh yang baik dalam hati saya, meringankan penderitaan, dan mempercepat kesembuhan.
MENDOAKAN SI SAKIT Cara seorang muslim menjenguk saudaranya yang sakit berbeda dengan cara yang dilakukan orang lain (selain Islam), karena disertai dengan jampi dan doa. Maka diantara sunnahnya ialah si penjenguk mendoakan si sakit dan menjampinya (membacakan bacaan-bacaan tertentu) yang ada riwayatnya dari Rasulullah saw.. Imam Bukhari menulis "Bab Du'a al-'Aa'id lil-Maridh" (Bab Doa Pengunjung untuk Orang Sakit), dan menyebutkan hadits Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila menjenguk orang sakit atau si sakit yang dibawa kepada beliau, beliau mengucapkan: "Hilangkanlah penyakit ini, wahai Tuhan bagi manusia, sembuhkanlah, Engkau adalah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan selain kesembuhan-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit."27 Dan Nabi saw. pernah menjenguk Sa'ad bin Abi Waqash kemudian mendoakannya: "Ya Allah sembuhkanlah Sa'ad, dan sempurnakanlah hijrahnya."28 Ada suatu keanehan sebagaimana dikemukakan dalam al-Fath (Fathul-Bari), yaitu adanya sebagian orang yang menganggap musykil mendoakan kesembuhan si sakit. Mereka beralasan bahwa sakit dapat menghapuskan dosa dan mendatangkan pahala, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Maka terhadap kemusykilan ini al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan jawaban demikian, "Sesungguhnya doa itu adalah ibadah, dan tidaklah saling meniadakan antara pahala dan kafarat, sebab keduanya diperoleh pada permulaan sakit dan dengan sikap sabar terhadapnya. Adapun orangyang mendoakan akan mendapat dua macam kebaikan, yaitu mungkin berhasil apa yang dimaksud --atau diganti dengan mendapatkan kemanfaatan lain-- atau ditolaknya suatu bahaya, dan semua itu merupakan karunia Allah Ta'ala."29 Memang, seorang muslim harus bersabar ketika menderita sakit atau ditimpa musibah, tetapi hendaklah ia meminta keselamatan kepada Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Janganlah kamu mengharapkan bertemu musuh, dan mintalah keselamatan kepada Allah. Tetapi apabila kamu bertemu musuh, maka bersabarlah, dan ketahuilah bahwasanya surga itu di bawah bayang-bayang pedang."30 Di dalam hadits lain beliau bersabda: "Mintalah ampunan dan keselamatan kepada Allah, sebab tidaklah seseorang diberi sesuatu setelah keyakinan, yang lebih baik daripada keselamatan."31 Juga dalam hadits Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. bersabda: "Perbanyaklah berdoa memohon keselamatan."32 Salah satu doa beliau saw. adalah: "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu penjagaan dari yang terlarang dan keselamatan dalam urusan dunia dan agamaku, keluarga dan hartaku."33 Di antara doa yang ma'tsur lainnya ialah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: "Apabila seseorang menjenguk orang sakit, maka hendaklah ia mendoakannya dengan mengucapkan, "Ya Allah, sembuhkanlah hamba-Mu, agar dia dapat membunuh musuh-Mu, atau berjalan kepada-Mu untuk melakukan shalat."34 Artinya, dalam kesembuhan orang mukmin itu terdapat kebaikan untuk dirinya dengan dapatnya ia melaksanakan shalat, atau kebaikan untuk umatnya karena mampu menunaikan jihad. Sedangkan yang dimaksud dengan "musuh" di sini mungkin orang-orang kafir yang memerangi umat Islam, atau iblis dan tentaranya. Maka dengan kesehatannya seorang muslim dapat menumpas mereka dengan serangan-serangannya, dan dapat mematahkan argumentasi mereka dengan hujjah yang dapat dipercaya.35 Selain itu, ada lagi hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: "Barangsiapa yang menjenguk orang sakit yang belum tiba ajalnya, lalu ia mengucapkan doa ini disampingnya sebanyak tujuh kali: (Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung Tuhan bagõ 'arsy yang agung, semoga la berkenan menyembuhkanmu), niscaya Allah akan menyembuhkannya dari penyakit tersebut."36
MENGUATKAN HARAPAN SEMBUH KETIKA SAKIT Apabila seorang muslim menjenguk saudaranya yang sakit, sebaiknya ia memberikan nasihat agar dapat menumbuhkan perasaan optimisme dan harapan akan sembuh. Selain itu, seyogianya ia memberikan pengertian bahwa seorang mukmin tidak boleh berputus asa dan berputus harapan terhadap rahmat Allah dan kasih sayang-Nya karena Dzat yang telah menghilangkan penyakit Nabi Ayub dan mengembalikan penglihatan Nabi Ya'qub pasti berkuasa menghilangkan penyakitnya dan mengembalikan kesehatannya, kemudian Dia mengganti penyakit dengan kesehatan dan kelemahan dengan kekuatan. Tidak baik menyebut-nyebut orang yang sakit yang telah meninggal dunia di hadapan orang sakit yang dijenguknya. Sebaliknya, sebutlah orang-orang yang telah sehat kembali setelah menderita sakit yang lama, atau setelah menjalani operasi yang membahayakan. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan jiwanya, dan merupakan bagian dari cara pengobatan menurut dokter-dokter ahli pada zaman dulu dan sekarang, sebab antara jiwa dan tubuh tidak dapat dipisahkan, kecuali dalam pembahasan secara teoretis atau filosofis. Karena itulah Nabi saw. apabila menjenguk orang sakit, beliau mengatakan "tidak apa-apa, bersih (sembuh) insya Allah," sebagaimana disebutkan dalam kitab sahih. Adapun makna perkataan laa ba'sa (tidak apa-apa) ialah 'tidak berat' dan 'tidak mengkhawatirkan.' Ucapan ini untuk menimbulkan optimisme sekaligus doa semoga hilang penyakit dan penderitaannya, serta kembali kepadanya kesehatannya --disamping itu dapat menyucikan dan menghapuskan dosa-dosanya. Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Abu Sa'id al-Khudri secara marfu': "Apabila kamu menjenguk orang sakit, maka hendaklah kamu beri harapan akan panjang umur. Karena yang demikian itu meskipun tidak dapat menolak takdir sedikit pun, tetapi dapat menyenangkan hatinya."37 Maksud perkataan naffisuu lahu (berilah harapan kepadanya) yakni berilah harapan kepadanya untuk hidup dan berumur panjang, seperti mengucapkan perkataan kepadanya, "insya Allah engkau akan sehat kembali," "selamat sejahtera," "Allah akan memberikan kamu umur panjang dan aktivitas yang bagus," dan ungkapan lainnya. Karena ucapan-ucapan seperti itu dapat melapangkan hatinya dari kesedihan yang menimpanya dan sekaligus dapat menenangkannya. Imam Nawawi berkata, "Itulah makna perkataan Nabi saw. kepada orang Arab Badui: 'Tidak apa-apa.'"38 Disamping itu, diantara hal yang dapat menghilangkan kepedihan si sakit dan menyenangkan hatinya ialah menaruh tangan ke badannya atau ke bagian tubuhnya yang sakit dengan mendoakannya, khususnya oleh orang yang dianggap ahli kebaikan dan kebajikan, sebagaimana yang dilakukan Nabi saw. terhadap Sa'ad bin Abi Waqqash. Beliau pernah mengusap wajah dan perut Sa'ad sambil mendoakan kesembuhan untuknya. Sa'ad berkata, "Maka aku selalu merasakan dinginnya tangan beliau di jantung saya, menurut perasaan saya, hingga saat ini." (HR Bukhari). Sementara itu, terhadap orang sakit yang kondisinya sudah tidak dapat diharapkan sembuh, --menurut sunnatullah-- maka hendaklah si pengunjung memohon kepada Allah agar Dia memberikan kasih sayang dan kelemahlembutan kepadanya, meringankan penderitaannya, dan memilihkan kebaikan untuknya. Tetapi hal itu hendaknya diucapkan dalam hati saja, jangan sampai diperdengarkan kepada si sakit agar tidak mempengaruhi pikiran dan perasaannya.
MENJAMPI SI SAKIT DAN SYARAT-SYARATNYA Diantara hal yang berdekatan dengan bab ini ialah jampi-jampi syar'iyah yang bersih dari syirik, terutama yang diriwayatkan dari Rasulullah saw., dan khususnya jika dilakukan oleh orang muslim yang saleh. Imam Muslim meriwayatkan dari Auf bin Malik, ia berkata: "Kami menggunakan jampi-jampi pada zaman jahiliah, lalu kami tanyakan, Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu mengenai hal itu?' Beliau menjawab, 'Tunjukkanlah kepadaku jampi-jampimu itu. Tidak mengapa menggunakan jampi-jampi, asalkan tidak mengandung kesyirikan.'"39 Imam Muslim juga meriwayatkan dari Jabir, katanya: "Rasulullah saw. pernah melarang jampi-jampi Kemudian datanglah keluarga Amr bin Hazm seraya berkata, 'Wahai Rasulullah, kami mempunyai jampi-jampi yang biasa kami pergunakan kalau disengat kala.' Jabir berkata, 'Lalu mereka menunjukkannya kepada Rasulullah.' Kemudian beliau bersabda, 'Saya lihat tidak apa-apa, barangsiapa yang dapat memberikan manfaat kepada saudaranya maka hendaklah ia memberikan manfaat kepadanya.'"40 Al-Hafizh berkata, "Suatu kaum berpegang pada keumuman ini, maka mereka memperbolehkan semua jampi-jampi yang telah dicoba kegunaannya, meskipun tidak masuk akal maknanya. Tetapi hadits Auf itu menunjukkan bahwa jampi-jampi yang mengandung kesyirikan dilarang. Dan jampi-jampi yang tidak dimengerti maknanya yang tidak ada jaminan keamanan dari syirik juga terlarang, sebagai sikap kehati-hatian, disamping harus memenuhi persyaratan lainnya."41 Kebolehan menggunakan jampi-jampi ini sudah ada dasarnya dari sunnah qauliyah (sabda Nabi saw.), sunnah fi'liyah (perbuatan beliau), dan sunnah taqririyah (pengakuan atau pembenaran beliau terhadap jampi-jampi yang dilakukan orang lain). Bahkan Nabi saw. sendiri pernah menjampi beberapa orang sahabat, dan beliau pernah dijampi oleh Malaikat libril a.s.. Beliau juga menyuruh sebagian sahabat agar menggunakan jampi-jampi, dan menasihati sebagian sanak keluarganya dengannya. Dan beliau membenarkan sahabat-sahabat beliau yang menggunakan jampi-jampi. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. apabila ada seseorang yang mengeluhkan sesuatu kepada beliau, atau terluka, maka beliau berbuat demikian dengan tangan beliau. Lalu Sufyan --yang meriwayatkan hadits-- meletakkan jari telunjuknya ke tanah, kemudian mengangkatnya kembali seraya mengucapkan: "Dengan menyebut nama Allah, debu bumi kami, dengan ludah sebagian kami, disembuhkan dengannya orang sakit dari kami dengan izin Tuhan kami."42 Dari keterangan hadits ini dapat kita ketahui bahwa beliau mengambil ludah beliau sedikit dengan jari telunjuk beliau, lalu ditaruh di atas tanah (debu), dan debu yang melekat di jari tersebut beliau usapkan di tempat yang sakit atau luka, dan beliau ucapkan perkataan tersebut (jampi) pada waktu mengusap. Diriwayatkan juga dari Aisyah, dia berkata, "Adalah Rasulullah saw. apabila beliau jatuh sakit, Malaikat Jibril menjampi beliau."43 Juga dari Abu Sa'id bahwa Malaikat Jibril pernah datang kepada Nabi saw. dan bertanya, "Wahai Muhammad, apakah Anda sakit?" Beliau menjawab, "Ya." Lantas Jibril mengucapkan: "Dengan menyebut nama Allah, saya jampi engkau dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kejahatan semua jiwa atau mata pendengki. Allah menyembuhkan engkau. Dengan menyebut narna Allah saya menjarnpi engkau."44 Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi saw. apabila sakit membaca dua surat al-Mu'awwidzat (Qul A'uudzu bi Rabbil-Falaq dan Qul A'uudzu bi Rabbin-Naas) untuk diri beliau sendiri dan beliau meniup dengan lembut tanpa mengeluarkan ludah. Dan ketika sakit beliau berat, aku (Aisyah) yang membacakan atas beliau dan aku usapkannya dengan tangan beliau, karena mengharapkan berkahnya.45 Diriwayatkan dari Aisyah juga bahwa Rasulullah saw. pernah menyuruhnya meminta jampi karena sakti mata.46 Juga diriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw. pernah bertanya kepada Asma' binti Umais: "Mengapa saya lihat tubuh anak-anak saudaraku kurus-kurus, apakah mereka ditimpa kebutuhan?" Asma' menjawab, 'Tidak tetapi penyakit 'ain yang menimpa mereka.' Nabi bersabda, 'Jampilah mereka.' Asma' berkata, 'Lalu saya menolak.' Kemudian beliau bersabda, "Jampilah mereka."47 Disamping itu, pernah salah seorang sahabat menjampi pemuka suatu kaum --ketika mereka sedang bepergian dengan surat al-Fatihah, lalu pemuka kaum itu memberinya seekor kambing potong, tetapi sahabat itu tidak mau menerimanya sebelum menanyakannya kepada Nabi saw.. Lalu ia datang kepada Nabi saw. dan menginformasikan hal itu kepada beliau seraya berkata, "Demi Allah, saya tidak menjampinya kecuali dengan surat al-Fatihah." Lalu Nabi saw. bersabda, "Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah saya sebagian untuk saya makan bersama kamu."48
MENYURUH SI SAKIT BERBUAT MA'RUF DAN MENCEGAHNYA DARI YANG MUNGKAR Sudah selayaknya bagi seorang yang menjenguk saudaranya sesama muslim yang sakit untuk memberinya nasihat dengan jujur, menyuruhnya berbuat ma'ruf dan mencegahnya dari kemunkaran, karena ad-Din itu adalah nasihat, dan amar ma'ruf nahi munkar merupakan suatu kewajiban, sedangkan sakitnya seorang muslim tidak membebaskannya dari menerima perkataan yang baik dan nasihat yang tulus. Dan semua yang dituntut itu hendaklah dilakukan oleh si pemberi nasihat dengan memperhatikan kondisinya, yaitu hendaklah dilakukan dengan lemah lembut dan jangan memberatkan, karena Allah Ta'ala menyukai kelemahlembutan dalam segala hal dan terhadap semua manusia, lebih-lebih terhadap orang sakit. Dan tidaklah kelemahlembutan itu memasuki sesuatu melainkan menjadikannya indah, dan tidaklah ia dilepaskan dari sesuatu melainkan akan menjadikannya buruk. Kelemahlembutan semakin ditekankan apabila si sakit tidak mengerti terhadap kebajikan yang ditinggalkannya atau kemunkaran yang dilakukannya, seperti terhadap kebanyakan putra kaum muslim yang tidak mengerti keunggulan Islam. Oleh sebab itu, seseorang yang menjenguk orang sakit yang kebetulan tidak mau melaksanakan shalat karena malas atau karena tidak mengerti, yang mengira tidak dapat menunaikan shalat, karena tidak dapat berwudhu, atau karena tidak dapat berdiri, ruku', sujud, atau tidak dapat menghadap ke arah kiblat, atau lainnya, maka wajiblah si pengunjung mengingatkannya. Dia harus menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan oleh orang yang sakit sebagaimana diwajibkan atas orang yang sehat, dan kewajibannya itu tidak gugur melainkan bagi orang yang hilang kesadarannya. Dijelaskan juga bahwa orang sakit yang tidak dapat berwudhu boleh melakukan tayamum dengan tanah jenis apa pun, dan boleh dibantu dengan diambilkan pasir/tanah yang bersih yang ditempatkan di dalam kaleng atau tempat lainnya, juga bisa dengan batu atau lantai tergantung mazhab yang memandang hal itu sebagai permukaan bumi yang bersih. Begitu pula si sakit, ia boleh melaksanakan shalat dengan cara bagaimanapun yang dapat ia lakukan, dengan duduk kalau ia tidak mampu berdiri, atau dengan berbaring di atas lambungnya, atau telentang di atas punggungnya (yakni punggungnya di bawah), jika ia tidak dapat duduk, dan cukup dengan berisyarat. Nabi saw. bersabda kepada Imran bin Hushain: "Shalatlah engkau dengan berdiri. Jika tidak dapat, maka hendaklah dengan duduk; dan jika tidak dapat (dengan duduk) maka hendaklah dengan berbaring."49 Demikian pula jika ia tidak dapat menghadap kiblat, maka gugurlah kewajiban menghadap kiblat itu, dan boleh ia menghadap ke arah mana saja. Maka, setiap syarat shalat yang tidak dapat ditunaikan menjadi gugur, dan Allah telah berfirman: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah ..." (al-Baqarah: 115) Apabila tampak si sakit merasa kesal terhadap penyakitnya atau merasa sempit dada karenanya, maka hendaklah ia diingatkan akan besarnya pahala bagi si sakit di sisi Allah. Selain itu, sebaiknya diingatkan bahwa Allah hendak menyucikannya dari dosa-dosanya dengan penyakit tersebut, dan bahwa orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang dibawahnya, kemudian yang dibawahnya lagi, dan ujian itu akan senantiasa menimpa seseorang sehingga ia hidup di muka bumi dengan tidak menanggung suatu dosa, sebagaimana dinyatakan dalam beberapa hadits sahih. Maka apabila didapati sesuatu yang dilarang syara' pada si sakit, hendaklah ia dilarang dengan lemah lembut dan bijaksana, dan dikemukakannya kepadanya dalil-dalil syara' yang dapat menghilangkan ketidaktahuan dan kelalaiannya. Cara yang dilakukan tidak boleh kasar dan terkesan menyombonginya, khususnya mengenai bencana yang banyak melanda masyarakat, misalnya mereka yang menggantungkan jimat-jimat dan sebagainya. Disini, hendaklah ia memberitahukannya tentang ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. yang menuntunnya kepada kebenaran dan membimbingnya ke jalan yang benar, seperti sabda Nabi saw.: "Barangsiapa yang menggantungkan jimat-jimat, maka sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan syirik." (HR Ahmad dan Hakim dari Uqbah bin Amir)50 Selain itu, tidak boleh ia (si penjenguk) mengingkari sesuatu terhadap si sakit kecuali apa yang telah disepakati oleh para ulama akan kemunkarannya. Adapun hal-hal yang masih diperselisihkan oleh para ahli ilmu yang tepercaya, antara yang memperbolehkan dan yang melarang, maka dalam hal ini terdapat kelonggaran bagi orang yang mengambil salah satu dari kedua pendapat itu, baik ia memilih melalui ijtihadnya atau sekedar ikut-ikutan. Dan jangan sampai diperdebatkan seputar pendapat ini mana yang lebih tepat atau yang lebih kuat, karena kondisi sakit tidak mentolerir hal tersebut, kecuali jika si sakit menanyakannya atau memang menyukai yang demikian. Misalnya tentang hukum menggantungkan jimat yang terdiri dari ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits syarif, atau berisi dzikir kepada Allah, sanjungan kepada-Nya, dan doa kepada-Nya. Karena masalah ini masih diperselisihkan antara orang yang memperbolehkannya dan yang menganggapnya makruh. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr, ia berkata, "Rasulullah saw. mengajari kami beberapa kalimat yang kami ucapkan apabila terkejut pada waktu tidur: "Dengan nama Allah, aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dan kemurkaan dan siksa-Nya, dan kejahatan hamba-hamba-Nya, dan gangguan setan, dan dan kehadiran setan." Maka Abdullah mengajarkan kalimat ini kepada anaknya yang sudah balig untuk mengucapkannya ketika hendak tidur, sedangkan terhadap anaknya yang masih kecil dan belum mengerti atau belum dapat menghafalkannya, kalimat itu ditulisnya kemudian digantungkan di lehernya.51 Akan tetapi, Ibrahim an-Nakhati berkata, "Mereka memakruhkan semua macam jimat, baik dari Al-Qur'an maupun bukan." Yang dimaksud dengan "mereka" disini adalah sahabat-sahabat Ibnu Mas'ud seperti al-Aswad, 'Alqamah, Masruq, dan lain-lainnya. Sedangkan makna "makruh" disini adalah "di awah haram." Tidak mengapa diingatkan kepada si sakit dengan lemah lembut bahwa yang lebih utama dan lebih hati-hati adalah meninggalkan semua macam jimat, mengingat keumuman larangannya, dan untuk menutup jalan kepada yang terlarang (saddan lidz-dzari'ah, usaha preventif), juga karena khawatir dia membawanya masuk ke kakus (WC) dan sebagainya. Hanya saja janganlah ia bersikap keras dalam masalah ini, karena masih diperselisihkan hukumnya di kalangan ulama.
MENDONORKAN DARAH UNTUK SI SAKIT Diantara hal paling utama yang diberikan oleh keluarga atau sahabat kepada si sakit ialah mendonorkan darah untuknya bila diperlukan ketika ia menjalani operasi, atau untuk membantu dan mengganti darah yang dikeluarkannya. Ini merupakan pengorbanan yang paling besar dan sedekah yang paling utama, sebab memberikan darah pada saat seperti itu kedudukannya sama dengan menyelamatkan hidupnya, dan Al-Qur'an telah menetapkan dalam menjelaskan nilai jiwa manusia: "... bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya ..." (al-Ma'idah: 32) Apabila bersedekah dengan harta memiliki kedudukan yang demikian tinggi dalam agama dan mendapatkan pahala yang demikian besar di sisi Allah --sehingga Allah Ta'ala menerimanya dengan tangan kanan-Nya dan melipatgandakannya hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan entah sampai berapa kali lipat menurut yang dikehendaki Allah-- maka mendermakan darah lebih tinggi kedudukannya dan lebih besar lagi pahalanya. Karena orang yang mendermakan darah menjadi sebab kehidupan, dan darah juga merupakan bagian dari manusia, sedangkan manusia jauh lebih mahal daripada harta. Selain itu, orang yang mendonorkan darahnya seakan-akan menyumbangkan sebagian wujud materiil dirinya kepada saudaranya karena cinta dan karena mengalah. Disisi lain, bentuk amal saleh yang memiliki nilai lebih tinggi lagi dari nilai tersebut ialah memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan dan menghilangkan kesusahan orang yang dilanda kesusahan. Ini merupakan kelebihan lain yang menambah pahala di sisi Allah Ta'ala. Dalam suatu hadits Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah mencintai perbuatan memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan." (HR Abu Ya la, ad-Dailami, dan Ibnu Asakir dari Anas)52 Di dalam kitab sahih juga diriwayatkan hadits Rasulullah saw. yang berbunyi: "Barangsiapa yang menghilangkan dari seorang muslim suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan menghilangkan dari orang itu suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar)53 Bahkan terdapat hadits sahih dari Rasulullah saw. bahwa menolong binatang yang membutuhkan makanan atau minuman itu juga mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang menceritakan tentang seseorang yang memberi minum anjing yang tengah kehausan. Anjing itu ia dapatkan menjulur-julurkan lidahnya menjilati tanah karena sangat kehausan, maka orang itu mengambil air ke sumur dengan sepatunya dan digigitnya sepatu itu dengan giginya kemudian diminumkannya kepada anjing tersebut hingga puas. Nabi saw. bersabda, "Maka Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuni dosanya." Lalu para sahabat bertanya keheranan, "Wahai Rasulullah, apakah kami mendapatkan pahala dalam menolong binatang?" Beliau menjawab: "Benar, (berbuat baik) kepada tiap-tiap (sesuatu yang memiliki) jantung yang basah (makhluk hidup) itu berpahala." (HR Muttafaq 'alaih dari Abu Hurairah)54 Tampaknya para sahabat beranggapan bahwa berbuat baik kepada makhluk (binatang) ini tidak mendapatkan pahala di sisi Allah dan bahwa ad-Din tidak memperhatikannya. Maka Rasulullah saw. menjelaskan kepada mereka bahwa berbuat baik kepada makhluk hidup yang mana pun akan mendapatkan pahala, meskipun berupa binatang semisal anjing. Maka bagaimana lagi berbuat baik kepada manusia? Betapa lagi terhadap manusia yang beriman? Mendermakan darah itu mendapatkan pahala yang besar secara umum, dan bersedekah kepada kerabat akan dilipatgandakan pahalanya secara khusus, karena yang demikian itu akan memperkuat hubungan kekerabatan dan memperkokoh jalinan kekeluargaan. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda: "Bersedekah kepada orang miskin itu mendapatkan pahala satu sedekah; sedang kepada keluarga itu mendapatkan dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala menyambung kekeluargaan." (HR Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Hakim dari Salman bin Amir)55 Pahala menyumbangkan darah ini lebih berlipat ganda apabila pada asalnya hubungan antara penyumbang dan si sakit tidak harmonis, mengikuti bujukan setan yang menyalakan api permusuhan dan pertentangan di antara mereka. Apabila salah seorang dari mereka berhasil mengalahkan nafsunya dan setannya, lalu menyingkirkan dan membuang sikap yang tercela menurut pandangan Allah dan pandangan manusia ini, lantas ia menyumbangkan harta atau darahnya kepada kerabat yang membutuhkannya (yang sebelumnya bermusuhan dengannya), maka tindakan demikian oleh Rasulullah saw. dinilai sebagai sedekah yang paling utama bila dinisbatkan kepada siapa yang diberi sedekah. Beliau bersabda: "Sedekah yang paling utama ialah kepada keluarga yang memusuhi (al-kaasyih)." (HR Ahmad dan Thabrani dari Abi Ayyub dan Hakim bin Hizam)56 Yang dimaksud dengan dzir-rahmi al-kaasyih (keluarga yang memusuhi) ialah yang menyembunyikan rasa permusuhan dalam hati, tidak terang-terangan, dan tidak cinta kepada kerabatnya.
MENDONORKAN DARAH UNTUK SI SAKIT Diantara hal paling utama yang diberikan oleh keluarga atau sahabat kepada si sakit ialah mendonorkan darah untuknya bila diperlukan ketika ia menjalani operasi, atau untuk membantu dan mengganti darah yang dikeluarkannya. Ini merupakan pengorbanan yang paling besar dan sedekah yang paling utama, sebab memberikan darah pada saat seperti itu kedudukannya sama dengan menyelamatkan hidupnya, dan Al-Qur'an telah menetapkan dalam menjelaskan nilai jiwa manusia: "... bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya ..." (al-Ma'idah: 32) Apabila bersedekah dengan harta memiliki kedudukan yang demikian tinggi dalam agama dan mendapatkan pahala yang demikian besar di sisi Allah --sehingga Allah Ta'ala menerimanya dengan tangan kanan-Nya dan melipatgandakannya hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan entah sampai berapa kali lipat menurut yang dikehendaki Allah-- maka mendermakan darah lebih tinggi kedudukannya dan lebih besar lagi pahalanya. Karena orang yang mendermakan darah menjadi sebab kehidupan, dan darah juga merupakan bagian dari manusia, sedangkan manusia jauh lebih mahal daripada harta. Selain itu, orang yang mendonorkan darahnya seakan-akan menyumbangkan sebagian wujud materiil dirinya kepada saudaranya karena cinta dan karena mengalah. Disisi lain, bentuk amal saleh yang memiliki nilai lebih tinggi lagi dari nilai tersebut ialah memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan dan menghilangkan kesusahan orang yang dilanda kesusahan. Ini merupakan kelebihan lain yang menambah pahala di sisi Allah Ta'ala. Dalam suatu hadits Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah mencintai perbuatan memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan." (HR Abu Ya la, ad-Dailami, dan Ibnu Asakir dari Anas)52 Di dalam kitab sahih juga diriwayatkan hadits Rasulullah saw. yang berbunyi: "Barangsiapa yang menghilangkan dari seorang muslim suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan menghilangkan dari orang itu suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar)53 Bahkan terdapat hadits sahih dari Rasulullah saw. bahwa menolong binatang yang membutuhkan makanan atau minuman itu juga mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang menceritakan tentang seseorang yang memberi minum anjing yang tengah kehausan. Anjing itu ia dapatkan menjulur-julurkan lidahnya menjilati tanah karena sangat kehausan, maka orang itu mengambil air ke sumur dengan sepatunya dan digigitnya sepatu itu dengan giginya kemudian diminumkannya kepada anjing tersebut hingga puas. Nabi saw. bersabda, "Maka Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuni dosanya." Lalu para sahabat bertanya keheranan, "Wahai Rasulullah, apakah kami mendapatkan pahala dalam menolong binatang?" Beliau menjawab: "Benar, (berbuat baik) kepada tiap-tiap (sesuatu yang memiliki) jantung yang basah (makhluk hidup) itu berpahala." (HR Muttafaq 'alaih dari Abu Hurairah)54 Tampaknya para sahabat beranggapan bahwa berbuat baik kepada makhluk (binatang) ini tidak mendapatkan pahala di sisi Allah dan bahwa ad-Din tidak memperhatikannya. Maka Rasulullah saw. menjelaskan kepada mereka bahwa berbuat baik kepada makhluk hidup yang mana pun akan mendapatkan pahala, meskipun berupa binatang semisal anjing. Maka bagaimana lagi berbuat baik kepada manusia? Betapa lagi terhadap manusia yang beriman? Mendermakan darah itu mendapatkan pahala yang besar secara umum, dan bersedekah kepada kerabat akan dilipatgandakan pahalanya secara khusus, karena yang demikian itu akan memperkuat hubungan kekerabatan dan memperkokoh jalinan kekeluargaan. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda: "Bersedekah kepada orang miskin itu mendapatkan pahala satu sedekah; sedang kepada keluarga itu mendapatkan dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala menyambung kekeluargaan." (HR Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Hakim dari Salman bin Amir)55 Pahala menyumbangkan darah ini lebih berlipat ganda apabila pada asalnya hubungan antara penyumbang dan si sakit tidak harmonis, mengikuti bujukan setan yang menyalakan api permusuhan dan pertentangan di antara mereka. Apabila salah seorang dari mereka berhasil mengalahkan nafsunya dan setannya, lalu menyingkirkan dan membuang sikap yang tercela menurut pandangan Allah dan pandangan manusia ini, lantas ia menyumbangkan harta atau darahnya kepada kerabat yang membutuhkannya (yang sebelumnya bermusuhan dengannya), maka tindakan demikian oleh Rasulullah saw. dinilai sebagai sedekah yang paling utama bila dinisbatkan kepada siapa yang diberi sedekah. Beliau bersabda: "Sedekah yang paling utama ialah kepada keluarga yang memusuhi (al-kaasyih)." (HR Ahmad dan Thabrani dari Abi Ayyub dan Hakim bin Hizam)56 Yang dimaksud dengan dzir-rahmi al-kaasyih (keluarga yang memusuhi) ialah yang menyembunyikan rasa permusuhan dalam hati, tidak terang-terangan, dan tidak cinta kepada kerabatnya.
KEUTAMAAN KESABARAN KELUARGA SI SAKIT Keluarga si sakit wajib bersabar terhadap si sakit, jangan merasa sesak dada karenanya atau merasa bosan, lebih-lebih bila penyakitnya itu lama. Karena akan terasa lebih pedih dan lebih sakit dari penyakit itu sendiri jika si sakit merasa menjadi beban bagi keluarganya, lebih-lebih jika keluarga itu mengharapkan dia segera dipanggil ke rahmat Allah. Hal ini dapat dilihat dari raut wajah mereka, dari cahaya pandangan mereka, dan dari gaya bicara mereka. Apabila kesabaran si sakit atas penyakit yang dideritanya akan mendapatkan pahala yang sangat besar --sebagaimana diterangkan dalam beberapa hadits sahih-- maka kesabaran keluarga dan kerabatnya dalam merawat dan mengusahakan kesembuhannya tidak kalah besar pahalanya. Bahkan kadang-kadang melebihinya, karena kesabaran si sakit menyerupai kesabaran yang terpaksa, sedangkan kesabaran keluarganya merupakan kesabaran yang diikhtiarkan (diusahakan). Maksudnya, kesabaran si sakit merupakan kesabaran karena ditimpa cobaan, sedangkan kesabaran keluarganya merupakan kesabaran untuk berbuat baik. Diantara orang yang paling wajib bersabar apabila keluarganya ditimpa sakit ialah suami atas istrinya, atau istri atas suaminya. Karena pada hakikatnya kehidupan adalah bunga dan duri, hembusan angin sepoi dan angin panas, kelezatan dan penderitaan, sehat dan sakit, perputaran dari satu kondisi ke kondisi lain. Oleh sebab itu, janganlah orang yang beragama dan berakhlak hanya mau menikmati istrinya ketika ia sehat tetapi merasa jenuh ketika ia menderita sakit. Ia hanya mau memakan dagingnya untuk membuang tulangnya, menghisap sarinya ketika masih muda lalu membuang kulitnya ketika lemah dan layu. Sikap seperti ini bukan sikap setia tidak termasuk mempergauli istri dengan baik, bukan akhlak lelaki yang bertanggung jawab, dan bukan perangai orang beriman. Demikian juga wanita, ia tidak boleh hanya mau hidup bersenang-senang bersama suaminya ketika masih muda dan perkasa, sehat dan kuat, tetapi merasa sempit dadanya ketika suami jatuh sakit dan lemah. Ia melupakan bahwa kehidupan rumah tangga yang utama ialah yang ditegakkan di atas sikap tolong-menolong dan bantu-membantu pada waktu manis dan ketika pahit, pada waktu selamat sejahtera dan ketika ditimpa cobaan. Seorang penyair Arab masa dulu pernah mengeluhkan sikap istrinya "Sulaima" ketika merasa bosan terhadapnya karena ia sakit, dan ketika si istri ditanya tentang keadaan suaminya dia menjawab, "Ia tidak hidup sehingga dapat diharapkan dan tidak pula mati sehingga patut dilupakan." Sementara ibu sang penyair sangat sayang kepadanya, berusaha untuk kesembuhannya, dan sangat mengharapkan kehidupannya. Lalu sang penyair itu bersenandung duka: "Kulihat Ummu Amr tidak bosan dan tidak sempit dada Sedang Sulaima jenuh kepada tempat tidurku dan tempat tinggalku Siapakah gerangan yang dapat menandingi bunda nan pengasih Maka tiada kehidupan kecuali dalam kekecewaan dan kehinaan Demi usiaku, kuingatkan kepada orang yang tidur Dan kuperdengarkan kepada orang yang punya telinga." Yang lebih wajib lagi daripada kesabaran suami-istri ketika teman hidupnya sakit ialah kesabaran anak laki-laki terhadap penyakit kedua orang tuanya. Sebab hak mereka adalah sesudah hak Allah Ta'ala, dan berbuat kebajikan atau berbakti kepada mereka termasuk pokok keutamaan yang diajarkan oleh seluruh risalah Ilahi. Karena itu Allah menyifati Nabi Yahya a.s. dengan firman-Nya: "Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka." (Maryam: 14) Allah menjadikannya --yang masih bayi dalam buaian itu-- berkata menyifati dirinya: "Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka." (Maryam: 32) Demikian juga dengan anak perempuan, bahkan dia lebih berhak memelihara dan merawat kedua orang tuanya, dan lebih mampu melaksanakannya karena Allah telah mengaruniainya rasa kasih dan sayang yang melimpah, yang tidak dapat ditandingi oleh anak laki-laki. Al-Qur'an sendiri menjadikan kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua ini dalam urutan setelah mentauhidkan Allah Ta'ala, sebagaimana difirmankan-Nya: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu bapak..." (an-Nisa': 36) "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya ..." (al-lsra': 23) Dalam ayat yang mulia ini Al-Qur'an mengingatkan tentang kondisi khusus atau pencapaian usia tertentu yang mengharuskan bakti dan perbuatan baik seorang anak kepada orang tuanya semakin kokoh. Yaitu, ketika keduanya telah lanjut usia, dan pada saat-saat seusia itu mereka amat sensitif terhadap setiap perkataan yang keluar dari anak-anak mereka, yang sering rasakan sebagai bentakan atau hardikan terhadap keberadaan mereka. Kata-kata yang mempunyai konotasi buruk inilah yang dilarang dengan tegas oleh Al-Qur~an: "... Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai ke umur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: 'Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.'" (al-Isra': 23-24) Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa beliau berkata, "Kalau Allah melihat ada kedurhakaan yang lebih rendah daripada perkataan 'uff (ah), niscaya diharamkan-Nya." Ungkapan Al-Qur'an "sampai ke usia lanjut dalam pemeliharaanmu" menunjukkan bahwa si anak bertanggung jawab atas kedua orang tuanya, dan mereka telah menjadi tanggungannya. Sedangkan bersabar terhadap keduanya --ketika kondisi mereka telah lemah atau tua-- merupakan pintu yang paling luas yang mengantarkannya ke surga dan ampunan; dan orang yang mengabaikan kesempatan ini berarti telah mengabaikan keuntungan yang besar dan merugi dengan kerugian yang nyata. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: "Merugi, merugi, dan merugi orang yang mendapat kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau kedua-duanya, lantas ia tidak masuk surga."57 (HR Ahmad dan Muslim)58 Juga diriwayatkan dalam hadits lain dari Ka'ab bin Ujrah dan lainnya bahwa Malaikat Jibril pembawa wahyu mendoakan buruk untuk orang yang menyia-nyiakan kesempatan ini, dan doa Jibril ini diaminkan oleh Nabi saw.59 Sedangkan yang sama kondisinya dengan usia lanjut ialah kondisi-kondisi sakit yang menjadikan manusia dalam keadaan lemah dan memerlukan perawatan orang lain, serta tidak mampu bertindak sendiri untuk menyelenggarakan keperluannya. Jika demikian sikap umum terhadap kedua orang tua, maka secara khusus ibu lebih berhak untuk dijaga dan dipelihara berdasarkan penegasan Al-Qur'an dan pesan Sunnah Rasul. Allah berfirman: "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan ..." (al-Ahqaf: 15) "Dan Kami perintahkan manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." (Luqman: 14) Imam Thabrani meriwayatkan dalam al-Mu'jamush-Shaghir dari Buraidah bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw., lalu ia berkata: "Wahai Rasululah, saya telah menggendong ibu saya di pundak saya sejauh dua farsakh melewati padang pasir yang amat panas, yang seandainya sepotong daging dilemparkan ke situ pasti masak maka apakah saya telah menunaikan syukur kepadanya?" Nabi menjawab, "Barangkali itu hanya seperti talak satu."60 Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab, "Ibuku sangat lemah dan tua renta sehingga tidak dapat memenuhi keperluannya kecuali punggungku ini telah menjadi hamparan tunggangannya --dia berbuat untuk ibunya seperti ibunya berbuat untuk dia dahulu-- maka apakah saya telah melunasi utang saya kepadanya?" Umar menjawab, "Sesungguhnya engkau berbuat begitu terhadap ibumu, tetapi engkau menantikan kematiannya esok atau esok lusa; sedangkan ibumu berbuat begitu terhadapmu justru mengharapkan engkau berusia panjang." Selain itu, tanggung jawab keluarga terhadap si sakit bertambah berat apabila ia tidak punya atau kehilangan kelayakan untuk berbuat sesuatu, misalnya anak kecil --apalagi belum sampai mumayiz-- atau seperti orang gila, yang masing-masing membutuhkan perawatan ekstra dan penanganan yang serius. Karena orang yang mumayiz dan berpikiran normal dapat meminta apa saja yang ia inginkan dapat menjelaskan apa yang ia butuhkan, dapat minta disegerakan kebutuhannya bila terlambat, dan dapat memuaskan orang yang mengobati atau merawatnya. Sedangkan anak kecil, orang gila, dan yang sejenisnya, maka tidak mungkin dapat melakukan hal demikian. Karena itu berlipatgandalah beban keluarganya. Dengan demikian, mereka harus benar-benar menyadari kondisi kesehatannya dan mengusahakan pengobatannya, sehingga terkadang harus membawanya ke dokter, memasukkannya ke rumah sakit, atau hal-hal lain yang tidak dapat dibatasi
PENDERITA SAKIT JIWA Diantara hal yang perlu diingatkan disini ialah yang berkenaan dengan penderita gangguan jiwa, karena dalam hal ini banyak orang --hingga keluarganya sendiri bahkan orang yang paling dekat dengannya-- melupakannya dan tidak memperhatikan hak-haknya, sebab mereka tidak melihat wujud penyakit ini pada organ tubuh. Maka mereka menganggapnya sebagai orang sehat, padahal anggapan demikian tidak benar. Oleh karena penyakitnya yang tidak tampak --sebab berkaitan dengan perasaan, pikiran, dan pandangannya terhadap manusia dan kehidupan-- maka ia harus dipergauli secara baik. Ia harus disikapi dengan lemah lembut dalam berbicara dan menilai sesuatu, dan diperlakukan dengan kasih sayang. BIAYA PENGOBATAN SI SAKIT Diantara hak terpenting bagi si sakit yang harus ditunaikan oleh keluarga dan kerabatnya --yang memiliki kemampuan dan kelapangan untuk itu-- ialah menanggung biaya pengobatannya jika si sakit tidak mempunyai harta. Misalnya memeriksakan si sakit kedokter spesialis, membeli obat, biaya opname di rumah sakit, biaya operasi, dan sebagainya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan, tanpa israf (berlebih-lebihan) dan tanpa bersikap kikir. Allah berfirman: "... Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula) ..." (al-Baqarah: 236) "... Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya ..." (ath-Thalaq: 7) Namun, hal ini tidak menjadi keharusan bagi setiap jenis penyakit, melainkan untuk penyakit yang sangat parah, atau yang dikhawatirkan akan bertambah parah, juga penyakit yang dapat menjadikan penderita mengabaikan kewajibannya. Sedangkan dalam hal ini terdapat obat yang mujarab dan manjur, sesuai dengan sunnah Allah pada manusia. Bila penyakitnya benar-benar berat dan obatnya lebih mujarab, sementara penderita benar-benar membutuhkan pengobatan, maka memberi biaya untuk pengobatannya merupakan pendekatan diri kepada Allah yang sangat mulia. Karena orang yang menghilangkan suatu kesusahan seorang muslim di dunia, maka akan dihilangkan oleh Allah kesusahannya pada hari kiamat, dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya: "... Dan barangsiapa yangmemelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya ..." (al-Ma'idah: 32) Namun begitu, tidak lazim bagi kerabat atau teman untuk memikul seluruh biaya pengobatannya sendirian, melainkan harus berbagi dengan yang lain: "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula." (az-Zalzalah: 7) Boleh jadi biaya itu dibutuhkan sebelum berobat atau sesudah berobat, yaitu ketika si sakit keluar dari rumah sakit yang membutuhkan biaya sangat besar sehingga tidak dapat dipenuhi olehnya. Maka barangsiapa yang menolong menghilangkan kesulitannya pada saat yang kritis ini niscaya dia akan mendapatkan kedudukan tersendiri di sisi Allah. Pada kenyataannya, keluarga si sakit --dalam kaitannya dengan biaya pengobatan-- dapat dikelompokkan dalam dua golongan: 1. Orang-orang bakhil yang tidak mau membantu memenuhi kebutuhan si sakit, baik untuk biaya pengobatan, makan, maupun segala sesuatu yang diperlukan si sakit demi memulihkan kesehatannya, meskipun yang sakit adalah ibunya sendiri yang telah melahirkannya, atau ayahnya yang telah mendidik dan memeliharanya, atau anaknya yang menjadi buah hatinya, atau istri dan ibu anak-anaknya. Bagi orang seperti ini harta lebih berharga daripada keluarga dan kerabatnya. Kadang-kadang si sakit membutuhkan obat yang berkualitas sesuai resep yang diberikan dokter spesialis, atau perlu menjalani operasi, perlu opname di rumah sakit, atau perlu dikarantina selama beberapa waktu untuk mendapatkan pemeliharaan dan perawatan secara sempurna, yang semua itu membutuhkan biaya. Tetapi hati familinya tidak ada yang merasa iba, tangan mereka pun tidak ada yang terulur memberikan bantuan, karena mereka benar-benar telah dilanda penyakit syuhh (bakhil dan kikir), suatu penyakit hati yang merusak. Didalam hadits sahih Rasulullah saw. bersabda: "Jagalah dirimu dari penyakit syuhh, karena penyakit syuhh ini telah membinasakan orang-orang sebe1um kamu, mendorong mereka untuk melalcukan pertumpahan darah dan menghalalkan apa yang diharamkan atas mereka."61 2. Keluarga si sakit yang berlebih-lebihan dalam membiayai si sakit untuk sesuatu yang layak ataupun tidak layak, yang dibutuhkan maupun yang tidak diperlukan, demi memamerkan kekayaan, menunjukkan bahwa mereka berharta banyak, dan berharap mendapatkan sanjungan orang lain. Anda lihat mereka memindah-mindahkan si sakit dari dokter yang satu kepada dokter yang lain, dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, dari satu negara ke negara lain, padahal penyakitnya sudah diketahui dan diagnosisnya sudah jelas, bahkan para dokter sudah mencurahkan segenap kemampuannya secara maksimal dan optimal, sehingga tinggal terserah pada keputusan Allah yang tidak dapat ditolak, apakah sembuh atau meninggal dunia. Di dalam pemindahan ini sudah barang tentu menambah beban dan kepayahan bagi si sakit, padahal pemindahan itu sendiri tidak mendesak, belum lagi beban-beban di balik itu semua. Selain itu, sering juga kondisi si sakit sudah lebih dekat kepada kematian, dan dia lebih utama mati di kampung halamannya, di tengah-tengah keluarganya, familinya, dan handai tolannya. Tetapi sikap berlebihan pihak famili untuk menampakkan bantuannya, ketidakbakhilannya, dan demi menunjukkan kemampuannya membiayai betapapun besarnya, hal itulah yang terkadang mendorong mereka melakukan tindakan berlebihan. Padahal dalam kondisi seperti itu lebih utama jika dia menginfakkan harta tersebut --atas namanya sendiri-- di jalan kebaikan, khususnya untuk rumah-rumah sakit, untuk biaya pengobatan fakir miskin yang penghasilannya sangat terbatas. Pemberian sedekah seperti ini kadang-kadang mendorong orang-orang yang mendapatkan bantuan itu untuk mendoakan si sakit agar diberi kesembuhan oleh Allah, lalu Allah mengabulkannya. Untuk ini Rasulullah saw. bersabda: "Obatilah orang-orang sakitmu dengan sedekah."62 Seandainya uang yang dihambur-hamburkan itu disedekahjariahkan, niscaya ia akan terus mendapatkan pahala selama sedekah jariahnya itu dimanfaatkan orang sampai hari kiamat.
ORANG SAKIT YANG MATI OTAKNYA DIANGGAP MATI MENURUT SYARA' Sekarang sampailah pembahasan kita pada kondisi tertentu bagi sebagian orang yang sakit, yang belum meninggal dunia, tetapi otak dan sarafnya sudah mati, tidak berfungsi, dan tidak dapat kembali normal menurut analisis para dokter ahli. Dalam kondisi seperti ini keluarga dan familinya harus merawatnya dengan mempergunakan instrumen-instrumen tertentu misalnya untuk memasukkan makanan, pernapasan, dan kontinuitas peredaran darahnya. Kadang-kadang kondisi seperti ini dijalani berbulan-bulan atau bertahun-tahun dengan biaya yang besar dan harus menunggunya secara bergantian. Mereka mengira bahwa dengan cara demikian mereka telah memelihara si sakit dan tidak mengabaikannya. Padahal dalam kondisi seperti itu, si sakit tidak dianggap berada di alam orang sakit, tetapi menurut kenyataannya dia telah berada di alam orang mati, semenjak otak atau pusat sarafnya mengalami kematian secara total. Karena itu meneruskan pengobatan dengan mempergunakan instrumen-instrumen seperti tersebut di atas merupakan perbuatan sia-sia, membuang-buang tenaga, uang, dan waktu yang tidak keruan ujungnya, dan yang demikian ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kalau keluarga si sakit memahami agama dengan baik dan benar serta mengerti hakikat masalah yang sebenarnya, niscaya akan timbul keyakinan dalam hati mereka bahwa yang lebih utama bagi mereka dan lebih mulia bagi si mayit --yang mereka kira masih dalam keadaan sakit-- adalah menghentikan penggunaan peralatan tersebut. Maka ketika itu akan berhentilah aliran darahnya, dan dengan demikian semua orang tahu bahwa dia benar-benar sudah meninggal dunia. Dengan begitu, keluarga si sakit dapat menghemat tenaga dan biaya. Disamping itu, tempat tidur bekas si sakit dan peralatan-peralatan tersebut --yang biasanya sangat terbatas jumlahnya-- dapat dimanfaatkan pasien lain yang memang masih hidup. Apa yang saya katakan ini bukanlah pendapat saya seorang, tetapi merupakan keputusan Lembaga Fiqih Islami al-Alami (Internasional), sebuah lembaga milik Organisasi Konferensi Islam, yang telah mengkaji masalah ini dengan cermat dan serius dalam dua kali muktamar --setelah terlebih dahulu diadakan presentasi dari para pembicara dari kalangan ahli fiqih dan dokter-dokter ahli. Melalui berbagai pembahasan dan diskusi --termasuk menyelidiki semua segi yang berkaitan dengan peralatan medis tersebut dan menerima pendapat dari para dokter ahli-- Lembaga Fiqih Islam akhirnya menghasilkan keputusannya yang bersejarah dalam muktamar yang diselenggarakan di kota Amman, Yordania, pada tanggal 8-13 Shafar 1407 H/11-16 Oktober 1986 M. Diktum itu berbunyi demikian: "Menurut syara', seseorang dianggap telah mati dan diberlakukan atasnya semua hukum syara' yang berkenaan dengan kematian, apabila telah nyata padanya salah satu dari dua indikasi berikut ini: 1. Apabila denyut jantung dan pernapasannya sudah berhenti secara total, dan para dokter telah menetapkan bahwa keberhentian ini tidak akan pulih kembali. 2. Apabila seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti sama sekali, dan para dokter ahli sudah menetapkan tidak akan pulih kembali, otaknya sudah tidak berfungsi. Dalam kondisi seperti ini diperbolehkan melepas instrumen-instrumen yang dipasang pada seseorang (si sakit), meskipun sebagian organnya seperti jantungnya masih berdenyut karena kerja instrumen tersebut. Wallahu a'lam." Dari diktum ini dapat dihasilkan sejumlah hukum syar'iyah, antara lain: Pertama: boleh melepas alat-alat pengaktif (perangsang) organ dan pernapasan dari si sakit, karena tidak berguna lagi. Bahkan saya katakan wajib melepas atau menghentikan penggunaan alat-alat ini, karena tetap mempergunakan alat-alat tersebut bertentangan dengan ajaran syariah dalam beberapa hal, antara lain: Menunda pengurusan mayit dan penguburannya tanpa alasan darurat, menunda pembagian harta peninggalannya, mengundurkan masa iddah istrinya, dan lain-lain hukum yang berkaitan dengan kematian. Diantaranya lagi adalah menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak ada gunanya, sedangkan tindakan seperti ini terlarang. Selain itu, diantara akibat yang ditimbulkannya lagi ialah memberi mudarat kepada orang lain dengan menghalangi mereka memanfaatkan alat-alat yang sedang dipergunakan orang yang telah mati otak dan sarafnya itu. Hadits Nabawi menetapkan sebuah kaidah qath'iyah yang berbunyi: "Tidak boleh memberi mudarat kepada diri sendiri dan tidak boleh memberi mudarat kepada orang lain."63 Kedua: boleh mendermakan (mendonorkan) sebagian organ tubuhnya pada kondisi seperti ini, yang akan menjadi sedekah baginya dan kelak ia akan memperoleh pahala, meskipun ia (si sakit) tidak mewasiatkannya Disebutkan dalam hadits sahih bahwa seseorang itu akan mendapatkan pahala karena buah tanamannya yang dimakan oleh orang lain, burung, atau binatang lain, dan yang demikian itu merupakan sedekah baginya, meskipun ia tidak bermaksud bersedekah: "Tiada seorang muslimpun yang menanam suatu tanaman atau menabur benih, lantas buahva dimakan burung, manusia, atau binatang melainkan yang demikian itu menjadi sedekah baginya."64 Bahkan disebutkan juga dalam hadits sahih bahwa orang mukmin mendapatkan pahala karena ditimpa kepayahan, sakit, kesusahan, duka cita, gangguan, atau bala bencana, hingga tertusuk duri sekalipun, semuanya dapat menghapuskan dosa-dosanya. Maka tidaklah mengherankan bila seorang muslim mendapatkan pahala jika ia mendermakan sebagian organ tubuh keluarganya ketika telah mati otaknya kepada pasien lain yang memerlukan organ tubuh tersebut untuk menyelamatkan kehidupannya, atau untuk mengembalikan kesehatannya. Maka seorang muslim tidak perlu meragukan betapa utamanya amal ini dan betapa besarnya nilai dan pahalanya di sisi Allah Ta'ala. Apabila pemberian derma (donor) ini sudah dipastikan, maka bolehlah mengambil organ yang dibutuhkan itu sebelum peralatan yang dipasang pada tubuhnya dilepaskan, karena jika tidak dernikian berarti mengambil organ dari orang yang sudah mati bila ditinjau dari segi aktivitasnya menurut keputusan di atas. Sebab pengambilan organ setelah dilepas peralatannya tidaklah berguna untuk dicangkokkan kepada orang lain, dikarenakan organ itu telah kehilangan daya hidup, dan telah menjadi organ mati.
MELEPAS PERALATAN DARI PENDERITA YANG TIDAK ADA HARAPAN SEMBUH Lebih dari itu, bahwa orang sakit yang telah lama menggunakan peralatan untuk membantu kehidupannya (seperti infus, oksigen, dan sebagainya) namun tidak membawa kemajuan sama sekali, bahkan para dokter yang merawatnya menetapkan bahwa kesembuhannya --menurut sunnatullah-- tidak lagi dapat diharapkan, sehingga meneruskan penggunaan peralatan tersebut sudah tidak ada manfaatnya, dan bahwa yang menjadikannya tampak hidup adalah ketergantungannya pada peralatan tersebut, yang jika dilepas tentu tidak lama lagi meninggal dunia, maka saya katakan bahwa menurut syara' tidak terlarang keluarganya melepas peralatan tersebut dari si sakit dan membiarkannya menurut kadar kemampuannya sendiri tanpa campur tangan orang lain. Tindakan ini tidak termasuk kategori qatlur-rahmah (eutanasia) sebab kita tidak membunuhnya. Yang kita lakukan hanyalah menghentikan pengobatannya melalui peralatan buatan. Tidak seorang pun ahli fiqih yang dapat mengatakan bahwa pengobatan dengan menggunakan peralatan tersebut merupakan kewajiban syara' yang tidak boleh diabaikan, sehingga jika dihentikan bertentangan dengan hukum syara'. Bahkan ketetapan yang sudah dimaklumi di kalangan ulama-ulama syariat adalah bahwa berobat --menurut mazhab empat dan jumhur ulama-- hukumnya mubah, bukan kewajiban yang pasti. Sedikit sekali fuqaha yang berpendapat mustahab, dan lebih sedikit lagi yang mewajibkannya.65 Dalam kaitan ini Imam Ghazali menulis bab tersendiri dalam al-Ihya' untuk menyangkal pendapat orang yang mengatakan bahwa "meninggalkan berobat lebih utama dalam segala kondisi." Tetapi, yang saya pandang kuat ialah pendapat yang mewajibkan berobat bila penyakitnya parah dan obatnya manjur (berfaedah) menurut kebiasaannya. Adapun jika harapan untuk sembuh itu tipis --bahkan kadang-kadang sudah tidak ada harapan sembuh menurut para ahlinya-- maka tidak ada alasan untuk mengatakan wajib atau sunnah dalam hal berobat. Karena itu, menghentikan penggunaan peralatan dari si sakit yang keadaannya seperti itu tidak lebih dari meninggalkan perkara mubah, kalau tidak lebih utama sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan lainnya. Bahkan, saya lihat pendapat yang terkuat ialah yang mewajibkan penghentian penggunaan peralatan tersebut.
MENGINGATKAN PENDERITA AGAR BERTOBAT DAN BERWASIAT Disukai bagi keluarga si sakit, teman-temannya, dan orang yang menjenguknya dari kalangan ahli kebaikan dan kebajikan, untuk mengingatkan si sakit agar segera bertobat kepada Allah Ta'ala. Supaya si sakit menyesali kekurangannya dalam melaksanakan ajaran Allah, bertekad untuk menaati Allah, membersihkan diri dari menganiaya hamba-hamba Allah, dan mengembalikan hak-hak mereka bagaimanapun kecilnya, karena hak-hak Allah itu didasarkan pada toleransi, dan hak-hak hamba itu didasarkan pada kesungguhan, serta karena tobat itu dituntut dari seluruh orang mukmin sebagaimana firman Allah: "... Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orarg-orang yang beriman, supaya kamu beruntung." (an-Nur: 31) Adapun tobat bagi orang sakit lebih wajib lagi hukumnya, disamping ia lebih membutuhkannya karena memang besar keuntungannya, sedangkan bagi orang yang mengabaikannya akan mendapatkan kerugian yang amat besar. Dan orang yang berbahagia adalah orang yang segera bertobat sebelum habis waktunya: "Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka, (barulah) ia mengatakan, 'Sesungguhnya saya bertobat sekarang...'" (an-Nisa': 18) Disamping itu, seyogianya kita ingatkan si sakit agar berwasiat jika ia belum berwasiat. Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang pantas diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam, melainkan hendaklah wasiatnya tertulis di sisinya."66 Apabila si sakit ditakdirkan Allah sembuh dari sakitnya, maka sebaiknya ia dinasihati dan diingatkan agar menunaikan apa yang telah dijanjikannya kepada Allah sewaktu dia sakit sebagai tanda syukur kepada Allah dan untuk memenuhi janjinya. Sudah seharusnya si sakit menjaga hal itu. Allah berflrman: "... dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya." (al-Isra': 34) Allah juga telah memuji ahli kebajikan dan ahli takwa dengan firman-Nya: "... dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji..." (al-Baqarah: 177) Para ulama berkata, "Seharusnya si sakit mempunyai keinginan keras untuk memperbaiki akhlaknya, menjauhi pertikaian dan pertentangan mengenai urusan dunia, merasa bahwa saat ini merupakan saat terakhirnya di ladang amal sehingga ia harus mengakhirinya dengan kebajikan. Hendaklah ia meminta kelapangan dan maaf kepada istrinya, anak-anaknya, keluarganya, pembantunya, tetangganya, teman-temannya, dan semua orang yang punya hubungan muamalah, pergaulan, persahabatan, dan sebagainya, serta meminta keridhaan mereka sedapat mungkin. Selain itu, hendaklah ia menyibukkan dirinya dengan membaca Al-Qur'an, dzikir, kisah-kisah orang saleh dan keadaan mereka ketika menghadapi kematian. Hendaklah ia memelihara shalatnya, menjauhi najis, dan mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Janganlah ia menghiraukan perkataan orang yang mencela atas apa yang ia lakukan, sebab ini merupakan ujian baginya, dan orang yang mencelanya itu adalah teman yang bodoh dan musuh yang terselubung. Disamping itu, hendaklah ia berpesan kepada keluarganya agar bersabar jika ia menghadap-Nya dan jangan meratapinya, karena meratap termasuk perbuatan jahiliah, demikian pula memperbanyak menangis. Hendaklah ia juga berpesan kepada keluarganya agar menjauhi tradisi-tradisi bid'ah terhadap jenazah, dan hendaklah mereka bersungguh-sungguh mendoakannya, karena doa orang-orang yang hidup itu berguna bagi orang yang telah mati."67 Diantara indikasi kebaikan ialah jika seseorang diberi taufiq oleh Allah untuk melakukan amal saleh sebelum meninggal dunia, untuk mengakhiri kehidupannya, sebab amal-amal itu tergantung pada kesudahannya. Dan di antara doa yang ma'tsur ialah: "Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik usiaku pada bagian akhirnya."68 Mengenai hal ini telah diriwayatkan beberapa hadits, diantaranya adalah hadits Anas: "Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka dipekerjakan-Nyalah orang itu." Ditanyakan kepada beliau, "Bagaimana mempekerjakannya?" Beliau menjawab, "Memberinya taufiq (pertolongan) untuk melakukan amal saleh sebelum meninggal dunia, lalu Dia (Allah) mematikannya atas amal saleh itu."69 Dalam sebagian jalannya diriwayatkan dengan lafal: [tulisan Arab] sebagai pengganti lafal [tulisan Arab] yakni 'memperbagus pujiannya diantara manusia.' Diantaranya lagi adalah hadits Abu Umamah: "Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka disucikan-Nya orang itu sebelum meninggal dunia." Para sahabat bertanya, "Apa yang buat menyucikan hamba itu?" Beliau menjawab, "Amal saleh yang diilhamkan Allah kepada orang itu, lantas dimatikannya orang itu atas amal saleh tersebut." (HR Thabrani)70
RUKHSHAH BAGI SI SAKIT UNTUK MENGELUARKAN DERITANYA Tidak mengapa bagi si sakit untuk mengeluhkan rasa sakit dan penderitaannya kepada dokter atau perawatnya, kerabat atau temannya, selama hal itu dilakukan tidak untuk menunjukkan kebencian kepada takdir, atau untuk menunjukkan keluh kesah dan kekesalannya. Hal ini disebabkan orang yang dijadikan tempat mengaduh --lebih-lebih jika ia dokter atau perawat-- kadang-kadang punya obat yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, atau minimal meringankannya. Disamping itu, menyampaikan keluhan kepada orang yang dipercayainya dapat meringankan beban psikologis, lebih-lebih jika orang itu mau menanggapinya, merasa iba padanya, dan ikut merasakan penderitaan yang dialaminya. Seorang penyair kuno mengatakan: "Aku mengaduh dan mengeluh Padahal mengeluh seperti ini tak biasa kulakukan Tapi memang Bila gelas sudah penuh isinya Ia akan tumpah keluar." Pujangga lain mengatakan: "Tak apalah engkau mengaduh Kepada orang yang berbudi luhur Agar ia iba padamu Atau menenangkan jiwamu Atau turut merasakan penderitaanmu." Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a. bahwa Nabi saw. pernah berkata: "Aku demam yang panasnya setinggi yang dialami dua orang dari kalian." Diriwayatkan dari al-Qasim bin Muhammad bahwa Aisyah r.a. pernah berkata, "Aduh, kepalaku sakit." Dan Nabi saw. menimpali, "Aduh, kepalaku juga sakit!" Dan diriwayatkan dari Sa'ad, ia berkata, "Rasulullah saw. datang menjenguk saya ketika penyakit saya bertambah berat pada waktu haji wada', lalu saya berkata, 'Saya menderita sakit sebagaimana yang engkau lihat ..."71 Imam Bukhari meriwayatkan dalam al-Adabul-Mufrad dari Urwah bin Zuber, ia berkata, Saya dan Abdullah bin Zuber pernah menjenguk Asma' --binti Abu Bakar yang nota bene ibu mereka sendiri-- lalu Abdullah bertanya kepada Asma', 'Bagaimana keadaan Ibunda?' Asma' menjawab, 'Sakit.'"72 Riwayat-riwayat ini menolak anggapan sebagian ulama yang mengatakan bahwa orang sakit dimakruhkan mengeluh/mengaduh. Imam Nawawi mengomentari pendapat sebagian ulama tersebut dengan mengatakan, "Ini adalah pendapat yang lemah atau batil, karena sesuatu yang makruh ditetapkan dengan adanya larangan yang dimaksud, sedangkan yang demikian tidak didapati." Kemudian beliau berhujjah dengan hadits Aisyah dalam bab ini, lalu berkata, "Barangkali yang mereka maksud dengan karahah (makruh) disini adalah khilaful-aula (menyalahi sesuatu yang lebih utama), sebab tidak diragukan lagi bahwa melakukan dzikir lebih utama (daripada mengaduh/mengerang)."73 Al-Qurthubi berkata, "Sebenarnya tidak seorang pun yang dapat menolak rasa sakit, dan memang jiwa manusia diciptakan untuk dapat merasakan yang demikian, maka apa yang telah diciptakan Allah pada manusia tidaklah dapat diubah. Hanya saja, manusia dibebani tugas untuk melepaskan diri dari sesuatu yang dapat ditinggalkan apabila ditimpa musibah, misalnya berlebihan dalam mengeluh dan mengaduh, karena orang yang berbuat begitu berarti telah keluar dari artian sebagai ahli sabar. Adapun semata-mata mengaduh tidaklah tercela, kecuali ia membenci apa yang ditakdirkan atas dirinya."74 Bahkan Imam Muslim meriwayatkan dari Utsman bin Abil 'Ash bahwa dia mengeluhkan rasa sakit pada tubuhnya kepada Rasulullah saw., lalu beliau bersabda kepadanya: "Letakkan tanganmu pada badan tubuhmu yang sakit, dan ucapkan 'bismillah' (dengan nama Allah) tiga kali, dan ucapkan doa ini sebanyak tujuh kali: 'Aku berlindung dengan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya dari apa yang aku derita dan aku khawatirkan.'"75 Para ulama mengatakan, "Dari riwayat ini dirumuskan hukum sunnahnya menyampaikan keluhan kepada orang yang bisa memohonkan berkah, karena mengharapkan keberkahan doanya"76 Imam Ahmad biasanya memuji Allah terlebih dahulu, baru setelah itu beliau memberitahukan apa yang dideritanya, mengingat riwayat dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Apabila menyampaikm syukur terlebih dahulu sebelum menyampaikan keluhan, maka tidaklah dia dinilai berkeluh kesah."77 Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari perkataan Nabi saw. dalam hadits Aisyah ("kepala saya juga sakit") dengan mengatakan: "Riwayat ini menunjukkan bahwa mengatakan sakit tidak termasuk berkeluh kesah. Sebab betapa banyak orang yang hanya berdiam tetapi hati mereka merasa jengkel (marah), dan betapa banyak orang yang mengadukan sakitnya tetapi hatinya merasa ridha. Maka yang perlu diperhatikan di sini adalah amalan hati, bukan amalan lisan.78 Wallahu a'lam. Disisi lain, bagi orang yang menerima keluhan hendaklah ia berusaha meringankan penderitaan si sakit dengan membelainya atau menyentuhnya dengan penuh kasih sayang, dengan perkataan yang menyejukkan hati, dan dengan doa yang baik, sebaggõimana yang dilakukan Rasulullah saw. terhadap Sa'ad. Aisyah binti Sa'ad meriwayatkan bahwa ayahnya bercerita, "Ketika saya di Mekah, saya mengadukan sakit yang berat, kemudian Nabi saw menjenguk saya. Kemudian beliau menaruh tangan beliau dan mengusapkannya pada muka dan perut saya, seraya berdoa: "Ya Allah, sembuhkanlah Sa'ad, dan sempurnakanlah hijrahnya." Sa'ad berkata, "Maka saya senantiasa merasakan dinginnya tangan beliau di hati saya --menurut perasaan saya-- hingga hari kiamat."79 Ibnu Mas'ud juga berkata, "Saya pernah masuk ke tempat Rasulullah saw. ketika beliau sedang sakit parah, lalu saya belai beliau dengan tangan saya sembari berkata, 'Wahai Rasulullah, sakitmu sangat berat.' Beliau menjawab, 'Benar, sebagaimana yang diderita oleh dua orang diantara kamu.' Saya berkata, 'Hal itu karena engkau mendapat dua pahala?' Beliau menjawab, 'Benar.' Kemudian beliau bersabda: "Tidak seorang muslim yang ditimpa suatu gangguan berupa penyakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya."80 Selain itu, hendaklah ia berusaha meringankan penderitaan si sakit dengan mengingatkannya akan keutamaan sabar terhadap cobaan Allah dan ridha menerima qadha-Nya, mengingatkannya akan pahala orang yang mendapatkan ujian lantas ia bersabar dan rela menerimanya. Hendaklah ia mengingatkan bahwa penyakit yang menimpanya adalah untuk menyucikan dan menebus dosa-dosanya, untuk menambah kebaikannya, atau untuk meninggikan derajatnya. Disamping itu! ia juga sebaiknya diberi pengertian bahwa orang yang paling berat cobaannya ialah para nabi, kemudian orang-orang yang memiliki derajat di bawahnya, dan seterusnya. Perlu juga diingatkan kepadanya tentang ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi, serta biografi para shalihin yang sekiranya dapat menenangkan dan memantapkan hatinya, tidak menjadikannya jenuh dan berat. Kemudian sebaiknya ia diajari dengan sesuatu yang dapat meninggikan jiwanya, sebagaimana yang dilakukan Nabi saw. terhadap Utsman bin Abil 'Ash. Adapun mengenai pengaduan kepada Sang Pencipta Yang Maha Luhur, maka Al-Qur'an telah mengisahkan beberapa orang Nabi a.s. yang mulia. Diantaranya Al-Qur'an mengisahkan Nabi Ya'qub a.s. yang mengatakan: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku ..." (Yusuf: 86) Demikian pula ketika mengisahkan Nabi Ayub a.s.: "Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: '(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang." (al-Anbiya': 83) Ayat-ayat ini sekaligus menyangkal anggapan golongan sufi yang mengatakan bahwa berdoa merusak keridhaan dan penyerahan.81 Dalam hal ini sebagian mereka berkata, "Pengetahuan-Nya tentang keadaanku tidak memerlukan aku meminta kepada-Nya." Tetapi yang perlu ditegaskan disini bahwa berdoa dan memohon kepada Allah adalah ibadah, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. Sebenarnya, menurut kesepakatan para ulama, yang tergolong makruh dalam hal ini ialah berkeluh kesah terhadap Tuhannya, yaitu menyebut-nyebut penderitaannya kepada manusia dengan jalan memaki-maki.82 Inilah yang dilakukan oleh sebagian orang yang melupakan nikmat Allah, yang mereka ingat hanyalah bala dan bencana semata.
SI SAKIT MENGHARAPKAN KEMATIAN Apabila si sakit diperbolehkan mengeluhkan penderitaannya sebagaimana saya sebutkan, maka tidaklah baik baginya mengharapkan kematian atau meminta kematian karena penderitaan yang dialaminya, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa Nabi saw. bersabda: "Jangan sekali-kali seseorang diantara kamu mengharapkan kematian karena penderitaan yang dialaminya. Jika ia harus berbuat begitu, maka hendaklah ia mengucapkan, 'Ya Allah, hidupkanlah aku jika hidup itu lebih baik bagiku; dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku."83 Hadits Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya menjelaskan hikmah larangan ini, maka Nabi saw. bersabda: "Dan jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu mengharapkan kematian, karena kalau ia orang baik maka boleh jadi akan menambah kebaikannya; dan jika ia orang yang jelek maka boleh jadi ia akan bertobat dengan tulus."84 Makna kata yasta'tibu ialah kembali dari segala sesuatu yang menjadikannya tercela, caranya ialah dengan melakukan tobat nashuha (tobat yang tulus). Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda: "Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu mengharapkan kematian dan jangan pula berdoa memohon kematian sebelum datang waktunya. Sesungguhnya kematian itu apabila datang kepada salah seorang diantara kamu maka putuslah amalnya, dan sesungguhnya tidak bertambah umur orang mukmin itu melainkan hanya menambah kebaikan baginya."85 Para ulama mengatakan, "Sebenarnya dimakruhkannya mengharapkan kematian itu hanyalah apabila berkenaan dengan kemudaratan atau kesempitan hidup duniawi, tetapi tidak dimakruhkan apabila motivasinya karena takut fitnah terhadap agamanya, karena kerusakan zaman, sebagaimana dipahami dari hadits Anas di atas. Banyak diriwayatkan dari kalangan salaf yang mengharapkan kematian ketika mereka takut fitnah terhadap agamanya."86 Hal ini diperkuat oleh hadits Mu'adz bin Jabal mengenai doa Nabi saw.: "Ya Allah, aku mohon kepada-Mu (agar Engkau menolongku untuk) melakukan kebaikan, meninggalkan kemunkaran, dan mencintai orang-orang miskin. Dan apabila Engkau menghendaki suatu fitnah kepada suatu kaum, maka wafatkanlah aku untuk menghadapMu tanpa terkena fitnah."87 Selain itu, juga disebutkan dalam beberapa hadits yang membicarakan tanda-tanda hari kiamat bahwa kelak akan ada seseorang yang melewati kubur saudaranya, lalu ia mengatakan, "Alangkah baiknya kalau aku yang menempati tempatnya (kuburnya)." Tidak disukainya (dimakruhkannya) mengharapkan kematian ini dengan ketentuan apabila hal itu dilakukan sebelum datangnya pendahuluan kematian; namun jika setelah pendahuluan kematian itu datang, maka tidak terlarang dia mengharapkannya karena merasa rela bertemu Allah, dan tidak terlarang pula bagi orang yang meminta kematian karena kerinduannya untuk bertemu dengan Allah Azza wa Jalla. Karena itu, dalam bab ini pula Imam Bukhari mencatat hadits Aisyah yang mengatakan, "Saya mendengar Nabi saw., sambil bersandar pada saya, berdoa: "Ya Allah, ampunilah aku dan kasih sayangilah aku, dan pertemukanlah aku dengan teman yang luhur."88 Hal ini sebagai isyarat bahwa larangan tersebut khusus untuk keadaan sebelum datangnya pendahuluan kematian.89
Berbaik Sangka kepada Allah Ta'ala Disukai bagi si sakit --khususnya bagi yang telah kedatangan tanda-tanda mendekati kematian-- untuk berprasangka baik kepada Allah Ta'ala. Dalam arti, pengharapannya kepada rahmat Allah melebihi perasaan takutnya kepada azab-Nya, selalu mengingat betapa besar kemurahan-Nya, betapa indah pengampunan-Nya, betapa luas rahmat-Nya, betapa sempurna karunia-Nya, dikedepankan-Nya kebaikan dan kebajikan-Nya, membayangkan apa yang dijanjikan-Nya kepada ahli tauhid dan rahmat yang disediakan-Nya untuk mereka pada hari kiamat. Jabir meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: "Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu meninggal dunia melainkan dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Ta'ala."90 Hal ini diperkuat oleh hadits qudsi yang telah disepakati kesahihannya, bahwa Allah berfirman: "Aku menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku."91 Ibnu Abbas berkata, "Apabila Anda melihat seseorang kedatangan tanda-tanda kematian maka gembirakanlah dia agar dia menghadap kepada Allah dengan berbaik sangka kepada-Nya; dan apabila Anda lihat orang yang hidup --yakni sehat-- maka takut-takutilah dia akan Tuhannya Azza wa Jalla." Mu'tamir bin Sulaiman berkata, "Ketika akan meninggal dunia, ayah berkata kepadaku, 'Wahai Mu'tamir, bicaralah kepadaku tentang rukhshah-rukhshah (kemurahan-kemurahan), supaya aku menghadap Allah Ta'ala dengan berbaik sangka kepada-Nya."92 Imam Nawawi berkata, "Orang yang sedang menunggu orang yang akan meninggal dunia disukai membangkitkan harapannya kepada rahmat Allah, menganjurkannya untuk berbaik sangka kepada Allah, mengingatkannya dengan ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai pengharapan dan ditimbulkan semangatnya. Petunjuk mengenai apa yang saya sebutkan ini banyak terdapat dalam hadits-hadits sahih, diantaranya sejumlah hadits yang saya sebutkan dalam "Kitab al-Jana'iz" dari kitab al-Adzkar. Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu Abbas terhadap Umar bin Khattab r.a. ketika menghadapi maut, juga dilakukan Ibnu Abbas terhadap Aisyah, dan dilakukan pula oleh Ibnu Amr bin Ash terhadap ayahnya. Semua ini tersebut dalam hadits dan riwayat yang sahih."93
KETIKA SEKARAT DAN MENDEKATI KEMATIAN Apabila keadaan si sakit sudah berakhir dan memasuki pintu maut --yakni saat-saat meninggalkan dunia dan menghadapi akhirat, yang diistilahkan dengan ihtidhar (detik-detik kematian/kedatangan tanda-tanda kematian)-- maka seyogianya keluarganya yang tercinta mengajarinya atau menuntunnya mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah (Tidak ada tuhan selain Allah) yang merupakan kalimat tauhid, kalimat ikhlas, dan kalimat takwa, juga merupakan perkataan paling utama yang diucapkan Nabi Muhammad saw. dan nabi-nabi sebelumnya. Kalimat inilah yang digunakan seorang muslim untuk memasuki kehidupan dunia ketika ia dilahirkan dan diazankan di telinganya (bagi yang berpendapat demikian; Penj.), dan kalimat ini pula yang ia pergunakan untuk mengakhiri kehidupan dunia. Jadi, dia menghadapi atau memasuki kehidupan dengan kalimat tauhid dan meninggalkan kehidupan pun dengan kalimat tauhid. Ulama-ulama kita mengatakan, "Yang lebih disukai untuk mendekati si sakit ialah famili yang paling sayang kepadanya, paling pandai mengatur, dan paling takwa kepada Tuhannya. Karena tujuannya adalah mengingatkan si sakit kepada Allah Ta'ala, bertobat dari maksiat, keluar dari kezaliman, dan agar berwasiat. Apabila ia melihat si sakit sudah mendekati ajalnya, hendaklah ia membasahi tenggorokannya dengan meneteskan air atau meminuminya dan membasahi kedua bibirnya dengan kapas, karena yang demikian dapat memadamkan kepedihannya dan memudahkannya mengucapkan kalimat syahadat."94 Kemudian dituntunnya mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah mengingat hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abi Sa'id secara marfu': "Ajarilah orang yang hampir mati diantara kalian dengan kalimat laa illaaha illallah."95 Orang yang hampir mati didalam hadits ini disebut dengan "mayit" (orang mati) karena ia menghadapi kematian yang tidak dapat dihindari. Jumhur ulama berpendapat bahwa menalkin (mengajari atau menuntun) orang yang hampir mati dengan kalimat laa ilaaha illallah ini hukumnya mandub (sunnah), tetapi ada pula yang berpendapat wajib berdasarkan zhahir perintah. Bahkan sebagian pengikut mazhab Maliki mengatakan telah disepakati wajibnya.96 Hikmah menalkin kalimat syahadat ialah agar akhir ucapan ketika seseorang meninggal dunia adalah kalimat tersebut, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim serta disahkan olehnya dari Mu'adz secara marfu': "Barangsiapa yang akhir perkataannya kalimat laa ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga."97 Dicukupkannya dengan ucapan laa ilaaha illallah karena pengakuan akan isi kalimat ini berarti pengakuan terhadap yang lain, karena dia mati berdasarkan tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad saw., disamping itu agar jangan terlalu banyak ucapan yang diajarkan kepadanya. Sebagian ulama berpendapat agar menalkinkan dua kalimat syahadat, karena kalimat kedua (Muhammad Rasulullah) mengikuti kalimat pertama. Tetapi yang lebih utama ialah mencukupkannya dengan syahadat tauhid, demi melaksanakan zhahir hadits. Seyogyanya, dalam menalkinkan kalimat tersebut jangan diperbanyak dan jangan diulang-ulang, juga janganlah berkata kepadanya: "Ucapkanlah laa ilaaha illallah," karena dikhawatirkan ia merasa dibentak sehingga merasa jenuh, lalu ia mengatakan, "Saya tidak mau mengucapkannya," atau bahkan mengucapkan perkataan lain yang tidak layak. Hendaklah kalimat ini diucapkan kepadanya sekiranya ia mau mendengarnya dan memperhatikannya, kemudian mau mengucapkannya . Atau mengucapkan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu berdzikir kepada Allah dengan mengucapkan: "Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah." Apabila ia sudah mengucapkan kalimah syahadat satu kali, maka hal itu sudah cukup dan tidak perlu diulang, kecuali jika ia mengucapkan perkataan lain sesudah itu, maka perlu diulang menalkinnya dengan lemah lembut dan dengan cara persuasif (membujuknya agar mau mengucapkannya), karena kelemahlembutan dituntut dalam segala hal terlebih lagi dalam kasus ini. Pengulangan ini bertujuan agar perkataan terakhir yang diucapkannya adalah kalimat laa ilaaha illallah. Diriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak bahwa ketika ia kedatangan tanda-tanda kematian (yakni hampir meninggal dunia) ada seorang laki-laki yang menalkinkannya secara berulang-ulang, lantas Abdullah berkata, "Seandainya engkau ucapkan satu kali saja, maka saya tetap atas kalimat itu selama saya tidak berbicara lain." Dalam hal ini, sebaiknya orang yang menalkinkannya ialah orang yang dipercaya oleh si sakit, bukan orang yang diduga sebagai lawannya (ada rasa permusuhan dengannya) atau orang yang hasad kepadanya, atau ahli waris yang menunggu-nunggu kematiannya.98 Sementara itu, sebagian ulama menyukai dibacakan surat Yasin kepada orang yang hampir mati berdasarkan hadits: "Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang hampir mati diantara kamu."99 Namun demikian, derajat hadits ini tidak sahih, bahkan tidak mencapai derajat hasan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Disamping itu, disukai menghadapkan orang yang hampir mati ke arah kiblat jika memungkinkan --karena kadang-kadang si sakit tengah menjalani perawatan di rumah sakit hingga ia menghadap ke arah yang sesuai dengan posisi ranjang tempat ia tidur. Yang menjadi dalil bagi hal ini adalah hadits Abu Qatadah yang diriwayatkan oleh Hakim, bahwa ketika Nabi saw. datang di Madinah, beliau bertanya tentang al-Barra' bin Ma'rur, lalu para sahabat menjawab bahwa dia telah wafat, dan dia berpesan agar dihadapkan ke kiblat ketika hampir wafat, lalu Rasulullah saw. bersabda: "Sesuai dengan fitrah."100 Imam Hakim berkata, "Ini adalah hadits sahih, dan saya tidak mengetahui dalil tentang menghadapkan orang yang hampir mati ke arah kiblat melainkan hadits ini."101 Ada dua macam pendapat dari para ulama mengenai cara menghadapkan orang sakit ke arah kiblat ini: Pertama, ditelentangkan di atas punggungnya, kedua telapak kakinya ke arah kiblat, dan kepalanya diangkat sedikit agar wajahnya menghadap ke arah kiblat, seperti posisi orang yang dimandikan. Pendapat ini dipilih oleh beberapa imam dari mazhab Syafi'i, dan ini merupakan pendapat dalam mazhab Ahmad. Kedua, miring ke kanan dengan menghadap kiblat, seperti posisi dalam liang lahad. Ini merupakan pendapat mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik, dan nash Imam Syafi'i dalam al-Buwaithi, dan pendapat yang mu'tamad (valid) dalam mazhab Imam Ahmad. Sebagian ulama memperbolehkan kedua cara tersebut, mana yang lebih mudah. Sedangkan Imam Nawawi membenarkan pendapat yang kedua, kecuali jika tidak memungkinkan cara itu karena tempatnya yang sempit atau lainnya, maka pada waktu itu boleh dimiringkan ke kiri dengan menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan, maka di atas tengkuknya atau punggungnya.102 Imam Syaukani berkata, "Yang lebih cocok ialah menghadap kiblat dengan miring ke kanan, berdasarkan hadits al-Barra' bin Azib dalam Shahihain: "Apabila engkau hendak naik ke tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhumu ketika hendak shalat, kemudian berbaringlah di atas lambungmu sebelah kanan." Dalam riwayat lain disebutkan: "Jika engkau meninggal dunia pada malam harimu itu, maka engkau berada pada fitrah (kesucian)."103 Dari riwayat ini tampak bahwa seyogyanya orang yang hampir meninggal dunia hendaklah dalam posisi seperti itu. Diriwayatkan juga dalam al-Musnad dari Salma Ummu Walad Abu Rafi' bahwa Fatimah binti Rasulullah saw. radhiyallahu 'anha, ketika akan meninggal dunia beliau menghadap kiblat, kemudian berbantal dengan miring ke kanan.104
APA YANG HARUS DILAKUKAN SETELAH MATI? Ada beberapa adab syar'iyah yang harus dilakukan secara langsung setelah mati dan sebelum dimandikan yang perlu saya kemukakan disini, karena berkaitan dengan saat ihtidhar (menghadapi kematian). Selain itu, banyak hal yang memerlukan penanganan dokter yang merawatnya, sebab kadang-kadang si sakit meninggal dunia di hadapannya. Apakah yang harus dilakukan saat itu? Pertama: dipejamkan kedua matanya, mengingat hadits yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasulullah saw. pernah masuk ke tempat Abu Salamah setelah dia meninggal dunia dan matanya dalam keadaan terbuka, lalu beliau memejamkannya seraya bersabda: "Sesungguhnya ruh apabila dicabut, ia diikuti oleh pandangan."105 Disamping itu, apabila kedua matanya tidak dipejamkan maka akan terbuka dan melotot, sehingga timbul anggapan yang buruk. Kedua: diikat janggutnya (dagunya) dengan bebat yang lebar yang dapat mengenai seluruh dagunya, dan diikatkan dengan bagian atas kepalanya, supaya mulutnya tidak terbuka. Ketiga: dilemaskan persendian atau pergelangan-pergelangannya, yaitu dilipat lengannya ke pangkal lengannya, kemudian dijulurkan lagi; dilipat (ditekuk) betisnya ke pahanya, dan pahanya ke perutnya, kemudian dikembalikan lagi; demikian juga jari-jemarinya dilemaskan supaya lebih mudah memandikannya. Sebab beberapa saat setelah menghembuskan napas terakhir badan seseorang masih hangat, sehingga jika sendi-sendinya dilemaskan pada saat itu ia akan menjadi lemas. Tetapi jika tidak segera dilemaskan, tidak mungkin dapat melemaskannya sesudah itu. Keempat: dilepas pakaiannya, agar badannya tidak cepat rusak dan berubah karena panas, selain kadang-kadang keluar kotoran (najis) yang akan mengotorinya. Kelima: diselimuti dengan kain yang dapat menutupinya, berdasarkan riwayat Aisyah bahwa Nabi saw. ketika wafat diselimuti dengan selimut yang bergaris-garis.106 Keenam: di atas perutnya ditaruh suatu beban yang sesuai agar tidak mengembung. Para ulama mengatakan, "Yang melakukan hal-hal ini hendaklah orang yang lebih lemah lembut di antara keluarga dan mahramnya dengan cara yang paling mudah."107 Adapun hal-hal lain setelah itu yang berkenaan dengan pengurusan mayit, seperti memandikan, mengafani, menshalati, dan lainnya tidaklah termasuk dalam kerangka hukum orang sakit, bahkan termasuk dalam kandungan hukum orang mati atau ahkamul-jana'iz. Dengan demikian, perlu pembahasan tersendiri. Wa billahit taufiq, dan akhir seruan saya adalah bahwa segala puji kepunyaan Allah, Tuhan bagi alam semesta.
Sunday, December 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment